Pakar Tafsir yang Tawadhu’
Dia dikenal sebagai pakar ilmu tafsir di Semarang. Namun dia
juga membina anak-anak, ibu-ibu, dan bapak-bapak membaca Al-Quran dari dasar.
Di kalangan habaib dan muhibbin di Semarang, nama Habib
Ghazi bin Ahmad bin Mustafa bin Husin bin Syahab dikenal sebagai ahli tafsir
Al-Quran, dan dia mengajarkan salah satu cabang ilmu Al-Quran ini dalam
berbagai majelis ilmu. Ya, habib yang pernah belajar tafsir kepada Syaikh Abdul
Hamid Kisyk (ulama besar di Kairo, Mesir) ini memang sangat gemar dengan kajian
ilmu tafsir.
Di berbagai majelis, Habib Ghazi memang mengajarkan berbagai
ilmu. Namun yang paling dia sukai adalah mengajar tafsir Al-Quran dengan
pedoman tafsir Syaikh Abdul Hamid Kisyk. Ketika mengajar di Majelis An-Nur
Jalan Petek 55 Semarang, dia mempergunakan kitab tafsir sang guru yang berjudul
Rihabut Tafsir (Memperluas Pencerahan Ilmu Tafsir).
Sudah tiga tahun mengajar tafsir, sampai sekarang baru
sampai surah Al-Baqarah ayat 173. Ini menunjukkan betapa dia sangat
berhati-hati dalam menafsirkan Al-Quran.
Mengapa menggunakan kitab Syaikh Abdul Kadir Kisyk? “Meski
secara fisik beliau itu buta, pengetahuannya dan hafalannya sangat luar biasa,”
katanya.
Tafsir karya Syaikh Abdul Hamid Kisyk berbentuk tahlili,
yaitu kata per kata. Tafsirnya mirip Tafsir Al-Maraghi, tetapi lebih modern.
“Sebagai contoh, belum ada pembahasan tentang bayi tabung, tetapi Syaikh Abdul
Hamid Kisyk telah membahasnya dengan tuntas. Intinya membolehkan, selama sesuai
dengan syari’at Islam, yaitu benih berasal dari suaminya yang sah,” tuturnya.
Aqidah dalam kitab ini sangat kuat dan berdasarkan pendapat
salafush shalih. Dalam hadits pun dia sangat kuat dan mendetail.
Di Mesir, para ulama agak segan menerangkan ihwal Bani
Israil secara benar sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Quran, karena pemerintah
Mesir melarang para dai atau syaikh menjelek-jelekkan bangsa Israel.
“Bani Israil orang yang telah mencampakkan syari’at dari
Allah itu ke belakang, bukan ke arah muka. Kalau dibuang ke belakang jelas
tidak akan dipungut lagi, tetapi kalau dibuang ke muka masih ada kemungkinan
akan dipungut lagi, sebab masih akan dilalui,” kata Habib Ghazi tentang Bani
Israil sesuai dengan tafsir Al-Quran yang diajarkan oleh gurunya.
Yang menarik, sebelum dimulai atau sesudah selesai pelajaran
tafsir ini, Syaikh Kisyk membacakan shalawat yang indah. “Jadi ajaran beliau
tidaklah berbeda dengan para sadah Alawiyin, seperti tahlil, tawassul, dan
barakah,” katanya.
Keteladanan Eropa
Habib Ghazi lahir di Kelurahan Tuan-tuan, Kabupaten
Ketapang, Kalimantan Barat, pada 15
Maret 1963. Anak kelima pasangan Sayyid Ahmad bin Mustafa bin Syihab dan
Syarifah Aminah binti Muhammad Husnan Alaydrus ini memulai pelajaran agamanya
di Madrasah Al-Falah di dekat rumahnya pada sore hari, sedang pada pagi hari
masuk sekolah dasar.
“Khususnya dari Ustadz Alwi bin Thayib bin Abdurrahman
Alaydrus, saya mendapatkan pelajaran membaca dan menulis Arab pegon (Arab
Melayu). Ustadz Alwi adalah murid Habib Husin bin Abdurrahman bin Syihab yang
merantau dari Jakarta ke Pontianak pada tahun 1960,” ujarnya.
Selapas pendidikan dasar, dia melanjutkan ke Pondok
Pesantren Darussalam Gotor, Ponorogo, Jawa Timur. Masuk 1976 dan lulus tahun
1982. Di Gontor, dia sempat diajar oleh K.H. Zarkasyi, salah seorang Trimurti
di pondok modern ini. Kemudian masih mondok lagi di Pondok Dalwa, pimpinan
Habib Hasan Baharun Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, sembilan bulan, dan pindah ke
LPPIA di Jalan Cikini. Di sana dia belajar selama enam bulan.
Pada awal 1984, dia mendapat beasiswa dari pemerintah Mesir
untuk belajar ke Universitas Al-Azhar pada jurusan dakwah. Di sana dia belajar
selama tiga tahun, tapi tidak sempat mendapatkan gelar karena terbentur masalah
keuangan. Kemudian dia ke Saudi hingga 1987.
Habib Ghazi mengikuti kuliah reguler hanya tiga tahun. Sebab
waktunya sering tersita untuk bekerja di Arab Saudi, khususnya ketika musim
haji datang. “Kerja di Saudi selama empat bulan gajinya bisa digunakan untuk
hidup di Mesir selama setahun,” katanya.
Karena putus kuliah, seorang seniornya di Al-Azhar, yaitu
Habib Alwi bun Husin Syahab, M.A., asal Palembang, membawanya bekerja di Saudi
dan mengajakanya tabarukan dengan mengikuti ta’lim Habib Abdul Kadir bin Ahmad
Assegaf di Jeddah. Selain tabarukan di majelis Habib Abdul Qadir, dia juga
tabarukan di Majelis Sayyid Muhammad Al-Maliki di Makkah.
Pengalaman waktu ta’lim di Saudi, ada teman-temannya
berjumlah tiga orang. Salah satu teman ini, begitu sampai di tempat Habib Abdul
Kadir, langsung disuruh pulang.
Tentu saja teman ini bingung, padahal dari rumah sudah
necis.
Seorang teman lain menasihatinya, “Karena kamu disuruh
pulang, ya pulang saja, jangan banyak tanya-tanya lagi.”
Esoknya dia datang lagi, tetapi kali itu sambutannya lain.
Habib Abdul Kadir menyambutnya dengan hangat, bahkan memberikan amplop berisi
uang, yang juga berasal dari hadirin lainnya, kepada tiga mahasiswa itu. Habib
Abdul Kadir tahu, mereka banyak keperluannya, seperti untuk membeli buku, sewa
rumah, transportasi.
Pada tahun 1988, Habib Ghazi kembali ke Mesir untuk
mengikuti halaqah di beberapa masjid oleh syaikh Al-Azhar, seperti Syaikh Dr.
Abdul Halim Mahmud, Syaikh Muhammad Muttawali Sya’rawi, Syaik Abdul Hamid Kisyk.
Asy-Syaikh Dr. Abdul Halim Mahmud banyak mengarang buku
agama. Ketika mengajar di Sorbone, Prancis, dia sangat terkesan tinggal di
negeri tersebut, dan kesannya itu ditulis dalam sebuah bukunya.
“Saya sangat terkesan di Eropa dengan ajaran Islam yang diterapkan
di sana. Tetapi sayang ketika saya berkunjung ke negara muslim, yang ada hanya
iman.
Di Eropa, kita tidak mendapatkan iman, tetapi ajaran seperti
kebersihan, memegang amanah, dan lainnya, diterapkan. Semoga kita di negara
muslim ini, selain beriman kepada Allah, juga menerapkan ajaran Islam dengan
konsekuen.”
Jawa Ngoko di Belanda
Dia juga pernah dakwah di kota Den Haag, negeri Belanda,
selama setahun, 1989-1990, yang menampung adalah orang-orang Islam Suriname.
“Dulu mereka disuruh memilih kewarganegaraan, Suriname atau
Belanda. Ada beberapa orang Suriname asal Jawa yang memilih kewarganegaraan
Belanda dan kini tinggal di Den Haag. Mereka mendirikan Hobema Islamische
Centruum (Pusat Dakwah Islam di Jalan Hobema), mengajar ngaji, shalat, dan di
situ saya menjadi gurunya.
Kebetulan saya pernah di Gontor enam tahun dan di Bangil
satu tahun, jadi bisa bahasa Jawa, meski ngoko. Namun ternyata justru nyambung,
karena orang Suriname bahasa Jawanya juga ngoko.”
Pelajaran yang bisa dipetik dari negeri Belanda, antara
lain, disiplin dalam setiap waktu serta menjaga kebersihan.
Keperluan makanan halal di Belanda juga tidak terlalu sulit.
Bahkan di negeri Kincir Angin ini daging sembelihan dari rumah potong yang
diselenggarakan dengan cara Islami oleh orang Islam keturunan Pakistan dan
Maroko justru digemari masyarakat Belanda.
“Alasan mereka, daging potong orang Islam ini dagingnya
lezat dan gampang dipotong. Sedang daging hewan yang tidak dipotong dengan cara
Islam, dagingnya tidak lezat dan dagingnya alot,” katanya. Lebih lezat, karena
peredaran darahnya lebih lepas. Dan tidak alot, karena penyembelihannya
dilakukan dengan tanpa penyiksaan, sesuai akhlaq Islami.
Sebelum pulang ke Indonesia, dia masih mampir dulu ke Mesir
dan Arab Saudi. Dia baru pulang ke Indonesia tahun 1993, langsung ke Semarang.
Namun karena sangat rindu kampung halaman, selama dua tahun
Habib Ghazi pulang ke Ketapang. Di sana dia tetap berdakwah, bahkan sampai
masuk ke pedalaman.
Pada tahun 1995 dia pergi lagi ke Semarang, dan mendapatkan
jodoh orang Semarang, Syarifah Soraya binti Usman Al-Gadri, yang asli Pontianak
tetapi sudah lama bermukim di Semarang.
“Pada tahun 1995, saya belajar kitab Ihya’ulumuddin kepada
Habib Abdurrahman bin Zein Al-Jufri hingga meninggalnya tahun 1997. Karena
cinta saya pada kota Semarang inilah, saya ingin berdakwah hingga akhir hayat
di sini,” tuturnya.
Guru lainnya adalah Habib Ahmad bin Idrus Al-Mutahar, yang
mengajar hadits qudsi dan sejarah Islam, dan Habib Ahmad bin Muhammad Al-Bahr,
yang mengajar kajian tasawuf. Ketiga gurunya di Semarang itu telah meninggal
semua.
Jadwal Majelis
Selama seminggu penuh, waktu Habib Ghazi dihabiskan untuk
mengajar dan memberikan taushiyah di berbagai majelis ta’lim. Sekarang Habib
Ghazi tinggal di Kelurahan Wologito Barat Tengah IX No. 153 Semarang.
Di tempat tinggalnya belum banyak yang bisa membaca Al-Quran
dengan baik, apalagi melaksanakan shalat dengan teratur. Karena itulah, di
rumahnya, dia dan istrinya membina bapak-bapak, ibu-ibu, serta anak-anak untuk
belajar membaca Al-Quran serta dasar-dasar Islam.
“Untuk mengaji kitab yang tipis pun, jelas belum nyambung,
karena betul-betul harus diajarkan Islam dari dasarnya,” katanya menutup
perbincangan dengan alKisah.
Nah, bagi Anda yang ingin belajar tafsir secara mendalam,
silakan belajar kepada Habib Ghazi bin Ahmad Syahab. Bayangkan, sudah tiga
tahun mengajar tafsir, sampai sekarang baru sampai surah Al-Baqarah ayat 173.
Ini, sebagaimana telah disebut di muka, menunjukkan betapa dia sangat berhati-hati
dalam menafsirkan Al-Quran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar