Minggu, 13 Oktober 2013

AL HABIB ALI BIN JA’FAR BIN AHMAD ALAYDRUS ( BATU PAHAT )

atau yang sering disebut 'Habib Ali Batu Pahat' adalah seorang kekasih Allah yang mengajarkan kepada siapa-pun bahwa di zaman yang sudah amat maju ini orang masih bisa hidup zuhud dan tawadhu. Dalam kesederhanaannya, ia mengarungi hidup dengan tegar. Banyak di antara pecintanya ingin membangunkan rumah mewah sebagai kediaman yang layak bagi orang sebesar dirinya. Namun semuanya ia tolak secara halus. Demikianlah, setiap harinya dia mandi dan mengambil wudhu di kamar mandi yang bersatu dengan sumur tua dalam bangunan yang sangat sederhana.
Tanda keutamaan dalam dirinya sangat jelas. la adalah orang yang ketika wajahnya dipandang, dapat mengingatkan hati yang memandangnya kepada Allah SWT. Akhlaqnya amat luhur dan mulia, sebagai bias dari akhlaq datuknya, Baginda Rasulullah SAW. Sikap zuhud terhadap dunia adalah hiasan terindah dalam kesehariannya. Begitu pula sifatnya yang teramat wara'.
Salah seorang kerabatnya dari Indonesia, yang masih terhitung cucunya, suatu saat mengunjunginya. Saat berada di sana, lewat jendela rumah sederhana itu, sang cucu memandangi buah kelapa yang menggantung di pohon kelapa di sisi rumahnya.
Memperhatikan hal itu, Habib Ali mendekat dan mengatakan kepadanya, "Kamu mau buah kelapa itu? Sebentar. Saya mintakan izin dulu sama si empunya tanah. Sebab, saya hanya menyewa rumahnya, tanahnya tidak ikut saya sewa." Subhanallah. Rumah sederhana yang ia tempati itu pun ternyata rumah sewaan, bukan rumah miliknya.
Sangat Memuliakan Tamu
Hatinya begitu lembut. la tak ingin ada sedikit pun rasa kecewa tumbuh di hati orang yang mengunjunginya. Di rumahnya yang amat sederhana, kecil, dan sempit itu, sedemikian rupa ia muliakan setiap tamu yang datang. Semua ia terima dengan penerimaan yang menyenangkan hati, tak peduli rupa apalagi harta. Berjumpa dengan sosok bersahaja itu, hati pun serasa menjadi lapang seketika. Ruang tamunya pun tak pernah kosong dari ratusan botol kemasan air mineral para tamu yang berharap keberkahan dari doa-doa yang ia lafalkan. Meski amat banyak untuk ukuran seorang yang sudah sesepuh Habib Ali Batu Pahat, ia mendoai satu per satu air itu dengan penuh kekhusyu'an. la amat santun kepada setiap tamunya. Kaya, miskin, ulama, ataupun awam. Siapapun. Meski hidup sederhana, ia bahkan hampir selalu memberikan uang kepada para tamunya. Jumlahnya terkadang tidak kecil. Jika mereka berkunjung pada jam makan, tak mungkin tamunya diizinkan pulang sebelum mereka makan bersamanya. Sifat rendah hatinya kepada setiap tamunya amat mengagumkan. Sebelum sang tamu pulang, orang semulia dirinya ini justru selalu meminta doa dari mereka



Al Habib Ali Bin Husein Al Attas ( Habib Ali Bungur )

Dari Huraidhah ke Betawi

Berjubah dan bersurban putih, serta selempang hijau (radi), Habib Ali bin Husin Alatas, baik semasa tinggal di Cikini maupun Bungur menerima murid-muridnya atau masyarakat yang ingin menanyakan sesuatu hukum atau persoalan agama. Seperti diungkapkan Habib Ali bin Abdurahman Assegaff (62), dalam mengajar, almarhum biasanya berhadap-hadapan dengan para kiai atau ulama ternama yang datang ke kediamannya. Para ulama ini umumnya para pimpinan majelis taklim.

Misalnya KH Abdullah Syafiie, KH Tohir Rahili, KHM Syafi’i Hadzami, atau KH Nur Ali dari Bekasi, yang pada masa revolusi fisik (1945) menggerakkan rakyat melawan Belanda. Sejumlah ulama Betawi lainnya dari generasi yang lebih muda antaranya KH Abdurahman Nawi, pimpinan majelis taklim Al-Awwabin di Tebet (Jakarta Selatan), dan Depok (di kawasan Bintara dan Tugu-Sawangan). Tapi, menurut Habib Ali Assagaff, di antara ulama-ulama ternama juga banyak dari luar Jakarta. Bahkan dari Jawa Timur seperti Habib Husein Almachdor (Bondowoso), Habib Abdullah Bilfagih (Surabaya).

Di kediamannya itu, Habib Ali menerima mereka yang membacakan suatu kitab atau menanyakan suatu masalah kepadanya. Lalu almarhum menerangkan mengenai isi kitab tersebut. Habib Ali Assagaff yang pernah beberapa tahun berguru kepada almarhum membenarkan, umumnya yang belajar kepada beliau adalah para ulama dan kiai ternama. Tapi banyak yang ketika itu menjadi kader-kader ulama, kini telah berhasil menjadi ulama terkemuka.

Meskipun para murid yang belajar kepadanya tidak bersifat massal seperti di majelis-majelis taklim, tapi almarhum Habib Ali seringkali mendatangi diskusi dan pengajian antar-ulama dan kader-kader ulama. Jumlah mereka memang tidak banyak, hanya puluhan orang.

Seperti dikemukakan putranya Habib Husein, biasanya pengajian yang dihadiri lebih banyak muridnya diadakan secara rutin di majelis taklim Attahiriyah, pimpinan KH Tohir Rohili. Akan tetapi, sering pula pengajian semacam ini diadakan di kediaman atau pengajian KH Abdullah Syafi’ie (As-Syafiiyah), KHM Syafi’i Hadzami (Majelis Taklim Asyirotusy-Syafi’iyah) dan di majelis taklim Habib Abdurahman Assegaff, di Bukit Duri, Jakarta Timur.

Tidak seperti di majelis taklim Kwitang misalnya, dimana Habib Ali Alhabsji, mengajar di hadapan ribuan jamaah, Habib Ali Alatas hanya di kalangan terbatas. Seperti dikemukakan oleh KHM Syafi’i Hadzami, salah satu murid kesayangannya, cara mengajarnya ialah mendengarkan para murid-muridnya satu persatu membacakan kitab. Lalu beliau memberikan keterangan, dan dilanjutkan dengan tanya jawab. Baik di Cikini, maupun di Bogor, selama 56 tahun Habib Ali membuka semacam majelis talim khusus untuk para pimpinan dai dan mubaligh. Antara keduanya sampai akhir hayat terjalin hubungan yang sangat akrab, dan keduanya setiap saat sering bertemu. Dalam diskusi terbatas semacam ini, sejumlah kitab yang menjadi rujukan ulama salaf dibahas. Seperti kitab Minhajud Thalibin, kitab Hadis Bukhari-Muslim, hingga kepada kitab-kitab Ihya Ulumuddin-nya Imam Al-Ghazali.

Sejumlah ajengan dan mubaligh dari Bogor, Sukabumi, dan Cianjur, banyak yang mendatanginya. Almarhum juga teman akrab para ulama intelektual kala itu, seperti Buya KH Abdullah bin Nuh, Prof Dr Abubakar Atjeh, dan juga Hamka. Menurut Syafi’i Hadzami, salah seorang murid terdekat almarhum, dia telah menimba ilmu kepadanya selama 18 tahun.

Dari tahun 1958 hingga saat meninggalnya almarhum pada Pebruari 1976. Begitu cintanya ia kepada gurunya ini, sehingga ketika habib Ali pindah ke Bungur, KH Syafi’i dari Kebon Sirih ikut-ikutan pindah. Setelah Habib Ali meninggal dunia, kecintaannya terhadap gurunya ini tidak berkurang. ”Setiap kali saya melewati daerah makamnya di Cililitan, saya selalu membacakan Fatihah dan mendoakannya,” kenang Hadzami dalam buku Sumur yang tak Pernah Kering.

Ke Jakarta
Habib Ali bin Husin Alatas dilahirkan di Huraidhah, Hadramaut, pada tanggal 1 Muharram 1309 atau 1889 Masehi, juga dikenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. Karena pada akhir hayatnya, ia dan keluarga tinggal di Bungur, Jakarta Pusat. Sebelumnya, guru sejumlah kiai Jakarta ini tinggal di Cikini, Jakarta Pusat. Hingga kala itu namanya dikenal dengan sebutan Habib Ali Cikini. Sejak usia enam tahun ia telah menuntut ilmu keislaman pada sebuah ma’had atau pesantren di Hadramaut. Setelah menempuh pendidikan belasan tahun, pada tahun 1912 dalam usia 23 tahun ia pun menunaikan ibadah haji. Di kota suci ini, Habib Ali menetap selama lima tahun yang waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu pada sejumlah ulama. Pada tahun 1917, ia kembali ke Huraidhah, dan mengajar di kota yang banyak memiliki pesantren itu.

Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1920, dalam usia 41 tahun, ia pun berangkat ke Jakarta. Hanya dalam waktu singkat, almarhum yang selalu dekat dengan rakyat itu, telah dapat menguasai bahasa Indonesia. Ia mula-mula tinggal di Cikini, berdekatan dengan Masjid Cikini, yang dibangun oleh pelukis Raden Saleh. Ia dengan cepat dapat menarik perhatian masyarakat setempat.

Habib yang dikenal sebagai guru dari sejumlah ulama terkemuka di Betawi itu, pada masa hidupnya dikenal sebagai ulama ahli dalam bidang fikih, falsafah, tasawuf, dan perbandingan mazhab. Menguasai berbagai kitab kuning dari berbagai mazhab, Habib Ali Alatas, selama 56 tahun telah mengabdikan diri untuk perjuangan agama. Bukan saja di Indonesia, juga di Malaysia dan Singapura, banyak muridnya.

Seperti dikemukakan oleh putranya, yang kini meneruskan majelis taklim ‘Al-Khairat’ di Condet, ayahnya memang tidak mau menonjolkan diri. Padahal, di antara para muridnya merupakan ulama terkemuka kala itu. Seperti KH Abdullah Sjafi’ie, pimpinan majelis taklim Assyfi’iyah, KH Tohir Rohili, pimpinan majelis taklim Attahiriyah, KH Syafi’i Hadzami (ketua umum MUI Jakarta), dan puluhan ulama lainnya. Bahkan, para muridnya itu kemudian menjadi guru para mubaligh, dan perguruan tinggi Islam.

Menurut Habib Husein (62 tahun), ayahnya sangat gandrung kepada persatuan umat (ukhuwwah Islamiyah). Di samping sabar dan tidak mengenal lelah dalam melaksanakan dakwah. Selain di kediamannya, menurut putranya Habib Husein, ayahnya juga mengajar di berbagai tempat. Seperti pada setiap habis shalat Jumat, dia mengajar di Attahiriyah. Ulama yang ikut berguru, bukan hanya dari Jakarta, tapi juga dari Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Habib Husin sendiri di kediamannya di Condet, membuka pengajian untuk masyarakat setempat setiap Ahad malam yang dihadiri sekitar 300-400 jamaah.

Bersama rakyat jelata
Baik selama di Cikini, maupun di Bungur, almarhum menetap di lingkungan kampung bersama rakyat jelata. Seperti dikemukakan oleh salah satu muridnya, Habib Ali bin Abdurahaman Assegaff, salah satu pimpinan jamaah shubuh di Tebet, ”Setiap orang yang mengenal almarhum selalu akan berkata, hidupnya sederhana, dan tawadhu.” Setahu saya, kata Habib Ali Assegaff (60 tahun), ”Beliau tidak pernah menyakiti sesama manusia, teguh memegang prinsip, menolak pengultusan, berani membela kebenaran, luas dalam pemikiran.’

Yang perlu diikuti oleh para ulama masa kini, kata Habib Ali Assegaff, beliau tidak membeda-bedakan kaya dan miskin. Dalam mendekatkan diri dengan rakyat jelata ini, putranya menerangkan, almarhum ayahnya selalu naik becak atau kendaraan umum, karena sikapnya yang ingin berdiri dengan kaki sendiri. Melihat keadaan ini, sering di antara para muridnya yang memaksa beliau untuk menaiki mobilnya. Karena tidak tega melihatnya naik becak dalam usia lanjut.

Sampai akhir hayatnya, ia tidak memiliki mobil karena menerapkan hidup sederhana dan tidak pernah mau menadahkan tangan kepada orang kaya. Ketika berdakwah ke berbagai tempat ia lebih banyak naik becak. Hanya dalam waktu singkat, ia pun menjadi sumber ilmu dari para kiai dan ulama kala itu. Hingga kediamannya di Cikini, di sebuah gang kecil yang tidak dapat dimasuki mobil, selalu didatangi para muridnya yang ingin menambah ilmu. Pada tahun 1960an, rumahnya di Cikini terbakar. Maka ia pun pindah ke Bungur, sebuah kampung di kawasan Senen, yang mayoritas penduduknya warga Betawi.

Di samping itu, Habib Ali pun dalam dakwah Islamnya banyak mendatangi berbagai tempat di Pulau Jawa. Seperti yang dikemukakan oleh KH Idham Chalid, yang juga pernah berguru padanya, almarhum dalam perjuangannya tidak pernah menonjol-nonjolkan diri bahwa ia seorang yang pandai. Ketua DPR/MPR KH Idham Chalid, yang juga ketua umum PBNU. Idham Chalid, kala itu mengatakan, almarhum berani mengoreksi para pemimpin. ”Saya sendiri sering dikoreksinya,” tegas Idham. Sedangkan Habib Ali Assegaff, salah satu muridnya sangat terkesan akan ketegasan gurunya itu. Sementara Idham Chalid mengaku, ”Saya seringkali ditegur karena kesalahan-kesalahan saya, dan almarhum memberi jalan keluar serta nasihat-nasihat.” Pernyataan ini dilontarkan Idham Chalid saat memberikan sambutan pada acara pemakaman almarhum di Cililitan, Jakarta Timur.

Bagi KHM Syafi’i Hadzami ada pengalaman tak terlupakan dengan gurunya itu. Suatu ketika ia menjenguk gurunya yang sedang sakit di kediamannya. Sebagai penghormatan dan adab pada guru, ia pun membuka sandalnya di luar kamar. Melihat muridnya demikian, ia pun menyuruh agar memakai sandalnya itu. Karena KHM Sjafi’i menolak, Habib Ali yang tengah sakit keluar dari kamarnya.

Ia mengambil sandal muridnya, dan minta agar memakainya. ”Saya terkejud dengan perlakuan guru saya yang demikian itu,” ujarnya. Selain Sjafi’i Hadzami, nama-nama besar lain yang pernah menimba ilmu darinya adalah Habib Muhammad Alhabsji (putra Habib Ali Kwitang), Habib Abdulkadir bin Abdullah Bilfagih (Malang), KH Abdullah Syafi’i, KH Tohir Rohili, KH Abdulrazag Ma’mun, Prof Dr H Abubakar Atjeh, KH Nur Ali (Bekasi), dan sejumlah ulama kondang lainnya. (as)

Almarhum meninggal dunia pada 16 Pebruari 1976 dalam usia 88 tahun.
Guru dari beberapa lembaga ilmiah, majelis taklim, dan perguruan agama ini, memang dikenal low profile.

© 2006 Hak Cipta oleh Republika Online



AL HABIB AL QUTHUB 'ALI BIN 'ALWY BIN SHIHAB ( Ahli Thibbun Nabawi )

Banyak ulama Hadromaut yang memiliki keahlian khusus. Selain menguasai ilmu agama, ada beberapa diantaranya yang terkenal sebagai sufi. Sedangkan Habib 'Ali bin 'Alwi bin Shahab dikenal sebagai pakar atithibb an-nabawi (pengobatan cara Nabi).


Beliau lahir dan dibesarkan di lingkungan para wali di Tarim, Hadramaut, pada tahun 1267 H / 1847 M. sejak kecil beliau dididik oleh ayahandanya hingga sang ayah menjelajah beberapa negeri di Asia untuk berdakwah, dan akhirnya bermukim di Palembang, Sumatera selatan.

Selain kepada ayahandanya, Habib Ali berguru kepada beberapa ulama besar. Antara lain :
• Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi ( penulis kitab Iqdul Yawaqitul Jauhariyah ).
• Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi ( penulis naskah mauled Simtud Duror ).
• Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf ( ayahanda Al-Quthb Habib Abdul Qadir Assegaf, Jeddah ).

Setelah dewasa, Habib Ali, bersama saudaranya Habib Hasan, berdakwah ke Asia, sekalian menziarahi ayahandanya di Palembang. Sebelum akhirnya menetap di Palembang, beliau tinggal di Singapura sambil berguru kepada Syekh Umar Al-Khatib; sedangkan Habib Hasan dan saudaranya, kembali ke Hadramaut, Yaman, setelah mengunjungi Gresik, Jawa Timur.

Di Palembang dia mendirikan rumah di perkampungan kaum Alawiyin di sungai Bayas, berhadapan dengan rumah ayahandanya, yang oleh penduduk disebut rumah batu. Rumah itu berlantai dua. Lantai bawah khusus para tamu, lengkap dengan kamar tidur dan kamar mandi. Sedangkan beliau sendiri tinggal di lantai atas.

Kegemaran Habib Ali bin Alwi bin Shahab memuliakan para tamu bukan hanya dalam keadaan jaga, tapi juga dalam keadaan tidur, mungkin bisa disebut dalam keadaan mimpi. Sampai-sampai istrinya, Syarifah Ruqayyah binti Abu Bakar Al-Kaf, pada hari-hari pertama berkeluarga dengan Habib Ali bingung dan mengira suaminya sakit. Sebab dalam keadaan tidur, Habib Ali tampak berdialog dan menyebut nama para wali yang sudah wafat. Agaknya mereka menemui Habib Ali dalam tidurnya.

Tamu Habib Ali, dalam keadaan terjaga, banyak sekali, terdiri para pedagang dan mubalig, baik dari Asia maupun Timur Tengah. Mereka melakukan transaksi dengan Habib Ali, dan Habib Ali menjual barang dagangann ya di Toko "Laris" di pasar Ilir, atau menyalurkannya ke Apotek. Diantaranya terdapat da'wat ( untuk rajah ), khan arab, inggu, dedes, mustaki, minyak wangi. Getar semalo, malam, akar kara, kumo-kumo dan minyak Za'faron.

Rumah Habib Ali juga dimanfaatkan untuk majelis taklim, tempat mendidik anak-anaknya dan beberapa murid lain. Diantara mereka, dibelakang hari ada yang menjadi ulama terkenal, seperti Nungcik Aqil dan mualim Umar. Kepada para muridnya, Habib Ali selalu memberi uang setiap kali mereka selesai belajar.

Suatu hari, Habib Ali memulai majelisnya pada pukul dua dini hari hingga para santrinya kedinginan dan kelaparan lantaran menunggu Habib Ali menghatamkan Al-Qur'an, kebiasaannya tiap hari. Mualim Umar, melihat pisang goring yang disediakan untuk Habib Ali sudah dingin, tapi madu dan ceret kopi sudah kosong.
Setelah menghatamkan Al-Qur'an dan shalat dua raka'at, Habib Ali menyuruh murid-muridnya membuka kitab, sedangkan Mualim Umar disuruh menyajikan kopi, pisang goreng dan madu. Tentu saja Mualim Umar bingung, tapi ia tetap mematuhi perintah sang guru. Betapa ia terkejut ketika didapatinya pisang goring masih panas dan ceret kopi sudah terisi penuh, padahal tak ada orang lain yang mengerjakannya.

Dalam majelisnya yang lain, Habib Ali didatangi seorang pemuda berpakaian rapi, mengenakan jas dan celana panjang dengan rambut tersisir rapi. Tampilan pemuda itu tidak sesuai untuk ukuran majelis taklim. Namun Habib Ali menyambutnya dengan hangat, memeluk dan mencium tangannya, meskipun umur sang tamu masih sangat muda.
"Kalian tahu siapa yang datang tadi?Habib Ali bertanya kepada para santrinya setelah sang pemuda tadi pamit pulang.
"Beliau adalah Habib Salim bin Ahmad bin Jindan dari Jakarta, Waliyullah yang mendapatkan abdal ( salah satu tingkatan wali yang jumlahnya tujuh ) dari Allah swt." Konon, Habib Salim Jindan sengaja berpakaian seperti itu agar para pemuda tidak sungkan-sungkan menghadiri majelis Habib Ali.
Selain di rumah, Habib Ali juga mengajar di beberapa tempat lain, seperti di rumah Habih Muhammad bin Alwi ( pasar Kuto, Palembang ), Pesantren Tahtal Yaman ( Jambi ) dan Madrasah Al-Ihsan ( 10 Ilir, Palembang ) cababg Rabithah Alawiyah ( Jakarta ).

Habib ali juga dikenal sebagai ahli Thibbun nabawi , pengobatan cara Nabi. Mulai dari pembuatan wafak atau wifik, hingga obat-obatan tradisionil yang terkenal mujarab. Produk obatnya yang masih bisa diperoleh hingga saat ini, antara lain minyak mawar, minyak inggu, minyak rahib, minyak telur, minyak labu dan ma,jun bawang putih.

Beliau juga menulis kitab tentang obat-obatan dalam huruf Arab Melayu berjudul Penggirang Hati dan menerbitkan beberapa risalah :
• Fathul Mubin
• Al-Ghirah al-'Alawiyyah 'ala al-Ukhuwwah al-Hadramiyyah
• Tanbihul Anam 'anti Jawiyyah
• Al-Ghirah asy-Syahabiyyah 'ala as-Sirah al-Hasyimiyyah.

Pada suatu hari, ketika sedang beristirahat di teras kamar. Beliau didekati dua ekor burung berwarna putih. Beliau lalu menciprati burung itu dengan minyak wangi, dan si burung disuruh terbang kembali. Tetapi burung tidak terbang juga meski Habib Muhammad, anaknya, ikut mengusirnya. Agaknya Habib Ali memahami situasi tersebut. Lalu dipanggilnya pembantu setianya yang terbaring sakit.
'Ya. Saidah, Izrail sudah datang, dia mau memanggil saya."
Yang dimaksud dengan Izrail, rupanya si burung itu.
"jangan Ya Habib, biar Saidah dulu, tolong Habib doa'kan saya." Jawab Saidah binti Salim al-Maidit yang mengulanginya sampai tiga kali. Akhirnya, ketika magrib tiba, Saidah pun wafat.
Malamnya, Habib Ali mempersiapkan kain kafan untuk Saidah, setelah itu kembali ke kamarnya, sementara burung putih itu masih bertengger di teras rumah.
Keesokan harinya, setelah mandi dan shalat shubuh. Habib Ali minta dimandikan lagi, karena hari itu sahur pertama, terlebih ada jenazah Saidah.
"Rupanya Izrail masih menunggu saya dan saya mau mandi dulu." Kata Habib Ali kepada istrinya. Setelah mandi dengan bantuan anaknya, Habib Muhammad, beliau berbaring. Saat itulah beliau bertanya:
Ya Izrail apakah sudah ada izin dari Allah swt?"
Tidak lama kemudian beliau pun berkata kepada istrinya:
Ya Ipa, sudah ada izin dari Allah awt."
Kontan istrinya berteriak :
"Jangan, Ya Ami……Jangan Ya Ami!
Kemudian Habib Ali berdoa' sambil tetap berbaring, setelah sebelumnya mencelupkan kedua tangannya ke dalam baskom air. Saat itulah Habib Ali berpulang dalam usia 87 tahun, pada 1 Ramadhan 1354 H, bertepatan dengan tanggal 27 November 1935 M.


http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2013/03/al-quthub-al-habib-ali-bin-alwy-bin.html

Al Habib Alwi Bin Ali Al Habsy

Ulama dan dai yang masyhur. Anak bongsu kepada Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi pengarang mawlid “Simthud Durar” yang masyhur. Pendiri masjid ar-Riyadh di Kota Solo (Surakarta). Beliau dikenali sebagai pribadi yang amat luhur budi pekertinya, lemah-lembut, sopan – santun serta ramah tamah terhadap sesiapa pun terutama kaum yang lemah, fakir miskin, yatim piatu dan sebagainya. Rumah kediamannya selalu terbuka bagi para tetamu daripada berbagai golongan dan tidak pernah sepi dari pengajian. Beliau meninggal dunia pada 20 Rabi`ul Awwal 1373H dan dimakamkan di Kota Surakarta. Tempat beliau digantikan anakandanya Habib Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad al-Habsyi, mudah-mudahan Allah panjangkan usianya demi kebaikan Islam dan muslimin. Mudah-mudahan Allah beri kesempatan kita menziarahinya di Kota Solo. Mari hadiahkan al-Fatihah buat Habib Alwi bin Ali bin Muhammad al-Habsyi dan para leluhurnya dan keturunan mereka…. al-Fatihah


AL HABIB ALI BIN AHMAD SHAHAB

Beliau adalah Habib Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Shahabuddin, lahir tahun 1860, dari seorang ayah ulama besar di waktunya yang juga seorang pedagang kaya raya, Habib Ahmad bin Muhammad bin Shahabuddin yang tinggal di rumahnya yang luas di bilangan Pekojan. Habib Ali bin Ahmad dikenal dengan julukan Habib Ali Menteng, yang membangun mesjid di jalan Tangkuban Perahu, Menteng, dan pencetus berdirinya sekolah Islam modern pertama di Indonesia, Jamiat Kheir. Akan tetapi, berdasarkan narasi cucu beliau, yaitu Prof. Tariq bin Abdulmuttalib bin Ali bin Ahmad bin Shahabuddin yang disampaikan oleh putranya Chefik bin Thariq, dikarenakan ketegasan beliau (Habib Ali Menteng) dalam melawan kolonialisme Belanda di Nusantara, terutama perjuangan di Aceh, Tasikmalaya dan Cilegon, dan relasi beliau dengan Kesultanan Utsmaniyyah (Otoman) (Turki) dan Syarif Husin dari Hijaz, maka pemerintah kolonial Belanda waktu itu, yaitu di awal berdirinya Jamiat Kheir di tahun 1901, tidak mengeluarkan izin untuk sekolah tersebut, sampai pada akhirnya beliau menyerahkan kepengurusan sekolah tersebut kepada Habib Abubakar bin Ali bin Shahabuddin, yang di masanya pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan surat izin resmi atas sekolah tersebut di tahun 1919. Beliau, Habib Ali bin Ahmad bin Shahabuddin meninggalkan banyak putra dan putri, di antaranya: Abdulmuttalib, Kazhim, Jamal, Anis, Dhia, Asad, Sidah, Budur, Faiq, Zaki, Wardah, dan lain-lain.


(Penyunting: M. Ghazi Alaidrus)

http://www.rabithah-alawiyah.org/id/topik/sejarah-2/

Karomah As Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki Al Hasani

Ada satu karomah beliau yang dirasakan betul dengan nyata oleh salah seorang muridnya yang saat ini berdomisili di Malang.
Sekitar tahun 1998 si murid yang sudah berkeluarga ini datang kepada beliau untuk meminta nama anak pertama yang masih berada dikandungan istrinya.”Kamu ingin meminta nama?”,tanya Abuya.”Benar wahai Abuya”,jawab si murid.
Kemudian Abuya mengatakan,”Mana tangan kamu, kemari!”. Si murid memberikan tangannya kepada beliau lalu beliau memegang telunjuk si murid sambil berkata,”Pertama laki-laki Muhammad Anas”. Kemudian memegang jari tengah si murid,”Kedua Muhammad Alawi”. Lalu memegang jari manisnya,”Ketiga Abdullah”, kata Abuya.
Ketika memegang jari kelingking si murid beliau terdiam sejenak lalu berkata,”Insya Allah perempuan”.
Subhanallah, apa yang dikatakan oleh beliau semua terjadi tepat sesuai dengan yang beliau katakan. Anak pertama lahir laki-laki, diberi nama Muhammad Anas, kedua juga laki-laki, ketiga juga laki-laki dan yang keempat adalah perempuan. Padahal saat itu mereka semua belum lahir ke dunia ini. Maha suci Allah yang telah membuka hijab kepada hamba-hamba pilihan-Nya.

Diantara karomah beliau yang sangat jelas adalah dimana beliau berada, beliau akan dihormati & disanjung. Dalam pertemuan ulama dibelahan dunia islam atau majlis-majlis ilmu manapun kehadirannya selalu dibanggakan. Tak terkecuali dihadapan penguasa atau pemerintah.

Suatu ketika, di Makkah diadakan pertemuan para tokoh & ulama yang juga dihadiri oleh raja & para aparat penting pemerintahan. Mereka datang dari kota-kota Hijaz.
Raja Kerajaan Arab Saudi saat itu Raja Fahd bin Abdul Aziz tiba ditempat pertemuan & duduk diposisi terdepan dengan kursi khusus yang disiapkan. Disamping kanan kirinya adalah tokoh-tokoh & ulama terkemuka saat itu.
Tidak berselang lama, AsSayyid Muhammad AlMaliki dengan beberapa orang yang mengikutinya tiba ditempat. Begitu Raja melihat kehadiran beliau. Tampaklah kewibawaan beliau yang besar, maka Raja Fahd berdiri menyambut kedatangan Abuya. Otomatis ketika Raja berdiri. Maka semua orang yang ada ditempat itu, baik kalangan pemerintahan maupun ulama & tokoh ikut berdiri. Seakan-akan beliaulah yang ditunggu kehadirannya, padahal disana banyak ulama & tokoh terkemuka.
Kemudian Raja Fahd mempersilahkan Abuya duduk disampingnya, tentu dibarisan paling depan. Sekalipun tadi sepertinya semua kursi sudah terisi, tetapi untuk beliau selalu ada kursi kosong. Maka disiapkanlah kursi untuk tempat duduk beliau.

Siapa yang menjadikan Raja begitu hormat kepada beliau? Siapa yang menyuruh mereka berdiri menyambut kehadirannya & siapa yang menggerakkan hati mereka untuk cinta kepada beliau? Dialah Allah SWT Raja Diraja Yang Maha Kuasa.

Maka tidaklah berlebihan jika seorang bijak berkata,”Sebenar-benarnya raja di dunia ini adalah para ulama”. Memang demikianlah kenyataannya, ulama yang ilmunya barokah & manfaat pasti akan dihormati & dicintai dimanapun berada. Merekalah Auliya Allah, kekasih-kekasih Allah.

Dan daripada bukti ketinggian maqam beliau di sisi Allah & Rasul-Nya, AsSayyid Muhammad AlMaliki tergolong salah satu hamba yang mendapat i’tina’ khasshah (perhatian istimewa) dari Baginda Nabi Muhammad SAW dalam segala gerak-gerik & kehidupan beliau, sekalipun pada hal-hal yang sepele atau kecil.

Maqam seperti ini bukanlah sembarang maqam, sebab hanya hamba-hamba pilihan Allah-lah yang mendapatkannya, seperti AlHabib Abdullah bin Alawi AlHaddad.

Hal ini tampak jelas pada akhir hayat beliau, dimana beliau tidak memotong rambut & tidak memacari jenggotnya. Guru kami AlUstadz AlHabib Sholeh bin Ahmad AlAydrus ketika melaksanakan ibadah haji pada tahun 1424 H dengan beberapa murid-murid Abuya lainnya datang untuk menziarahi beliau.
Lalu Ustadz Sholeh bertanya kepada Abuya kenapa beliau tidak memacari jenggotnya. Abuya diam tidak menjawab. Ditanya kedua kalinya, beliau tetap diam dan ketika ditanya ketiga kali, beliau berkata,”Rasulullah SAW melarangku”.

Maksudnya, Rasulullah melarang beliau untuk memacari jenggot beliau agar tampak ubannya, yang memberi isyarat bahwa manusia itu akan tua & sebentar lagi akan menghadap Allah SWT. Siapapun & bagaimanapun kedudukannya akan menghadapi kematian. Rupanya itu adalah pertanda dekatnya ajal beliau.

Karena memang kenyataannya demikian, pertemuan beliau dengan murid-muridnya yang datang dari Indonesia waktu itu adalah pertemuan terakhir mereka di dunia dengan sang maha guru. Sembilan bulan setelah itu, tepatnya di bulan Ramadhan 1425H beliau dipanggil ke hadirat Allah SWT.

Apa yang terjadi kepada beliau ini mengingatkan kita kepada AlHabib Abdullah bin Alawi AlHaddad. Dimana di akhir hayat beliau, beliau memanjangkan rambutnya, tidak memotongnya, ketika ditanya alasannya, beliau mengatakan bahwa yang beliau lakukan itu karena perintah Rasulullah SAW.




Al Habib Ali Bin Abu Bakar Assegaf

Selain dikenali orang sebagai seorang wali beliau juga salah seorang tokoh ulama yang kenamaan. Beliau sering memberitahukan apa yang tersembunyi dalam hati murid-murid beliau.

Salah seorang murid beliau yang bernama Soleh Bahramil berkata: “Pada suatu kali ketika aku sedang sibuk berzikir di tengah majlis beliau, tibatiba di hatiku tergerak sesuatu yang mengganggu zikirku. Beliau menoleh padaku sambil berkata: “Berzikir itu jauh lebih penting dari apa yang tergerak di hatimu”.

Seorang wanita yang bernama Nahyah binti Mubarak Barasyid pernah tergerak dalam hatinya: “Jika hajatku dikabulkan oleh Allah, ia akan membuatkan sehelai selimut dengan tangannya sendiri untuk Sayid Ali bin Abu Bakar As-Seggaf. Setelah Allah mengabulkan ia terlupa dengan niat dalam hatinya. Sayid Abu Bakar As-Seggaf mengutus salah seorang untuk mengingatkan niat yang tersimpan dalam hati wanita itu. Dengan malu wanita itu membuatkannya segera selimut yang akan dihadiahkan pada Sayid Ali.

Seorang murid beliau berkata: “Pernah aku keluar dari kota Tarim untuk menghantarkan seorang temanku yang hendak berpergian. Temanku itu menitipkan padaku seratus Uqiyah. Dalam perjalananku pulang ke Tarim, wang seratus Uqiyah itu terjatuh ke tengah jalan tanpa kuketahui. Aku datang menemui Sayid Ali, kuadukan kejadian itu. Jawab beliau: “Kembalilah kamu di jalanan yang telah kamu melalui sebelumnya”. Waktu aku keluar menyusuri jalanan yang kulalui, kudapatkan wang seratus Uqiyah itu berada di bawah sebuah tembok di pinggir jalanan.

Seorang muridnya pernah berkata: “Pernah sebiji mata anak perempuan saudaraku terkeluar. Aku datang kepada Sayid Ali As-Seggaf dengan membawa anak perempuan yang keluar matanya itu. Beliau pegang mata itu kemudian dikembalikan pada tempatnya semula. Dengan izin Allah mata yang keluar itu sembuh seperti semula. Aku minta pada beliau mendoakan untuk anak wanita itu agar dapat cepat kahwin. Dengan izin Allah wanita itu segera dipinang orang setelah hidup membujang dalam waktu yang lama”.

Salah seorang kawan beliau berkata: “Pernah aku kehilangan perhiasan yang dibuat dari emas. Aku datang menghadap Sayid Ali As-Seggaf minta doa agar perhiasanku yang hilang itu kutemukan kembali. Beliau berdoa. Waktu pagi hari anehnya kudapati perhiasan itu berada di bawah pohon kurma”.

Sayid Ali bin Abu Bakar As-Seggaf wafat pada tahun 895 H. Jenazahnya dimakamkan di perkuburan Zanbal, Hadramaut.

Dipetik dari: Kemuliaan Para Wali – karangan Zulkifli Mat Isa, terbitan Perniagaan Jahabersa

http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-ali-bin-abu-bakar-as-seggaf/

AL HABIB ALI BIN ABU BAKAR AS SAKRAN

lahir di Tarim pada tahun 818 hijriyah, hafal alquran dan membacanya mujawwad dengan dua riwayat yaitu Abi Amru dan Nafi’, hafal kitab al-Hawi karangan al-Quzwani (baik kitab fiqih dan kitab nahwu), beliau juga seorang  guru besar ilmu syariat.

Kakeknya meninggal ketika ia berusia tiga tahun. Ketika ibunya mengandung, ayahnya syaikh Abubakar Sakran memberitahukan kepada isterinya bahwa anak yang dikandungnya mempunyai maqam yang agung. Syaikh Abubakar Sakran berkata : Sesungguhnya ketika anakku sedang dalam kandungan telah terkumpul pada diri syaikh Ali dua jenis ilmu, akan tetapi hal tersebut masih tersembunyi dan akan terlihat sebelum rambutnya memutih’.

Dan ketika syaikh Ali lahir  berkata kakeknya al-Muqaddam Tsani Abdurrahman Assaqaf, ‘Sesungguhnya kelahiran anak Abubakar adalah kelahiran seorang sufi’. Pada malam ke tujuh kalahirannya berkata saudaranya syaikh Abdullah Alaydrus : ‘Namakan ia dengan Ali’.

Sesudah ayahnya wafat, beliau diasuh oleh pamannya syaikh Umar Muhdhar , yang menjaganya dari hal-hal yang merusak serta mendidiknya dengan kebaikan. Ketika pamannya wafat, beliau masuk khalwat. Dalam khalwatnya beliau mendengar suatu panggilan : ‘Ya ayyuhannafsu mutmainah irji’I ila robbika radhiyamatammardiyah’, kemudian beliau keluar dari khalwatnya dan membaca kitab ihya ulumuddin, maka dibacanya kitab tersebut sampai dua puluh lima kali tamat, setiap tamat dalam membaca kitab tersebut, saudaranya syaikh Abdullah Alaydrus mengundang para fuqaha dan masakin untuk mengadakan tasayakuran.

Guru-guru beliau di antaranya ayahnya Abubakar Sakran, pamannya syaikh Umar Muhdhar, syaikh Saad bin Ali, syaikh Shondid, Muhammad bin Ali shohib shohib Aidid. Belajar fiqih dan hadits kepada al-faqih Ahmad bin Muhammad Bafadhal. Beliau juga belajar ke Syihir, Gail Bawazir. Di Gail Bawazir beliau belajar kepada para fuqaha dari keluarga Ba’amar, al-Baharmiz, syaikh Abdullah bin Abdullah bin Abdurrahman Bawazir, dan tinggal di sana selama empat tahun. Setelah itu beliau pergi ke Aden belajar kepada Imam Mas’ud bin Saad Basyahil, kemudian mennaikan ibadah haji ke baitullah pada tahun 849 hijriyah dan tinggal di rubat Baziyad serta belajar kepada ulama di kota tersebut. Kemudian beliau berziarah ke makam Rasulullah saw dan membaca kita al-Bukhari kepada Imam Zainuddin Abi Bakar al-Atsmani di masjid nabawi.

Murid-murid syaikh Ali bin Abibakar Sakran di antaranya anak-anaknya yang bernama Umar, Muhammad, Abdurrahman, Alwi, Abdullah dan sayid Umar bin Abdurrahman shohibul Hamra, syaikh Abubakar  al-Adeni  Alaydrus, syaikh Muhammad bin Ahmad Bafadhal, syaikh Qasim bin Muhammad bin Abdullah bin syaikh Abdullah al-Iraqi, syaikh Muhammad bin Sahal Baqasyir, syaikh Muhammad bin Abdurrahman Bashuli.

Syaikh Ali seorang  auliya’ yang mempunyai kefasihan lidah, terkumpul padanya keutamaan dan kepemimpinan, beliau juga banyak mengkaji kitab Tuhfah dan mengamalkan isinya, banyak shalat malam dan sesudahnya beliau banyak menangis, seorang yang mempunyai sifat qanaah, tawadhu’. Di antara keistimewaannya jika shalat, beliau lupa akan kehidupan duniawi dan tidak pernah membicarakan dunia dalam majlisnya. Beliau pernah ditanya oleh gurunya syaikh Said bin Ali pada keadaan menghadapi sakaratul maut, ‘Apa yang engkau tinggalkan?’ Beliau menjawab hanya kamar ini.

Berkata saudaranya Abdullah Alaydrus, ‘Orang yang paling dekat hatinya kepada Allah adalah hati saudaraku Ali’. Berkata pula syaikh Abdullah Alaydrus, ‘Sesungguhnya apa yang ada pada diriku karena saudaraku Ali, jika terbenam sinar matahari saudaraku Ali, maka terbenam pula sinar matahariku’. Berkata syaikh Umar Muhdhar kepada anaknya Fathimah sebelum dinikahi dengan syaikh Ali, ‘Wahai Fathimah, nanti engkau akan menikah dengan seorang wali quthub’.

Syaikh Muhammad bin Hasan Jamalullail berkata : ‘Dalam shalat aku berdoa kepada Allah swt agar diperlihatkan kepada seseorang yang mempunyai rahasia-rahasia-Nya dalam zaman ini, maka aku melihat dalam mimpiku seorang lelaki mengambil tanganku dan membawanya kepada syaikh Ali’.

Syaikh Ali seorang yang berjalan di atas thariqah kefakiran yang hakiki, dalam thawafnya beliau berdoa : ‘Allahumma ij’alni nisfal faqir’ (Ya Allah jadikanlah aku dalam keadaan setengah fakir), tidak mempunyai perasaan benci kepada satu orang pun, membaca hizib di antara isya dan setelah hingga terbit matahari. Beliau juga hafal alquran dalam waktu empat puluh hari.

Kitab yang telah dibacanya : Riyadhus Salihin, Minhajul Abidin, al-Arbain, Risalah al-Qusyairiyah, al-Awarif al-Ma’arif, I’lamul Huda, Bidayatul Hidayah, al-Muqtasid al-Asna, al-Ma’rifah, Nasyrul Mahatim, Sarah Asmaul Husna dan lainnya.

Sebagian ulama berkata : ‘ Sesungguhnya memandang beliau menghilangkan kekotoran jiwa, kedudukan dan rahasia al-faqih al-muqaddam ada pada beliau’. Berkata  syaikh Muhammad bin Ali al-Khirrid ; ‘Memandang beliau adalah obat bagi yang melihat, dan perkataannya obat penawar yang mujarrab’.

Syaikh Ali bin Abibakar Sakran wafat pada hari Minggu tanggal dua belas bulan Muharram tahun 895 hijriyah dalam usia 77 tahun. Keturunan beliau di antaranya adalah keluarga al-Wahath, al-Musayyah, al-Umar Faqih, al-Bin Ahsan (Banahsan) , al-Masyhur, al-Zahir, al-Hadi dan al-Shahabuddin.

Diposkan oleh ANDRI WIJAYA


Al Habib Ali Bin Abdurrahman Al Habsy

adalah putera dari Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi. Ayah beliau tinggal di Jakarta. Ibunda beliau yaitu Nyai Salmah berasal dari Jatinegara, Jakarta Timur. Dalam perkawinannya dengan Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi lama sekali tidak memperoleh seorang putera pun. Pada suatu ketika Nyai Salmah bermimpi menggali sumur dan sumur tersebut airnya melimpah-limpah hingga membanjiri sekelilingnya. Lalu diceritakanlah mimpinya itu kepada suaminya.

Mendengar mimpi istrinya, Al-Habib Abdurrahman segera menemui Al-Habib Syeikh bin Ahmad Bafaqih untuk menceritakan dan menanyakan perihal mimpi istrinya tersebut. Lalu Al-Habib Syeikh menerangkan tentang perihal mimpi tersebut bahwa Nyai Salmah istri Al-Habib Abdurrahman akan mendapatkan seorang putra yang saleh dan ilmunya akan melimpah-limpah keberkatannya.

Apa yang dikemukakan oleh Al-Habib Syeikh itu tidak berapa lama menjadi kenyataan. Nyai Salmah mengandung dan pada hari Minggu tanggal 20 Jumadil ‘Awal 1286 bertepatan tanggal 20 April 1870 lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Ali bin Abdurrahman Alhabsyi.

Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi tidak lama hidup mendampingi putra yang beliau cintai tersebut. Beliau berpulang ke Rahmatulloh ketika putra beliau masih berumur 10 tahun. Tetapi sebelum beliau wafat, beliau sempat menyampaikan suatu wasiat kepada istrinya agar putra beliau hendaknya dikirim ke Hadramaut dan Makkah untuk belajar ilmu agama Islam di tempat-tempat tersebut.

Untuk memenuhi wasiat suaminya, Nyai Salmah menjual gelang satu-satunya perhiasan yang dimilikinya untuk biaya perjalanan Habib Ali Alhabsyi ke Hadramaut dan Makkah. Karena di waktu wafatnya Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi tidak meninggalkan harta benda apapun. Dalam usia 10 tahun berangkatlah Al-Habib Ali Alhabsyi dari Jakarta menuju Hadramaut, dengan bekal sekedar ongkos tiket kapal laut sampai di tempat yang dituju.

Sesampainya di Hadramaut, Al-Habib Ali sebagai seorang anak yang sholeh, tidak mensia-siakan masa mudanya yang berharga itu untuk menuntut ilmu yang bermanfaat, sambil mencari rizki yang halal untuk bekal hidup beliau selama menuntut ilmu di tempat yang jauh dari ibunya. Sebab beliau menyadari bahwa ibunya tidak mampu untuk mengirimkan uang kepada beliau selama menuntut ilmu di luar negeri tersebut.

Diantara pekerjaan beliau selama di Hadramaut dalam mencari rizki yang halal untuk bekal menuntut ilmu ialah mengambil upah menggembala kambing. Pekerjaan menggembala kambing ini rupanya telah menjadi kebiasaan kebanyakan para sholihin, terutama para Anbiya’. begitulah hikmah Ilahi dalam mendidik orang-orang besar yang akan diberikan tugas memimpin umat ini.

Diantara guru-guru beliau yang banyak memberikan pelajaran dan mendidik beliau selama di Hadramaut antara lain :

Al-’Arif billah Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi (Shohibul maulid di Seiwun)

Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-’Attos (Huraidha)

Al-Habib Al-Allammah Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (Mufti Hadramaut)

Al-Habib Ahmad bin Hasan Alaydrus (Bor)

Al-Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor (Guwairah)

Al-Habib Idrus bin Umar Alhabsyi (Ghurfah)

Al-Habib Muhammad bin Sholeh bin Abdullah Alatas (Wadi Amed)

As-Syeikh Hasan bin Mukhandan (Bor)

Setelah belajar di Hadramaut, beliau melanjutkan pelajaran di tanah suci Makkah, dibawah didikan ulama-ulama besar disana, diantaranya :

Mufti Makkah Al-Imam Muhammad bin Husin Alhabsyi

Sayid Bakri Syaththa’

As-Syeikh Muhammad Said Babsail

As-Syeikh Umar Hamdan

Berkat doa ibu dan ayah beliau, juga berkat doa para datuk-datuk beliau, terutama datuk beliau Rasullulloh SAW, dalam masa 6,5 tahun belajar di luar negeri Al-Habib Ali telah memperoleh ilmu Islam yang murni, luas dan mendalam yang dibawanya kembali ke Indonesia.

Meskipun demikian, beliau adalah seorang yang tidak sombong atas ilmunya. Beliau tidak menganggap bahwa ilmu yang dimilikinya sudah cukup. Beliau masih dan selalu mengambil manfaat dari para alim ulama yang ada di Indonesia saat itu. Beliau mengambil ilmu dari mereka. Diantara para guru beliau yang ada di Indonesia adalah :

Al-Habib Muhammad bin Thohir Alhaddad (Tegal)

Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya)

Al-Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Empang, Bogor)

Al-Habib Husin bin Muhsin Asy-Syami Alatas (Jakarta)

Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor (Bondowoso)

Al-Habib Ahmad bin Muhsin Alhaddar (Bangil)

Al-Habib Abdullah bin Ali Alhaddad (Bangil)

Al-Habib Abdullah bin Usman Bin Yahya (Mufti Jakarta)

Selain menuntut ilmu, beliau juga aktif dalam mengembangkan dakwah Islamiyyah, mengajak umat Islam untuk mengikuti ajaran-ajaran Islam yang suci dengan dasar cinta kepada Alloh dan Rasul-Nya SAW.

Selain di pengajian tetap di majlis ta’lim Kwitang yang diadakan setiap hari Minggu pagi sejak kurang lebih 70 tahun yang lalu hingga sekarang dengan kunjungan umat Islam yang berpuluh-puluh ribu, beliau juga aktif menjalankan dakwah di lain-lain tempat di seluruh Indonesia. Bahkan hingga ke desa-desa yang terpencil di lereng-lereng gunung. Selain itu Al-Habib Ali Alhabsyi juga berdakwah ke Singapura, Malaysia, India, Pakistan, Srilangka dan Mesir. Beliau juga sempat mendirikan sebuah madrasah yang bernama Unwanul Ulum. Beliau banyak juga mendirikan langgar dan musholla, yang kemudian diperbesar menjadi masjid. Selain itu beliau juga sempat menulis beberapa kitab, diantaranya Al-Azhar Al-Wardiyyah fi As-Shuurah An-Nabawiyyah dan Ad-Durar fi As-Shalawat ala Khair Al-Bariyyah.

Beliau selain ahli dalam menyampaikan dakwah ilalloh, beliau juga terkenal dengan akhlaknya yang tinggi, baik terhadap kawan maupun terhadap orang yang tidak suka kepadanya. Semuanya dihadapinya dengan ramah-tamah dan sopan santun yang tinggi. Terlebih lagi khidmat beliau terhadap ibunya adalah sangat luar biasa. Dalam melakukan rasa bakti kepada ibunya sedemikian ikhlas dan tawadhu’nya, sehingga tidak pernah beliau membantah perintah ibunya. Biarpun beliau sedang berada di tempat yang jauh, misalnya sewaktu beliau sedang berdakwah di Surabaya ataupun di Singapura, bila beliau menerima telegram panggilan dari ibunya, segera beliau pulang secepat-cepatnya ke Jakarta untuk memenuhi panggilan ibunya tersebut.

Maka tidak heran apabila ilmu beliau sangat berkat, dan dakwah beliau dimana-mana mendapat sambutan yang menggembirakan. Setiap orang yang jumpa dengan beliau, apalagi sampai mendengarkan pidatonya, pastilah akan tertarik. Terutama di saat beliau mentalqinkan dzikir atau membaca sholawat dengan suara mengharukan, disertai tetesan air mata, maka segenap yang hadir turut meneteskan air mata. Dan yang demikian itu tidak mungkin jika tidak dikarenakan keluar dari suatu hati yang ikhlas, hati yang disinari oleh nur iman dan nur mahabbah kepada Alloh dan Rasul-Nya SAW.

Akhirnya sampailah waktu dimana beliau memenuhi panggilan Allah. Beliau berpulang ke haribaan Allah pada hari Minggu tanggal 20 Rajab 1388 bertepatan dengan 13 Oktober 1968, di tempat kediaman beliau di Kwitang Jakarta, dalam usia 102 tahun menurut Hijriyah atau usia 98 tahun menurut perhitungan Masehi. Ungkapan duka cita mengiringi kepergian beliau. Masyarakat berbondong-bondong hadir mengikuti prosesi pemakaman beliau…dalam suasana sendu dan syahdu. Seorang ulama besar telah berpulang, namun jasa-jasa dan ahklak mulia beliau masih tetap terkenang…menembus batasan ruang dan zaman.

Radhiyallahu anhu wa ardhah…

Referensi :

Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Muhammad Syamsu Assegaf.
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-ali-bin-abdurrahman-alhabsyi/



Al Habib Ali Bin Abdurrahman Al Jufri

Ia membentuk sekelompok dai yang dikenal dengan akhlaqnya, keterbukaan pikiran dan keluasan dadanya, serta kesiapannya untuk melakukan dialog secara intensif dan bebas dengan masyarakat Barat.

Penampilan fisiknya mengagumkan: tampan, berkulit putih, tinggi, besar, berjenggot tebal dan rapi tanpa kumis. Wajar jika kehadirannya di suatu majelis selalu menonjol dan menyita perhatian orang.

Tetapi kelebihannya bukan hanya itu. Kalau sudah berbicara di forum, orang akan terkagum-kagum lagi dengan kelebihan-kelebihannya yang lain. Intonasi suaranya membuat orang tak ingin berhenti mengikuti pembicaraannya. Pada saat tertentu, suara dan ungkapan-ungkapannya menyejukkan hati pendengarnya. Tapi pada saat yang lain, suaranya meninggi, menggelegar, bergetar, membuat mereka tertunduk, lalu mengoreksi diri sendiri.

Namun jangan dikira kelebihannya hanya pada penampilan fisik dan kemampuan bicara. Materi yang dibawakannya bukan bahan biasa yang hanya mengandalkan retorika, melainkan penuh dengan pemahaman-pemahaman baru, sarat dengan informasi penting, dan ditopang argumentasi-argumentasi yang kukuh. Wajar, karena ia memang memiliki penguasaan ilmu agama yang mendalam dalam berbagai cabang keilmuan, ditambah pengetahuannya yang tak kalah luas dalam ilmu-ilmu modern, juga kemampuannya menyentuh hati orang, membuat para pendengarnya bukan hanya memperoleh tambahan ilmu dan wawasan, melainkan juga mendapatkan semangat dan tekad yang baru untuk mengoreksi diri dan melakukan perubahan.

Itulah sebagian gambaran Habib Ali bin Abdurrahman Al-Jufri, sosok ulama dan dai muda yang nama dan kiprahnya sangat dikenal di berbagai negeri muslim, bahkan juga di dunia Barat.

Ia memang sosok yang istimewa. Pribadinya memancarkan daya tarik yang kuat. Siapa yang duduk dengannya sebentar saja akan tertarik hatinya dan terkesan dengan keadaannya. Bukan hanya kalangan awam, para ulama pun mencintainya. Siapa sesungguhnya tokoh ini dan dari mana ia berasal?

Menimba Ilmu dari para Tokoh Besar
Habib Ali Al-Jufri lahir di kota Jeddah, Arab Saudi, menjelang fajar, pada hari Jum’at 16 April 1971 (20 Shafar 1391 H). Ayahnya adalah Habib Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Alwi Al-Jufri, sedangkan ibundanya Syarifah Marumah binti Hasan bin Alwi binti Hasan bin Alwi bin Ali Al-Jufri.

Di masa kecil, ia mulai menimba ilmu kepada bibi dari ibundanya, seorang alimah dan arifah billah, Hababah Shafiyah binti Alwi bin Hasan Al-Jufri. Wanita shalihah ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam mengarahkannya ke jalur ilmu dan perjalanan menuju Allah.

Setelah itu ia tak henti-hentinya menimba ilmu dari para tokoh besar. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf adalah salah seorang guru utamanya. Kepadanya ia membaca dan mendengarkan pembacaan kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, Tajrid Al-Bukhari, Ihya’ Ulumiddin, dan kitab-kitab penting lainnya. Cukup lama Habib Ali belajar kepadanya, sejak usia 10 tahun hingga berusia 21 tahun.

Ia juga berguru kepada Habib Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad, ulama terkemuka dan penulis karya-karya terkenal. Di antara kitab yang dibacanya kepadanya adalah Idhah Asrar `Ulum Al-Muqarrabin. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki juga salah seorang gurunya. Kepadanya ia mempelajari kitab-kitab musthalah hadits, ushul, dan sirah. Sedangkan kepada Habib Hamid bin Alwi bin Thahir Al-Haddad, ia membaca Al-Mukhtashar Al-Lathif dan Bidayah Al-Hidayah.

Ia pun selama lebih dari empat tahun menimba ilmu kepada Habib Abu Bakar Al-`Adni bin Ali Al-Masyhur, dengan membaca dan mendengarkan kitab Sunan Ibnu Majah, Ar-Risalah Al-Jami`ah, Bidayah Al-Hidayah, Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah, Tafsir Al-Jalalain, Tanwir Al-Aghlas, Lathaif Al-Isyarat, Tafsir Ayat Al-Ahkam, dan Tafsir Al-Baghawi.

Pada tahun 1412 H (1991 M) Habib Ali mengikuti kuliah di Fakultas Dirasat Islamiyyah Universitas Shan`a, Yaman, hingga tahun 1414 H (1993 M).

Kemudian ia menetap di Tarim, Hadhramaut. Di sini ia belajar dan juga mendampingi Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz sejak tahun 1993 hingga 2003. Kepadanya, Habib Ali membaca dan menghadiri pembacaan kitab-kitab Shahih Al-Bukhari, Ihya’ Ulumiddin, Adab Suluk Al-Murid, Risalah Al-Mu`awanah, Minhaj Al-`Abidin, Al-`Iqd An-Nabawi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, Al-Hikam, dan sebagainya.

Selain kepada mereka, ia pun menimba ilmu kepada para tokoh ulama lainnya, seperti Syaikh Umar bin Husain Al-Khathib, Syaikh Sayyid Mutawalli Asy-Sya`rawi, Syaikh Ismail bin Shadiq Al-Adawi di Al-Jami` Al-Husaini dan di Al-Azhar Asy-Syarif, Mesir, juga Syaikh Muhammad Zakiyuddin Ibrahim. Di samping itu, Habib Ali juga mengambil ijazah dari 300-an orang syaikh dalam berbagai cabang ilmu.

Dakwah yang Dialogis
Berbekal berbagai ilmu yang diperolehnya, ditambah pengalaman berkat tempaan para gurunya, ia pun mulai menjalankan misi dakwahnya. Aktivitas dakwahnya dimulai pada tahun 1412 H/1991 di kota-kota dan desa-desa di negeri Yaman. Ia kemudian berkelana dari satu negeri ke negeri lain. Perjalanannya ke mancanegara dimulai pada tahun 1414 H/1993 dan terus berlangsung hingga kini.

Berbagai kawasan negara dikunjunginya. Misalnya negara-negara Arab, yakni Uni Emirat Arab, Yordania, Bahrain, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Oman, Qatar, Kuwait, Lebanon, Libya, Mesir, Maroko, Mauritania, Jibouti.

Negara-negara non-Arab di Asia, di antaranya Indonesia, Malaysia, Singapura, India, Bangladesh, Sri Lanka. Di Afrika, di antaranya ia mengunjungi Kenya dan Tanzania. Sedangkan di Eropa, dakwahnya telah merambah Inggris, Jerman, Prancis, Belgia, Belanda, Irlandia, Denmark, Bosnia Herzegovina, dan Turki. Ia pun setidaknya telah empat kali mengadakan perjalanan dakwah ke Amerika Serikat; pertama tahun 1998, kedua tahun 2001, ketiga tahun 2002, dan keempat tahun 2008. Di samping juga mengunjungi Kanada

Perjalanan dakwahnya ke berbagai negeri membawa kesan tersendiri di hati para jama’ah yang mendengarkan penjelasan dan pesan-pesannya.

Di Jerman, ia membuat jama’ah masjid sebanyak tiga lantai menangis tersedu-sedu mendengar taushiyahnya. Orang-orang yang tinggal di Barat, yang cenderung keras hatinya, ternyata bisa lunak di tangan Habib Ali. Di Amerika ada yang merasa bahwa memandang dan berkumpul bersama Habib Ali Al-Jufri selama satu malam cukup untuk memberinya tenaga dan semangat untuk beribadah selama tiga bulan. Di Inggris ia terlibat pelaksanaan Maulid Nabi di stadion Wembley. Di Denmark ia mengadakan jumpa pers dengan kalangan media massa.

Di Darul Musthafa, Tarim, Hadhramaut setiap tahun, bulan Rajab-Sya`ban, ia menjadi pembicara rutin Daurah Internasional. Ia pun merangkul para dai muda di Timur Tengah, serta membimbing dan memberikan petunjuk kepada para pemuda yang berbakat. Ia suka duduk bersama para pemuda dan mengadakan dialog terbuka secara bebas.

Dalam berdakwah, ia aktif menjalin hubungan dengan berbagai kalangan masyarakat. Ia memasuki kalangan yang paling bawah, seperti suku-suku di Afrika, hingga kalangan paling atas, seperti keluarga keamiran Abu Dhabi. Ia berhubungan dengan kalangan awam hingga kalangan yang paling alim, seperti Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi (mufti de facto negeri Syria), Syaikh Ali Jum`ah (mufti Mesir), dan ulama-ulama besar lainnya.

Banyak sekali bintang film, artis dan aktris, para seniman, di Mesir yang bertaubat di tangannya. Ini mengakibatkan pemerintah Mesir merasa khawatir, kalau hal ini berlangsung terus akan memberikan dampak buruk bagi industri perfilman Mesir, yang merupakan salah satu sumber penghasilan utama setelah pariwisata. Artis yang sebelumnya “terbuka” jadi berhijab, yang dulunya aktor jadi berdakwah.

Kini ia pun secara rutin tampil di televisi. Penyampaian dakwahnya menyentuh akal dan hati. Cara dakwahnya yang sejuk dan simpatik, pandangan-pandangannya yang cerdas dan tajam, pembawaannya yang menarik hati, membuatnya semakin berpengaruh dari waktu ke waktu.

Kemunculan Habib Ali di dunia dakwah membawa angin segar bagi kaum muslimin, terutama kalangan Sunni. Cara dakwahnya berbeda dengan dakwah kalangan yang cenderung keras, kasar, dan kering dari nilai-nilai ruhani, serta cenderung menyerang orang lain, dan banyak menekankan pada model konflik ketimbang harmoni dengan kalangan non-muslim. Bahkan mereka memandang masyarakat muslim sekarang sebagai reinkarnasi dari masyarakat Jahiliyah.

Beberapa waktu lalu koran Denmark kembali menampilkan kartun Nabi. Berbeda dengan reaksi sebagian kalangan muslim yang penuh amarah dan tindak kekerasan di dalam menanggapinya, Habib Ali Jufri dengan kesejukan hatinya serta ketajaman pandangan, pikiran, akal, dan mata bathinnya telah melakukan serangkaian langkah yang bervisi jauh ke depan. Ia berharap, langkah-langkahnya akan berdampak positif bagi kaum muslimin, terutama yang tinggal di negara-negara Barat, serta akan menguntungkan dakwah Islam di masa kini dan akan datang.

Bukannya melihat kasus ini sebagai ancaman dan bahaya terhadap Islam dan muslimin, Habib Ali justru secara cerdas melihat hal ini sebagai peluang dakwah yang besar untuk masuk ke negeri Eropa secara terbuka, untuk menjelaskan secara bebas tentang Rasulullah SAW dan berdialog dengan penduduk serta kalangan pers di sana tentang agama ini dan tentang fenomena muslimin. Singkatnya, ia justru melihat ini sebagai peluang dakwah yang besar.

Tentu saja cara pandang Habib Ali juga disebabkan pemahamannya yang sangat dalam tentang karakter masyarakat Barat. Salah satu karakter terbesar mereka adalah mempunyai rasa ingin tahu yang besar, berpikir rasional, dan memiliki sikap siap mendengarkan. Karakter-karakter umum ini, ditambah sorotan perhatian kepada Rasulullah, merupakan peluang besar untuk memberikan penjelasan. Mereka ingin tahu tentang Nabi SAW, berarti mereka dalam kondisi siap mendengarkan. Mereka rasional, berarti siap untuk mendapatkan penjelasan yang logis.

Apabila kita bisa menjelaskan tentang Nabi SAW dan agama ini kepada mereka dengan cara yang menyentuh akal dan hati mereka, maka kita justru akan bisa mengubah mereka. Dari yang anti menjadi netral, yang netral menjadi pro, yang pro menjadi muslim, yang antipati menjadi simpati, yang keras menjadi lembut, yang marah menjadi dingin, yang acu menjadi penasaran. Sekaligus pula mencegah simpatisan menjadi oposan, pro menjadi anti dan seterusnya.

Karena karakter masyarakat Barat yang terbuka, toleran, lebih bisa menerima keanekaragaman budaya, maka peluang dakwah terbuka bebas. Inilah ranah ideal untuk dakwah Islamiyah. Tentu saja ini bagi para da`i yang berfikiran terbuka, berakal lurus dan tajam, cerdas memahami situasi kondisi, dan memiliki dada yang cukup lapang dalam menerima tanggapan negatif, serta giat melakukan pendekatan yang konstruktif dan positif, serta memiliki akhlak yang mulia. Di sinilah Habib Ali Al-Jufri masuk dengan dakwahnya yang dialogis.

Terjalinnya Silaturahim
Tentu saja untuk berani melakukan dialog dengan pers Barat dibutuhkan kecerdasan dan keluasan berpikir serta pemahaman atas pola berpikir masyarakat Barat. Habib Ali dan para dai ini, selain sangat memahami masyarakat Barat, juga memiliki tim khusus yang melakukan penelitian-penelitian secara ilmiah dan mendetail tentang subyek apa pun yang dibutuhkan.

Ketika melihat berbagai reaksi yang ada atas kasus kartun Nabi, Habib Ali menemukan satu benang merah: semua kelompok dalam masyarakat Islam marah. Kemarahan yang mencerminkan masih adanya sisa-sisa mahabbah kepada Nabi SAW ini bersifat lintas madzhab, lintas thariqah, lintas jama’ah, bahkan lintas aqidah. Habib Ali melihat ini sebagai peluang pula untuk menyatukan visi kaum muslimin dan menyatukan barisan mereka. Kalau kaum muslimin tak bisa bersatu dalam madzhab, thariqah, bahkan aqidah, mereka ternyata bisa disatukan dalam mahabbah dan pembelaan terhadap Nabi SAW.

Langkah Habib Ali tidak berhenti di sini. Ia membentuk sekelompok dai yang dikenal dengan akhlaqnya, keterbukaan pikiran dan keluasan dadanya, serta kesiapannya untuk melakukan dialog secara intensif dan bebas dengan masyarakat Barat. Kemudian ia bersama kelompok dai ini mengadakan safari intensif keliling Eropa bertemu dengan kalangan pers dan berbagai kalangan lainnya untuk memberikan penjelasan.

Habib Ali dan para dai tersebut mengambil momen ini untuk memupuk cinta muslimin kepada Rasulullah, untuk menghidupkan lagi tradisi-tradisi yang lama mati, dan untuk mengajak muslim berakhlaq mulia sebagaimana akhlaq nabinya, sambil mengingatkan kaum muslimin yang berdemo agar menjaga adab dan akhlaq Nabi. Ia juga menyeru kepada kaum muslimin untuk memanfaatkan momen ini dengan menghadiahkan buku-buku tentang Nabi Muhammad kepada para tetangga dan kawan-kawan mereka yang non-muslim, serta untuk membuka topik untuk menjelaskan kepada mereka tentang Rasulullah dan kedudukan beliau di lubuk hati kaum muslimin.

Bukan hanya itu. Ia pun memanfaatkan momen ini untuk menyatukan dai-dai sedunia dalam satu shaf dan mempelopori berdirinya organisasi dai sedunia. Yang menarik, dalam semua tindakan dan langkahnya ini, ia senantiasa menggandeng, berkoordinasi, dan bermusyawarah serta melibatkan para ulama besar dunia, seperti Syaikh Muhammad Sa`id Ramadhan Al-Buthi, Syaikh Ali Jum`ah (mufti Mesir), dan ulama-ulama besar lainnya. Sehingga gerakan ini menjadi gerakan kolektif, milik bersama, bukan milik Habib Ali saja.

Sebagai salah satu dampak dari gerakan ini adalah terjalinnya silaturahim dan tersambungnya komunikasi yang sebelumnya terputus atau kurang intensif di antara para ulama dan dai muslimin karena mereka menjadi giat berkomunikasi lintas madzhab, pemikiran, kecenderungan pribadi, bahkan lintas aqidah.

Gerakan yang dipelopori Habib Ali ternyata mampu mengikat sejumlah besar pemuka Islam dari berbagai latar belakang yang berbeda ke dalam satu shaf lurus yang panjang untuk bersama-sama menanggapi sebuah isu internasional dengan satu suara bulat yang tidak terpecah-pecah.
Kita berharap, ini tidak akan berakhir, bahkan justru menjadi sebuah awal dari persatuan ulama dan dai-dai muslimin. 


Diposkan oleh Majlis Arrahman


Al Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad

Baqiyyatus Salaf wa Sayyidul Khalaf, Habib Ahmad Masyhur bin Thoha al-Haddad adalah seorang ulama, wali dan da`i dari keturunan Habib ‘Umar bin ‘Alawi al-Haddad yang merupakan adik bongsu kepada Habib Abdullah al-Haddad. Beliau dilahirkan sekitar tahun 1325H di Qaydun oleh seorang hababah sholehah lagi hafaz al-Quran iaitu Hababah Shofiyyah binti Thohir bin ‘Umar al-Haddad.

Habib Ahmad Masyhur telah mendapat didikan dan asuhan agama sedari kecil lagi. Beliau menimba ilmunya dari ibunya dan lain-lain ulama termasuklah belajar kepada pendiri Rubath Qaydun dua bersaudara iaitu Habib ‘Abdullah bin Thohir al-Haddad dan saudaranya Habib ‘Alwi bin Thohir al-Haddad. Di bawah dua ulama ini, Habib Ahmad mendalami lagi pengetahuan agamanya dalam bidang fiqh, tawhid, tasawwuf, tafsir dan hadis. Dalam usia muda, beliau telah hafal al-Quran dan menguasai berbagai lapangan ilmu agama sehingga diberi kepercayaan untuk mengajar pula di rubath tersebut. Habib Ahmad yang tidak pernah jemu menuntut ilmu turut menangguk ilmu di Rubath Tarim dengan para ulama yang mengajar di sana.

Tatkala berusia awal 20-an, Habib Ahmad telah dibawa oleh gurunya Habib ‘Alwi bin Thohir al-Haddad ke Indonesia. Di sana selain berdakwah, beliau meneruskan pengajian dengan ramai lagi ulama di sana, antaranya dengan Habib ‘Abdullah bin Muhsin al-’Aththas, Habib ‘Alwi bin Muhammad al-Haddad dan Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhar.

Sekitar tahun 1350H, Habib Ahmad berhijrah ke Afrika Timur untuk berdakwah dan menyebar risalah nendanya yang mulia, Junjungan Nabi s.a.w. Beliau menetap di Mombasa, Kenya, dan dari situlah beliau melancarkan dakwahnya ke seluruh pelosok benua Afrika. Pada tahun 1375H, beliau berhijrah pula ke Kampala, Uganda dan menetap di situ sekitar 13 tahun. Habib Ahmad dengan sungguh-sungguh dan gigih telah menghabiskan masanya untuk berdakwah menyeru umat kepada agama yang diredhai sehingga dikatakan sepanjang beliau berada di Afrika, puluhan ribu penduduk di sana, bahkan setengah mengatakan jumlah tersebut menjangkau ratusan ribu, yang memeluk agama Islam ditangannya. Di samping itu beliau turut mengorbankan harta bendanya untuk agama dengan membangunkan banyak masjid dan madrasah dalam rangka dakwahnya di sana.

Hari Rabu, 14 Rajab 1416H bersamaan 6 Disember 1995M, Habib Ahmad telah dipanggil kembali ke rahmatUllah di Jeddah. Setelah disembahyangkan di Jeddah dengan diimamkan oleh almarhum Habib Dr. Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani dengan kehadiran Habib ‘Abdul Qadir as-Saqqaf, jenazahnya yang mulia telah dibawa ke Makkah dan disholatkan sekali lagi di hadapan Ka’bah al-Musyarrafah sebelum dimakamkan di Jannatul Ma’la. Selain meninggalkan ribuan murid, Habib Ahmad turut meninggalkan beberapa karangan antaranya:

1. Miftahul Jannah;
2. Majmu` Fatawa;
3. Syarh Nadzam Sa`id bin Nabhan;
4. ad-Durratun Nafi`ah; dan
5. as-Sabhatuts Tsaminah.

Di samping itu, beliau turut meninggalkan beberapa rangkaian ucapan sholawat yang indah dan penuh asrar dan keberkatan. Antara sholawat gubahan Habib Ahmad adalah satu sholawat yang menyebut penciptaan Junjungan Nabi s.a.w. daripada nur kepunyaan Allah, yang berbunyi:-

Wahai Allah, Tuhan sumber cahaya alam semesta
Limpahkan sholawat atas Junjungan yang Engkau cipta
Dari nur milikMu ciptaan indah tiada tara
Dan ampunilah aku serta sinarilah hatiku yang alpa
Dengan makrifatMu terang bercahaya
Juga dengan makrifatnya akan diriMu yang Maha Mulia
Atas keluarga serta sahabat baginda limpahkanlah sama
Limpahan sholawat dan salam sejahtera

Akhirul kalam, cuplikan ceramah Sidi Yahya Rhodus yang, antara lain, menceritakan bahawa Habib Ahmad Masyhur al-Haddad telah mengIslamkan 300,000 orang selama dakwahnya di Afrika Timur…Allahu ..Allah. Moga Allah sentiasa mencucuri rahmat dan keredhaanNya ke atas Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad serta para leluhurnya. Allahumma aamiin .. al-Fatihah.


Diposkan oleh Majlis Arrahman



AL ALLAMAH AL ARIF BILLAH AL QUTHUB AL HABIB AHMAD BIN UMAR BIN AHMAD AL HINDUAN RA

Nasab Beliau:
Habib Ahmad Bin Umar Bin Ahmad Bin Aqil Bin Muhammad Bin Abdullah Bin Umar Al-Hinduan Bin Ahmad Bin Hasan Al-Waraa' Bin Ali Bin Muhammad Mauladdawillah Bin Ali Bin Alwi Al-Ghuyur Bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam Bin Ali Bin Muhammad Shohib Mirbath Bin Ali Kholi' Qosam Bin Alwi Bin Muhammad Shohib Shum'ah Bin Alwi Bin Ubaidillah Bin Ahmad Al-Muhajir Bin Isa Ar-Rumi Bin Muhammad A-Naqib Bin Ali Al'Uraidhi Bin Imam Ja'far Ash-Shodiq Bin Imam Muhammad Al-Baqir Bin Imam Ali Zainal Abidin Bin Imam Hussain Bin Imam Ali Bin Abi Tholib (Bin Assayyidah Fatimah Azzahro) Binti Ar-Rosul Al-A'dzhom Muhammad SAW.

Allamah Al-Habib Ahmad Al-Hinduan memiliki peribadi yang mulia, berwajah lemah lembut dan berfikiran tajam. Memiliki banyak keutamaan,alim dan menguasai berbagai bidang pengetahuan.Pengarang kitab yang sarat dengan berbagai macam ilmu.Beliau tumbuh baik dalam asuhan ayahnya Al-Habib Al-Faqih Umar Bin Ahmad Bin Aqil Al-Hinduan. Disamping itu beliau juga memperoleh asuhan dari paman-pamannya dari pihak ibunya, yang juga merupakan ulama pada masa itu seperti: Al-Habib Ahmad, Al-Habib Abu Bakar yang merupakan putera-putera dari Al-Habib Al-Faqih Husain Ba Faqih RA. Kemudian beliau juga memperoleh didikan dari beberapa ulama lain seperti: Al-Mu'allim Abdullah Ba Jam'an sebagai guru dalam bidang Al-Quran. Dan beliau juga belajar kepada Al-Habib Abdurrahman Bin Abdullah Ba Harun, Al-Faqih Muhammad Bin Ahmad Ba Jubair, Syeikh Abdullah Bin Abu Bakar Al-Khotib dan As-Syarif Sahl Bin Ahmad Ba Hasan.

Beliau mempunyai perhatian dan kegemaran dalam menuntut ilmu dengan penerimaan yang baik, sentiasa melazimkan ketaatan dan ibadah di setiap kesempatan manakala tidak ada kesibukan.

Al-Quthb Al-Ghauts Al-Habib Abdullah Bin Alwi Al-Haddad, pengarang Ratib Al-Haddad menuturkan tentang pengalaman dirinya selama bersama dengan Al-Habib Ahmad Al-Hinduan. "Diantara kami dengan Al-Habib Ahmad Al-Hinduan terdapat persahabatan serta kedekatan yang tak terpisahkan, kami selalu duduk bersama dalam keramahan diberbagai kegiatan dimasa belajar kepada Al-Faqih Abdurrahman, As-Sayyid Sahl dan Al-Faqih Abdullah Al-Khotib di Zawiyah Alhajirah."

Berkenaan dengan keperibadian Al-Habib Ahmad Al-Hinduan diungkapkan oleh Al-Habib Abdullah Al-Haddad iaitu: "Al-Habib Ahmad Al-Hinduan adalah seorang tokoh yang alim, wara',memiliki ketajaman jiwa (mukasyafah), lemah lembut dan zuhud. Kami mengakui keutamaan yang dimilikinya dan berharap dapat memiliki sifat seperti beliau."

Al-Habib Ahmad Al-Hinduan melakukan perjalanan ke India dan beliau tinggal disana dalam beberapa waktu untuk membantu paman dari saudara ibunya Al-Habib Abu Bakar.
Kemudian beliau kembali ke Tarim (Yaman), dan dari Tarim beliau melakukan ibadah haji serta berziarah ke pusara kakeknya Baginda Rasulullah SAW. Semenjak itu beliau keluar masuk India sebanyak 2 atau 3 kali. Namun setelah paman beliau (Al-Habib Abu Bakar) meninggal dunia, beliau menetap di Tarim, hingga beliau wafat di sana.

Al-Habib Ahmad Bin Umar Al-Hinduan meraih mukasyafah pada usia 18 tahun. Yakni mampu menyaksikan perihal kejiwaan seseorang, apakah orang tersebut dalam keadaan suci ataukah berhadas. Kemudian beliau berdoa kepada Allah agar mukasyafah tersebut ditutup, dikeranakan beliau tidak mahu menatap hal-hal yang bersifat demikian.

Beliau juga memperoleh gelar "Qiblat Ad-DunYa" yang bererti kiblat dunia. Hal ini merupakan gelar penghormatan atas kepakaran beliau dalam dunia hukum islam (Fiqh), sehingga tidak tertandingi pada zamannya. Dan bukti keberhasilan beliau adalah mencetak kader, dimana muridnya yakni, Al-Habib Abdurrahman Bin Abdullah Ba Faqih yang meraih gelar "Alamat Ad-Dun Ya" yang bererti tanda dunia, yakni beliau mampu mengetahui dari bekas telapak kaki musafir dari mana dia berasal dan siapa gurunya, dan apakah guru si musafir itu masih hidup ataukah sudah meninggal. Bahkah beliau dapat membaca letak Ka'abah dari hembusan angin. Jika Al-Habib Abdurrahman Ba Faqih sedemikian luar biasa, maka bagaimana lagi dengan Al-Habib Ahmad Bin Umar Al-Hinduan yang selaku gurunya?!

Al-Habib Ahmad Bin Umar Al-Hinduan juga memiliki kekeramatan, dimana setiap beliau melaksanakan Sholat,maka terasa olehnya kenikmatan yang tak terhingga bahkan melampau segala kelazatan badani.

Dalam kitab Sabiil Al Muhtadin hal 100-118 termaktub Selawat karya Al-Habib Ahmad Bin Umar Al-Hinduan Radhiyaallah 'anhu yang sangat panjang. Selawat tersebut memiliki makna yang tinggi tentang tauhid dan makrifat, akhlak, pujian dan doa dengan bahasa yang indah. Kitab selawat tersebut diberi nama "Al Kawaakibul Mudhiiah Fi Sh-Shalaati' Alaa Khairil Bariyyah" yang bererti Bintang-Bintang yang bercahaya (dalam Selawat) atas sebaik-baik makhluk (iaitu Sayyidina Muhammad SAW). Selawat tersebut bagaikan cahaya bintang dilangit. Dengan kita membaca selawat dimaksud maka InsyaAllah akan mendapat limpahan cahaya, rahmat, taifiq dan hidayah dari Allah SWT dan Syafa'atnya Rasulullah Muhammad SAW. Sehingga akan mencapai derajat yang tinggi di dunia dan akhirat.

Dalam kitab Ghayah Al Qashd dikutip pernyataan singkat Al-Habib Abdullah Al-Haddad kepada Al-Habib Ahmad Bin Umar Al-Hinduan Radhiyallah 'anhuma. Dimana pada suatu kesempatan Al-Habib Abdullah berkata kepada Al-Habib Ahmad Bin Umar Al-Hinduan: "Perasaan hati kami selalu bersamamu, (duhai) engkau AL-HINDUAN".Al-Habib Ahmad Al-Hinduan menjawab: Tak ada yang dapat menyenangkan dan memperbaiki perasaan hati kami selain AL-HADDAD".

Dalam kitab Rafu Al-Astaar tertulis pengakuan langsung dari pengarangnya iaitu: Al-Habib Abdurrahman Bin Abdullah Bin Ahmad Ba Faqih. Bahwa Al-Habib Ahmad Bin Umar Al-Hinduan RA adalah peribadi yang alim, tersohor, dan memahami berbagai bidang ilmu. Aku telah membaca kitab dihadapannya pada berbagai kesempatan secara tekun dan mengambil manfaat dari dirinya. Dan aku telah memakai khirqah mulia (pakaian simbol sufi) dari beliau berulang kali. Dan beliau telah memberi ijazah kepadaku baik secara khusus ataupun umum. Dan aku menemani Al-Habib Ahmad Bin Umar Al-Hinduan RA hingga beliau wafat di tahun 1122H.

Al-Habib Ahmad Bin Umar Al-Hinduan RA wafat tanpa menderita suatu penyakit, pada malam jumaat tanggal 19 atau 20 shafar tahun 1122H, disemadikan di Tarim, Hadharamaut (Yaman). Dan Beliau meninggalkan banyak anak, putera dan puteri.

Sumber Daripada : Al-Habib Al-Sayyid Murtadha Bin Muhsin Al-Hinduan (Situbondo,januari 2006,Penghimpun)

http://mediasyababunnabawi.blogspot.com/2011/11/al-allamah-al-arif-billah-al-quthub-al.html

Habib Ahmad bin Husein as-Segaf

dilahirkan di Kota Bangil, Jawa Timur dalam tahun 1935. Ayahanda beliau al-Habib Husein bin Abu Bakar rahimahUllah adalah seorang ulama yang sholeh yang dalam penguasaannya dalam ilmu fiqh. Dari usia kecil lagi, Habib Ahmad mendapat asuhan dan didikan agama dengan ketat oleh ayahanda beliau tersebut. Datuk beliau, al-Habib Abu Bakar bin Husein as-Segaf, rahimahUllah juga seorang sholeh yang diakui kewaliannya oleh khalayak ramai. Beliau mengabdikan hayatnya untuk membantu segala fakir dan miskin serta sesiapa sahaja yang perlukan bantuan. Beliau merupakan sahabat dan murid al-Quthub al-Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf rahimahUllah.

Habib Ahmad telah meneruskan pengajian agamanya dengan menjadi santri kepada Habib Muhammad Ba`Abud rahimahUllah di Pesantren Darun Nasyi'in, Lawang, kemudian ke Bondowoso untuk belajar dengan Habib Hasan BaHarun rahimahUllah. Akhirnya, Habib Ahmad telah berangkat ke Makkah al-Mukarramah untuk mengaji dengan Prof. Dr. Habib Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani. Habib Ahmad bermastautin selama kira-kira 6 tahun di Makkah, dan selain dengan Buya al-Maliki, beliau turut menimba ilmu dan mengambil ijazah dan sanad daripada beberapa ulama besar al-Haramain seperti Habib 'Abdul Qadir bin Ahmad as-Saqqaf, Syaikh 'Abdullah bin Sa`id al-Lahji dan ramai lagi, rahimahumUllah.
Sekembalinya dari Kota Makkah, beliau telah turut bersama Habib Hasan bin Ahmad BaHarun membuka Pesantren Darul Lughah wad Da'wah. Habib Ahmad telah mengabdikan dirinya sebagai tenaga pengajar di pesantren tersebut selama lebih kurang 25 tahun. Setelah wafatnya Habib Hasan rahimahUllah, Habib Ahmad telah mendirikan pesantrennya sendiri di Bangil, Jawa Timur dengan nama Darul Ihya` Li Ulumiddin. Habib Ahmad hafizahUllah terkenal sebagai ulama yang tegas dalam menghadapi berbagai aliran sesat yang bertentangan dengan pegangan Ahlus Sunnah wal Jama`ah terutamanya ajaran Syiah. Mudah-mudahan Allah melanjutkan usia beliau dalam sihat wal `afiat yang sempurna serta melindungi serta merahmati beliau sentiasa.

Diposkan oleh Majlis Arrahman


H Abdur Rasyid Bin H Kuderi

beliau seorang alim ulama dan juga seorang wali nikah dan maqam beliau di anjir km 19