Selasa, 26 November 2013

Asal Muasal Gelar Basyaiban

Basyaiban adalah salah satu famili yang terdapat dalam keluarga Alawiyin. Dalam buku-buku nasab keluarga Alawiyin  bahwa keluarga Basyaiban memiliki kakek yang sama dengan famili Jamalullail, Al-Qadri, Bin Sahil, As-Srie, Baharun, Al-Junaid, Al-Habsyi, As-Syatri. Beliau adalah Muhammad Asadullah bin Hasan al-Turabi bin Ali bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.

Pertama kali yang menggunakan gelar Basyaiban adalah Waliyullah Al-Imam Abubakar Basyaiban  bin Muhammad Asadullah. Beliau salah satu tokoh di zamannya, hafal alquran, mempelajari fiqih kepada syaikh al-jalil Muhammad bin Abubakar Ba’abad. Guru beliau ini memuji Al-Imam Abubakar Basyaiban akan kecerdasannya serta memberikan ijazah tertulis kepadanya, Al-Imam Abubakar Basyaiban belajar tasawuf kepada al-arif billah as syaikh al Imam Abdurrahman Assegaf hingga As Syaikh Al Imam Abdurrahman Assegaf memakaikan khirqah kepadanya.  Beliau wafat di kota Tarim pada awal tahun 807 hijriyah. Antara Waliyullah Al-Imam Abubakar Basyaiban  bin Muhammad Asadullah dengan As Syaikh Al Imam Abdurrahman Assegaf  hidup dalam satu zaman yakni mereka berdua ada keturunan generasi ke 22 dari Ar-Rasul Muhammad saw.


Keturunan Keluarga Basyaiban

Habib Abubakar Basyaiban bin Muhammad Asadullah memiliki dua orang anak laki-laki : Muhammad dan Ahmad. Muhammad keturunannya terputus, sedangkan Ahmad(wafat 870H) memiliki keturunan hanya melalui anaknya yang bernama Muhammad al-Syaibah yang wafat di Qasam. Muhammad al-Syaibah memiliki seorang anak bernama Umar yang lahir di tahun 881 H dan wafat 945 H di Qasam. Beliau hafal alquran pada usia yang relatif masih kecil. Kemudian beliau pergi ke kota Tarim untuk menuntut ilmu. Di Tarim, Umar bin Muhammad al–Syaibah Basyaiban belajar kepada para tokoh ulama di antaranya al-imam al-allamah Muhammad bin Abdurrahman Bilfaqih, al-Faqih Abdullah bin Abdurrahman Balahaj. Belajar tasawuf kepada syaikh Abdurrahman bin Ali bin Abubakar al-Sakran, Syaikh Ma’ruf bin Abdullah Bajamal dan beliau berkenan memberikan khirqah kepadanya. Di antara karangannya adalah kitab yang berjudul ‘Tiryaq al-Qulub al-Waf bi Zikri Hikayat al-Saadah al-Asyraf’ dan Tarikh Al Basyaiban dimana kitab ini adalah tulisan tangan beliau sendiri dan saat ini ada di Musium London


Beliau juga mempunyai salah seorang murid yang masyhur di Zamannya yaitu Syeikh Abubakar bin Salim,lahir 919H dan wafat 992H(Datuk yang menurunkan Famili Bin syeikh Abubakar bin Salim / BSA).Beliau wafat di kota yang sama pada tahun 944 hijriyah, memiliki anak bernama Abdullah dan Abdurrahman. Abdullah keturunannya tersebar di Deccan,India. Salah satu anak perempuan dari Al Habib Al Imam Abdullah bin Umar bin Muhammad al-syaibah ini  adalah Syarifah Salmah nikah dengan al Imam Al Habib Abdurahman Al Qadhi bin Ahmad Syihabuddin Al Akbar bin Abdurahman  bin as syech Ali Assakran dan mendapatkan beberapa putra yakni Al Imam Muhammad al Hadi,Al Imam Ahmad syahabudin al-Asghor(yang melahirkan keluarga bin shahab,az zhair.al masyhur,al hadi),Al Imam Abdullah dan al Imam Abubakar(dari sini juga lahir klg bin shahab yg di sebut al abubakar syahabuddin). Jadi keluarga besar Syahabuddin ini lahir dari rahimnya keluarga Basyaiban.

Abdurrahman bin Umar Basyaiban wafat di Tarim tahun 993 hijriyah, memiliki dua orang putra yakni Syihabuddin  dan Abdullah, wafat tahun 1013 hijriyah di Balqam, India. Beliau adalah famili Basyaiban yang pertama kali hijrah ke luar Tarim yaitu ke India dan Aceh. Abdullah bin Abdurrahman Basyaiban memiliki tiga orang putra yakni Ahmad,Muhammad dan Umar dan sorang putri yang bernama as Syarifah Fathimah   menikah dengan al Imam Muhammad bin Ahmad al Kaff bin Muhammad Kurai kurah bin Ahmad bin Abubakar Al Jufri. Jadi keluarga besar al Kaff ini lahir dari rahimnya kluarga Basyaiban.

Abu Hafs Umar bin Abdullah Basyaiban dikenal di wilayah Gujarat sebagai sayyid Umar al-Aydarusi (yang merupakan guru dari Syekh Nuruddin al-Raniri ).Menurut al-Raniri, sayyid Umar Basyaiban yang menginisiasinya ke dalam tarekat Rifa’iyah di samping tarekat Aidarusiyah dan tarekat Qadiriyah. Di Tarim, Sayyid Umar Basyaiban belajar kepada syaikh Abdullah bin Syech Alaydrus, Syekh Abdurrahman al-Qadhi bin Ahmad Syihabuddin, Muhammad al-Hadi dan Ahmad Syihabuddin.

Beberapa tahun di Tarim, beliau meneruskan perjalanannya ke Mekkah dan Madinah selama empat tahun belajar dan mengambil khirqah dengan para ulama Haramain, di antaranya sayyid Umar bin Abdullah al-Basri, Ahmad bin Ibrahim bin Allan, dan Abdurrahman al-Khatib. Setelah itu Ia kembali ke Tarim dan menikah. Di kemudian hari dia pergi ke Surat-India untuk belajar kepada syaikh Muhammad bin Abdullah al Ausath bin Syech bin Abdullah bin Syech bin Abdullah Al Akbar Alaydrus (lahir di tarim 970 H dan wafat di Surat India 1031H) yang menginisiasinya ke dalam tarekat Aidarusiyah. Sayyid Umar menganggap syaikh Muhammad bin Abdullah Al aydarus bapak spritualnya. Di antara murid sayyid Umar lainnya di Indonesia adalah syekh Yusuf al-Makasari.

Melalui murid-murid utamanya, seperti al-Raniri dan al-Makasari, sayyid Umar bin Abdullah Basyaiban menyebarkan gagasan-gagasan keagamaan dari Tarim dan Haramain ke India dan wilayah Indonesia. Sayyid Umar Basyaiban tinggal di Bijapur, salah satu pusat pengetahuan Islam dan tasawuf terkemuka di India. Di sana, dia menikmati perlindungan dari sultan Adil Syah dari kesultanan Brahmani, kemudian dia pindah ke Burhanpuri dan menyelesaikan beberapa kitab yang dikarangkannya, pada akhir hayatnya beliau ke Balqam dan wafat di sana pada tahun 1066H / 1656 M. Al-Habib Umar bin Abdullah Basyaiban meninggalkan tiga belas anak laki-laki, di antaranya bernama Abdurrahman yang bergelar Tajudin, disebut Abdurahman Tajuddin.

http://ittihad-basyaiban.blogspot.com/2012/05/sekilas-sejarah-keluarga-basyaiban.html

ANGGOTA BADAN YANG WAJIB DITUTUPI KETIKA SHALAT

  Semua ulama mazhab sepakat bahwa setiap orang lelaki dan wanita wajib menutupi sebagian anggota badannya ketika shalat sebagaimana yang diwajibkannya untuk menutupi bagian anggota badannya di hadapan orang lain (bukan muhrimnya) di luar shalat. Hanya mereka berbeda pendapat bila lebih dari itu. Maksudnya apakah wanita itu diwajibkan menutupi wajah dan dua telapak tangannya, atau hanya sebagian dari keduanya ketika shalat, padahal bagi wanita itu tidak diwajibkan untuk menutupinya di luar shalat? Dan apakah orang lelaki wajib menutupi selain pusar dan lutut ketika shalat, padahal ketika di luar shalat ia tidak wajib menutupinya? Hanafi: Bagi wanita wajib menutupi belakang dua telapak tangan dan dua telapak kakinya, sedangkan bagi orang lelaki wajib menu­tupi dari lutut ke atas sampai pada pusar. Syafi’i dan Maliki: Bagi wanita boleh membuka wajahnya, dan dua telapak tangannya (baik dalam maupun luarnya) ketika shalat.  Hambali: Tidak boleh dibuka kecuali wajahnya saja. Imamiyah: Bagi setiap orang, baik lelaki maupun wanita wajib menutupi anggota badannya ketika shalat sebagaimana yang diwajib­kan untuk menutupinya di luar shalat kalau ada orang lain (bukan muhrimnya) yang melihatnya, sedangkan bagi wanita boleh membuka wajahnya ketika shalat dengan ukuran yang dicuci dalam wudhu, boleh membuka dua telapak tangannya sampai pergelangannya dan kedua kakinya sampai dua betisnya, luar dalam. Sedangkan bagi lelaki wajib menutupi dua kemaluannya dan yang paling utama adalah antara pusar dan lutut.  Syarat-syarat Penutup Dalam Shalat Pakaian penutup itu mempunyai syarat-syarat yang harus diusahakan dan diperhadkan, yaitu: Suci Sucinya kain penutup dan badan adalah merupakan syarat dari sahnya shalat, menurut kesepakatan semua ulama mazhab, hanya setiap mazhab telah mengecualikan beberapa sesuatu yang dimaafkan (dibolehkan) ketika shalat, sebagaimana yang dijelaskan di bawah ini: Imamiyah: Yang termasuk dimaafkan adalah darah yang keluar dari luka dan bisul, kudis dan semacamnya, baik banyak maupun sedikit, baik di pakaian maupun di badan kalau menghilangkannya sulit dan sukar. Batas darah itu harus lebih sedikit dari bundaran dirham, baik dari orang yang shalat itu sendiri maupun dari orang lain, dengan syarat darah itu harus menyatu (berkumpul) bukan berceceran dan bukan dari darah yang tiga ini, yaitu: Darah haid, nifas dan darah istihadhah, serta bukan pula dari darah binatang yang najis, seperti darah anjing dan babi, bukan pula dari bangkai. Dimaafkan pula najis yang menimpa pakaian yang bukan merupakan pelengkap shalat, seperti kopiah (peci), kaos kaki, sandal, cincin dan gelang kaki, serta benda-benda yang dibawa seperti pisau dan uang kertas; juga dimaafkan dari baju wanita pengasuh untuk anak-anak, baik ibunya mau­pun bukan, dengan syarat dicuci sedap hari, dan bila tidak bisa ia harus menggantinya. Setiap najis yang mengena pakaian atau badan bila dalam keadaan darurat, maka najis itu dimaafkan. Maliki: Dimaafkan dari kencing yang terus-menerus yang tidak bisa ditahan dan juga yang selalu buang air besar (yang tidak bisa ditahan-tahan) dan basah karena terkena penyakit wasir; juga yang menimpa baju atau pakaian orang (wanita) yang menyusui, baik itu dari kencing atau kotoran dari yang disusuinya dan juga mengenai baju atau badan penjagal, pembersih tempat mengambil wudhu dan dokter bedah, dan darah walaupun da­rah itu dari babi, dengan syarat tidak lebih dari bundaran dirham; serta darah yang keluar dari bisul-bisul dan dari kotoran kuda, dan banyak lagi lain-lainnya yang sengaja kami tinggalkan (lewat-kan) begitu saja, karena jarang terjadi. Hanafi: Dimaafkan dari najis kalau hanya sebesar bundaran dirham: baik itu darah maupun lain-lainnya, dan juga dari kencing, kotoran kucing dan tikus kalau dalam keadaan darurat, serta dari percikan kencing kalau hanya sedikit (sebesar ujung jarum) dan darah yang mengenai penjagal karena darurat, dan dari Lumpur jalan walau bercampur dengan najis kalau ia tidak nampak oleh pandangan mata, dan seterusnya dan najis-najis yang ringan (mukhaffafah) seperti kencing binatang yang dagingnya boleh dimakan kalau melumuri seperempat pakaian atau kurang dari seperempatnya. Syafi’i: Dimaafkan dari setiap najis kalau sedikit yang tidak kelihatan, dan dari Lumpur jalan yang bercampur dengan najis mukhaffafah (ringan) dan dari ulat buah-buahan, keju, dan dari cairan-cairan yang najis yang dimaksudkan untuk mengobati, bau-bauan yang harum, dan dari kotoran burung, dari bulu yang najis tapi sedikit selain bulu anjing dan babi, dan lain-lainnya yang dijelaskan di dalam beberapa buku secara panjang lebar.  Hambali: Dimaafkan dari darah dan nanah yang sedikit dan dari Lumpur jalan yang telah jelas najisnya serta dari najis yang me­ngenai mata manusia yang bila dibasuhnya sangat membahayakannya. Memakai Sutra Semua ulama mazhab sepakat bahwa memakai sutra dan emas adalah diharamkan bagi lelaki ketika shalat dan diluarnya, tetapi bagi wanita boleh, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam: “Diharamkan memakai sutra dan emas bagi lelaki yang menjadi umatku, dan dihalalkan bagi wanita-wanita mereka. “ Dari landasan pemikiran ini Imamiyah berbeda pendapat:Tidak sah shalatnya orang yang memakai sutra, khususnya bagi lelaki, dan juga tidak sah shalatnya kalau memakai pakaian yang disulam dengan emas, baik ia (pakaian) tali celana, peci, maupun kaos kaki sampai pada cincin emas, hanya mereka (Imamiyah) membolehkan untuk memakai sutra pada waktu shalat karena sakit atau dalam keadaan perang. Syafi’i: Kalau seorang lelaki shalat dengan memakai sutra, maka ia berarti telah melakukan sesuatu yang diharamkan, hanya sha­latnya tetap sah. (Al-Nawawi, Syarhul Muhadzdab, Jilid 3, halaman 179). Saya tidak mendapatkan teks yang jelas dari mazhab-mazhab yang lain yang menjelaskan batalnya shalat atau sahnya kalau memakai sutra, tetapi Hanafi sependapat dengan pandangan Syafi’i, begitu juga Hambali dalam salah satu riwayatnya berdasarkan kaidah umum, yaitu bahwa larangan untuk memakai sutra dan emas itu tidak berlaku dalam shalat dan tidak perlu mengulanginya lagi, sebagaimana larangan tentang ghashab, yang mana kalau memakai pakaian ghashab shalat tetap sah, hanya orang yang mukallafitu telah melakukan yang haram dan yang wajib secara bersamaan. Maka memakai sutra pun dalam shalat adalah sah, tetapi tetap haram memakainya. Dalam buku Al-Fiqhu ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah dijelaskan bahwa bagi orang yang sangat terpaksa dibolehkan memakai pakaian sutra ketika shalat dan tidak wajib mengulanginya lagi, menurut kesepakatan semua ulama mazhab. Kain Penutup Yang Dihalalkan Imamiyah: Mensyaratkan bahwa kain penutup aurat itu adalah dengan barang yang dihalalkan. Maka kalau ada seseorang yang shalat dengan pakaian (penutup) ghashab, dan ia mengetahui bahwa pakaiannya itu ghashab batallah shalatnya. Salah satu riwayat Ibnu Hambali juga berpendapat demikian. Mazhab-mazhab yang lain: Tetap sah shalat kalau memakai pa­kaian yang ghasab, karena larangan itu tidak berlaku dalam shalat yang dapat mencegah sahnya shalat. Imamiyah: Justru lebih memperketat tentang masalah ghashab ini sampai sebagian dari Imamiyah ada yang berpendapat: Kalau ada seseorang yang shalat dengan pakaian yang benangnya dari barang ghasab, atau membawa pisau atau uang dirham ghashab, atas apa saja dari hasil rampasan, maka shalatnya tidak sah, hanya mereka berpendapat: Kalau ia shalat dengan barang ghashab ka­rena tidak mengetahuinya atau karena lupa, maka shalatnya tetap sah. Kulit Binatang yang Tidak boleh dimakan Dagingnya Hanya Imamiyah saja yang menyatakan bahwa shalat seseorang itu tidak sah bila ia shalat pada kulit yang dagingnya tidak boleh dimakan sekalipun telah dimasak, baik itu bulunya, wolnya, ekor-nya, maupun rambutnya, dan juga sesuatu yang keluar dari binatang tersebut, seperti keringatnya dan air liurnya yang masih basah (lembab), walaupun hanya bulu kucing atau sejenisnya yang jatuh pada pakaian orang yang shalat itu, maka bila ia meneruskannya padahal ia mengetahuinya, batallah shalatnya. Mereka mengecualikan lilin dan madu, darah kepinding, kutu, udang dan lain-lainnya dari binatang yang tidak berdaging, sebagaimana mereka mengecualikan rambut manusia, keringatnya dan air liurnya. Imamiyah: Juga membatalkan shalat kalau kain penutup itu terdiri dari sebagian kulit bangkai binatang, baik dagingnya itu boleh dimakan maupun tidak, baik binatang yang darahnya mengalir maupun tidak, baik kulitnya itu dimasak maupun tidak.  Kalau pakaian orang shalat itu terkena najis yang tidak dimaafkan, dimana ia harus memilih, apakah ia akan shalat dengan kain najis atau akan shalat dengan telanjang, lain apa yang harus ia lakukan? Hambali: la harus shalat dengan pakaian yang najis itu, tetapi ia wajib mengulanginya lagi. Maliki dan kebanyakan dari Imamiyah: la harus shalat dengan pakaian yang najis itu, dan ia tidak meng­ulanginya lagi. Hanafi dan Syafi’i: la harus shalat dengan telanjang bulat, dan ia tidak boleh memakai pakaian yang terkena najis itu untuk shalat


Al-Imam Muhammad bin Ali Maula Ad-Dawilah

Beliau adalah Al-Imam Muhammad Maula Ad-Dawilah bin Ali bin Alawy bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqoddam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali Qosam bin Alawy bin Muhammad bin Alawy bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad An-Naqib Muhammad bin Ali Al-Uaridhy bin Ja’far As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Huasin bin Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Zahra Al-Batul putri Rasulullah SAW.

Riwayat Hidup Imam Muhammad Muala Ad-Dawilah

Imam Muhammad Maula Ad-Dawilah dilahirkan dikota ilmu Tarim, ayahnya Imam Ali bin Alawy meninggal dunia sejak beliau masih kanak-kanak, sepeninggal ayahnya beliau diasuh oleh pamanya Syeh Abdullah Ba Alawy.
Imam Maula Ad-Dawilah sejak kecil sudah mendapat bimbingan ilmu syari’ah dari ayahnya kemudian pamanya serta kerabat yang lain, pada usianya yang masih belia, beliau sudah hafal separuh Al-Qur’an, hal tersebut dikarenakan beliau dilahirkan dan dididik dalam keluarga ahli ilmu dan amal, selain itu kota tarim tempat beliau dilahirkan adalah kota ilmu, penduduknya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits, mereka adalah ahli ibadah, orang-orang yang takut akan adzab Allah, suatu keadaan masyarakat yang pantas untuk dijadikan suri tauladan baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat, maka suatu hal yang lazim kalau dalam usia yang masih belia sudah mendapatkan ajaran dasar-dasar ilmu syari’ah baik itu Al-Qur’an ilmu fiqih hadits ataupun Tasawuf.

Berkenaan hal tersebut penulis Al-gurar dalam kitabnya halaman 187 menukil dari kitab “al-Juz Al-Latif Fi At-Tahkim Asyarif” karangan Imam Abu Bakar bin Abdullah Al-Idrus Al-Adany dalam menyipati baiat, Adab  Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Ali Maula Ad-Dawilah  yang didapatkan dari ayahnya As-syeh As-Shalih Al-Wali Al-Arif billah Al-Faqih Jamaluddin Muhammad bin Ali Maula Ad-Dawilah, dan Syeh Muhammad tersebut mengambil dari ayahandanya Syeh Ali bin Alawy selain mengambil dari pamanya Syeh Abdullah Ba Alawy.

Melaksanakan Ibadah Haji

Ketika Imam Maula Dawilah menginjak usia remaja beliau pergi ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji, selain melaksanakan ibadah haji, ketika berada di Makkah dan Madinah beliau juga sempat menimba ilmu dari para ulama dikedua kota usci tersebut,  dalam perjalanan kembali ke Hadhramaut beliau bertemu dengan Syeh Al-Arif billlah Ali bin Abdullah Ath-tawsy dan dalam kesempatan keduanya saling mengakui atas kelebihan masing-masing. Dan merupakan salah satu sifat beliau adalah kalau mengetahui suatu ilmu syari’ah, maka beliau langsung mengamalkanya dan tidak meninggalkannya.

Mujahadah dan Sebagian Ahwalnya Imam Muhammad Maula Dawilah

Dalam kitab Al-Masra’ Arrawy juz 2:200, Imam Muhammad Maula Ad-dawilah mempunyai riadloh, ahwal dan maqomat, kebanyakan amalannya adalah amalan hati, dalam melakukan amalanya beliau tidak mau dilihat orang, bahkan keluarganya sekalipun, kebanyakan waktunya beliau digunakan untuk uzlah di hutan, pada waktu uzlah itulah seringkali datang halnya dan barokahnya zahir sekali. Selain ahli ibadah Imam Muhammad Maula Dawilah juga adalah seorang da’i ilallah, dan terkadang ketika beliau memberikan mauidzoh hasanah datanglah halnya, maka beliau berbicara dengan perkataan yang agung sekali yang berkenaan dengan ilmu syari’ah ataupun hakikat, yang dimaksud dengan “hal” adalah turunya anugerah dari Allah, sebab banyaknya dzikir, bacaan al-qur’an dan amal ibadah lainya, sehingga tenanglah jiwanya dan bersihlah jiwanya, kemudian keluar daripadanya perkataan yang diilhamkan dari Allah. Adakalanya hal tersebut bukan berupa ketenangan jiwa, tapi sebaliknya adalah kegelisahan dan ketakutan akan keagungan Allah SWT, dikisahkan ketika beliau berada dihadapan pamanya Syeh Abdullah Ba Alawi, datanglah halnya dan beliau pingsan. Ketika ada orang yang mempertanyakan keadaan beliau tersebut, beliau mengatakan “telah turun kepadaku sesuatu, kalau diturunkan diatas gunung maka gunung tersebut akan hancur lebur”.

Selanjutnya pengarang Al-Masra’ mengatakan, ada seseorang yang melaksanakan shalat di Masjid dan ketika itu Sayid Muhammad bin Ali masih tidur, ketika orang tersebut sujud maka berkata dalam hatinya, “aku berdiri dan duduk melaksanakan shalat, sedangkan dia (Sayid Muhammad bin Ali) tidur, padahal kata orang dia adalah panutan ulama”, maka seketika itu juga dia tidak bisa mengangkat kepalanya dari tempat sujud, dahinya seakan menempel ke bumi, maka bertaubatlah dia dan tidak meragukan lagi atas keutamaan sayid Muhammad bin Ali, melihat orang tadi tidak bisa mengangkat kepalanya, sayid Muhammad bin Ali menyuruh salah satu orang yang berada disitu untuk mengangkat kepala orang tadi dari tempat sujudnya. Ketika orang tersebut selesai melaksanakan shalat maka dia langsung meminta maaf kepada Sayid Muhammad bin Ali dan berjanji tidak akan su’uzan lagi kepada beliau.

Kejadian tersebut adalah merupakan karomah yang menunjukkan keshalihan dan sifat shidiq Sayid Muhammad bin Ali, dan tentang kisah tadi perlu digaris bawahi bahwa sholat yang dilakukan orang tersebut adalah shalat sunnah, karena kalau shalat fardu maka jauh kemungkinan Sayid Muhammad bin Ali terlambat, dalil yang menunjukan sholat tersebut shalat sunnah adalah bawha orang tersebut melaksanakannya sendirian padahal dia berada di masjid. Dan diantara ulama yang memuji dan mengagungkan beliau adalah As-Syeh Al-Kabir Al-Alim As-Syahir Al-Arif billah Fadol bin Abdullah, dan beliau selalu mengikuti apa perkataan Sayid Muhammad bin Ali.

Keajaiban dan keanehan Sayid Muhammad bin Ali

Diantara keanehan dari Sayid Muhammad bin Ali adalah gaya berpakaianya, terkadang beliau berdandan bak seorang raja, namun dilain waktu beliau terkadang berdandan bagai seorang pengemis jalanan, begitu pula dengan pergaulanya terkadang beliau berbaur dengan orang-orang terpandang dan kemudian menghindari mereka dan berkumpul dengan orang-orang kecil. Dalam hal ibadah keajaiban yang disebutkan para ahli sejarah adalah, adakalanya beliau bersungguh-sungguh dalam ibadah badaniah baik shalat ataupun puasa, bahkan dikisahkan selama 20 tahun lamanya beliau melakukan shalat shubuh dengan wudlu isa’.

Berdomisili di Pedalaman Yubhur

Selanjutnya penulis “Almasyra’” pada halaman 201 berkata, “Kemudian Sayid Muhammad bin Ali memilih tempat tinggal di suatu tempat yang bernama “Yubhur” Yubhur terletak tidak jauh dari lokasi makam Nabi Hud AS, disitulah beliau membangun sebuah rumah sebagai tempat tinggal, hal serupa juga dilakukan oleh para pengikutnya dan keluarganya maka terbentuklah suatu kampung Yubhur, selang beberapa tahun kemudian, dibangun perkampungan didekat perkampungan Yubhur, maka perkampungan yang pertama dinamai “Yubhur Ad-Dawilah”, kata Ad-Dawilah dalam bahasa orang Hadhramaut berarti antiq, oleh sebab itu kemudian Sayid Muhammad bin Ali dikenal dengan “Maul Ad-Dawilah”.

Hal yang dilakukan oleh Sayid Muhammad Maula Dawilah dengan berpindah ke pedalaman dan menjauhi keramaian kota adalah merupakan hal yang digemari oleh kebanyakan ulama salaf, mereka menuju perkampungan dan menjauhi keramaian kota agar bisa berkonsentrasi dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, selain itu adalah untuk menyebarkan dakwah islamiyah kepada penduduk setempat, karena para penduduk diperkampungan biasanya mempunyai hati yang bersih hingga cepat menanggapi ajakan para dai dan melakukan apa yang dikatakan oleh para dai.

Penggalan Kata-Kata Hikmah dan Syair Sayid Muhammad Maula Dawilah

Diantara tanda-tanda keagungan maqom Sayid Muhammad Maul Dawilah bisa dilihat dari penggalan-penggalan kata hikmah dan syair yang dinukil oleh sebagian ahli sejarah, diantara kata-kata hikmah yang di nukil dari beliau adalah: “Kita berdzikir kepada Allah dengan lisan dan hati, ketika huruf-huruf dan lisan itu hilang maka akan tersisa sinar didalam hati yang bersambung kepada Allah SWT”.

Beliau juga berkata : “Aku mengetahui dari diriku tiga perkara, pertama aku tidak membenci kematian, karena orang yang membenci kematian berarti dia enggan bertemu dengan Allah SWT, kedua aku tidak takut kefakiran, karena aku tahu segala sesuatu yang berada disisi Allah lebih dekat daripada apa yang ada digenggamanku, dan yang ketiga aku tidak merasa enggan untuk menerima tamu walaupun aku tidak mempunyai apa-apa”.

Syeh Abdul Qodir Al-Idrus dalam komentarnya terhadap perkataan hikmah tersebut berkata: lihatlah betapa kalimat yang ringkas itu telah mencakup tasawuf semuanya, padahal Sayid Maula Dawilah adalah orang yang ummi, karena dari sejarahnya tidak dikisahkan bahwa beliau sibuk dengan menuntut ilmu ataupun membaca kitab.

Menurut pendapat saya, keadaan seperti itu banyak sekali dalam kehidupan ulama terdahulu, banyak diantara mereka yang tidak disibukan dengan menimba ilmu syariah, tetapi dibalik itu mereka bersungguh-sungguh dalam ittiba dan iqtida’, tetapi hal seperti itu bukan berarti mereka sama sekali tidak menuntut ilmu, karena merupakan suatu hal maklum bahwa semenjak kecil mereka sudah diajari oleh keluarganya ilmu yang wajib, namun setelah mempunyai bekal yang cukup dalam ilmu wajib mereka tidak meneruskan belajarnya untuk memperdalam ilmu sayriah karena beberapa alasan daiantaranya: banyakanya orang lain memperdalami ilmu dan atau merasa dirinya tidak mampu untuk mendalami ilmu dan akhirnya memilih untuk menyibukan diri dengan ibadah kepada Allah SWT.

Hal yang menunjukkan bahwa Sayid Muhammad Maula Dawilah memiliki ilmu yang luas baik ilmu dzahir ataupun bathin –walaupun dikatakan tidak pernah menuntut ilmu- adalah kisah yang disebutkan dalam “Al-Masyra’” halaman 201. Dikisahkan pada sauatu saat beliau akan mengimami shalat di Masjid Baalawy, namun jamaah mencegahnya dan mereka berkata, kamu adalah orang kampung tidak pantas jadi imam, maka ketika mereka shalat beliau duduk dan berbicara tentang salah satu ayat Al-Quran dengan kata-kata yang agung, setelah kejadian itu maka tahulah mereka bahwa ilmunya adalah merupakan ilmu laduni.
Karamah Imam Muhammad bin Ali Mauladdawilah

Sebetulnya pembahasan tentang karamah telah penulis sebutkan di dalam jilid sebelumnya. Namun menurut hemat penulis alangkah baiknya kalau pembahasan tersebut diulang dalam setiap riwayat hidup para ulama. Sebab dengan menyebutkan karamah setiap ulama dalam sejarah hidupnya, akan menunjukkan kelebihan si empunya sejarah tersebut. Pada zaman dulu, hal tersebut merupakan suatu keharusan dalam menulis sejarah kehidupan seorang ulama, sesuai dengan budaya dan kemampuan orang pada masa itu.

Adapun di zaman sekarang ini, orang yang menyukai dan mempunyai karamah dalam suatu lingkungan bisa dihitung dengan jari. Adapun generasi yang hanya mempercayai ilmu teori dan belajar guna mengejar ijazah dan gelar, masalah karamah bukanlah suatu masalah yang menarik perhatian mereka. Kalaupun ada di antara mereka yang berbicara dan mempelajari tentang karamah, maka mereka melihat dan mempelajarinya sebagai suatu keanehan yang terjadi pada seorang sufi. Bahkan ada dari mereka yang menganggap hal tersebut adalah suatu penyakit yang menyerang umat Islam pada masa kemunduran.

Faktor utama yang mempengaruhi pola pikir tersebut adalah pengaruh orientalis barat dalam dunia pendidikan Islam secara keseluruhan, baik secara langsung atau tidak langsung. Hal tersebut sebagaimana kita ketahui, tuduhan terhadap segi kerohanian dalam tasawuf dan sufi merupakan hasil penelitian dan pembelajaran para orientalis. Penelitian tersebut berlangsung sejak masa revolusi industri, dengan memunculkan isu-isu keraguan dalam agama secara keseluruhan, terhadap jati diri Rasul SAW dan Al-Qur’an.

Sepeninggal para orientalis, dengan berakhirnya penjajahan fisik, pola pikir tersebut banyak diteruskan oleh lembaga-lembaga pendidikan dan kebudayaan yang telah terinfeksi pemikiran orientalis. Juga setelah terpecah belahnya negara Islam dan terbagi-baginya warisan Daulah Islamiyah di Turki (baca: Otoman). Lembaga-lembaga tersebut mempelajari tentang tawasuf dengan memakai metode yang mereka warisi dari orientalis. Penulis tidak mengatakan, semua orang yang berbicara tasawuf seperti itu. Namun kebanyakan mereka ketika berbicara tentang sufi dan tasawuf seakan-akan melepaskan suatu unek-unek yang terpendam dengan tanpa meneliti dengan seksama terlebih dahulu tentang hakikat tasawuf itu sendiri.

Setelah pendahuluan yang bermaksud untuk menjelaskan faktor-faktor yang mendorong seorang penulis sejarah untuk menyebutkan karamah dalam pembahasan riwayat hidup para ulama terdahulu, dalam bab ini kami ingin menegaskan, kebanyakan para ulama sufi yang dikarunia karamah tidak mau membicarakan, terlebih menyebarluaskan karamahnya. Bahkan mereka enggan, walaupun sekedar disebut bahwa dia mempunyai karamah terntentu. Bahkan sebagian ulama menganggap hal tersebut merupakan suatu aib. Dan di lingkungan Hadhramaut khususnya, para ulama di sana melarang para pengikutnya menyebut dan menyebarluaskan karamah.

Oleh sebab itu, penulis berpendapat, dalam berdialog dengan generasi sekarang ini kita harus menggunakan cara yang halus. Begitupula bagi para penulis sejarah tentang seorang wali, hendaknya dia menggunakan metode yang memunculkan keutamaan para wali baik dari segi keilmuan ataupun amal agar menimbulkan rasa hormat dan menjadikan mereka suri tauladan, dengan menyebutkan jasa mereka dalam mendidik masyarakat dan peran social. Masalah karamah biarlah menjadi ciri has penulisan sejarah masa lampau. Kalaupun seorang penulis harus menyebutkan suatu karamah dalam bukunya maka hendaklah dengan metode rasional agar lebih bisa dipahami dan diterima masyarakat luas.

Adapun tentang karamah Sayyid Muhammad Mauladdawilah, penulis Al-Masyra’ pada halaman 201 menyebutkan, “Dikisahkan, pada suatu waktu, Sultan Yaman mengirimkan bala tentara ke Sultan Hadhramaut, Ahmad bin Yamani, untuk menduduki pelabuhan Shihir. Kebetulan waktu itu, Sayyid Muhammad Mauladdawilah sedang bersama Sultan. Maka Sultan Hadhramaut meminta kepada pimpinan tentara untuk memberikan tenggang waktu sampai selesai menunaikan Shalat Jum’at. Namun permintaan itu ditolak dan Sultan diminta untuk keluar dari Shihir pada waktu itu juga. Sayyid Muhammad Mauladdawilah lalu berkata pada Sultan, “Pergilah kamu, temui mereka. Sesungguhnya Allah akan menolong kamu.” Maka pergilah Sultan Hadhramaut beserta tentaranya untuk memerangi tentara Sultan Yaman. Ketika kedua pihak saling berhadapan dan bersiap siaga untuk berperang, Sultan Hadhramaut mengambil segenggam tanah dan meniupnya, kemudian melemparkannya ke arah tentara Sultan Yaman. Seketika itu juga mereka lari berhamburan.

Dikisahkan pula, suatu ketika Sayyid Muhammad Mauladdawilah memegang teras rumahnya dan menyuruh orang-orang yang berada di dalam rumah untuk segera keluar dari dalam rumah. Begitu mereka keluar dari dalam rumah dan menjauh, seketika itu rumahnya roboh.

Itulah dua macam karamah Sayyid Muhammad Mauladdawilah yang disebutkan dalam kitab-kitab sejarah. Bukan maksud penulis mempromosikan karamah. Karena kalau tujuannya demikian, maka akan penulis sebutkan semuanya secara terperinci. Namun sebagaimana kami isyaratkan sebelumnya, tujuan kami adalah untuk menjawab kebutuhan zaman sekarang dalam mengetahui riwayat hidup para ulama. Karena itu ketika penulis menyebutkan biografi seorang ulama, maka penulis lengkapi dengan menyebutkan amal ibadah dan mujahadahnya. Adapun selain itu, seperti karamah dan semacamnya, itu merupakan buah dari amal ibadah yang mereka lakukan. Hal tersebut adakalanya didapatkan oleh seseorang dan adakalanya tidak. Hal ini bukan suatu syarat untuk menjadi wali. Syarat yang harus terpenuhi dalam diri seorang wali adalah istiqamah. Kalau seorang hamba istiqamah, sebagaimana diperintahkan Allah, niscaya Allah menyediakan jalan karamah baginya.  Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah (فاستقم كما أمرت) yang artinya: “Maka tetapkanlah pendirianmu sebagaimana engkau disuruh.” (QS Hud ayat 112)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” Kemudian mereka beristiqomah (berketetapan hati), maka malaikat-malaikat turun kepada mereka (lalu berkata), “janganlah kamu takut dan janganlah kamu berdukacita, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan (Allah) kepadamu.” (QS Fushshilat ayat 30).

Patut disebutkan juga, di antara bukti kebenaran ahwal para ulama terdahulu seperti Syekh Muhammad bin Ali Mauladdawilah, adalah kesaksian para ulama sezamannya. Sebagaimana tertera dalam qasidah Syekh Abdurrahman Al-Khatib yang mengungkapkan keutamaan dan kedudukan Imam Muhammad bin Ali.
Hal yang sama diungkapkan penulis Al-Ghurar pada halaman 395, “Sayyid Muhammad Mauladdawilah adalah salah satu Masyayikh Arif Billah yang agung dan juga salah satu wali besar dan mempunyai pengetahuan yang dalam tentang ilmu agama.”

Penulis Al-Masyra’ berkata, “Dia adalah imam yang namanya menjadikan hati terbuka, Al-Arif Billah, yang diberikan kelebihan oleh Allah dalam kemuliaan dan kebaikan.

Wafatnya Sayyid Muhammad Mauladdawilah

Dalam kitab Al-Masyra’ halaman 201 disebutkan, Sayyid Muhammad Mauladdawilah pergi menghadap Sang Khaliq, pada hari Senin, 10 Sya’ban 665 H. Ia dimakamkan di pemakam Zanbal, Tarim. Ia wafat meninggalkan empat orang putra yaitu Syekh Alawi, Syekh Ali, Syekh Abdullah, Syekh Abdurrahman dan seorang putri bernama Alawiyah.


Al-Habib Luthfi Bin Muhammad Al-Haddad

bin Haddad bin Muhammad bin Umar bin Muhammad bin Ja’far bin Muhammad bin Ja’far bin Muhammad bin Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Hadad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwy bin Ahmad bin Abu Bakar Al–Thowil bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Faqih bin Abdurrohman bin Alwy bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Kholi’ Qosam bin Alwi bin Muhammad Shohib Shouma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam As-Sibth Al-Husein bin Al-Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib suami Az-Zahro Fathimah Al-Batul binti Rosulullah Muhammad SAW.

Sederhana dan teduh. Itulah kesan pertama bila kita berjumpa Habib Lutfi Al-Haddad, Walau ia masih relatif muda, orang yang berdekatan dengannya akan merasa terayomi.
Ia lahir di Probolinggo, Jawa Timur, tahun 1981, dari seorang ibu, Syarifah Qomariyah binti Husin Alaydrus, dan ayah, Muhammad bin Haddad Al-Haddad. Ia anak pertama dari lima ber¬saudara. Ia juga mempunyai saudara satu ibu yang berlainan ayah, empat orang, salah satunya Habib Ali Zainal Abidin Alaydrus, pendiri Majelis Nurul Qoma¬riyah di Cileduk, Tangerang.

Habib Lutfi Al-Haddad sangat senang bersilaturahim ke rumah-rumah anak didiknya. Di pesantren tempat ia mengajar, Pondok Pesantren Darul¬lughoh wa Da’wah (Dalwa), Bangil, Jawa Timur, ia mendidik santri-santrinya seperti mendidik adik-adiknya sendiri. Para santri pun merasa tak ada jarak dengannya, yang juga alumnus STAI Dalwa dan Ponpes Dalwa Jurusan Syari’ah.

Ghirah Keilmuan
Ketika masih menuntut ilmu di pesan¬tren, Habib Lutfi belajar sangat keras. Di pesan¬tren tempat ia belajar, para santri diwajib¬kan bisa membaca, menulis, dan berbi¬cara dengan bahasa Arab. Hanya diberi waktu selama tiga bulan, mereka harus sudah bisa menggunakan bahasa Arab.
Suatu ketika ia ditemui Abuya Hasan Baharun (alm.), pengasuh pe¬santren. Ia, yang sedang asyik mem-baca Wirdul Lathif di masjid, setelah sha¬lat Subuh, kaget ketika melihat siapa yang datang mendekatinya.
“Lutfi Amir, kamu ingin menjadi artis atau orang alim?” Habib Hasan Baharun tiba-tiba menanyakan hal yang di luar dugaan.
“Ingin menjadi orang alim, Abuya…,” jawabnya.
Habib Hasan Baharun tersenyum men¬dengar jawaban itu.
“Saya ingin menjadi santri yang ama¬nah, tidak mau melanggar aturan, agar hidup saya berkah di dunia dan akhirat.” Ia tanamkan niat untuk menjadi manusia yang beramal shalih, yang bermanfaat bagi umat.
Habib Lutfi terkejut mengapa hal itu dita¬nya¬kan oleh Habib Hasan Baharun. Ter¬nyata, setelah diselidiki, umi Lutfi Al-Had¬dad pernah bertanya langsung ke¬pada Habib Hasan Baharun mengenai seorang artis, saat itu saudaranya ada yang menjadi artis.
Ia tergolong santri yang cerdas dan pintar. Selama mondok di Darullughah, ia telah diminta untuk mengajar.

Berkhidmah selama Lima Tahun
Sudah menjadi kewajiban para san¬tri, mereka diminta mengajar minimal se¬lama satu tahun sebelum meninggalkan pesantren. Tetapi, karena kecintaannya kepada para santri dan senang meng¬ajar, Habib Lutfi mengajar hingga lima lima tahun.
Ia berkhidmah di cabang Pondok Pesantren Darullughah, setelah lulus dari Darullughah tahun 2004, di Pesan¬tren Ba’alawi, Pandean, Bangil. Ia meng¬ajar bahasa Arab, tauhid, fiqih, hadits, dan masih banyak lagi.
Dalam kesehariannya mengajar, ia begitu dekat dengan santri-santrinya. Ia bisa menempatkan dirinya sebagai orangtua, sahabat, kakak, maupun se¬ba¬gai guru. Ia menampung segala keluh kesah santrinya dan kemudian memberi¬kan solusi.
Habib Lutfi adalah guru yang sangat dicintai santri-santrinya, sampai suatu ketika, saat ia diminta dakwah ke Banjar¬masin, murid-muridnya terharu dan me¬rasa kehilangan, karena begitu dekatnya mereka dengannya.
Selama berkhidmah di Pesantren Ba’alawi, ia sama sekali tidak minta ba¬yaran. Semua dilakukannya karena ke¬cintaannya akan syiar Islam, dan cita-citanya berdakwah lillahi ta’ala.
Setelah berkhidmah selama lima ta¬hun di Pondok Pesantren Ba’alawy, Habib Lutfi Al-Haddad pernah diajak berdakwah ke Sampit, pedalaman di Kalimantan. Ia diajak oleh teman seke¬lasnya, (alm.) Ustadz Muhib Sayyidil Anwar, waktu mereka masih bersama-sama mondok di Darullughah.

Dihadapi dengan Senyum
Dari kecil Habib Lutfi Al-Haddad memang sudah mempunyai keinginan untuk ber¬dakwah. Ini tak lepas dari bimbingan dan dorongan kedua orangtuanya.
Mengajar dan menjadi murabbi telah ia jalani tak kurang dari 10 tahun sejak ia lulus dari Darullughah wad Dakwah. Memang ia sangat menikmati rutinitas yang ia jalani selama itu.
“Saya sangat senang mengajar, dan saya cinta anak-anak,” ujarnya, yang saat ini tengah menanti buah hati per¬tamanya setelah dua tahun menikah.
Namun, perjuangan dakwahnya tak selalu mulus. Tak sedikit orang yang me¬nyikapi dakwahnya dengan fitnah, caci¬an, dan makian. Tapi semua itu ia hadapi dengan senyum. Ia telah bertekad de¬ngan sepenuh hati untuk menjalankan apa yang telah ia niatkan, berdakwah. Ia tak mengharap penghargaan di mata manusia, tujuannya hanya mengharap ridha Allah.
Ia menginginkan agar ilmu yang di¬dapatnya bisa bermanfaat untuk orang banyak, dan meneruskan perjuangan Rasulullah SAW, demi menciptakan ma¬syarakat yang mengerti dan menjalan¬kan kewajibannya sebagai hamba Allah.
Kini, Habib Lutfi sudah mencapai apa yang dicita-citakannya sejak kecil. Kegiatan dakwahnya dilakukan hampir setiap hari, memenuhi undangan siapa saja tanpa pilih-pilih. Mengajar, mengisi taushiyah, ke mana pun dan di mana pun. Ia juga mengisi undangan salah satu televisi swasta untuk mengisi tau-shiyah subuh, hampir setiap hari.
Di tengah kepadatan jadwal sehari-harinya, ia masih menyempatkan diri untuk mendatangi dan menerima jama’ahnya, bahkan secara individual.

Majelis Nurul Qomariyah
Kini, setelah hijrah ke Tangerang, tepatnya di Cileduk, Habib Lutfi berdak¬wah membantu kakaknya, Habib Ali Zainal Abidin Alaydrus, yang telah men¬dirikan Majelis Nurul Qomariyah, pada bulan Maret 2010. Ia telah mendapat ridha dari Habib Zein bin Hasan Baharun ketika menyampaikan keinginannya untuk membantu sang kakak di Majelis Nurul Qomariyah.
Semua santri dan murid serta ja¬ma’ah¬nya di Jawa Timur, tempat asal¬nya, bersedih ketika Habib Lutfi Al-Haddad berpamitan untuk membantu majelis kakaknya di Cileduk, Tangerang. Mereka sangat kehilangan sosok Habib muda yang rendah hati dan tak mem¬batasi diri dalam setiap pergaulannya.
Di Majelis Nurul Qomariyah, ia meng¬ajarkan kepada santri-santrinya semua ilmu yang telah didapatnya ketika belajar di Darullughah.
Kini, Majelis Nurul Qomariyah makin berkembang. Undangan untuk dakwah bersama sang kakak hampir setiap ming¬gu datang. Undangan untuk mengajar dan mengisi taushiyah hampir setiap hari.
Habib Lutfi Al-Haddad semakin ber¬semangat menjalani hari-harinya, karena ia merasa dibutuhkan umat. Dan nya¬tanya umat memang sangat membutuhkannya.

http://majlisnurulanwar.wordpress.com/2013/06/19/al-habib-luthfi-bin-muhammad-al-haddad/

Al-Habib Ali Zainal Abidin Bin Hamid Alaydrus (Habib Alay Sakraan)

Majelis ta’lim dan dzikir nurul qomariyah adalah tempat berkumpulnya anak muda dari segala lapisan
masyarakat, begitu juga dari pribadi yang berbeda dimana mereka bersatu dalam satu keinginan untuk memperbaiki diri dan kembali kepada fitrohnya. Sebagai insan yang berakhlakulkarimah…alhabib ali zaenal abidin bin hamid al-aydrus atau lebih di kenal dengan sebutan habib alay adalah pimpinan majelis ta’lim dan dzikir nurul qomariyah… Dimana beliau berasal dari jawa timur lahir pada tanggal 14 januari 1975 bertepatan dengan tanggal 1 muharram. Dari pernikahan habib hamid bin husen al-aydrus dengan
syarifah qomariyah al-aydrus, yg akhirnya nama Qomariyah diabadikan sebagai nama majelis Nurul Qomariyah, sebagai salah satu kecintaan kepada Uminya. Habib alay dibesarkan dalam keluarga sederhana disatu kota kecil tepatnya di probolinggo jawa timur, habib alay kecil sering kali bergaul dengan orang yang lebih tua dari beliau… kebetulan beliau memang suka bergaul dengan siapa saja dari berbagai kalangan, menginjak remaja beliau belajar dari pesantren 1 kepesantren lainnya karena itu guru2 beliau bukan dari kalangan habaib saja namun darikalangan kyaipun ada. Kesederhanaan yang tertanam dari kecil terbawa hingga dewasa, dan pergaulan dengan teman yang lebih tua dari beliau mencerminkan kedewasaan yang lebih dini bagi beliau, disaat beliau remaja lebih – lebih beliau dilahirkan sebagai anak pertama. Ketawadduannya beliau sudah nampak pada saat menuntut ilmu di pondok pesantren, ada sedikit penggalan kisah saat beliau menuntut ilmu diponpes nurul jadid paiton probolinggo, yang pada waktu itu santrinya mencapai 5000 santriwan/santriwati, ketika itu beliau mau sholat isya’ berjamaah dengan santri yang lain sesudah sampai di masjid mudir yang menjadi imam sholat isya belum keluar dari rumahnya yang kebetulan tidak jauh dari masjid dimana beliau akan melaksanakan sholat isya berjamaah..pada saat yang bersamaan kebetulan beliau melihat kearah belakang sambil baca sholawat menunggu datangnya imam , guru beliau keluar dari rumahnya artinya saat beliau melihat guru beliaupun menatap beliau dan beliaupun pindah ke shaf paling depan dekat pintu samping namun guru beliau menuju ke masjid sontak menanyakan dengan nada keras bertanya “ siapa yang tadi melihat kebelakang…!!! dengan tegas beliau mengangkat tangan… namun semuaterdiam suasana menjadi hening yang tadinya gemuruh sholawat dari suara santri yang tidak kurang dari 1000
jamaah sholat isya tersebut namun seketika menjadi sunyi….keamanan pesantrenpun pada saat ditanya tidak berani menjawab karena takut terkena imbas dari kemarahan guru tsb.. namun karena beliau menyadari hal yang dilakukan tadi dengan menoleh ke belakang adalah salah dan seketika beliau berdiri merunduk di depan gurunya..mengakui kesalahannya dan dituntunlah beliau kedepan menuju mimbar dimana tempat imam menjalankan sholat dan beliaupun diperintah/ dihukum berdiri di depan lalu kemudian sang guru meninggalkan beliau untuk kembali masuk kedalam rumah selang beberapa waktu kemudian sang guru menyerukan untuk baca sholawat sebanyak banyaknya dengan posisi habib alay kecil masih berdiri di depan mimbar..selang beberapa lama kemudian guru beliau kembali menuju masjid lagi serta lalu kemudian menuntun beliau ke depan rumahnya dan sholat isya’pun segera dilaksanakan beliaupun diserukan tuk pergi sholat isya’ lalu kembali kekamar masing-masing. dengan rasa penyesalan yang dalam serta menyadari kesalahan serta rasa malu yang begitu dalam beliau menyendiri dikamar, namun tidak lama kemudian rekan-rekan beliau pada berdatangan menemui beliau seraya memberikan semangat ujar mereka ini satu kejadian yang luar biasa guru kita itu adalah ulama salaf dan jarang2 menghukum santrinya seperti itu tapi ini terjadi sama antum kita tinggal lihat antum bakal jadi orang besar ..dengan suara lirih beliau menjawab “ aku malu pada kalian semua… karena telah dihukum seperti itu..seketika itu pula mereka bersalaman dengan beliau.. singkat cerita beliau memetik sepenggal kisah ini yaitu betapapun dan siapapun kita dalam saat menuntut ilmu ya haruslah jadi penuntut ilmu yang taat serta ta’dim pada gurunya kalau kita ingin mendapat berkah daripada ilmu tersebut..lebih-lebih para ulama salafunashalih ..ungkap beliau saat itu..jelang beberapa tahun kemudian sekitar tahun 90an beliau hijrah ke kota metropolitan Jakarta raya dengan harapan tuk bekerja di industri perfilman namun karena tidak ada restu dari orang tua bekerja di perfilman tsb beliaupun pulang pergi jakarta probolinggo.setelah malang melintang dijakarta pergaulan dari orang lemah ,anak jalanan,yang sama sekali kurang mengenal agama ,akhlaq,iman,taqwa beliau jalani itupun belum membawa nama beliau alias siapa beliau sebenarnya itulah satu ketawadduaannya beliau..pada tahu 2001 akhir beliau diminta kembali pulang pada uminya di probolinggo dan seketika itu juga pulang dengan membawa semua pakaian beliau dengan membawa karung dan kardus makanan mie instan karena selama bertahun tahun di Jakarta yang dibawa Cuma beberapa saja karena yang lain beliau tinggalkan dan diberikan pada teman beliau yang membutuhkan padahal, beliau juga memerlukan,karena taat pada apa yang di inginkan umi beliau, beliaupun jarang sekali membantahnya apalagi Umi beliau sudah sakit-sakitan yang menyebabkan menuntut beliau untuk merawatnya karena adik2 beliau pada saat itu masih kecil jadi beliaulah yang harus turun tangan baik secara moral maupun material..namun hal tsb tak membuat beliau untuk tidak patuh pada Umi syarifah qomariyah..tepat pada tahun 2002 syarifah qomariyah di panggil oleh Allah swt..innalillahi wainnailaihi rojiun..tiada lagi harapan beliau untuk menjadikan ratu Umi beliau..
saat itupun harapan beliau sudah tiada sementara beliau adalah anak pertama serta mempunyai adik yang masih kecil- kecil..pada waktu itupun beliau atau habib alay tidak pernah keluar rumah selama 40 hari..baru pada hari ke 42 beliau hijrah kembali ke Jakarta dan dijakarta beliau membuka usaha produksi makanan ringan dan dari sinilah beliau memulai mengajak teman- teman yang belum mengenal Allah SWT.diawali dari para pekerja ditempat usaha milik beliau, beliau mengajak mengaji yasin, sholawat, ratib , maulid nabi serta sering kali beliau mengajak untuk berziarah ke makam waliullah yang ada di jakarta ataupun di luar jakarta ..dengan ilmu yang menurut beliau masih sedikit beliau tak mengenal lelah untuk senantiasa menyampaikan ilmunya, karena dalam penyampaian dengan pendekatan kasih sayang kepada siapa saja tak kenal lelah serta tak pandang bulu baik orang lemah maupun orang
berada beliau sama ratakan dalam pergaulan sehingga memperbanyak teman yang mendukung kegiatan beliau tsb..sekitar tahun 2006 majelis ta’lim dan dzikir nurul qomariyah yang beliau pimpin kini sudah berbentuk yayasan dan berbadan hukum dan kini beliau sering menghabiskan waktu bersama para santri dan jamaahnya karena pada prinsip beliau tertanam kesederhanaan dan merasakan pahit getirnya kehidupan yang membuat beliau menjadi sangat dekat dengan jamaahnya beliau juga dibantu oleh adiknya al habib lutfi alhaddad untuk pendidikan dan pembacaan kitab serta bahasa arab dimana habib lutfi alhaddad adalah salah satu terbitan darullughah wadda’wah bangil pasuruan jawatimur..serta membantu dan mendukung da’wah beliau dalam manajemen pengembangan karena itu juga habib lutfi al haddad
menaruh ta’dhim pada beliau dan bangga terhadap kakaknya yang begitu gigih dan tegar dalam menegakkan panji- panji islam. apalagi dilingkungan sekitar banyak juga yang memandang sebelah
mata terhadap pendidikan agama seperti yang kita semua tahu kadang kadang hidup dikota besar pendidikan agama bukan satu yang utama dan jarang pula mereka untuk berniat memeranginya dan
inilah yang terjadi dilingkungan beliau namun tiada sedikitpun mengurangi niat baik beliau untuk senantiasa memperbaiki diri beliau pribadi dan terus mengajak kembali kepada jalan yang benar…mudah-mudahan dengan dengan kisah singkat tentang habib ali zaenal abidin al-aydrus(habib alay) membuat kita semua untuk senantiasa memposisikan agama islam diposisi teratas dan semoga bisa mengambil pelajaran serta hikmah dari apa saja yang terjadi dan yang kita ketahui .serta jauh lebih penting kita mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari kita dan semoga kita semua diberikan rahmat oleh Allah SWT dan selalu dalam bimbinganNYA..amin…amin ya robbal
alamin ….wollohu’alam bissawab….


Al-Habib Abddurrahman bin Umar bin Abdurrahman Baraqbah

Salah satu pemimpin sufi yang memiliki kedudukan tinggi dan perilaku serta akhlak Rasululloh SAW. Beliau dilahirkan di kota Tarim dam menghafalkan Al-Qur’an Al-Kariim. Beliau bergaul dan menimba ilmu dari para ‘aarifiin dan ulama’ yangmengamalkan ilmunya yang hidup dizamannya, diantaranya adalah: wali yang terkenalyaitu As-Syekh Abubakar bin Salim sohib ‘Inat, As-Sayyid Al-Habib Muhammad binAgil Al-Madiichij, As-Sayyid Al-Habib Saalim bin Abubakar Al-Kaaff, As-Sayyid Al-Habib Umar bin Abdulloh Al-Hinduwaan.Beliau adalah seorang yang banyak dan bersungguh-sungguh dalam beribdah, baik yangfardhu maupun yang sunnah, banyak membaca Al-Qur’aan dan beri’tikaf di di masjid,menghiasi dirinya dengan Sunnah-Sunnah dan sifat-sifat yang baik, menjaga salat jamaah.Beliau menjadi Imam di Masjid Ba’alawiy, dan orang-orang bersegera untuk  bermakmum di belakang beliau karena beliau sangat memperhatikan semua sunnah-sunnahnya.Beliau seorang yang waro’ / sangat hati-hati dalam masalah agama, dan menjauhi segala bid’ah. Beliau seorang yang zuhud terhadap dunia [tidak mencintai dunia dan mengambilseperlunya saja] dan sangat senang dan mencintai / bersemangat untuk menggapaikehiduppan akhirat. Beliau banyak beruzlah (menyendiri) dari keramaian, dan banyak mencintai dan berkumpul dengan orang-orang salih. Dari situlah nampak kesalihannyadan keberuntungannya.Begitulah beliau hingga wafatnya pada tahun 1010 Hijriyyah dan dikuburkan di pekuburan Zanbal, kota Tariim, Hadramaut.Semoga Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia merahmatinya dan memberi kitamanfaat dengan berkat ilmunya, dan asroornya serta dengan berkat para seluruh para walidan orang salih, di dunia dan diakhirat. AmiinDikutip dari kitab
 Khulaashotul Khobar fii A’yaanil Qornaynil ‘Aasyir wal Chaadii‘Asyar
, karya Al-Habib Umar bin Alwi bin Abubakar Al-Kaaff.halaman: 171 -172

http://www.scribd.com/doc/47086828/Alhabib-Abdurrahman-bin-umar-bin-Abdurrahman-baraqbah

ADZAN

Adzan secara lughawi (etimologi): Menginformasikan semata-mata. Sedangkan secara istilah (terrninologi) adalah: Menginformasikan (memberitahukan) tentang waktu-waktu shalat dengan kata-kata tertentu. Adzan ini telah diperintahkan (dilakukan) sejak pada tahun pertama dari Hijrah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam ke Madinah. Sedangkan diperintahkan (disyariatkan) menurut Syi’ah adalah bahwa malaikat Jibril yang membawa turun dari Allah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam yang Mulia. Sedang­kan menurut Sunni adalah Abdullah bin Zaid bermimpi ada orang yang mengajarinya, kemudian diceritakan hasil mimpinya itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam memastikannya untuk dipergunakan. Adzan Adalah Sunnah Hanafi, Syafi’i dan Imamiyah: Adzan itu adalah sunnah muakkad (yang dikuatkan).  Hambali: Adzan itu adalah fardhu kifayah di desa-desa dan di kota-kota pada sedap shalat lima waktu bagi lelaki yang mukim bukan musafir. Maliki: Wajib fardhu kifayah disuatu desa (negara) yang didirikan shalat Jum’at. Bila penduduk desa (negara) tersebut meninggalkannya (mengabaikannya), maka mereka harus diperangi. Adzan Tidak Boleh Pada Hal-hal Berikut Hambali: Adzan itu tidak dilakukan untuk jenazah, shalat sunnah dan shalat nadzar. Maliki: Adzan itu tidak boleh untuk shalat sunnah, shalat yang telah lewat, dan tidak pula untuk shalat jenazah.Hanafi: Tidak boleh untuk shalat jenazah, juga tidak untuk shalat dua hari raya, gerhana matahari dan gerhana bulan, shalat tarawih dan tidak boleh pula untuk shalat sunnah. Syafi’i: Tidak boleh untuk shalat jenazah, dan tidak pula pada shalat nadzar, dan tidak pula shalat-halat nafilah (sunnah) lainnya. Imamiyah: Adzan itu tidak diperintahkan kecuali pada shalat-shalat yang sehari-hari saja dan setelah itu disunnahkan untuk shalat qadha’ dan fardhu, baik berjama’ah maupun sendiri, baik musafir maupun bukan, baik wanita maupun lelaki. Dan tidak boleh adzan untuk shalat apa saja selain hal tersebut diatas, baik sunnah maupun wajib. Hanya pada shalat dua hari raya dan gerhana (baik bulan maupun matahari) seorang yang adzan itu cukup dengan mengucapkan “As-Sholah” sebanyak tiga kali. Syarat-syarat Adzan Semua ulama mazhab sepakat bahwa syarat sahnya adzan adalah kata-katanya harus berurutan dan tertib antara tiap-tiap bagiannya, dan orang yang adzan itu harus orang lelaki,19 muslim, dan berakal, tetapi sah juga kalau yang adzan itu anak kecil yang sudah mumayyiz (bisa membedakan antara yang bersih dan tidak).  19 Imamiyah: Bagi wanita disimnahkan adzan kalau mau shalat, tapi bukan untuk memberitahukan, sebagaimana disunnahkan juga shalat jama’ah bagi wanita agar salah seorang dari mereka adzan dan iqamat, hanya diusahakan agar suaranya itu tidak terdengar oleh lelaki. Empa mazhab: Hanya disunnahkan untuk iqamat, dan dimakruhkan adzan. Semua ulama juga sepakat bahwa adzan ini tidak disyaratkan untuk suci. Ulama mazhab berbeda pendapat selain hal di atas.Hanafi dan Syafi’i: Sah adzan tanpa niat. Mazhab-mazhab lain: Harus dengan niat. Hambali: Adzan itu boleh dengan bahasa selain bahasa Arab secara mutlak.Maliki, Hanafi dan Syafi’i: Bagi orang Arab tidak boleh adzan dengan selain bahasa Arab, dan bagi orang selain orang Arab boleh adzan dengan bahasanya sendiri untuk dirinya dan untuk para jama’ahnya. Imamiyah: tidak boleh adzan sebelum masuk waktu shalat fardhu selain shalat Shubuh.  Syafi’i, Maliki, Hambali dan kebanyakan dari Imamiyah: Boleh mendahulukan adzan untuk memberitahukan tentang shalat Shubuh. Hanafi: Dilarang mendahulukannya, dan tidak membedakan antara shalat Shubuh dengan shalat-shalat lainnya dan pendapat ini adalah lebih selamat. Bentuk (Contoh) Adzan “Allah Maha Besar”, adalah empat kali menurut semua ulama mazhab.20 20 Selain Maliki, karena Maliki berpendapat bahwa bertakbir itu cukup dua kali saja. Mari melaksanakan Shalat”, dua kali menurut kesepakatan semua ulama mazhab. “Marilah menuju pada sebaik-baiknya perbuatan”, dua kali menurut Imamiyah saja. “Allah Maha Besar”, dua kali menurut kesepakatan semua ulama mazhab. “Tidak ada Tuhan selain Allah”, satu kali menurut empat mazhab, tetapi menurut Imamiyah dua kali.  Maliki dan Syafi’i: Boleh mengulang dua kali, hanya yang kedua kali itu adalah sunnah. Maksudnya tidaklah batal adzannya yang mencukupkan dengan satu kali, sebagaimana pendapat Imamiyah, bahwa pengulangan itu dinamakan i’addah (pengulangan lagi). Pengarang buku Al-Fiqhu ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah menukil tentang kesepakatan empat mazhab, yang menyatakan bahwa tatswib itu disunnahkan, yaitu menambah: “Shalat itu adalah lebih baik dan tidur”, dua kali setelah “Marilah menuju pada sebaik- baiknya perbuatan Tetapi Imamiyah melarangnya. 2121 Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayatul Mujtahid Jilid 1 halaman 103, cetakan tahun 1935 menjelaskan: Ada yang berpendapat bahwa tidak boleh mengatakannya, karena kalimat tersebut tidak termasuk adzan yang disunnahkan. Syafi’i memban-tahnya, yaitu bahwa sebab perbedaannya adalah, apakah penambahan itu terjadi pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam atau pada masa Umar. Dalam buku Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, jilid I, halarnan 408, cetakan ketiga, dijelaskan: Ishaq berpendapat bahwa penambahan itu adalah merupakan sesuatu yang diadakan (diciptakan) oleh manusia. Abu ‘Isa berpendapat: Tatswib ini adalah hal yang tidak disukai oleh para ahl ilmu (ilmuwan). Tatswib inilah yang menjadikan Ibnu Umar keluar dari masjid ketika mendengarnya.


8 Tata Cara Berpakaian Wanita Menurut Islam

Ditengah kehidupan yang serba glamor dan bermegah sekarang ini banyak sekali kita lihat para wanita yang mengumbar aurat dan bangga dengan kulit putih mulusnya terjaja untuk lelaki. Entah karena kurangnya pengetahuan agama atau apa saat ini para wanita sudah tidak lagi berpakaian menurut pakaian yang dianjurkan Islam.


Well, sobat remaja semuanya pada artikel kali ini izinkan kami akan share tentang 8 Sifat Pakaian Wanita yang menjadi tatacara pakaian yang harusnya dipakai wanita menurut Islam :

1. Pakaian itu mestilah menutup aurat
Rasulullah saw bersabda :
Telah berkata Aisyah .a “ Sesungguhnya, Asma’binti Abu Bakar menemui Nabi saw dengan memakai busana yang nipis ” Maka nabi berpaling daripadanya dan bersabda “Wahai Asma’ , sesungguhnya apabila wanita itu telah baligh (sudah haid) tidak boleh dilihat daripadanya kecuali ini dan ini , sambil mengisyaratkan kepada muka dan tapak tangannya”

2. Pakaian itu tidak terlalu nipis sehingga tampak bayangan tubuh badan dari luar
“Dua orang ahli neraka yang belum pernah saya lihat adalah : kaum yang memegang pecut bagai ekor lembu digunakan untuk memukul orang (tanpa alasan), orang perempuan yang berpakaian tetapi telanjang bagaikan merayu-rayu melenggok-lenggok membesarkan cemaranya bagaikan punuk unta yang mereng. Mereka tidak akan masuk syurga dan tidak akan dapat mencium bau syurga, sedangkan bau syurga dapat dicium dari jarak yang sangat jauh”
(Riwayat Muslim)
3. Pakaian itu tidak ketat atau sempit

Dalam sebuah riwayat dari Abdullah bin Abi Salamah bahawa Umar Bin Khattab .a menghadiahkan kepada seseorang dengan pakaian nipis buatan Mesir Lama, kemidian berkata , “Jangan dipakaikan kepada isteri-isteri kamu!” Lalu seseorang berkata “ Ya Amirul Mukminin aku telah memakainya untuk isteriku, kemudian memutarkan badannya tetapi tidak kelihatan auratnya .” selanjutnya Umar berkata, “Memanglah auratnya tidak nampak, tetapi bentuk tubuhnya nampak”
4. Warna pakaian itu suram atau gelap,
Seperti warna hitam atau kelabu asap. Tujuannya adalah agar lelaki tidak bernafsu melihatnya (terutamanya pakaian seperti jilbab atau abaya) . Menurut Ibnu Kathir di dalam tafsirnya pakaian wanita-wanita pada zaman Nabi saw ketika mereka keluar rumah berwarna hitam)

5. Tidak memakai wangi-wangian
Pakaian itu tidak sekali-kali disemerbakkan dengan bau-bauan yang harum, demikian juga tubuh badan wanita itu, karena bau-bauan ini menimbulkan pengaruhnya atas nafsu lelaki. Perempuan yang memakai bau-bauan ketika keluar rumah sehingga lelaki mencium baunya disifatkan oleh Rasulullah saw sebagai zaniyah, yakni pelacur atau penzina.

“Wanita apabila memakai wangi-wangian , kemudian berjalan melintasi kaum lelaki maka dia itu begini dan begini iaitu pelacur ” (Riwayat Abu Dawud dan Tirmizi)

6. Tidak seperti Pakaian Laki-Laki
Pakaian itu tidak bertashabbuh dengan pakaian lelaki yakni tiada meniru –niru atau menyerupai pakaian lelaki

Telah berkata Ibnu Abbas :
“Rasulullah saw telah melaknat lelaki yang menyerupai wanita dan wanita-wanita yang menyerupai lelaki”
(Riwayat Bukhari)
7. Pakaian itu tiada bertashabbuh dengan pakaian permpuan-perempuan kafir dan musyrik

8. Pakaian itu bukanlah libasu sh-shuhrah, yakni pakaian untuk bermegah-megah , untuk menunjuk-nunjuk atau bergaya.

http://blogtainment-remaja.blogspot.com/2013/06/8-tata-cara-berpakaian-wanita-menurut.html

Air Suci Dan Musta’mal Bag I (Raudhah Ath-Thalibin)

الْمُطَهِّرُ لِلْحَدَثِ وَالْخَبَثِ مِنَ الْمَائِعَاتِ، الْمَاءُ الْمُطْلَقُ خَاصَّةً، وَهُوَ الْعَارِي عَنِ الْإِضَافَةِ اللَّازِمَةِ. وَقِيلَ: الْبَاقِي عَلَى وَصْفِ خِلْقَتِهِ
Benda cair yang dapat digunakan menyucikan hadats dan najis adalah air mutlak secara khusus. Air mutlak adalah air yang terlepas dari ifadhah (tambahan atau ikatan) yang tetap. Dikatakan: air mutlak adalah air yang tetap dengan sifat aslinya.
Adapun air yang telah dipergunakan untuk bersuci dan hadats (musta’mal) adalah suci, namun tidak menyucikan menurut madzhab Asy-Syafi’i. Dikatakan: Ia adalah suci dan menyucikan menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i yang lama.
Air musta’mal  dalam pemindahan penyucian, seperti memperbaharui wudhu, mandi sunnah, basuhan kedua dan ketiga, dan air setelah digunakan berkumur adalah suci menyucikan (thahuur) menurut beberapa pendapat yang lebih shahih.
Adapun air yang dipergunakan mandi oleh perempuan ahli kitab agar dirinya halal bagi seorang pria muslim, jika kita katakan bahwa dia tidak wajib mengulangi mandinya, maka air ini tidak suci menyucikan (tidak thahuur), namun jika kita katakan bahwa dia wajib mengulanginya (dan ini adalah pendapat yang lebih shahih), maka ada dua pendapat menurut pengikut madzhab Syafi’i, yang menurut pendapat lebih shahih air tersebut tidak suci mensucikan.
Air yang dipergunakan bersuci untuk shalat sunnah adalah musta’mal. Begitu juga yang dipergunakan oleh anak kecil, sesuai dengan pendapat yang shahih. Air musta’mal yang tidak dapat menghilangkan hadats juga tidak dapat menghilangkan najis menurut pendapat yang shahih. Air bekas menyucikan najis apabila kita katakan itu suci, ia tetap tidak dapat menghilangkan hadats menurut pendapat yang shahih.
Jika air musta’mal dikumpulkan hingga mencapai dua qullah, maka dia kembali suci menyucikan (thahuur) menurut pendapat yang lebih shahih. Sebagaimana orang junub yang menyelam dalam air dua qullah, airnya adalah tetap suci menyucikan menurut pendapat yang lebih shahih sesuai dengan kesepakatan para ulama.
Jika orang junub menyelam dalam air yang kurang dari dua qullah hingga seluruh tubuhnya di dalam air, lalu ada niat, maka janabahnya hilang seketika tanpa ada perselisihan ulama. Namun airnya seketika menjadi musta’mal bagi orang lain menurut pendapat yang shahih. Sedangkan menurut pendapat yang lebih shahih, air tersebut tidak menjadi musta’mal bagi dirinya sendiri sehingga ia keluar darinya. Seharusnya air tersebut menjadi musta’mal karena hilangnya hadats.
Aku (Imam An-Nawawy) berkata:
Jika air mengalir dari anggota tubuh orang yang berwudhu menuju anggota yang lain, maka air ini menjadi musta’mal, bahkan jika berpindah dari salah satu tangan menuju tangan lain juga menjadi musta’mal. Dalam masalah ini terdapat pendapat pengikut madzhab Syafi’i (wajh syadz) yang diriwayatkan dalam bab tayamum dari kitab Al-Bayan, yaitu air tersebut tidak menjadi musta’mal karena kedua tangan adalah seperti satu anggota tubuh.



Sumber: RAUDHAH ATH-THALIBIN, Imam An-Nawawy, Pustaka Azzam
Penerjemah: H. Muhyiddin Mas Rida, H. Abdurrahman Siregar dan H. Moh Abidun Zuhri
Artikel ini disusun oleh Hasan Al-Jaizy