Istihadhah menurut
istilah para ahli fiqih adalah: Darah yang keluar dari wanita bukan pada
masa-masa haid dan nifas dan tidak ada kemungkinan bahwa ia haid; misalnya
darah yang melebihi masa haid atau darah yang kurang dari masa paling
sedikitnya haid. Biasanya darah itu warnanya kuning, dingin, encer (tidak
kental) dan keluarnya dengan lemah (tidak deras) yang pada dasarnya berbeda
dengan darah haid. Imamiyah membagi darah istihadhah itu pada tiga bagian:
Sedikit : Bila
darah itu sampai melumuri kapas tetapi tidak sampai membasahi semua kapas itu,
maka hukumnya, ia harus berwudhu setiap mau shalat dengan mengganti kapas,
hanya ia tidak boleh menjama’ (mengumpulkan) dua shalat dengan satu wudhu.
Pertengahan : Kalau darah itu sampai membasahi semua kapas,
tetapi tidak sampai mengalir, maka hukumnya ia harus mandi satu kali setiap
hari sebelum pagi, juga harus mengganti kapas, dan harus berwudhu setiap mau
shalat.
Banyak : Kalau
darah itu sampai membasahi kapas semuanya dan sampai mengalir dari kapas itu,
maka hukumnya ia harus mandi sebanyak tiga kali, yaitu mandi sebelum shalat
Shubuh, kemudian mandi sebelum menjama’ Shalat dua Dzuhur (Dzuhur dan Ashar)
dan mandi sebelum menjama’ Shalat dua Isya’ (Maghrib dan Isya’).
Kebanyakan ulama
Imamiyah: la harus berwudhu dalam sedap kesempatan (ketika mau shalat) dengan
mengganti kapas juga. Mazhab-mazhab yang lain tidak menerima pembagian ini,
sebagaimana mazhab-mazhab ini tidak mewajibkan mandi bagi orang yang sedang
istihadhah. Ini dijelaskan dalam buku Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq,
halaman 155, cetakan tahun 1957 seperti berikut: “Bagi orang (wanita) yang istihadhah
tidak diwajibkan mandi untuk shalat apapun, dan juga pada waktu apapun kecuali
hanya satu kali, yaitu pada waktu haidnya putus (selesai). Maksudnya bahwa
mandi itu hanya untuk haid, bukan untuk isiihadhah. Begitu pendapat jumhur dari
kalangan salaf dan khalaf.” Empat mazhab: Istihadhah itu tidak mencegah
(melarang) untuk melakukan sesuatu yang dilarang dalam haid, baik membaca
Al-Qur’an, menyentuhnya, masuk masjid, ber i’tikaf, berthawaf, bersetubuh, dan
lain-lainnya seperti yang dijelaskan dalam masalah-masalah yang dilarang bagi
orang yang berhadas besar. (Al-Fuqhu ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, jilid I, bab
Mabhastu al Istihadhah). Imamiyah: Istihadhah sedikit dihukumi sama dengan
hadas kecil maka dari itu, ia tidak boleh melakukan sesuatu yang memerlukan
wudhu kecuali setelah berwudhu. Sedangkan istihadhah pertengahan dan
istihadahah banyak sama dengan hadas besar, maka dari itu keduanya dilarang
melakukan sesuatu yang disyaratkan mandi. Keduanya sama seperti haid selama
belum melaksanakan apa yang diwajibkan pada keduanya. Bila keduanya telah
melaksanakan yang diwajibkan, maka keduanya (yang istihadhah pertengahan dan
banyak) dianggap suci. Keduanya dibolehkan untuk shalat, masuk masjid, thawaf
dan bersetubuh. Dan mandi istihadhah adalah seperti mandi haid, tak ada
bedanya, menurut Imamiyah. Darah Nifas Imamiyah dan Maliki: Darah nifas adalah
darah yang dikeluarkan dari rahim yang disebabkan persalinan, baik ketika
bersalin maupun sesudah bersalin, bukan sebelumnya. Hambali: Darah nifas,
adalah darah yang keluar bersama keluarnya anak, baik sesudahnya maupun
sebelumnya, dua atau tiga hari dengan tanda-tanda akan melahirkan. Syafi’i:
Darah yang keluar setelah melahirkan, bukan sebelumnya dan bukan pula
bersamaan. Hanafi: Darah yang keluar setelah melahirkan, atau yang keluar
ketika sebagian besar tubuh anaknya sudah keluar. Sedangkan kalau darah itu
sebelum melahirkan, atau darah yang keluar ketika tubuh anaknya baru sebagian
kecil yang keluar, maka ia tidak dinamakan darah nifas. Kalau wanita hamil itu
melahirkan tetapi tidak nampak ada darah yang keluar, ia tetapi diwajibkan
mandi, menurut Syafi’i, Hanafi dan Maliki. Tetapi menurut Imamiyah dan Hambali
tidak wajib mandi. Semua ulama mazhab sepakat bahwa darah nifas itu tidak
mempunyai batas paling sedikitnya. Sedangkan paling banyak, yang terkenal
menurut Imamiyah adalah sepuluh hari.
Hambali dan Hanafi: Empat puluh hari, sedangkan Syafi’i dan Maliki: Enam
puluh hari. Kalau anak yang lahir itu keluar dari tempat yang bukan biasanya
karena disebabkan pembedahan, maka wanita itu tidak bernifas, tetapi kalau
masalah ‘iddha talak tetap berlaku setelah keluarnya anak itu, menurut
kesepakatan semua ulama mazhab. Hukum nifas adalah sama seperti hukum haid,
baik dari segi tidak sahnya shalat, puasa, dan wajib meng-qadha’ kalau ia
meninggalkan puasa, tetapi tidak wajib qadha’ untuk shalat yang ditinggalkan.
Sama seperti haid, juga diharamkan disetubuhi dan menyetubuhi, menyentuh
Al-Qur’an, berdiam di dalam masjid atau memasukinya, tetapi dalam masalah terakhir
ini ada perbedaan antara mazhab, juga tidak sah kalau ditalak menurut Imamiyah
serta hukum-hukum lainnya. Adapun cara-cara mandi dan syarat-syaratnya, sama
persis seperti haid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar