Rabu, 04 Desember 2013

ISTIHADHAH

  Istihadhah menurut istilah para ahli fiqih adalah: Darah yang keluar dari wanita bukan pada masa-masa haid dan nifas dan tidak ada kemungkinan bahwa ia haid; misalnya darah yang melebihi masa haid atau darah yang kurang dari masa paling sedikitnya haid. Biasanya darah itu warnanya kuning, dingin, encer (tidak kental) dan keluarnya dengan lemah (tidak deras) yang pada dasarnya berbeda dengan darah haid. Imamiyah membagi darah istihadhah itu pada tiga bagian:

Sedikit     : Bila darah itu sampai melumuri kapas tetapi tidak sampai membasahi semua kapas itu, maka hukumnya, ia harus berwudhu setiap mau shalat dengan mengganti kapas, hanya ia tidak boleh menjama’ (mengumpulkan) dua shalat dengan satu wudhu.

Pertengahan : Kalau darah itu sampai membasahi semua kapas, tetapi tidak sampai mengalir, maka hukumnya ia harus mandi satu kali setiap hari sebelum pagi, juga harus mengganti kapas, dan harus berwudhu setiap mau shalat.

Banyak    : Kalau darah itu sampai membasahi kapas semuanya dan sampai mengalir dari kapas itu, maka hu­kumnya ia harus mandi sebanyak tiga kali, yaitu mandi sebelum shalat Shubuh, kemudian mandi sebelum menjama’ Shalat dua Dzuhur (Dzuhur dan Ashar) dan mandi sebelum menjama’ Shalat dua Isya’ (Maghrib dan Isya’).
 Kebanyakan ulama Imamiyah: la harus berwudhu dalam sedap kesempatan (ketika mau shalat) dengan mengganti kapas juga. Mazhab-mazhab yang lain tidak menerima pembagian ini, sebagaimana mazhab-mazhab ini tidak mewajibkan mandi bagi orang yang sedang istihadhah. Ini dijelaskan dalam buku Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq, halaman 155, cetakan tahun 1957 seperti berikut: “Bagi orang (wanita) yang istihadhah tidak diwajibkan mandi untuk shalat apapun, dan juga pada waktu apapun kecuali hanya satu kali, yaitu pada waktu haidnya putus (selesai). Maksudnya bahwa mandi itu hanya untuk haid, bukan untuk isiihadhah. Begitu pendapat jumhur dari kalangan salaf dan khalaf.” Empat mazhab: Istihadhah itu tidak mencegah (melarang) untuk melakukan sesuatu yang dilarang dalam haid, baik membaca Al-Qur’an, menyentuhnya, masuk masjid, ber i’tikaf, berthawaf, bersetubuh, dan lain-lainnya seperti yang dijelaskan dalam masalah-masalah yang dilarang bagi orang yang berhadas besar. (Al-Fuqhu ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, jilid I, bab Mabhastu al Istihadhah). Imamiyah: Istihadhah sedikit dihukumi sama dengan hadas kecil maka dari itu, ia tidak boleh melakukan sesuatu yang memerlukan wudhu kecuali setelah berwudhu. Sedangkan istihadhah pertengahan dan istihadahah banyak sama dengan hadas besar, maka dari itu keduanya dilarang melakukan sesuatu yang disyaratkan mandi. Keduanya sama seperti haid selama belum melaksanakan apa yang diwajibkan pada keduanya. Bila keduanya telah melaksanakan yang diwajibkan, maka keduanya (yang istihadhah pertengahan dan ba­nyak) dianggap suci. Keduanya dibolehkan untuk shalat, masuk masjid, thawaf dan bersetubuh. Dan mandi istihadhah adalah seperti mandi haid, tak ada bedanya, menurut Imamiyah. Darah Nifas Imamiyah dan Maliki: Darah nifas adalah darah yang dikeluarkan dari rahim yang disebabkan persalinan, baik ketika bersalin maupun sesudah bersalin, bukan sebelumnya. Hambali: Darah nifas, adalah darah yang keluar bersama keluarnya anak, baik sesudahnya maupun sebelumnya, dua atau tiga hari dengan tanda-tanda akan melahirkan. Syafi’i: Darah yang keluar setelah melahirkan, bukan sebelumnya dan bukan pula bersamaan. Hanafi: Darah yang keluar setelah mela­hirkan, atau yang keluar ketika sebagian besar tubuh anaknya sudah keluar. Sedangkan kalau darah itu sebelum melahirkan, atau darah yang keluar ketika tubuh anaknya baru sebagian kecil yang keluar, maka ia tidak dinamakan darah nifas. Kalau wanita hamil itu melahirkan tetapi tidak nampak ada darah yang keluar, ia tetapi diwajibkan mandi, menurut Syafi’i, Hanafi dan Maliki. Tetapi menurut Imamiyah dan Hambali tidak wajib mandi. Semua ulama mazhab sepakat bahwa darah nifas itu tidak mempunyai batas paling sedikitnya. Sedangkan paling banyak, yang terkenal menurut Imamiyah adalah sepuluh hari.  Hambali dan Hanafi: Empat puluh hari, sedangkan Syafi’i dan Maliki: Enam puluh hari. Kalau anak yang lahir itu keluar dari tempat yang bukan biasanya karena disebabkan pembedahan, maka wanita itu tidak bernifas, tetapi kalau masalah ‘iddha talak tetap berlaku setelah keluarnya anak itu, menurut kesepakatan semua ulama mazhab. Hukum nifas adalah sama seperti hukum haid, baik dari segi tidak sahnya shalat, puasa, dan wajib meng-qadha’ kalau ia meninggalkan puasa, tetapi tidak wajib qadha’ untuk shalat yang ditinggalkan. Sama seperti haid, juga diharamkan disetubuhi dan menyetubuhi, menyentuh Al-Qur’an, berdiam di dalam masjid atau memasukinya, tetapi dalam masalah terakhir ini ada perbedaan antara mazhab, juga tidak sah kalau ditalak menurut Imamiyah serta hukum-hukum lainnya. Adapun cara-cara mandi dan syarat-syaratnya, sama persis seperti haid.

http://riwayat5imammadzahb.wordpress.com/riwayat-5-imam-madzahb/bab-8-istihadhah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar