Beliau adalah Al-Imam Muhammad Maula Ad-Dawilah bin Ali bin
Alawy bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqoddam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin
Ali Khali Qosam bin Alawy bin Muhammad bin Alawy bin Ubaidillah bin Ahmad
Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad An-Naqib Muhammad bin Ali Al-Uaridhy bin Ja’far
As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Huasin bin Ali bin
Abi Thalib dan Fatimah Zahra Al-Batul putri Rasulullah SAW.
Riwayat Hidup Imam Muhammad Muala Ad-Dawilah
Imam Muhammad Maula Ad-Dawilah dilahirkan dikota ilmu Tarim,
ayahnya Imam Ali bin Alawy meninggal dunia sejak beliau masih kanak-kanak,
sepeninggal ayahnya beliau diasuh oleh pamanya Syeh Abdullah Ba Alawy.
Imam Maula Ad-Dawilah sejak kecil sudah mendapat bimbingan
ilmu syari’ah dari ayahnya kemudian pamanya serta kerabat yang lain, pada
usianya yang masih belia, beliau sudah hafal separuh Al-Qur’an, hal tersebut
dikarenakan beliau dilahirkan dan dididik dalam keluarga ahli ilmu dan amal,
selain itu kota tarim tempat beliau dilahirkan adalah kota ilmu, penduduknya
berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits, mereka adalah ahli ibadah,
orang-orang yang takut akan adzab Allah, suatu keadaan masyarakat yang pantas
untuk dijadikan suri tauladan baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat, maka
suatu hal yang lazim kalau dalam usia yang masih belia sudah mendapatkan ajaran
dasar-dasar ilmu syari’ah baik itu Al-Qur’an ilmu fiqih hadits ataupun Tasawuf.
Berkenaan hal tersebut penulis Al-gurar dalam kitabnya halaman
187 menukil dari kitab “al-Juz Al-Latif Fi At-Tahkim Asyarif” karangan Imam Abu
Bakar bin Abdullah Al-Idrus Al-Adany dalam menyipati baiat, Adab Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Ali Maula
Ad-Dawilah yang didapatkan dari ayahnya
As-syeh As-Shalih Al-Wali Al-Arif billah Al-Faqih Jamaluddin Muhammad bin Ali
Maula Ad-Dawilah, dan Syeh Muhammad tersebut mengambil dari ayahandanya Syeh
Ali bin Alawy selain mengambil dari pamanya Syeh Abdullah Ba Alawy.
Melaksanakan Ibadah Haji
Ketika Imam Maula Dawilah menginjak usia remaja beliau pergi
ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji, selain melaksanakan ibadah haji,
ketika berada di Makkah dan Madinah beliau juga sempat menimba ilmu dari para
ulama dikedua kota usci tersebut, dalam
perjalanan kembali ke Hadhramaut beliau bertemu dengan Syeh Al-Arif billlah Ali
bin Abdullah Ath-tawsy dan dalam kesempatan keduanya saling mengakui atas
kelebihan masing-masing. Dan merupakan salah satu sifat beliau adalah kalau
mengetahui suatu ilmu syari’ah, maka beliau langsung mengamalkanya dan tidak
meninggalkannya.
Mujahadah dan Sebagian Ahwalnya Imam Muhammad Maula Dawilah
Dalam kitab Al-Masra’ Arrawy juz 2:200, Imam Muhammad Maula
Ad-dawilah mempunyai riadloh, ahwal dan maqomat, kebanyakan amalannya adalah
amalan hati, dalam melakukan amalanya beliau tidak mau dilihat orang, bahkan
keluarganya sekalipun, kebanyakan waktunya beliau digunakan untuk uzlah di
hutan, pada waktu uzlah itulah seringkali datang halnya dan barokahnya zahir
sekali. Selain ahli ibadah Imam Muhammad Maula Dawilah juga adalah seorang da’i
ilallah, dan terkadang ketika beliau memberikan mauidzoh hasanah datanglah
halnya, maka beliau berbicara dengan perkataan yang agung sekali yang berkenaan
dengan ilmu syari’ah ataupun hakikat, yang dimaksud dengan “hal” adalah turunya
anugerah dari Allah, sebab banyaknya dzikir, bacaan al-qur’an dan amal ibadah
lainya, sehingga tenanglah jiwanya dan bersihlah jiwanya, kemudian keluar
daripadanya perkataan yang diilhamkan dari Allah. Adakalanya hal tersebut bukan
berupa ketenangan jiwa, tapi sebaliknya adalah kegelisahan dan ketakutan akan
keagungan Allah SWT, dikisahkan ketika beliau berada dihadapan pamanya Syeh
Abdullah Ba Alawi, datanglah halnya dan beliau pingsan. Ketika ada orang yang
mempertanyakan keadaan beliau tersebut, beliau mengatakan “telah turun kepadaku
sesuatu, kalau diturunkan diatas gunung maka gunung tersebut akan hancur
lebur”.
Selanjutnya pengarang Al-Masra’ mengatakan, ada seseorang
yang melaksanakan shalat di Masjid dan ketika itu Sayid Muhammad bin Ali masih
tidur, ketika orang tersebut sujud maka berkata dalam hatinya, “aku berdiri dan
duduk melaksanakan shalat, sedangkan dia (Sayid Muhammad bin Ali) tidur,
padahal kata orang dia adalah panutan ulama”, maka seketika itu juga dia tidak
bisa mengangkat kepalanya dari tempat sujud, dahinya seakan menempel ke bumi,
maka bertaubatlah dia dan tidak meragukan lagi atas keutamaan sayid Muhammad
bin Ali, melihat orang tadi tidak bisa mengangkat kepalanya, sayid Muhammad bin
Ali menyuruh salah satu orang yang berada disitu untuk mengangkat kepala orang
tadi dari tempat sujudnya. Ketika orang tersebut selesai melaksanakan shalat
maka dia langsung meminta maaf kepada Sayid Muhammad bin Ali dan berjanji tidak
akan su’uzan lagi kepada beliau.
Kejadian tersebut adalah merupakan karomah yang menunjukkan
keshalihan dan sifat shidiq Sayid Muhammad bin Ali, dan tentang kisah tadi
perlu digaris bawahi bahwa sholat yang dilakukan orang tersebut adalah shalat
sunnah, karena kalau shalat fardu maka jauh kemungkinan Sayid Muhammad bin Ali
terlambat, dalil yang menunjukan sholat tersebut shalat sunnah adalah bawha
orang tersebut melaksanakannya sendirian padahal dia berada di masjid. Dan
diantara ulama yang memuji dan mengagungkan beliau adalah As-Syeh Al-Kabir
Al-Alim As-Syahir Al-Arif billah Fadol bin Abdullah, dan beliau selalu
mengikuti apa perkataan Sayid Muhammad bin Ali.
Keajaiban dan keanehan Sayid Muhammad bin Ali
Diantara keanehan dari Sayid Muhammad bin Ali adalah gaya
berpakaianya, terkadang beliau berdandan bak seorang raja, namun dilain waktu
beliau terkadang berdandan bagai seorang pengemis jalanan, begitu pula dengan
pergaulanya terkadang beliau berbaur dengan orang-orang terpandang dan kemudian
menghindari mereka dan berkumpul dengan orang-orang kecil. Dalam hal ibadah
keajaiban yang disebutkan para ahli sejarah adalah, adakalanya beliau
bersungguh-sungguh dalam ibadah badaniah baik shalat ataupun puasa, bahkan
dikisahkan selama 20 tahun lamanya beliau melakukan shalat shubuh dengan wudlu
isa’.
Berdomisili di Pedalaman Yubhur
Selanjutnya penulis “Almasyra’” pada halaman 201 berkata,
“Kemudian Sayid Muhammad bin Ali memilih tempat tinggal di suatu tempat yang
bernama “Yubhur” Yubhur terletak tidak jauh dari lokasi makam Nabi Hud AS,
disitulah beliau membangun sebuah rumah sebagai tempat tinggal, hal serupa juga
dilakukan oleh para pengikutnya dan keluarganya maka terbentuklah suatu kampung
Yubhur, selang beberapa tahun kemudian, dibangun perkampungan didekat
perkampungan Yubhur, maka perkampungan yang pertama dinamai “Yubhur
Ad-Dawilah”, kata Ad-Dawilah dalam bahasa orang Hadhramaut berarti antiq, oleh
sebab itu kemudian Sayid Muhammad bin Ali dikenal dengan “Maul Ad-Dawilah”.
Hal yang dilakukan oleh Sayid Muhammad Maula Dawilah dengan
berpindah ke pedalaman dan menjauhi keramaian kota adalah merupakan hal yang
digemari oleh kebanyakan ulama salaf, mereka menuju perkampungan dan menjauhi
keramaian kota agar bisa berkonsentrasi dalam beribadah dan mendekatkan diri
kepada Allah SWT, selain itu adalah untuk menyebarkan dakwah islamiyah kepada
penduduk setempat, karena para penduduk diperkampungan biasanya mempunyai hati
yang bersih hingga cepat menanggapi ajakan para dai dan melakukan apa yang
dikatakan oleh para dai.
Penggalan Kata-Kata Hikmah dan Syair Sayid Muhammad Maula
Dawilah
Diantara tanda-tanda keagungan maqom Sayid Muhammad Maul
Dawilah bisa dilihat dari penggalan-penggalan kata hikmah dan syair yang
dinukil oleh sebagian ahli sejarah, diantara kata-kata hikmah yang di nukil
dari beliau adalah: “Kita berdzikir kepada Allah dengan lisan dan hati, ketika
huruf-huruf dan lisan itu hilang maka akan tersisa sinar didalam hati yang
bersambung kepada Allah SWT”.
Beliau juga berkata : “Aku mengetahui dari diriku tiga
perkara, pertama aku tidak membenci kematian, karena orang yang membenci
kematian berarti dia enggan bertemu dengan Allah SWT, kedua aku tidak takut
kefakiran, karena aku tahu segala sesuatu yang berada disisi Allah lebih dekat
daripada apa yang ada digenggamanku, dan yang ketiga aku tidak merasa enggan
untuk menerima tamu walaupun aku tidak mempunyai apa-apa”.
Syeh Abdul Qodir Al-Idrus dalam komentarnya terhadap
perkataan hikmah tersebut berkata: lihatlah betapa kalimat yang ringkas itu
telah mencakup tasawuf semuanya, padahal Sayid Maula Dawilah adalah orang yang
ummi, karena dari sejarahnya tidak dikisahkan bahwa beliau sibuk dengan
menuntut ilmu ataupun membaca kitab.
Menurut pendapat saya, keadaan seperti itu banyak sekali
dalam kehidupan ulama terdahulu, banyak diantara mereka yang tidak disibukan
dengan menimba ilmu syariah, tetapi dibalik itu mereka bersungguh-sungguh dalam
ittiba dan iqtida’, tetapi hal seperti itu bukan berarti mereka sama sekali
tidak menuntut ilmu, karena merupakan suatu hal maklum bahwa semenjak kecil
mereka sudah diajari oleh keluarganya ilmu yang wajib, namun setelah mempunyai
bekal yang cukup dalam ilmu wajib mereka tidak meneruskan belajarnya untuk
memperdalam ilmu sayriah karena beberapa alasan daiantaranya: banyakanya orang
lain memperdalami ilmu dan atau merasa dirinya tidak mampu untuk mendalami ilmu
dan akhirnya memilih untuk menyibukan diri dengan ibadah kepada Allah SWT.
Hal yang menunjukkan bahwa Sayid Muhammad Maula Dawilah
memiliki ilmu yang luas baik ilmu dzahir ataupun bathin –walaupun dikatakan tidak
pernah menuntut ilmu- adalah kisah yang disebutkan dalam “Al-Masyra’” halaman
201. Dikisahkan pada sauatu saat beliau akan mengimami shalat di Masjid
Baalawy, namun jamaah mencegahnya dan mereka berkata, kamu adalah orang kampung
tidak pantas jadi imam, maka ketika mereka shalat beliau duduk dan berbicara
tentang salah satu ayat Al-Quran dengan kata-kata yang agung, setelah kejadian
itu maka tahulah mereka bahwa ilmunya adalah merupakan ilmu laduni.
Karamah Imam Muhammad bin Ali Mauladdawilah
Sebetulnya pembahasan tentang karamah telah penulis sebutkan
di dalam jilid sebelumnya. Namun menurut hemat penulis alangkah baiknya kalau
pembahasan tersebut diulang dalam setiap riwayat hidup para ulama. Sebab dengan
menyebutkan karamah setiap ulama dalam sejarah hidupnya, akan menunjukkan
kelebihan si empunya sejarah tersebut. Pada zaman dulu, hal tersebut merupakan
suatu keharusan dalam menulis sejarah kehidupan seorang ulama, sesuai dengan
budaya dan kemampuan orang pada masa itu.
Adapun di zaman sekarang ini, orang yang menyukai dan
mempunyai karamah dalam suatu lingkungan bisa dihitung dengan jari. Adapun
generasi yang hanya mempercayai ilmu teori dan belajar guna mengejar ijazah dan
gelar, masalah karamah bukanlah suatu masalah yang menarik perhatian mereka.
Kalaupun ada di antara mereka yang berbicara dan mempelajari tentang karamah,
maka mereka melihat dan mempelajarinya sebagai suatu keanehan yang terjadi pada
seorang sufi. Bahkan ada dari mereka yang menganggap hal tersebut adalah suatu
penyakit yang menyerang umat Islam pada masa kemunduran.
Faktor utama yang mempengaruhi pola pikir tersebut adalah
pengaruh orientalis barat dalam dunia pendidikan Islam secara keseluruhan, baik
secara langsung atau tidak langsung. Hal tersebut sebagaimana kita ketahui, tuduhan
terhadap segi kerohanian dalam tasawuf dan sufi merupakan hasil penelitian dan
pembelajaran para orientalis. Penelitian tersebut berlangsung sejak masa
revolusi industri, dengan memunculkan isu-isu keraguan dalam agama secara
keseluruhan, terhadap jati diri Rasul SAW dan Al-Qur’an.
Sepeninggal para orientalis, dengan berakhirnya penjajahan
fisik, pola pikir tersebut banyak diteruskan oleh lembaga-lembaga pendidikan
dan kebudayaan yang telah terinfeksi pemikiran orientalis. Juga setelah
terpecah belahnya negara Islam dan terbagi-baginya warisan Daulah Islamiyah di
Turki (baca: Otoman). Lembaga-lembaga tersebut mempelajari tentang tawasuf
dengan memakai metode yang mereka warisi dari orientalis. Penulis tidak
mengatakan, semua orang yang berbicara tasawuf seperti itu. Namun kebanyakan
mereka ketika berbicara tentang sufi dan tasawuf seakan-akan melepaskan suatu
unek-unek yang terpendam dengan tanpa meneliti dengan seksama terlebih dahulu
tentang hakikat tasawuf itu sendiri.
Setelah pendahuluan yang bermaksud untuk menjelaskan
faktor-faktor yang mendorong seorang penulis sejarah untuk menyebutkan karamah
dalam pembahasan riwayat hidup para ulama terdahulu, dalam bab ini kami ingin
menegaskan, kebanyakan para ulama sufi yang dikarunia karamah tidak mau membicarakan,
terlebih menyebarluaskan karamahnya. Bahkan mereka enggan, walaupun sekedar
disebut bahwa dia mempunyai karamah terntentu. Bahkan sebagian ulama menganggap
hal tersebut merupakan suatu aib. Dan di lingkungan Hadhramaut khususnya, para
ulama di sana melarang para pengikutnya menyebut dan menyebarluaskan karamah.
Oleh sebab itu, penulis berpendapat, dalam berdialog dengan
generasi sekarang ini kita harus menggunakan cara yang halus. Begitupula bagi
para penulis sejarah tentang seorang wali, hendaknya dia menggunakan metode
yang memunculkan keutamaan para wali baik dari segi keilmuan ataupun amal agar
menimbulkan rasa hormat dan menjadikan mereka suri tauladan, dengan menyebutkan
jasa mereka dalam mendidik masyarakat dan peran social. Masalah karamah biarlah
menjadi ciri has penulisan sejarah masa lampau. Kalaupun seorang penulis harus
menyebutkan suatu karamah dalam bukunya maka hendaklah dengan metode rasional
agar lebih bisa dipahami dan diterima masyarakat luas.
Adapun tentang karamah Sayyid Muhammad Mauladdawilah,
penulis Al-Masyra’ pada halaman 201 menyebutkan, “Dikisahkan, pada suatu waktu,
Sultan Yaman mengirimkan bala tentara ke Sultan Hadhramaut, Ahmad bin Yamani,
untuk menduduki pelabuhan Shihir. Kebetulan waktu itu, Sayyid Muhammad
Mauladdawilah sedang bersama Sultan. Maka Sultan Hadhramaut meminta kepada
pimpinan tentara untuk memberikan tenggang waktu sampai selesai menunaikan
Shalat Jum’at. Namun permintaan itu ditolak dan Sultan diminta untuk keluar dari
Shihir pada waktu itu juga. Sayyid Muhammad Mauladdawilah lalu berkata pada
Sultan, “Pergilah kamu, temui mereka. Sesungguhnya Allah akan menolong kamu.”
Maka pergilah Sultan Hadhramaut beserta tentaranya untuk memerangi tentara
Sultan Yaman. Ketika kedua pihak saling berhadapan dan bersiap siaga untuk
berperang, Sultan Hadhramaut mengambil segenggam tanah dan meniupnya, kemudian
melemparkannya ke arah tentara Sultan Yaman. Seketika itu juga mereka lari
berhamburan.
Dikisahkan pula, suatu ketika Sayyid Muhammad Mauladdawilah
memegang teras rumahnya dan menyuruh orang-orang yang berada di dalam rumah
untuk segera keluar dari dalam rumah. Begitu mereka keluar dari dalam rumah dan
menjauh, seketika itu rumahnya roboh.
Itulah dua macam karamah Sayyid Muhammad Mauladdawilah yang
disebutkan dalam kitab-kitab sejarah. Bukan maksud penulis mempromosikan
karamah. Karena kalau tujuannya demikian, maka akan penulis sebutkan semuanya
secara terperinci. Namun sebagaimana kami isyaratkan sebelumnya, tujuan kami
adalah untuk menjawab kebutuhan zaman sekarang dalam mengetahui riwayat hidup
para ulama. Karena itu ketika penulis menyebutkan biografi seorang ulama, maka
penulis lengkapi dengan menyebutkan amal ibadah dan mujahadahnya. Adapun selain
itu, seperti karamah dan semacamnya, itu merupakan buah dari amal ibadah yang
mereka lakukan. Hal tersebut adakalanya didapatkan oleh seseorang dan
adakalanya tidak. Hal ini bukan suatu syarat untuk menjadi wali. Syarat yang
harus terpenuhi dalam diri seorang wali adalah istiqamah. Kalau seorang hamba
istiqamah, sebagaimana diperintahkan Allah, niscaya Allah menyediakan jalan
karamah baginya. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah (فاستقم
كما أمرت) yang artinya: “Maka
tetapkanlah pendirianmu sebagaimana engkau disuruh.” (QS Hud ayat 112)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami
adalah Allah” Kemudian mereka beristiqomah (berketetapan hati), maka
malaikat-malaikat turun kepada mereka (lalu berkata), “janganlah kamu takut dan
janganlah kamu berdukacita, dan bergembiralah dengan surga yang telah
dijanjikan (Allah) kepadamu.” (QS Fushshilat ayat 30).
Patut disebutkan juga, di antara bukti kebenaran ahwal para
ulama terdahulu seperti Syekh Muhammad bin Ali Mauladdawilah, adalah kesaksian
para ulama sezamannya. Sebagaimana tertera dalam qasidah Syekh Abdurrahman
Al-Khatib yang mengungkapkan keutamaan dan kedudukan Imam Muhammad bin Ali.
Hal yang sama diungkapkan penulis Al-Ghurar pada halaman
395, “Sayyid Muhammad Mauladdawilah adalah salah satu Masyayikh Arif Billah
yang agung dan juga salah satu wali besar dan mempunyai pengetahuan yang dalam
tentang ilmu agama.”
Penulis Al-Masyra’ berkata, “Dia adalah imam yang namanya
menjadikan hati terbuka, Al-Arif Billah, yang diberikan kelebihan oleh Allah
dalam kemuliaan dan kebaikan.
Wafatnya Sayyid Muhammad Mauladdawilah
Dalam kitab Al-Masyra’ halaman 201 disebutkan, Sayyid
Muhammad Mauladdawilah pergi menghadap Sang Khaliq, pada hari Senin, 10 Sya’ban
665 H. Ia dimakamkan di pemakam Zanbal, Tarim. Ia wafat meninggalkan empat
orang putra yaitu Syekh Alawi, Syekh Ali, Syekh Abdullah, Syekh Abdurrahman dan
seorang putri bernama Alawiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar