Minggu, 17 November 2013

Syaikh Muhammad bin Ali Ba Athiyyah

Pakar Fiqih, Pecinta Ahlul Bayt
Di samping mengajar, Syaikh Muhammad Ba Athiyyah juga banyak menghasilkan karya-karya penting. Di antaranya Ad-Durrah Al-Yatimah Syarh As-Subhah Ats-Tsaminah, Ghayah Al-Muna Syarh Safinah An-Naja, Zadul-Labib Syarh Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, Mujaz Al-Kalam Syarh Aqidatul-Awam.

Ramah, murah senyum, rapi, dan berwibawa. Itu kesan yang muncul bila kita berhadapan dengan sosok yang menjadi figur kita kali ini, Syaikh Muhammad bin Ali Ba Athiyyah. Tokoh ulama dari Mukalla, Hadhramaut, ini kini sedang berada di Jakarta. Dan ini adalah kunjungannya yang pertama kali ke Indonesia.

Beberapa waktu lalu, alKisah me­nemui dan mewawancari beliau di tem­patnya menginap di sebuah apartemen di bilangan Casablanca, Jakarta Selatan. Dalam perjumpaan itu beliau didampingi Habib Abdurrahman Basurrah serta  be­berapa murid dan perwakilan beliau di Indonesia. Beliau menjawab pertanya­an-pertanyaan yang diajukan dengan lan­car, cerdas, dan terfokus pada isi pertanyaan yang diajukan.

Syaikh Muhammad bin Ali Ba Athiy­yah adalah seorang pakar fiqih dan me­miliki perhatian yang besar untuk men­cetak kader-kader ulama. Di antaranya, beliau lakukan melalui perguruan tinggi yang didirikannya, Jami‘ah Al-Imam Asy-Syafi‘i, di Mukalla, Hadhramaut, Yaman Selatan. Perguruan tinggi ini berawal dari masjid yang didirikan pada tahun 1421 H/2000 M oleh Syaikh Umar Ahmad Bah­sin dan Syaikh Umar Abud Bamakhis.

Universitas yang didirikan tahun 2012 ini memiliki misi mencetak generasi muda muslim yang profesional dalam bidang pendidikan dan dakwah Islamiyah serta berakhlaq karimah, serta mening­kat­kan kemampuan mereka da­lam mene­laah dan menggali khazanah ke­ilmuan dalam upaya menginternalisasi­kan nilai-nilai keislaman di dunia modern.

Program studi yang ditawarkan ada dua, yakni program diploma dua tahun dan program sarjana S1 selama dua ta­hun berikutnya. Perkuliahan dimulai se­tiap bulan Syawwal. Masa belajarnya empat tingkat, masing-masing tingkat ter­diri dari dua semester, dan setiap se­mester empat setengah bulan.

Lembaga ini kini telah memiliki ba­nyak perwakilan, yakni di Jawa Timur, Gresik, Jombang, Surabaya, Lamongan, Bojonegoro, Pasuruan, Malang, dan Bang­kalan-Madura. Kemudian Jawa Te­ngah, di Benda, Brebes. Lalu Jawa Barat di Cirebon. Juga tentu perwakilan Ja­karta, di Condet. Sedangkan perwakilan di luar Jawa adalah di Samarinda, Kali­mantan Timur. Bagi para calon maha­siswa asal Indonesia, dijadwalkan pem­berangkatan dua kali dalam setahun, yak­ni bulan Rabi’ul Awwal dan bulan Syawwal.

Menariknya, meskipun merupakan perguruan tinggi formal yang dikelola de­ngan sistem perkuliahan dan mana­jemen modern, pengajarannya dipadu­kan de­ngan metode-metode salaf. Di sam­ping mengikuti paket-paket perku­liah­an setiap semester sesuai dengan jad­wal yang telah ditetapkan, para ma­hasiswa juga menghafal berbagai kitab sebagaimana yang biasa di hafal di pe­santren-pesan­tren, yakni kitab-kitab Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, Matn (Man­zhumah) Az-Zubad, Matn (Man­zhumah) Aqidah Al-Awam, Matn (Man­zhumah) Jauharah At-Tauhid, (Man­zhumah) Mulhatul-I‘rab, (Manzhu­mah) Rahabiyyah, (Manzhumah) Al-Bay­quniy­yah, (Manzhumah) As-Sullam Al-Munaw­waq.

Informasi lebih lengkap mengenai per­guruan tinggi yang beliau pimpin ser­ta wa­wancara ihwal hal itu dengan beliau insya Allah akan dimuat pada edisi men­datang.

Pada diri Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Sa‘id bin Abdullah Ba Athiyyah, ada disebutkan “Ba Athiy­yah”. Qabilah Ba Athiyyah berasal dari Qa­bilah Kindah, sebuah qabilah yang ter­masyhur.

Syaikh Muhammad Ba Athiyyah lahir pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 1380 H, bertepatan dengan 1960 M, di Qarn Ba Hakim, salah satu desa di Wadi Du‘an Al-Ayman, Hadhramaut. Ayahan­da­nya berasal dari Khudaisy, sebuah desa di Wadi Du‘an Al-Ayman juga, te­tapi kemudian pindah ke Ba Hakim ber­sama ibundanya (nenek Syaikh Muham­mad), seorang wanita yang berasal dari Bani Baghlaf dari negeri Khusawfar. Neneknya itu pergi ke sini dan menikah se­telah sebelumnya bercerai dengan suaminya yang kemudian pergi ke Jawa.

Sekitar sebulan sebelum Syaikh Mu­hammad lahir, pintu rumah ayahanda­nya diketuk oleh sejumlah orang yang di­kenal kebaikannya. Mereka mengata­kan, “Selamat dengan Muhammad yang da­tang.”

Maka ayahandanya berkata kepada mereka, “Istriku belum melahirkan.”

Mereka tersenyum lalu pergi. Mung­kin inilah yang mendorong sang ayah me­nama­kannya “Muhammad”.

Di masa kanak-kanak, perkembang­an Syaikh Muhammad jauh dari perkem­bangan teman-teman sebayanya. Ketika usianya mencapai usia tamyiz (usia ka­nak-kanak yang sudah dapat membeda­kan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang bagus dan mana yang buruk, dan seterusnya), ayahnya pergi me­lakukan perjalanan, sehingga ia ke­mudian diasuh oleh ibundanya.

Sebelum berusia enam tahun, ia di­bawa sang ibu ke Ma‘lamah Al-Qarn. Di sana ia belajar membaca, menulis, dan Al-Qur’an Al-Karim. Di usia sangat belia itu, ikatannya dengan ahlul bayt telah sangat kuat, karena di desanya tinggal seorang quthb yang bersinar, Habib Shalih bin Abdullah Al-Attas, dan dua orang saudaranya, Habib Muhammad dan Habib Aqil. Syaikh Muhammad kecil selalu pergi ke tempat beliau dan duduk di sisinya satu atau dua jam untuk men­dapatkan keberkahan dan doanya. Habib Shalih pun sangat mencintainya. Hal ini menumbuhkan dalam hatinya rasa cinta kepada ahlul bayt sejak usia sangat muda.

Sejak kecil hatinya juga telah sangat terkait dengan rumah-rumah Allah. Di usia tujuh hingga delapan tahun, ia se­nantiasa pergi ke masjid. Saat itu pula ia mulai memasuki madrasah Ba Shadiq Al-Jufri di Khuraibah, di sana terdapat seorang faqih dan keberkahan kota Du‘an, yakni Habib Hamid bin Abdul Hadi Al-Jilani, ayahanda Habib Umar Al-Jilani, yang kini sering berkunjung ke Indonesia. Ia tinggal di sana selama satu tahun, kemudian pindah ke madra­sah-madrasah formal dan menimba ilmu di sana.

Pada tahun 1390 H/1970 M, saat usia­nya 10 tahun, sang ayah membawa mereka sekeluarga ke Hijaz. Maka sam­pailah ia dan keluarganya ke Jeddah di akhir bulan Dzulhijjah. Ia melanjutkan pendidikannya di madrasah-madrasah di kota ini hingga menyelesaikan pendi­dikan tingginya.

Syaikh Muhammad mengambil ilmu dari banyak ulama terkemuka. Di antara mereka adalah Habib Shalih bin Abdul­lah Al-Attas. Sejak muda ia telah sangat de­kat dengannya dan sangat mencintai­nya. Di antara gurunya juga adalah Ha­bib Abdullah Al-Habsyi. Beliaulah guru pertamanya setelah kepindahannya ke Jeddah. Kepadanya ia membaca kitab-kitab fiqih Safinatun-Najah dan Kifayatul Akhyar. Sedangkan kitab nahwu yang di­bacanya kepada beliau adalah Al-Kawakib Ad-Durriyyah. Ia juga mengha­diri pengajian yang beliau sampaikan di masjid dengan pegangan kitab Al-Idhah, karya Al-Imam An-Nawawi.

Di masa itu Syaikh Muhammad juga berubungan dengan seorang syaikh ter­kemuka, Syaikh Karamah Suhail. Kepa­da­nya ia membaca kitab Safinatun Na­jah dan syarahnya, Nailur Raja’, seba­nyak tiga kali. Syaikh Karamah berkata ke­padanya, “Kami membacakan kepa­da­mu kitab-kitab ini, tetapi syarah yang kami berikan kepadamu adalah syarah-syarah kitab Al-Minhaj.” Kemudian be­liau membaca kepadanya pembukaan kitab Al-Minhaj. Setelah itu sang guru menyuruhnya untuk membaca kitab `Umdah As-Salik.

Di antara gurunya juga seorang syaikh yang mencintai ahlul bayt, Syaikh Muhammad bin Umar Ba Khubairah. Gurunya ini sangat mencintainya. Ke­padanya Syaikh Muhammad membaca kitab Bidayah Al-Hidayah, karya Al-Imam Al-Ghazali, dan mendapatkan ijazah darinya.

Gurunya yang lain adalah seorang yang sangat tawadhu‘, Habib Abdurrah­man bin Ahmad Al-Kaf. Syaikh Muham­mad sangat sering menyertainya, ter­utama di masa Krisis Teluk. Kepadanya ia membaca kitab Dhau’ Al-Mishbah Syarh Zaitunah Al-Ilqah. Juga membaca sebagian dari kitab Al-Minhaj. Lalu kitab Sullam At-Taysir, sebelum kitab itu di­terbitkan.

Syaikh Muhammad juga berguru ke­pada Al-Allamah Al-Habib Abu Bakar Attas bin Abdullah Al-Habsyi. Ia mem­baca ki­tab Riyadhush-Shalihin dan men­dapat­kan ijazah darinya. Ia pun belajar kepada Ha­bib Ahmad bin Alwi Al-Habsyi dan mem­­baca kitab fiqih dan nahwu kepada­nya.

Masih banyak lagi gurunya yang lain, baik dari kalangan habaib maupun yang lainnya.

Sebagaimana ia menuntut ilmu sejak kecil dengan penuh semangat dan ke­sungguhan, demikian pula halnya dalam mengajar. Sebelum mencapai usia dua puluh tahun, ia telah mengajar di masjid-masjid mengenai ilmu tajwid, hadits, fiqih, faraidh, nahwu, dan ilmu kalam. Dan ini terus berlangsung hingga seka­rang, atas perintah para gurunya. Ratus­an orang telah belajar kepadanya me­ngenai Al-Qur’an dan ilmu-ilmu syari’at. Sebagian di antara mereka telah hafal Al-Qur’an. Se­bagian lagi ada yang ke­mudian meng­khususkan diri dalam men­dalami ilmu-ilmu syari’at dan ilmu-ilmu lainnya.


Syaikh Muhammad juga telah meng­a­jar di Madrasah Al-Falah dan madra­sah-madrasah lainnya selama kurang le­bih dua puluh tahun. Atas perintah guru-gurunya, ia juga berdakwah dan menye­barkan ilmu di berbagai tempat di Yaman umumnya dan Hadhramaut khususnya. Dan sebagaimana para ulama yang lain dan salafush shalih, ia pun menghadapi kesulitan-kesulitan, gangguan-ganguan, dan rintangan-rintangan selama belajar dan mengajar. Ia pun telah menanggung beban-beban yang berat sepeninggal ayahandanya. Namun semuanya tidak menjadi halangan baginya untuk menun­tut ilmu dan menyebarkannya.
Sebagai pribadi, Syaikh Muhammad adalah seorang yang sangat tawadhu’. Ia tak memandang dirinya memiliki ke­dudukan atau tempat tersendiri meski­pun para gurunya banyak memujinya dan bahkan iri (dalam arti yang positif) ke­padanya.

Sifat lain dari dirinya adalah sangat cinta dan menghormati ahlul bayt, baik yang besar maupun yang kecil. Ia juga se­orang yang selalu berwajah ceria, ber­gaul dengan orang lain dengan sangat baik, dan berpenampilan rapi.

Sebagai pendidik, ia mendidik para muridnya dengan ucapan dan tindakan di masa ketika pendidikan dalam arti sesungguhnya telah langka.

Ia pun selalu menjaga dan menyam­bung hubungan dengan kaum kerabat dan para ulama, dan senantiasa mengi­kuti perkembangan mereka dan mem­bantu mereka. Kebiasaan lain dirinya ada­lah selalu mendoakan para ulama dan penuntut ilmu di setiap tempat.

Dalam hal keilmuan, ia seorang yang banyak melakukan muthala‘ah, dan sa­ngat menekuni ilmu fiqih serta bahasa dan sastra Arab.

Perhatiannya besar terhadap kondi­si-kondisi yang dihadapi umat. Ia pun se­lalu menyerukan orang agar senantiasa ber­pegang pada Ahlussunnah wal Jama’ah.

Sebagaimana para ulama lainnya, ia pun sangat menyayangkan keengganan anak-anak muda untuk menuntut ilmu, khususnya ilmu fiqih.

Sampai sekarang ia tetap mengajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu syari’at. Pintu ru­mahnya senantiasa terbuka bagi mereka yang ingin menuntut ilmu dan meng­inginkan mengambil bagian dari warisan nabi mereka.

Di samping mengajar, Syaikh Mu­ham­mad juga seorang yang banyak meng­hasilkan karya. Lewat tangannya telah lahir beberapa kitab penting. Di antaranya Ad-Durrah Al-Yatimah, yang merupakan syarah kitab As-Subhah Ats-Tsaminah, nazham Safinatun Najah, yang disusun oleh Habib Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad. Itu atas saran Ha­bib Ahmad sendiri agar ia menyusun sya­rah kitab tersebut yang sedang, tidak terlalu tipis dan tidak pula terlalu tebal. Habib Ahmad juga menyarankannya me­­nyusun bahasan tentang haji untuk me­nyempurnakan Matn Safinatun Najah. Saran ini pun ia laksana­kan. Kitab ini te­lah dicetak dan mendapat sambutan yang sangat baik dari para guru dan para pelajar.

Syaikh Muhammad juga menyusun kitab Ghayah Al-Muna Syarh Safinah An-Naja. Kitab ini telah dicetak dan me­miliki banyak keistimewaan, di antaranya bahasanya yang mudah dicerna.

Karya lain yang disusunnya di an­taranya Zadul-Labib Syarh Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, sebuah syarah yang luas yang menghimpunkan banyak persoalan dalam semua bab fiqih yang ada. Ia pun mensyarah kitab tauhid de­ngan judul Mujaz Al-Kalam Syarh Aqidatul-Awam. Kitab ini telah dicetak dan telah dirasakan manfaatkan di ber­bagai negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar