Rabu, 04 Desember 2013

K.H. AMIN SEPUH (Babakan Ciwaringin Cirebon)

Diceritakan disebuah majelis, almarhum KH. Abdul Mujib Ridlwan, Putra KH. Ridlwan Abdullah Pencipta lambang NU, mengajukan sebuah pertanyaan, “Kenapa Perlawanan Rakyat Surabaya itu terjadi 10 November 1945, kenapa tidak sehari atau dua hari sebelumnya padahal pada saat itu tentara dan rakyat sudah siap?”

Melihat tak satupun diantara yang hadir dalam majelis itu dapat menjawab, pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Kiai Mujib, “Jawabannya adalah saat itu belum diizinkan Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari untuk memulai pertempuran, Mengapa tidak diizinkan? ternyata Kiai Hasyim Asy’ari menunggu kekasih Allah dari Cirebon yang akan datang menjaga Langit Surabaya, Beliau Adalah KH. ABBAS ABDUL JAMIL dari pesantren buntet Cirebon dan KH AMIN SEPUH dari Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.

KH Amin Sepuh adalah seorang ulama legendaris dari Cirebon, selain dikenal sebagai ulama, beliau juga pendekar yang menguasai berbagai ilmu bela diri dan kanuragan, Beliau juga seorang pakar kitab Kuning sekaligus jagoan perang.

Kiyai Amin bin Irsyad, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kiyai Amin Sepuh, lahir pada Hari jum’at 24 Djulhijjah 1300 H, bertepatan dengan tahun 1879 M, di Mijahan Plumbon, Cirebon, Jawa Barat. Beliau adalah AHLUL BAIT, dari silsilah Syech Syarif Hidayatullah. (Baca Siilsilah Bani Amin, KH. Mudakkir)

Kiyai Amin kecil yang belajar kepada ayahnya kiyai Irsyad(wafat di Mekkah) adalah contoh santri kelana tolen, yang berkelana ke berbagai tempat untuk menuntut ilmu dari para ulama yang mumpuni. Setelah dirasa cukup menguasai dasar-dasar ilmu agama dari sang ayah, dan ilmu kanuragan tentunya, beliau dipindahkan kepesantren Sukasari, Plered, Cirebon dibawah asuhan Kiyai Nasuha, setelah itu pindah kesebuah pesantren di daerah Jatisari di bawah bimbingan Kiyai Hasan.

Beliau juga sempat mesantren di Pesantren Kaliwungu Kendal (kakak angkatan KH.Ru’yat), lalu ke Pesantren Mangkang Semarang.

Berikutnya Beliau pindah kesebuah pesantren Jawa Tengah Tepatnya daerah Tegal, yang diasuh oleh Kiyai Ubaidah. Lalu pindah lagi kepesantren yang waktu itu sangat kondang di Jawa Timur, yakni Pesantren Bangkalan Madura, belajar pada Hadratusy Syeh KH. CHOLIL, beliau dibawah asuhan Kiyai Hasyim Asy’ari, pendiri NU (waktu itu KH. Hasyim Asy’ari masih Tahassus/Ustadz pada KH Cholil). Yang kemudian diteruskan di Pesantren Tebuireng Jombang, Beliau takhassus/mengabdi pada KH. Hasyim Asy’ari, karena sama-sama alumni KH. Cholil Bangkalan.

Belum kenyang belajar di Pesantren Tebuireng, Beliau bertolak ke tanah Arab, untuk memperdalam ilmu, dinegeri ini beliau sempat belajar kepada Kiyai Mahfudzh Termas Asal Pacitan, Jawa Timur, Salah seorang ulama nusantara Kesohor di Kota Makkah.

Sebagai santri yang sudah cukup matang, diwaktu senggang beliau banyak ditugasi untuk mengajar para santri Mukim (pelajar Indonesia yang tinggal di Makkah).

Pada Masa penjajahan, para santri Kelana inilah yang menjadi mediator antar pesanteren untuk melawan penjajah. Sementara pesantren dimanapun adanya selalu menjadi basis perlawanan yang menakutkan bagi penjajah, para santri kelana ini menyebarkan informasi dari satu tempat ketempat yang lain dari satu pesantren kepesantren yang lain. tak jarang mereka juga yang memimpin perlawanan.

Berdasar amanah ayahandanya, Kiyai Irsyad, (yang masih cucu dari Ki Jatira / pendiri Pesarean Babakan Ciwaringin Cirebon, dari pihak ibu), Kiyai Amin agar belajar di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin pada Kiyai Ismail bin Nawawi yang juga masih keturunan Kiai Jatira (pendiri Pesarean Babakan Ciwaringin Cirebon). Berarti Kiai Amin Sepuh dan Kiai Jatira sama-sama dari Mijahan, Plumbon, Cirebon dan masih berhubungan cicit.

Ketika mesantren di Babakan ciwaringin Beliau dikenal dengan sebutan Santri Pinter, karena beliau pandai mengaji.Beliau kemudian takhassus /Pengabdian di pesantren ini lalu dinikahkan dengan keponakan dari Kiyai Ismail.

Setelah Kiyai Ismail wafat, tepatnya tahun 1916, pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin diteruskan oleh muridnya yang menjadi menantu keponakannya yakni Kiyai Muhammad Amin bin Irsyad, yang lebih dikenal Kiyai Amin Sepuh karena keilmuannya dan berasal dari tempat yang sama dengan leluhur dan moyangnya, Kiyai Jatira, dari Mijahan.

Bermodal ilmu pengetahuan yang telah ia peroleh serta upaya mengikuti perkembangan islam yang terjadi di timur tengah pada umumnya mulailah Kiyai AMIN SEPUH memegang tampuk pimpinan Pesantren Babakan Ciwaringin, peninggalan nenek moyangnya itu, dengan penuh kesungguhan.

Kiyai Muda Energik ini, selain mengajarkan berbagai Khazanah kitab kuning juga memperkaya pengetahuan para santrinya dengan ilmu keislaman modrn yang mulai berkembang saat itu. Meski demikian, Seperti halnya pada kebanyakan pesantren, ilmu fiqih tetap menjadi kajian yang sangat diprioritaskan, sebab ilmu ini menyangkut tata kehidupan sehari-hari masyarakat dan individu, dengan sikafnya itu Kiai Amin semakin dikenal diseluruh Jawa sebagai seorang ulama yang sangat alim dan berpemikiran Progresif.

Pasca Revolusi Kemerdekaan beliau terus mengembangkan Pesantren dengan berbagai aral melintang. Bahkan yang dahsyat adalah ketika Agresi Belanda II, tepatnya tahun 1952 Pondok Pesantren diserang Belanda. Dikarenakan KH. Amin Sepuh sebagai sesepuh cirebon merupakan pejuang yang menentang penjajah. Pondok dibakar dan dikepung. Para santri pergi dan para Pengasuh beserta keluarga mengungsi.

Dua tahun kemudian, tahun 1954, Kiyai Sanusi yang masih salah satu murid KH. Amin Sepuh adalah orang yang pertama kali datang dari pengungsiannya. Sisa-sisa kitab suci berantakan, termasuk kitab-kitab karya KH. Amin Sepuh, habis dibakar, bangunan hancur dan nampak angker. Semua itu secara bertahap dibereskan lagi.

Tahun 1955 KH. Amin Sepuh kembali ke Babakan, kemudian para santri banyak berdatangan dari berbagai pelosok. KH. Amin sepuh yang menjadi pengasuh Pondok Gede kembali memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada para santrinya. Santri Beliau yang makin lama makin meluap. Pondok Raudhotut Tolhibin tidak dapat menampung para santri. Hingga santrinya dititipkan dirumah-rumah ustadznya seperti KH. Hanan, dirumah KH. Sanusi, dsb. hingga kelak anak cucunya membentuk dan mengembangkan pesantren-pesantren seperti sekarang ini. Sehingga Pondok yang awalnya hanya satu (Ponpes Raudlotut Tholibin) sekarang menjadi banyak. Alhamdulillah, tahun 2012 terdapat sekitar 40 Pondok di lingkungan Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.

Pada masa pengasuhan KH. Amin Sepuh, Pondok Gede Babakan mencapai kemasyhuran dan masa keemasan serta banyak andil dalam mencetak tokoh-tokoh agama yang handal, hampir semua Kiyai sepuh di wil 3 Cirebon bahkan menyebar ke pelosok Indonesia adalah muridnya, sebut saja Kang Ayip Muh (kota Cirebon), KH. Syakur Yassin, KH. Abdullah Abbas (Buntet), KH Syukron Makmun, KH. Hannan, KH Sanusi, KH.Machsuni (Kwitang), KH Hassanudin (Makassar), di Babakan sendiri muridnya mendirikan pesantren seperti : KH. Muhtar, KH Syaerozi, KH. Amin Halim, KH. Muhlas, KH Syarif Hud Yahya..dll.

Bahkan ribuan Mutakharrijin/alumni telah tersebar diseluruh penjuru tanah air, dengan bermacam profesi dan jabatan di masyarakat maupun lembaga pemerintahan, baik sipil maupun militer, dari mulai Kepala Kantor Kementrian Agama Kota/Kabupaten sampai Kepala Kantor wilayah Kemenag Propinsi, dari Dekan, Direktur Pasca Srjana sampai rektor Perguruan Tinggi, dari Kapolres sampai Kapolda, dari Camat sampai Gubernur dan ribuan pula yang telah menjadi pemimpin dimasyarakat dan Pengasuh Pondok Pesantren (Mama Tua, Karya Muhammad Mudzakkir)

Untuk artefak pesantren Babakan Ciwaringin (Raudhotut Tholibin) sendiri masih eksis, sejak KH. Amien Sepuh wafat pada tahun pada tahun 1972 dan KH. Sanusi wafat pada tahun M.1974 M, dan kepengurusan dilanjutkan oleh KH. Fathoni Amin sampai tahun 1986 M.

Setelah wafatnya KH. Fathoni Amin kepengurusan pesantren dilanjutkan oleh KH. Bisri Amin ( wafat tahun 2000 M.) beserta KH. Fuad Amin ( wafat tahun 1997 M.) dan KH. Abdullah Amin ( wafat tahun 1999 M.) serta KH. Amrin Hanan ( wafat tahun 2004 M.) dan KH. Azhari Amin (wafat tahun 2008 ) KH. Drs. Zuhri Afif Amin wafat pada tahun 2010. setelah wafatnya KH. Drs Zuhri Afif Amin, kepengurusan dilanjukan oleh cucu-cucu KH. Amin Sepuh dan Ulama serta masyarakat yang berkompeten untuk kemajuan pesantren. Bahkan bukan pendidikan agama saja yang mereka terapkan, pendidikan umumpun mereka terapkan terhadap para santrinya. Dengan harapan, para santrinya dapat memenuhi semua kewajibannya, baik kewajiban dunia maupun akhirat, serta menyelaraskannya beriringan dan seimbang.

Sesungguhnya..

KH AMIN SEPUH adalah artefak abadi..

Beliau Wafat pada Selasa 16.10, tanggal 16 Rabi’ul Akhir 1392 H atau 20 Mei 1972 M, diusia yang hampir seabad. karyanya Abadi…

Sumber:

1. Silsilah Bani Amin, KH. Mudzakkir, 2008

2.  30 Kisah Teladan, KH. Abdurrahman Arroisy.

3. Majalah Pengabdian Ummah, Jogyakarta.

4. Putra-putri KH. AMIN SEPUH.

5. Alumni Babakan.

semoga bermanfaat dan menambah nambah rasa kecintaan kita kepada Para Ulama


Ju Panggola, Pejuang dan Wali Gorontalo

Ia dikenal sebagai pelindung rakyat, ulama dan Waliyullah. Makamnya yang selalu penuh oleh para peziarah, harum semerbak setiap hari.
Kaum muslimin di Gorontalo, Sulawesi, niscaya tidak ada yang tidak kenal nama Ju Panggola. Ia adalah seorang Ulama, Pejuang dan Waliyullah yang masyhur di abad ke 16. Pendek kata Ju Panggola adalah tokoh kharismatik yang makamnya dikeramatkan, dan sampai sekarang selalu diziarahi banyak orang. Sebagai penghormatan, makam Ju Panggola dibangun di balik mihrab Masjid Quba – sebuah masjid mungil, di puncak sebuah bukit dengan panorama yang indah di sekitarnya.

Menurut Farha Daulima, Ketua Badan Pengelola Lembaga Pariwisata Banthayo Pobo’ide, Ju Panggola sesungguhnya adalah gelar, yang artinya ”tokoh yang dituakan”. Orang Gorontalo di zaman dulu selalu mengenal Ju Panggola sebagai kakek tua yang berjubah putih yang panjangnya sampai ke lutut. Ia juga dikenal sebagai Ilato. Alias “Kilat”, karena perjuangan melawan penjajah Belanda ia mampu menghilang, dan kembali muncul jika negeri dalam keadaan gawat. Karena jasa-jasanya, Ju Panggola mendapat gelar adat “Ta Lo’o Baya Lipu” atau orang yang berjasa kepada rakyat”, sebagai lambang kehormatan dan keluhuran negeri.

Ju Panggola juga dikenal sebagai penyebar agama Islam. Berkat penguasaan ilmu agama yang tinggi, ia tidak saja dikenal sebagai Ulama, tapi juga sebagai Waliyullah. Dan sebagai pejuang, ia juga dikenal sebagai pendekar yang piawai dalam ilmu persilatan yang di Gorontalo disebut Langga. Berkat kesaktiannya, ia tidak perlu melatih murid-muridnya secara fisik, melainkan cukup dengan meneteskan air kepada kedua bola mata sang murid, dan setelah itu, kontan sang murid mendapatkan jurus-jurus silat yang mengagumkan.

Tapi ada versi legenda lain yang menyebutkan bahwa Ilato adalah “Raja”. Namun tidak ada yang dapat memastikan, apakah Ilato Ju Panggola adalah juga Raja Ilato putra Raja Amai yang bergelar “Matoladula Kiki” yang memerintah kerajaan Gorontalo pada 1550 – 1585, dan menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan. Yang pasti, pada sebuah batu prasasti di bukit yang juga merupakan fondasi masjid  Quba, tertera tulisan: Masjid Quba, tempat makam Ta’awuliya Raja Ilato Ju Panggola, Ta Lo’o Baya Lipu, 1673 M, wafat Ahad 1 Muharam 1084 H.

Seperti halnya banyak legenda, sebuah versi mengatakan, Ju Panggola wafat di Mekah. Tapi versi lain menyebutkan, ia tidak wafat, melainkan raib, menghilang secara gaib. Lantas bagaimana dengan makam di balik mihrab masjid Quba yang di yakini sebagai makam Ju panggola? Menurut Farha Daulima, makam tersebut dibangun oleh warga setempat hanya berkat adanya keajaiban di tanah tempat makam itu kini berada.

Tanah yang berwarna putih itu baunya sangat harum. Menurut penuturan orang-orang tua dulu, Ju Panggola pernah berwasiat, “Dimana ada bau harum dan tanahnya berwarna putih di situlah aku,” di sana pula dulu Ju Panggola tinggal sekaligus berkhalwat. Itulah sebabnya warga setempat menganggap, disana pula Ju Panggola “beristirahat panjang.”

Makam Ju Panggola terdapat dalam sebuah bilik berukuran 3 x 3 M, lantainya dari keramik warna putih, sewarna dengan kain kelambu penutup tembok dinding yang menjuntai menyentuh lantai. Sebuah kipas angin menempel di plafon makam.

Menurut Munain Ismail, si penjaga makam, tanah makam berwarna putih dan harum itu sering diambil oleh para peziarah, karena mereka percaya, sejumput tanah makam itu dapat menjadi obat. Bahkan ada saja gadis-gadis yang membawa pulang segumpal tanah tersebut untuk digunakan sebagai bedak lulur, bahkan diyakini dapat mempercantik diri dan dapat mempermudah mendapat jodoh.

Seorang gadis remaja tampak sedang mengais dan menagmbil tiga genggam tanah makam Ju Panggola itu sambil membaca shalawat, “Mudah-mudahan ada manfaatnya,” ujar sang gadis, Sri Susanti Laumewa, tersenyum. Anehnya walau sering diambil oleh para peziarah, tanah makam tersebut tidak berlubang atau berkurang.

Jika musim paceklik tiba, banyak orang berziarah kesana. Di makam Ju Panggola yang dikeramatkan itu mereka berkhalwat selama tujuh hari sambil berpuasa, membaca shalawat dan berdoa dengan khusuk. Ada pula sebagian peziarah yang melakukan ritus khusus dengan meletakkan sebotol air putih di makam sang Waliyullah selama tiga hari tiga malam. Mereka berharap air itu menjadi obat untuk segala macam penyakit. Wallahu’ A’lam.

http://www.sufiz.com/jejak-wali/ju-panggola-pejuang-dan-wali-gorontalo.html

Jalaluddin Rumi, Menggapai Cinta Ilahi dengan Menari

Ia sufi besar, Penyair besar, dan Fuqaha yang Handal. Ia mendirikan tarekat Darwisy Berputar yang terkenal dengan tarian ritualnya.


Puisi karya Jalaluddin Rumi dikenal luas, dan menjadi sumber rujukan bagi setiap kajian mengenai dunia sufi selama beberapa abad terakhir. lahir pada 30 September 1207 M di Balkh (kini Afganistan) dari keluarga Bangsawan. Ayahnya Baha’ Walad, adalah seorang Fuqaha (ahli Fiqih) yang juga sufi dan mengajar syariat di masjid dan tempat umum lainnya.

Meski Baha’ menikah dengan wanita Bangsawan, ia menentang kibijakan Sultan Kharazmashan ketika itu. Mula-mula Sultan selalu menghadiri pengajian Baha’, tetapi karena pembelotan Baha’ dan cemburu, gara-gara Baha’ kian populer di mata rakyat. Sultan tidak lagi hadir . belakangan Sultan mencurigai ajaran Baha’ dan akhirnya Baha’ dianggap sebagai musuh.

Ketika Rumi berusia 12 tahun, pada tahun 1219 M, bangsa Mongol menguasai Balkh, sehingga Baha’ sekeluarga hijrah sekaligus menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan tidak pernah kembali ke Balkh. Dalam perjalanannya, Baha’ mampir ke Nishapur dan bertemu dengan ulama dan penyair sufi, Fariduddin Athar. Melihat Rumi kecil Athar berkomentar, “Anakmu tidak lama lagi akan menjadi api yang membakar para pecinta Allah diseluruh dunia.” Athar menghadiahi Rumi sebuah kitab karyanya, Asrarnama (kitab rahasia), yang berisi prinsip-prinsip sufisme melalui kisah dan Fabel, yang kelak sangat mempengaruhi karya-karya Rumi.

Usai menunaikan ibadah haji, Baha’ singgah di kota kecil Larnada di Konya, Turki. Raja Konya, yang sangat menghargai ilmu pengeatahuan dan filsafat serta mendukung kegiatan kaum terpelajar, menulis surat kepada Baha’ , isinya, tawaran bagi keluarga Baha’ untuk tinggal sekaligus mengajar di perguruan tinggi Konya. Baha’ menerima taearan tersebut.

Berkat keahliannya dalam ilmu agama dan kedekatannya dengan penguasa, Baha’ menjadi orang terhormat dan mendapat gelar “Sulthan al-Ulama”. Sementara itu Rumi yang mulai menginjak usia remaja terus belajar berbagai ilmu: Tata Bahasa dan Sastra Arab, sejarah, logika, matematika, Astronomi, Filsafat dan Tasawuf.

Baha’ Walad wafat pada tahun 1231 M, ketika Rumi sudah menguasai berbagai ilmu. Ketika berusia 24 tahun, Rumi sudah menggantikan tugas-tugas almarhum ayahnya sebagai Muballigh dan Fuqaha. Namanya pun segera masuk ke dalam daftar para Fuqaha yang menjadi rujukan para ulama mazhab Hanafi.

Sultan  Al-Faqir

Perkenalan Rumi dengan Tasawuf berkat bimbingan ayahandanya. Belakangan salah seorang murid kesayangan ayahnya, Burhanuddin Tirmizi, datang ke Konya untuk mengunjungi gurunya, tetapi Baha’ sudah wafat. Akhirnya, Tirmizi mengajarkan Tasawuf kepada Rumi hingga ia meninggal pada tahun 1240 M.

Tak lama kemudian Rumi menduduki jabatan terhormat di Universitas Konya. Meski diakui juga sebagai guru sufi, kehidupan sehar-harinya tetap seperti biasanya. Kadang-kadang ia membahas materi spritual dalam khotbahnya, namun dalam kehidupan sehari-hari ia tidak pernah menunjukkan kelebihannya dibanding para Fuqaha yang lain. Tetapi ketika Syam Tabrizi yang mendapatkan gelar Sultan al-Faqir datang, semuanya berubah. Ada beberapa versi yang mengisahkan pertemuan antara Rumi dan Tabrizi. Dua kisah berikut paling sering diceritakan.

Pada suatu hari, sesosok kumal mengikuti pelajaran Rumi masuk ke ruang kelas tempat Rumi mengajar di Universitas Konya. Tanpa basa basi, Tabrizi yang kumal itu bertanya, “Siapa yang lebih agung, Bayazid Bistami atau Nabi Muhammad?”

Rumi menjawab, “Nabi Muhammad adalah orang lebih agung.” Lalu kata Tabrizi, “Bukankah Nabi bersabda, “Ya Allah, aku belum mampu memuji-Mu dengan pujian sebagaimana engkau memuji diri-Mu”, Sedangkan Bayazid berkata, “Betapa Agung muaraku, kemuliaan datang kepadaku ketika aku diangkat, akulah yang derajatnya ditinggikan.”

Tabrizi, yang melihat Rumi tidak mampu menjawab pertanyaan itu, kemudian menjelaskan bahwa kehausan Bayazid akan sifat-sifat ketuhanan dipuaskan ketika ia minum seteguk air, sedangkan hausnya Nabi Muhammad SAW tidak akan pernah terpuaskan karena Nabi selalu haus akan air pengetahuan ketuhanan yang lebih banyak. Mendengar itu Rumi menjatuhkan diri di kaki Tabrizi, lalu menangis tak sadarkan diri. Ketika sadar, kepalanya tergeletak di pangkuan Tabrizi yang sedang duduk. Tak lama kemudian, kedua lelaki ini mengasingkan diri bersama-sama selama tiga bulan.

Versi lain, agak berbeda, tetapi punya arti serupa. Suatu hari Rumi sedang duduk di perpustakaan pribadi bersama sekelompok murid yang berkumpul di sekelilingnya mendengar pelajarannya. Tiba-tiba seseorang berpakaian kumal masuk dan duduk. Ia menunjuk buku-buku di sudut ruangan, katanya, “Apa itu?”

Rumi yang mengira orang itu adalah pengemis, menjawab, “Engkau tidak akan mengerti.” Mendadak, muncul api berkobar dari rak buku. “Apa itu?” Rumi berteriak panik. Dengan tenang Tabrizi berkata, “Engkau pun tidak akan mengerti,” lalu ia pergi. Rumi kembali berteriak dan mengejar Tabrizi. Rumi kemudian meninggalakn tugasnya mengajar, dan bertapa bersama Tabrizi.

Tarian Sufi

Tak seorangpun tahu apa yang diajarkan Tabrizi kepada Rumi di pengasingan. Yang kemudian diketahui orang ialah, Rumi yang ketika itu berusia 38 tahun, muncul dengan segala keanehan. Dia tidak lagi memberi ceramah agama dan memimpin doa melainkan membimbing tarian sufi. Rumi yang semula tidak punya latar belakang kepenyairan, mulai menulis puisi yang sangat indah, untuk mengekspresikan cintanya kepada Allah.

Puisi-puisinya sangat menyentuh, ciri khasnya secara jelas menunjukkan, penampakan luar hanyalah selubung yang menutup makna di dalam. Karya utama yang diakui sebagai salah satu buku luar biasa di dunia ialah Matsnawi-I-Ma’nawi (untaian puisi dua baris) yang terdiri dari enam jilid, terdiri dari 25 ribu puisi panjang dan merupakan mutiara ajaran sufi.

Matsnawi-I-Ma’nawi ditulis atas permintaan Husainuddin Khalabi, murid kesayangannya. Rumi mengucapkan puisi dan Khalabi yang menuliskannya. Setelah selesai ditulis selama dua tahun, Khalabi membacakannya kembali  dihadapan Rumi. Beberapa karya Rumi merupakan kumpulan anekdok dan kisah sehari-hari yang berkaitan dengan moral Islam, yang juga merupakan repsentasi spritual yang tenang dalam memaparkan berbagai  dimensi kehidupan dan latihan rohani.

Rumi menulis Diwan-I-Tabrizi, terdiri dari 3.200 Ghazal (bait), meliputi 35 ribu puisi, 44 ribu Ta’rifat (puisi yang terdiri dari dua gahzal atau lebih). Diwan dan Matsnawi merupakan buku wajib bagi murid-murid Rumi. Sebagian besar puisi dalam Diwan menggambarkan pengalaman spritual Rumi. Misalnya, persatuan dan perpisahan dengan Allah, yang dilukiskan melalaui berbagai simbol dan perumpamaan metafisik. Rumi menggambarkan pengalaman pendakian terjal ke langit (pencapaian dan kedekatan dengan Allah) melalui “Mabuk Spritual.”

Karya monumental lainnya ialah kumpulan pelajaran yang disampaikan oleh Rumi kepada murid-muridnya di meja makan. Di tulis dalam bentuk prosa, Fihi ma Fihi. Isinya menjelaskan berbagai dimensi ajaran sufi secara terperinci melalui sejumlah analogi dan perbandingan. Karya prosa lainnya. Majlis-I-Sab’ah (tujuh pertemuan), kumpulan khotbah pendek yang ditujukan kepada masyarakat umum. Kitab lainnya, Mahatib, kumpulah 145 surat untuk para Pangeran dan Bangsawan Konya.

Madonna Dan Demi Moore

Karya-karya Rumi banyak diterjemahkan oleh penulis barat. Dalam Amazon.Com, situs toko buku on-line terbesar, hanya dalam hitungan bulan tak kurang dari ratusan buku puisi Rumi di terbitkan, dan sangat laris. tidak hanya itu, sudah beberapa kali festival baca puisi Rumi di gelar. Tak tanggung-tanggung, bintang-bintang Hollywood seperti Pop Star Madonna, Aktris Demi Moore dan Goldie Hawn, ikut membacakan puisi sufi tersebut.

Yang termasuk laris antara lain The Essential Rumi, kumpulan puisi terjemahan Coleman Barks. Kemudian sebuah buku suntingan pasangan suami-istri Camille Adams Helminski dan Edmund Kabir Helminski yang telah diterjemahkan ke dalasm bahasa Indonesia dengan judul: Rumi, pesona suci dunia Timur.

Beberapa karya Rumi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (melalui bahasa Ingris), antar lain, Dunia Rumi: Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi, karya Annemare Schimmel (pustaka Sufi), Jalan cinta sang sufi, karya William C. Chittick (penerbit Qalam), Firdaus Para Sufi, karya Dr. Javad Nurbaksh, Rajawali Sang Raja, ditulis oleh Jhon Renard (serambi), Menari bersama Rumi, oleh Denise Breton dan Christoper Legent, dan masih banyak lainnya.

Sebagai guru sufi, Jalaluddin Rumi dikenal dengan tarekat yang menjalani ritusnya dengan berputar-putar menari, karena proses pendekatan diri kepada Allah dilakukan dengan menari berputar-putar, di iringi musik, instrumen musiknya bisa berupa Gitar khas sufi, atau bisa juga semacam Drum. Untuk mencapai “Cinta Prima kepada Allah”, mereka terus berputar ratusan kali dalam waktu cukup lama. Mereka ternyata tidak merasa pusing, justru semakin cepat dan lama berputar, mereka akan semakin menemukan “Cinta Alahi”.

Hingga kini ritus kaum tarekat ajaran Rumi dengan berputar menari itu masih diamalkan oleh para pengikutnya, dan berkembang ke Afganistan, Pakistan, Timur Tengah, Afrika, Eropa,bahkan Kuba. Beberapa koreografer tari modern dan teater Kontemporer juga mengemas tarian berputar dalam karya-karya mereka. Namun, nuansanya sudah berbeda.

Inspirator Kebangkitan Spiritual

Ada yang mengenalnya sebagai penyair, ada yang mengenalnya sebagai penari, ada yang mengenalnya sebagai ulama, ada yang mengenalnya sebagai sufi, namun lebih dari semua itu, Jalaluddin Rumi adalah seorang Maestro

Kendati sudah lebih dari 700 tahun setelah meninggalnya, namanya hingga kini masih mampu memberi warna bagi kehidupan masyarakat dunia yang sudah serba canggih ini. Bahkan sejak satu dekade belakangan  ini puisi-puisi Rumi menjadi karya seni yang paling banyak dibaca di Amerika Serikat. Karya Rumi yang dihimpun oleh Coleman Barks dalam buku yang berjudul The Essential Rumi menjadi buku puisi terlaris di Amerika Serikat pada tahun 1997, menurut The Christian Science Monitor.

Dona Karan, perancang mode terkemuka asal New York, menjadikan Rumi sebagai sumber inspirasinya ketika menggelar peragaan busananya musim panas tahun 1998 lalu. Sampai saat ini, karya-karya Rumi telah diterjemahkan ke berbagai bahasi di dunia, termasuk Rusia, Jerman, Prancis, Italia dan Spanyol, bahkan telah dikembangkan secara kreatif dalam berbagai bentuk ekspresi, seperti Konser, pertunjukan tari, berbagai bentuk bacaan dan sebagainya.

Kini ketika berkembang pemahaman yang keliru terhadap dunia Islam, peranan Rumi sebagai simbol pengusung nilai-nilai universal dalam Islam menjadi semakin relevan.

Walaupun kecemerlangannya bag cerita-cerita dongeng, namun sesungghnya terdapat begitu banyak tantangan dan kepahitan hidup yang harus di lalui sebelum Rumi tumbuh menjadi sosok seperti yang di kenal orang sekarang.

Dalam usia 24 tahun Rumi tumbuh tidak saja sebagai intelektual Islam terkemuka, tetapi juga ahli di bidang hukum, sejarah dan sastra. Sesudah ayahnya mwninggal, pada 1231, Rumi menggantikan ayahnya sebagai profesor dalam ilmu-ilmu agama.

Namun, manjadi tokoh intelektual penting, ternyata tidak menjadi titik akhir pencapaian dalam hidup bagi Rumi. Dalam dirinya masih bergolak kegelisahan yang amat dahsyat.

Ketika itulah saat Rumi berusia kira-kira 37 tahun, muncul sang Darwish, Syam dari Tabriz. Syamsuddin At-Tabrizi, yang namanya kira-kira berarti, “Surya keagamaan”, ternyata mampu membawa pencerahan bagi jiwa Rumi yang sedang bergolak. Selama lebih dari 2 tahun, sang Mursyid dan sang Murid, mabuk dalam cinta Ilahi. Ibarat api, kedekatan dengan sang Mursyid sanggup “Membakar” Rumi hingga sang muridpun ikut menyatu dalam nyala api Ilahi.

Sejak saat itulah Rumi tidak lagi dikenal sebagai ahli tentang agama dan ketuhanan. Ia tidak lagi mengandalkan pemahaman rasional belaka untuk menjelaskan tentang Tuhan, melainkan mengajak pengikutnya untuk langsung merasakan kebesaran Tuhan dengan masuk kedalam cinta.

Kedakatan Rumi dengan sang Guru, tidak mudah dipahami oleh banyak kalangan, termasuk bagi mantan pengikut-pengikut Rumi serta mereka yang tidak memahami hubungan spritual antara Mursyid dan Murid. Bagi kaum sufi, hubungan istimewa semacam itu merupakan ajakn dari seorang guru untuk membuyka hati seorang murid agar merasakan kehadiran Tuhan. Namun tidak sedikit yang menganggap keputusan Rumi tinggal serumah dengan sang Guru sebagai sebuah percintaan yang di dasari ketertarikan seksual belaka.

Rumi membuktikan bahwa hubungannya dengan sang Mursyid bukan sebuah hubungan rendahan, terutama setelah secara misterius Syams menghilang pada sekitar tahun 1247. Berbagai dugaan mengatakan bahwa Syams di bunuh oleh pengikut atau bahkan anak Rumi sendiri yang tidak mau Rumi terus berhubungan dengan sang Guru itu. Lewat karya-karyanya sepeninggal Syams, Rumi menunjukkan tingginya nilai spritual dari hubungannya dengan sang Mursyid. Misalnya dalam sajak berikut:

Siapapun yang pernah mendengar tentangKu,

Biarlah ia menyiapkan diri dan menemuiKu

Siapapun yang menginginkanKu,

Biarlah ia mencariKu

Ia akan menemukanKu

Lalu biarkan ia untuk tidak memilih yang lain selain Aku

Syams dari Tabriz

Divani Syamsi Tabrizi atau “Sajak-sajak Syams dari Tabriz” serta Masnawi adalah karya-karya monomental Rumi yang dilahirkan setelah kepergian Syams. Masnawi yang terdiri dari 6 jilid menjadi salah satu leteratur dan pemikiran yang amat berpengaruh dalam dunia Islam.

Semua karya Rumi, dari Sajak hingga Tarian Sufi (Whirling dance) yang dipopulerkannya, sebetulnya merupakan berbagai bentuk kreatif dari sebuah ide yang mendasarinya, cinta Ilahi.

Cinta bagi sebagian orang dianggap sebagai “Tema Usang” dapat dibuat segar lewat karya-karya Rumi, bahkan mampu membakar mereka yang mendengarkan atau yang membacanya. Di tengah situasi perang dan kekacauan pada zaman Rumi, sajak-sajak cintanya sungguh menguatkan tali persaudaraan. Tariannya sanggup meleburkan ego mereka yang menarikannya.

Bagi Leslie Wines, penulis Rumi A Spritual Biography (lives I Legacies), misalnya, sajak-sajak Rumi memungkinkan kita menjalani hidup keseharian dengan penuh rasa bahagia. Hal ini sebenarnyasangat relevan dalam masyarakat modern sekarang ini, yang menurut Leslie, “Meskipun canggih secara teknologi, tapi terpecah belah secara sosial.”

Rumi tidak hanya bicara lewat karya, tetapi terutama lewat kehidupannya. Pemahamannya akan citra Ilahi yang universal membuatnya tak lagi dapat mengkotak-kotakkan manusia. Ia berhubungan baik dengan berbagai macam orang dengan aneka ragam latar belakang. Saat kematiannya, selama 40 hari penuh warga Muslim, Kristen, Yahudi, Yunani dan Persia tak henti-henti menangisi kepergiannya.

Dialah tokoh yang utuh, yang memberikan tempat bagi cinta untuk mewarnai seluruh hidup dan karyanya. Karya-karyanya dapat menjadi inspirasi, seperti kata Andrew Harvey, seorang penulis, “Rumi merupakan penunjuk jalan utama bagi zaman kebangkitan baru yang sedang berjuang untuk bangkit saat ini. Ia adalah inspirasi spiritual di abad ke 21.”

http://www.sufiz.com/jejak-sufi/jalaluddin-rumi-menggapai-cinta-ilahi-dengan-menari.html

Istri dan Putra Nabi Nuh pun Tenggelam

Setelah pengaduan Nabi Nuh diterima Allah SWT, Allah pun memberikan berita kepada Nabi Nuh, kelak kaumnya yang kafir itu akan ditenggelamkan. Allah memerintahkan kepada Nabi Nuh agar tidak lagi membicarakan mereka. Jangan lagi berdialog dengan mereka, jangan pula menengahi urusan mereka, sebagai balasannya, kelak mereka akan ditenggelamkan, apapun kedudukan mereka dan apapun kedekatan mereka dengan Nabi Nuh (QS. Hud: 37).


Nabi Nuh pun akhirnya menerima perintah Allah SWT untuk membuat perahu dengan petunjuk dan pengawasan-Nya. Maka mulailah Nabi Nuh menanam pohon untuk membuat perahu darinya. Ia menunggu beberapa tahun. Ibnu Katsir menerangkan, Nabi Muhammad SAW menjelaskan, Nabi Nuh menanam sebatang pohon selama 1000 tahun, hingga pohon itu tumbuh besar dan bercabang dimana-mana.

Setelah itu ia memotongnya, dan kemudian mulailah Nabi Nuh membuat perahu, lalu kaumnya yang berjalan melewatinya saat Nabi Nuh sedang serius membuat perahu mengejeknya. “Kau membuat perahu di daratan, bagaimana ia akan bisa berlayar? Sungguh Nuh telah gila!, maka Nuh pun menjawab, Kelak kalian akan mengetahui.”

Dengan kesabaran dan ketabahan luar biasa, ditengah-tengah ejekan dan cacian itu, akhirnya jadilah perahu yang besar, tinggi dan kuat. Lalu Nabi Nuh duduk menunggu perintah Allah SWT. Maka Allah mewahyukan kepada Nabi Nuh, jika ada yang mempunyai dapur (At-Tannur), ini sebagai tanda dimulainya angin topan.

Dijelaskan yang dimaksud dengan At-Tannur sebenarnya adalah alat untuk memanggang roti yang ada di dalam rumah Nabi Nuh. Jika keluar darinya air dan ia lari, itu merupakan perintah atau tanda bagi Nabi Nuh untuk bergerak.

Pada suatu hari, Tannur itu mulai menunjukkan tanda-tandanya, maka Nabi Nuh segera membuka perahunya dan mengajak orang-orang Mukimin untuk menaikinya, Jibril turun ke Bumi. Menggiring setiap binatang yang berpasangan agar setiap species binatang tidak punah dari muka bumi, sebab badai dan angin topan akan menenggelamkan semuanya. Nabi Nuh membawa burung, binatang buas, binatang yang berpasang-pasangan, sapi, gajah, semut dan lain-lain. Dalam perahu itu Nabi Nuh telah membuat kandang binatang buas.

Istri Nabi Nuh pun Tenggelam

Istri Nabi Nuh tidak beriman kepadanya, sehingga ia tidak ikut menaiki perahu. Salah seorang anaknya yang menyembunyikan kekafirannya, dengan menampakkan keimanan di depan Nabi Nuh pun tidak ikut dalam perahu itu. Mayoritas kaum Nabi Nuh waktu itu tidak beriman, sehingga mereka tidak ikut serta. Ibnu Abbas berkata, “Hanya 80 orang dari kaum Nabi Nuh yang beriman kepadanya.”

Air mulai meninggi, keluar dari celah-celah bumi. Sementara dari langit turunlah hujan yang sangat deras. Hujan semacam ini belum pernah turun sebelumnya, bahkan tidak akan pernah turun lagi sesudahnya. Maka laut pun bergolak, ombaknya menerpa apa saja dan menyapu isi bumi.

Banjir bandang terjadi dimana-mana, airpun meninggi di atas kepala manusia, melampaui ketinggian pohon yang paling tinggi, bahkan puncak gunung pun akhirnya tenggelam. Akhirnya seluruh permukaan bumi diselimuti oleh air, tak ada satupun yang selamat, kecuali yang ikut berlayar bersama perahu Nabi Nuh.

Demikianlah Allah azza wajalla menurunkan azabnya ke muka bumi. Azab itu diturunkan lantaran semua umat manusia telah berpaling dari Tuhannya.

Topan yang dialami Nabi Nuh terus berlanjut dalam beberapa zaman, kita tidak dapat mengetahui batasnya. Kemudian datanglah perintah Allah, agar langit menghentikan hujannya dan bumi tetap tenang hingga dapat menelan air bah itu.

Dan difirmankan, “Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit (hujan), berhentilah.” Dan airpun disurutkan, perintah pun diselesaikan, dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi. Dan dikatakan, binasalah orang-orang yang zalim (QS. Hud: 44), yakni kehancuran bagi kaum Nabi Nuh yang ingkar terhadap firman Allah. Dengan begitu bumi telah dibersihkan dari mereka.

Disebutkan oleh pengarang kitab Ambiya Allah, hari berlabuhnya perahu Nabi Nuh di atas bukit Judi terjadi pada Asyura (hari ke 10 bulan Muharram).

Putra Nabi Nuh Ikut Tenggelam

Ketika air bah dan banjir bandang kian kencang, Nabi Nuh menyuruh kaumnya yang beriman, “Naiklah kamu sekalian ke dalam bahtera dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” (QS. Hud: 41). Sementara itu sebagian besar kaum Nabi Nuh yang tidak beriman mencari selamat dengan mendaki gunung yang paling tinggi.

Di antara kaumnya itu, di tempat terpencil dan jauh, Nabi Nuh melihat anak kesayangannya. Nabi Nuh tidak mengetahui, saat itu putranya menjadi kafir. Ia benar-benar tidak mengetahui seberapa jauh bagian keimanan yang ada pada anaknya.

Lalu tergeraklah naluri kasih sayang seorang ayah. Maka Nabi Nuh pun berseru kepada Tuhannya. “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar, dan Engkaulah hakim yang seadil-adilnya.” (QS. Hud: 45)

Dan Nabi Nuh pun menyeru kepada anaknya. “Hai anakku, naiklah (ke Perahu) bersama kami, dan janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir.” Mendengar ajakan ayahnya, anaknya pun menjawab. “Aku akan mencari perlindungan ke atas Gunung yang dapat memeliharaku dari air bah.” Namun, Nabi Nuh berkata, “Tidak ada yang bisa melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang maha Penyayang.” (QS. Hud: 43). Tiba-tiba gelombang menggulung dan menjadi penghalang percakapan diantara keduanya. Maka jadilah anak Nabi Nuh termasuk orang yang ditenggelamkan.

Nabi Nuh AS ingin berkata kepada Allah SWT, anaknya termasuk dalam keluarganya yang beriman, sedangkan Allah telah berjanji akan menyelamatkan keluarganya yang beriman. Tetapi Allah berkata dan menjelaskan kepada Nabi Nuh keadaan yang sebenarnya. Anak Nabi Nuh hanya berpura-pura beriman di hadapan ayahnya.

“Hai Nuh, sesungguhnya dia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu, janganlah engkau memohon kepadaku, sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikatnya). Aku peringatkan kepadamu, janganlah kamu termasuk orang-orang yanag tidak berpengetahuan.” (QS. Hud: 46).

Di sini terdapat pelajaran penting yang terkandung dalam ayat-ayat yang mulia itu. Allah ingin berkata Nabi nya yang mulia itu, anaknya tidak termasuk dalam keluarganya karena ia tidak beriman kepada Allah SWT. Hubungan darah bukanlah hubungan hakiki di antara manusia, sebab anak seorang Nabi pada hakikatnya adalah yang meyakini akidah, yaitu yang mengikuti Allah SWT dan Nabi-Nya, bukan yang menghindar, bukan pula yang menentangnya.

http://www.sufiz.com/kisah-nabi/istri-dan-putra-nabi-nuh-pun-tenggelam-habis.html

ISTIHADHAH

  Istihadhah menurut istilah para ahli fiqih adalah: Darah yang keluar dari wanita bukan pada masa-masa haid dan nifas dan tidak ada kemungkinan bahwa ia haid; misalnya darah yang melebihi masa haid atau darah yang kurang dari masa paling sedikitnya haid. Biasanya darah itu warnanya kuning, dingin, encer (tidak kental) dan keluarnya dengan lemah (tidak deras) yang pada dasarnya berbeda dengan darah haid. Imamiyah membagi darah istihadhah itu pada tiga bagian:

Sedikit     : Bila darah itu sampai melumuri kapas tetapi tidak sampai membasahi semua kapas itu, maka hukumnya, ia harus berwudhu setiap mau shalat dengan mengganti kapas, hanya ia tidak boleh menjama’ (mengumpulkan) dua shalat dengan satu wudhu.

Pertengahan : Kalau darah itu sampai membasahi semua kapas, tetapi tidak sampai mengalir, maka hukumnya ia harus mandi satu kali setiap hari sebelum pagi, juga harus mengganti kapas, dan harus berwudhu setiap mau shalat.

Banyak    : Kalau darah itu sampai membasahi kapas semuanya dan sampai mengalir dari kapas itu, maka hu­kumnya ia harus mandi sebanyak tiga kali, yaitu mandi sebelum shalat Shubuh, kemudian mandi sebelum menjama’ Shalat dua Dzuhur (Dzuhur dan Ashar) dan mandi sebelum menjama’ Shalat dua Isya’ (Maghrib dan Isya’).
 Kebanyakan ulama Imamiyah: la harus berwudhu dalam sedap kesempatan (ketika mau shalat) dengan mengganti kapas juga. Mazhab-mazhab yang lain tidak menerima pembagian ini, sebagaimana mazhab-mazhab ini tidak mewajibkan mandi bagi orang yang sedang istihadhah. Ini dijelaskan dalam buku Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq, halaman 155, cetakan tahun 1957 seperti berikut: “Bagi orang (wanita) yang istihadhah tidak diwajibkan mandi untuk shalat apapun, dan juga pada waktu apapun kecuali hanya satu kali, yaitu pada waktu haidnya putus (selesai). Maksudnya bahwa mandi itu hanya untuk haid, bukan untuk isiihadhah. Begitu pendapat jumhur dari kalangan salaf dan khalaf.” Empat mazhab: Istihadhah itu tidak mencegah (melarang) untuk melakukan sesuatu yang dilarang dalam haid, baik membaca Al-Qur’an, menyentuhnya, masuk masjid, ber i’tikaf, berthawaf, bersetubuh, dan lain-lainnya seperti yang dijelaskan dalam masalah-masalah yang dilarang bagi orang yang berhadas besar. (Al-Fuqhu ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, jilid I, bab Mabhastu al Istihadhah). Imamiyah: Istihadhah sedikit dihukumi sama dengan hadas kecil maka dari itu, ia tidak boleh melakukan sesuatu yang memerlukan wudhu kecuali setelah berwudhu. Sedangkan istihadhah pertengahan dan istihadahah banyak sama dengan hadas besar, maka dari itu keduanya dilarang melakukan sesuatu yang disyaratkan mandi. Keduanya sama seperti haid selama belum melaksanakan apa yang diwajibkan pada keduanya. Bila keduanya telah melaksanakan yang diwajibkan, maka keduanya (yang istihadhah pertengahan dan ba­nyak) dianggap suci. Keduanya dibolehkan untuk shalat, masuk masjid, thawaf dan bersetubuh. Dan mandi istihadhah adalah seperti mandi haid, tak ada bedanya, menurut Imamiyah. Darah Nifas Imamiyah dan Maliki: Darah nifas adalah darah yang dikeluarkan dari rahim yang disebabkan persalinan, baik ketika bersalin maupun sesudah bersalin, bukan sebelumnya. Hambali: Darah nifas, adalah darah yang keluar bersama keluarnya anak, baik sesudahnya maupun sebelumnya, dua atau tiga hari dengan tanda-tanda akan melahirkan. Syafi’i: Darah yang keluar setelah melahirkan, bukan sebelumnya dan bukan pula bersamaan. Hanafi: Darah yang keluar setelah mela­hirkan, atau yang keluar ketika sebagian besar tubuh anaknya sudah keluar. Sedangkan kalau darah itu sebelum melahirkan, atau darah yang keluar ketika tubuh anaknya baru sebagian kecil yang keluar, maka ia tidak dinamakan darah nifas. Kalau wanita hamil itu melahirkan tetapi tidak nampak ada darah yang keluar, ia tetapi diwajibkan mandi, menurut Syafi’i, Hanafi dan Maliki. Tetapi menurut Imamiyah dan Hambali tidak wajib mandi. Semua ulama mazhab sepakat bahwa darah nifas itu tidak mempunyai batas paling sedikitnya. Sedangkan paling banyak, yang terkenal menurut Imamiyah adalah sepuluh hari.  Hambali dan Hanafi: Empat puluh hari, sedangkan Syafi’i dan Maliki: Enam puluh hari. Kalau anak yang lahir itu keluar dari tempat yang bukan biasanya karena disebabkan pembedahan, maka wanita itu tidak bernifas, tetapi kalau masalah ‘iddha talak tetap berlaku setelah keluarnya anak itu, menurut kesepakatan semua ulama mazhab. Hukum nifas adalah sama seperti hukum haid, baik dari segi tidak sahnya shalat, puasa, dan wajib meng-qadha’ kalau ia meninggalkan puasa, tetapi tidak wajib qadha’ untuk shalat yang ditinggalkan. Sama seperti haid, juga diharamkan disetubuhi dan menyetubuhi, menyentuh Al-Qur’an, berdiam di dalam masjid atau memasukinya, tetapi dalam masalah terakhir ini ada perbedaan antara mazhab, juga tidak sah kalau ditalak menurut Imamiyah serta hukum-hukum lainnya. Adapun cara-cara mandi dan syarat-syaratnya, sama persis seperti haid.

http://riwayat5imammadzahb.wordpress.com/riwayat-5-imam-madzahb/bab-8-istihadhah/

IQAMAH

 Iqamah untuk shalat itu disunnahkan, baik lelaki maupun wanita di dalam shalat-shalat fardhu yang sehari-hari, dan shalat fardhu langsung dilakukan setelah iqamah. Hukum iqamah sama dengan hukum adzan, yaitu harus berturut-turut tertib, bahasa arab; dan lain sebagainya. Inilah bentuk (contoh) iqaniah: “Allah Maha Besar”, dua kali menurut kesepakatan semua ulama mazhab, kecuali Hanafi yang menjadikannya empat kali. “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”, satu kali me­nurut Syafi’i, Maliki dan Hambali; sedangkan menurut Imamiyah dan Hanafi dua kali. “Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”, satu kali menurut Syafi’i, Maliki dan Hambali; sedangkan menurut Imamiyah dan Hanafi adalah dua kali. “Marilah melaksanakan shalat”, satu kali menurut Syafi’i, Maliki dan Hambali; sedangkan menunit Imamiyah dan Hanafi adalah dua kali. “Marilah menuju pada kemenangan”, satu kali menurut Syafi’i, Maliki dan Hambali; sedangkan menurut Imamiyah dan Hanafi adalah dua kali. “Marilah menuju pada sebaik-baiknya perbuatan”, dua kali hanya menurut Imamiyah saja. Telah tegak shalat itu”, dua kali menurut kesepakatan semua ulama mazhab, kecuali Maliki. Menurut Maliki hanya satu kali saja. “Allah Maha Besar”, dua kali menurut kesepakatan semua ulama mazhab. “Tidak ada Tuhan selain Allah”, satu kali menurut kesepakatan semua ulama mazhab. Sebagian kelompok Imamiyah: Boleh bagi orang yang musafir dan orang yang terburu-buru memilih salah satu bagian dari adzan dan iqamah.    


Imam Bukhari: Berguru pada 1.080 Ahli Hadits Selama 16 Tahun

Sejuta  Hadits

Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits sahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun buat mengunjungi berbagai kota. ia menemui para perawi hadits, lalu mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Dari Basrah ia menuju Masir, Hujaz (Mekah dan Madinah), Kufah, Bagdad – pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam kala itu – Bukhari sering bertemu dan berdiskusi  dengan Imam Ahmad bin Hambal, pendiri Mazhab Hambali. Di sejumlah kota itu ia telah bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah ia mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.

Tapi tidak seluruh hadits yang ia hafal lantas ia riwayatkan, melainkan terlebih dahulu ia seleksi. Cara meyeleksinya pun sangat ketat. Diantaranya, apakah sanad atau riwayatnya bersambung, dan apakah perawinya Tsiqah (kuat). Saking disiplin dan selektifnya, menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan 9.082 hadits dalam karya Monumentalnya “Al-Jami’ al-Shahih, yang lebih dikenal sebagai “Shahih Bukhari”. Maka tidak mengherankan jika kemudian banyak ahli hadits berguru padanya., seperti Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad ibnu Nasr, dan Imam Muslim.

Imam Bukhari telah menulis lebih dari 53 kitab, diantaranya: Al-Jami’ Al-Shahih, yang lebih dikenal sebagai Shahih Bukhari, Al-Adabul Al-Mufrad, Al-Tarikh as-Saghir, Al-Tarikh Al-Awsat, Al-Tarikh Al-Kabir, At-Tafsir al-Kabir, Al-Musnad Al-Kabir, Kitab Al-Ilal, Raful Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Al-Asyribah, Al-Qira’ah Khalf al-Imam, kitab Ad-Du’afa, Asami as-Sahabah, dan Al-Hibah.

Dalam meneliti dan mengumpulkan hadits, ia sangat tekun dan tak kenal lelah. Di tengah malam yang sunyi, ia bangun lalu menyalakan lampu, dan menulis setiap hadits dan masalah-masalah yang terlintas di pikirannya. Setelah itu lampu ia padamkan kembali. Setiap malam ia lakukan hal itu, hampir dua puluh kali. Dalam syarah atau keterangan kitab Shahih Bukhari, Imam Al-Asqalani menulis, para guru Imam Bukhari dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu Tabi’in (ulama terdahulu), Tabi’it Tabi’in (generasi setelah Tabi’in), dan para Mahasiswa yang belajar bersamanya.

Ia telah berguru kepada 1.080 ahli hadits selama 16 tahun. Mereka itu antara lain: Ali ibnu Al-Madini, Imam Ahmad bin Hambal, Yahya ibnu Ma’in, Muhammad ibnu Yusuf Al-Faryabi, Maki ibnu Ibrahim Al-Bakhi, Muhammad ibnu Yusuf Al-Baykandi, dan Ibnu Ruhawaih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahihnya.

Dalam meneliti dan menyeleksi hadits, dan tentu saja dalam berdiskusi dengan para perawi, Imam Bukhari sangat sopan, kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi, juga cukup halus. Kepada perawi yang sudah jelas kebohongannya, ia hanya berkata, “Hadits ini perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya, atau para ulama berdiam diri mengenai hal itu.” Sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas, ia menyatakan “Haditsnya diingkari.”

Penelitian Serius

Meskipun cukup sopan berhadapan dengan para perawi yang ditenuinya, ia banyak meninggalkan hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang diragukan kejujurannya. “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan, dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatkan oleh perawi yang dalam pendanganku perlu dipertimbangkan.”

Begitu banyak ulama atau perawi yang ditemui, sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka. Ia memang sangat teliti dan akurat. Untuk mendapatkan catatan yang lengkap mengenai sebuah hadits, Bukhari melawat ke Mesir, Suriah, Aljazair, sampai dua kali. Bahkan untuk mengecek kekurangan sebuah hadits saja ia bisa berkali-kali datang menemui para ulama atau perawi, seperti yang ia lakukan ke Bagdad dan Kufah.

Mengenai kunjungan-kunjungannya kepada sejumlah ulama dan perawi di beberapa kota itu, Imam Bukhari berkata, “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah Arab, masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali, menetap di Hijaz selama enam tahun, dan tidak dapat dihitung lagi berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Bagdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”

Dalam penelitian yang cukup lama dan melelahkan itu – tapi dengan tingkat disiplin keilmuan yang sangat ketat – Imam Bukhari berhasil mengumpulkan 600.000 hadits, lebih kurang separuh diantaranya ia hafal. Diantara ribuan hadits tersebut, 100.000 hadits diantaranya sahih, 200.000 lainnya tidak sahih. Disela-sela kesibukannya sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai Fuqaha atau ahli fikih, bahkan ia tidak melupakan kegiatan sampingan yang lebih rekreatif, seperti belajar memanah sampai mahir. Ada yang mengatakan, sepanjang hidupnya Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali hanya dua kali.

Bisa dimaklumi jika namanya menjulang sebagai ulama ahli hadits yang termasyhur. Kaum muslimin mengagumi dan menghormatinya, kemanapun ia berkunjung selalu mendapat sambutan hangat. Ketika berkunjung ke Naisabur pada tahun 250 H, ia disambut meriah oleh warga kota, juga oleh para ulama dan seorang gurunya, Muhammad bin Yahya As-Zihli. Dalam kitab Sahih Muslim, Imam Muslim bin Al-Hajjaj, menulis, “Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, saya tidak pernah melihat kepala daerah, dan para ulama serta warga kota memberi sambutan luar biasa seperti yang mereka berikan padanya.”

Mereka sudah menyambut kedatangan Imam Bukhari sejak di luar kota sejauh dua atau tiga Marhalah (lebih kurang 100 kilometer), sampai-sampai Az-Zihli, salah seorang guru Imam Bukhari berkata, “Barangsiapa hendak menyambut kedatangan Imam Bukhari besok pagi, lakukanlah, sebab saya sendiri juga akan ikut menyambutnya.”

Keesokan harinya, Az-Zihli, bersama para Ulama dan warga kota Naisabur, menyongsong kedatangan Imam Bukhari – yang kemudian menetap di perkampungan orang-orang Bukhara untuk mengajar ilmu hadits. Az-Zihli sendiri menganjurkan kepada warga kota Naisabur untuk mengikuti pengajian muridnya yang pandai itu. “Pergilah kalian kepada orang alim yang salih itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya,” ujarnya.

Mungkin karena sangat terkenal, ada saja warga Naisabur yang kurang berkenan. Sementara sibuk mengajar, Imam Bukhari di fitnah seolah-olah telah mengajarkan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Begitu marak fitnah itu, sehingga Az-Zihli, gurunya, terpengaruh. “Barang siapa berpendapat bahwa lafaz-lafaz Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah ahli bid’ah, ia tidak boleh diajak bicara dan majlisnya tidak boleh dihadiri. Dan barang siapa masih mengunjungi majlisnya, curigailah dia.” Karuan saja, setelah Az-Zihli menyatakan fatwanya, pengajiannya pun mulai sepi.



Menunggang  Himar

Fitnah itu bermula dari pertanyaan seorang jemaah, “Bagaimana pendapat anda tentang lafaz-lafaz Al-Qur’an, makhluk atau bukan?” Bukhari berpaling dari si penanya, tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali. Karena si penanya terus mendesaknya, ia lalu menjawab, “Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk, dan fitnah merupakan bid’ah.” Yang ia maksud dengan perbuatan manusia ialah bacaan dan ucapan mereka. Pendapat ini membedakan antara yang dibaca dan bacaan – adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli Tahqiq (tempat rujukan) dan ulama salaf.

Dalam versi lain, Imam Bukhari berkata, “Iman adalah perkataan dan perbuatan, yang bisa bertembah dan berkurang. Al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah yang paling utama adalah Abubakar, Umar, Usman dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah saya hidup, mati dan dibangkitkan di akherat kelak, Insya’allah.” Ia juga pernah berkata, “Barang siapa menuduhku telah berpendapat bahwa lafaz-lafaz Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah pendusta.”

Tapi, Az-Zihli benar-benar telah murka. Lelaki itu (Bukhari) tidak boleh tinggal bersamaku di negeri ini,” katanya. Setelah mendengar fatwa gurunya itu, ia pun bersiap-siap meninggalkan Naisabur, karena baginya keluar dari kota itu lebih baik, untuk meredakan fitnah. Maka ia pun pulang kampung ke Bukhara.

Begitu ia menginjakkan kaki ke kampung halamannya, seluruh penduduk menyambutnya dengan upacara sangat meriah. Mereka mendirikan beberapa kemah sepanjang satu Farsakh (lebih kurang delapan kilometer), dan menabur-naburkan uang dirham dan dinar. Imam Bukhari menetap dan mengajar ilmu hadits di kota kelahirannya itu selama beberapa tahun. Tapi belakangan, badai fitnah melanda lagi, kali ini datang dari Gubernur Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad Az-Zihli.

Suatu hari Khalid mengirim utusan kepada Imam Bukhari, minta dua buah kitab karangannya, Al-Jami’ al-Shahih dan At-Tarikh al-Kubra, tapi Imam Bukhari keberatan memenuhi permintaan tersebut, sambil berpesan kepada sang utusan, “Saya tidak akan merendahkan ilmu dengan membawanya ke Istana. Jika hal itu tidak berkenan di hati tuan, keluarkanlah larangan supaya saya tidak menggelar majlis pengajian. Dengan begitu saya mempunyai alasan di sisi Allah kelak di hari kiamat bahwa sebenarnya saya tidak menyembunyikan ilmu.”

Mendengar jawaban seperti itu, Khalid naik pitam, ia lalu memerintahkan orang-orangnya menghasut Imam Bukhari, agar ada alasan untuk mengusirnya. Singkat cerita, Imam Bukhari pun di usir dari kampung halamannya sendiri. Ia lalu berdoa dan menyerahkan persoalan ini kepada Allah. Belum sebulan berlalu, Sultan Uzbekistan, Ibnu Tahir, memerintahkan agar Khalid dijatuhi hukuman, dipermalukan di depan umum dengan menunggang Himar (keledai) betina, dan mengakiri hidupnya dipenjara.

Tak lama kemudian warga Samarkand, sebuah negeri tetangga Uzbekistan, menulis surat agar Imam Bukhari menetap di negeri mereka. Ia pun memenuhi undngan itu. Tiba di Khartand, sebuah desa kecil sebelum Samarkand, ia singgah untuk mengunjungi beberapa familinya. Tapi di sana Imam Bukhari jatuh sakit selama beberapa hari. Dan akhirnya pada malam Idul Fitri 256 H (31 Agustus 870 M), ia wafat dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Ia berwasiat agar jenazahnya di kafani tiga helai kain tanpa baju dalam dan melepas surban. Wasiat itu dilaksanakan dengan baik oleh warga Khartand, Smarkand. Jenazahnya di makamkan selepas Zhuhur pada hari raya I’dul Fitri.



Menulis Kitab setelah Istikharah

Sebagai intelektual yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari juga dikenal sebagai penulis kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Sebagai ulama besar, fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat, sehingga ia menduduki derajat sebagai Mujtahid Mustaqil – ulama yang ijtihadnya independen, tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam segi hukum.

Pendapat-pendapatnya bisa sejalan dengan Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi), kadang sesuai pula dengan Imam Syafi’i (pendiri mazhab Syafi’i), tapi kadang-kadang bisa juga berbeda dengan mereka. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits sahih, suatu saat ia bisa berpihak kepada mazhab Ibnu Abbas, di saat lain ia bisa sejalan dengan mazhab Mujahid atau mazhab Atha, dan seterusnya.

Di antara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits sahih yang berjudul: Al-Jami’ Ash-Shahih, yang belakngan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. ada cerita unik tentang proses penyusunan kitab ini, suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, seolah-olah Rasulullah berdiri di hadapannya.

Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi, “Katanya saya akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah SAW. Mimpi inilah antara lain yang mendorong saya untuk menulis Kitab Al-Jami’ Al-Shahih,” tuturnya. Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata, “Saya susun kitab Al-Jami’ Al-Shahih ini di masjidil Haram, dan saya tidak mencantumkan di dalamnya sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rekaat memohon pertolongan Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar sahih.” Di Masjidil Haram lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistimatis.

Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok-pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi, Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern, sehingga hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan.

Beda Pendapat

Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi, sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan kesahihan hadits yang di riwayatkan. Ia juga selalu membanding-bandingkan hadits satu dengan yang lain, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling sahih. Dengan demikian kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits. “Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits sahih,” katanya suatu saat.

Di belakang hari para ulama hadits mengatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami’ Al-Shahih,  Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat kesahihan yang paling tinggi, dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab. Menurut Al-Allamah Ibnu Shalah dalam kitab Mukaddimah, “kitab Sahih Bukhari itu memuat 7.275 buah hadits, selain ada hadits-hadits yang dimuat berulang, ada 4.000 hadits yang dimuat utuh tanpa pengulangan. Pengulangan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhtiddin An-Nawawi dalam kitab At-Taqrib.

Dalam pada itu Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kata pendahuluan untuk kitab Fathul Bari, yakni syarah atau komentar atas kitab Sahih Bukhari, menulis, semua hadits sahih yang dimuat dalam kitab Sahih Bukhari (minus hadits yang dimuat berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun Marfu’ (diragukan) sebanyak 159 buah. Adapun jumlah semua hadits sahih, termasuk yang dimuat berulang, sebanyak 7.397 buah. Perhitungan yang berbeda diantara para ahli hadits – dalam mengomentari kitab Imam Bukhari – semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits


KIAT SEHAT ALA RASULULLAH SAW

1. SELALU BANGUN SEBELUM SUBUH
Rasul selalu mengajak ummatnya untuk bangun sebelum subuh, melaksanakan sholat
sunah dan sholat Fardhu,sholat subuh berjamaah. Hal ini memberi hikmah yg mendalam antara lain :
- Berlimpah pahala dari Allah
- Kesegaran udara subuh yg bagus utk kesehatan/ terapi penyakit TB
- Memperkuat pikiran dan menyehatkan perasaan

2. AKTIF MENJAGA KEBERSIHAN
Rasul selalu senantiasa rapi & bersih, tiap hari kamis atau Jumaat beliau mencuci rambut-rambut halus di pipi, selalu memotong kuku, bersisir dan
berminyak wangi. "Mandi pada hari Jumaat adalah wajib bagi setiap
orang-orang dewasa. Demikian pula menggosok gigi dan memakai
harum-haruman"(HR Muslim)

3.TIDAK PERNAH BANYAK MAKAN
Sabda Rasul :
"Kami adalah sebuah kaum yang tidak makan sebelum lapar dan bila kami
makan tidak terlalu banyak (tidak sampai kekenyangan)"(Muttafaq Alaih)
Dalam tubuh manusia ada 3 ruang untuk 3 benda :
Sepertiga untuk udara, sepertiga untuk air dan sepertiga lainnya untuk makanan.Bahkan ada satu tarbiyyah khusus bagi ummat Islam dengan adanya Puasa Ramadhan untuk menyeimbangkan kesehatan

4. GEMAR BERJALAN KAKI
Rasul selalu berjalan kaki ke Masjid, Pasar, medan jihad, mengunjungi rumah sahabat, dan sebagainya. Dengan berjalan kaki, keringat akan mengalir,pori-pori terbuka dan peredaran darah akan berjalan lancar. Ini penting untuk mencegah penyakit jantung

5. TIDAK PEMARAH
Nasihat Rasulullah : "Jangan Marah"diulangi sampai 3 kali. Ini menunujukkan hakikat kesehatan dan kekuatan Muslim bukanlah terletak pada jasadiyah belaka, tetapi lebih jauh yaitu dilandasi oleh kebersihan dan kesehatanjiwa. Ada terapi yang tepat untuk menahan
marah :
- Mengubah posisi ketika marah, bila berdiri maka duduk, dan bila duduk maka berbaring
- Membaca Ta 'awwudz, karena marah itu dari Syaithon
- Segeralah berwudhu
- Sholat 2 Rokaat untuk meraih ketenangan dan menghilangkan kegundahan hati

6. OPTIMIS DAN TIDAK PUTUS ASA
Sikap optimis akan memberikan dampak psikologis yang mendalam bagi kelapangan jiwa sehingga tetap sabar, istiqomah dan bekerja keras, serta tawakal kepada Allah SWT

7. TAK PERNAH IRI HATI
Untuk menjaga stabilitas hati & kesehatan jiwa, mentalitas maka menjauhi
iri hati merupakan tindakan preventif yang sangat tepat.

::Ya Allah,bersihkanlah hatiku dari sifat sifat mazmumah dan hiasilah diriku dengan sifat sifat mahmudah...::
wallahu'alam...Wassalamu'alaikum warohmatullohiwabarokatuh

http://khairilhidayah.blogspot.com/2013/02/kiat-sehat-ala-rasulullah.html