Selasa, 26 November 2013

Al-Imam Muhammad bin Ali Maula Ad-Dawilah

Beliau adalah Al-Imam Muhammad Maula Ad-Dawilah bin Ali bin Alawy bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqoddam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali Qosam bin Alawy bin Muhammad bin Alawy bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad An-Naqib Muhammad bin Ali Al-Uaridhy bin Ja’far As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Huasin bin Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Zahra Al-Batul putri Rasulullah SAW.

Riwayat Hidup Imam Muhammad Muala Ad-Dawilah

Imam Muhammad Maula Ad-Dawilah dilahirkan dikota ilmu Tarim, ayahnya Imam Ali bin Alawy meninggal dunia sejak beliau masih kanak-kanak, sepeninggal ayahnya beliau diasuh oleh pamanya Syeh Abdullah Ba Alawy.
Imam Maula Ad-Dawilah sejak kecil sudah mendapat bimbingan ilmu syari’ah dari ayahnya kemudian pamanya serta kerabat yang lain, pada usianya yang masih belia, beliau sudah hafal separuh Al-Qur’an, hal tersebut dikarenakan beliau dilahirkan dan dididik dalam keluarga ahli ilmu dan amal, selain itu kota tarim tempat beliau dilahirkan adalah kota ilmu, penduduknya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits, mereka adalah ahli ibadah, orang-orang yang takut akan adzab Allah, suatu keadaan masyarakat yang pantas untuk dijadikan suri tauladan baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat, maka suatu hal yang lazim kalau dalam usia yang masih belia sudah mendapatkan ajaran dasar-dasar ilmu syari’ah baik itu Al-Qur’an ilmu fiqih hadits ataupun Tasawuf.

Berkenaan hal tersebut penulis Al-gurar dalam kitabnya halaman 187 menukil dari kitab “al-Juz Al-Latif Fi At-Tahkim Asyarif” karangan Imam Abu Bakar bin Abdullah Al-Idrus Al-Adany dalam menyipati baiat, Adab  Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Ali Maula Ad-Dawilah  yang didapatkan dari ayahnya As-syeh As-Shalih Al-Wali Al-Arif billah Al-Faqih Jamaluddin Muhammad bin Ali Maula Ad-Dawilah, dan Syeh Muhammad tersebut mengambil dari ayahandanya Syeh Ali bin Alawy selain mengambil dari pamanya Syeh Abdullah Ba Alawy.

Melaksanakan Ibadah Haji

Ketika Imam Maula Dawilah menginjak usia remaja beliau pergi ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji, selain melaksanakan ibadah haji, ketika berada di Makkah dan Madinah beliau juga sempat menimba ilmu dari para ulama dikedua kota usci tersebut,  dalam perjalanan kembali ke Hadhramaut beliau bertemu dengan Syeh Al-Arif billlah Ali bin Abdullah Ath-tawsy dan dalam kesempatan keduanya saling mengakui atas kelebihan masing-masing. Dan merupakan salah satu sifat beliau adalah kalau mengetahui suatu ilmu syari’ah, maka beliau langsung mengamalkanya dan tidak meninggalkannya.

Mujahadah dan Sebagian Ahwalnya Imam Muhammad Maula Dawilah

Dalam kitab Al-Masra’ Arrawy juz 2:200, Imam Muhammad Maula Ad-dawilah mempunyai riadloh, ahwal dan maqomat, kebanyakan amalannya adalah amalan hati, dalam melakukan amalanya beliau tidak mau dilihat orang, bahkan keluarganya sekalipun, kebanyakan waktunya beliau digunakan untuk uzlah di hutan, pada waktu uzlah itulah seringkali datang halnya dan barokahnya zahir sekali. Selain ahli ibadah Imam Muhammad Maula Dawilah juga adalah seorang da’i ilallah, dan terkadang ketika beliau memberikan mauidzoh hasanah datanglah halnya, maka beliau berbicara dengan perkataan yang agung sekali yang berkenaan dengan ilmu syari’ah ataupun hakikat, yang dimaksud dengan “hal” adalah turunya anugerah dari Allah, sebab banyaknya dzikir, bacaan al-qur’an dan amal ibadah lainya, sehingga tenanglah jiwanya dan bersihlah jiwanya, kemudian keluar daripadanya perkataan yang diilhamkan dari Allah. Adakalanya hal tersebut bukan berupa ketenangan jiwa, tapi sebaliknya adalah kegelisahan dan ketakutan akan keagungan Allah SWT, dikisahkan ketika beliau berada dihadapan pamanya Syeh Abdullah Ba Alawi, datanglah halnya dan beliau pingsan. Ketika ada orang yang mempertanyakan keadaan beliau tersebut, beliau mengatakan “telah turun kepadaku sesuatu, kalau diturunkan diatas gunung maka gunung tersebut akan hancur lebur”.

Selanjutnya pengarang Al-Masra’ mengatakan, ada seseorang yang melaksanakan shalat di Masjid dan ketika itu Sayid Muhammad bin Ali masih tidur, ketika orang tersebut sujud maka berkata dalam hatinya, “aku berdiri dan duduk melaksanakan shalat, sedangkan dia (Sayid Muhammad bin Ali) tidur, padahal kata orang dia adalah panutan ulama”, maka seketika itu juga dia tidak bisa mengangkat kepalanya dari tempat sujud, dahinya seakan menempel ke bumi, maka bertaubatlah dia dan tidak meragukan lagi atas keutamaan sayid Muhammad bin Ali, melihat orang tadi tidak bisa mengangkat kepalanya, sayid Muhammad bin Ali menyuruh salah satu orang yang berada disitu untuk mengangkat kepala orang tadi dari tempat sujudnya. Ketika orang tersebut selesai melaksanakan shalat maka dia langsung meminta maaf kepada Sayid Muhammad bin Ali dan berjanji tidak akan su’uzan lagi kepada beliau.

Kejadian tersebut adalah merupakan karomah yang menunjukkan keshalihan dan sifat shidiq Sayid Muhammad bin Ali, dan tentang kisah tadi perlu digaris bawahi bahwa sholat yang dilakukan orang tersebut adalah shalat sunnah, karena kalau shalat fardu maka jauh kemungkinan Sayid Muhammad bin Ali terlambat, dalil yang menunjukan sholat tersebut shalat sunnah adalah bawha orang tersebut melaksanakannya sendirian padahal dia berada di masjid. Dan diantara ulama yang memuji dan mengagungkan beliau adalah As-Syeh Al-Kabir Al-Alim As-Syahir Al-Arif billah Fadol bin Abdullah, dan beliau selalu mengikuti apa perkataan Sayid Muhammad bin Ali.

Keajaiban dan keanehan Sayid Muhammad bin Ali

Diantara keanehan dari Sayid Muhammad bin Ali adalah gaya berpakaianya, terkadang beliau berdandan bak seorang raja, namun dilain waktu beliau terkadang berdandan bagai seorang pengemis jalanan, begitu pula dengan pergaulanya terkadang beliau berbaur dengan orang-orang terpandang dan kemudian menghindari mereka dan berkumpul dengan orang-orang kecil. Dalam hal ibadah keajaiban yang disebutkan para ahli sejarah adalah, adakalanya beliau bersungguh-sungguh dalam ibadah badaniah baik shalat ataupun puasa, bahkan dikisahkan selama 20 tahun lamanya beliau melakukan shalat shubuh dengan wudlu isa’.

Berdomisili di Pedalaman Yubhur

Selanjutnya penulis “Almasyra’” pada halaman 201 berkata, “Kemudian Sayid Muhammad bin Ali memilih tempat tinggal di suatu tempat yang bernama “Yubhur” Yubhur terletak tidak jauh dari lokasi makam Nabi Hud AS, disitulah beliau membangun sebuah rumah sebagai tempat tinggal, hal serupa juga dilakukan oleh para pengikutnya dan keluarganya maka terbentuklah suatu kampung Yubhur, selang beberapa tahun kemudian, dibangun perkampungan didekat perkampungan Yubhur, maka perkampungan yang pertama dinamai “Yubhur Ad-Dawilah”, kata Ad-Dawilah dalam bahasa orang Hadhramaut berarti antiq, oleh sebab itu kemudian Sayid Muhammad bin Ali dikenal dengan “Maul Ad-Dawilah”.

Hal yang dilakukan oleh Sayid Muhammad Maula Dawilah dengan berpindah ke pedalaman dan menjauhi keramaian kota adalah merupakan hal yang digemari oleh kebanyakan ulama salaf, mereka menuju perkampungan dan menjauhi keramaian kota agar bisa berkonsentrasi dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, selain itu adalah untuk menyebarkan dakwah islamiyah kepada penduduk setempat, karena para penduduk diperkampungan biasanya mempunyai hati yang bersih hingga cepat menanggapi ajakan para dai dan melakukan apa yang dikatakan oleh para dai.

Penggalan Kata-Kata Hikmah dan Syair Sayid Muhammad Maula Dawilah

Diantara tanda-tanda keagungan maqom Sayid Muhammad Maul Dawilah bisa dilihat dari penggalan-penggalan kata hikmah dan syair yang dinukil oleh sebagian ahli sejarah, diantara kata-kata hikmah yang di nukil dari beliau adalah: “Kita berdzikir kepada Allah dengan lisan dan hati, ketika huruf-huruf dan lisan itu hilang maka akan tersisa sinar didalam hati yang bersambung kepada Allah SWT”.

Beliau juga berkata : “Aku mengetahui dari diriku tiga perkara, pertama aku tidak membenci kematian, karena orang yang membenci kematian berarti dia enggan bertemu dengan Allah SWT, kedua aku tidak takut kefakiran, karena aku tahu segala sesuatu yang berada disisi Allah lebih dekat daripada apa yang ada digenggamanku, dan yang ketiga aku tidak merasa enggan untuk menerima tamu walaupun aku tidak mempunyai apa-apa”.

Syeh Abdul Qodir Al-Idrus dalam komentarnya terhadap perkataan hikmah tersebut berkata: lihatlah betapa kalimat yang ringkas itu telah mencakup tasawuf semuanya, padahal Sayid Maula Dawilah adalah orang yang ummi, karena dari sejarahnya tidak dikisahkan bahwa beliau sibuk dengan menuntut ilmu ataupun membaca kitab.

Menurut pendapat saya, keadaan seperti itu banyak sekali dalam kehidupan ulama terdahulu, banyak diantara mereka yang tidak disibukan dengan menimba ilmu syariah, tetapi dibalik itu mereka bersungguh-sungguh dalam ittiba dan iqtida’, tetapi hal seperti itu bukan berarti mereka sama sekali tidak menuntut ilmu, karena merupakan suatu hal maklum bahwa semenjak kecil mereka sudah diajari oleh keluarganya ilmu yang wajib, namun setelah mempunyai bekal yang cukup dalam ilmu wajib mereka tidak meneruskan belajarnya untuk memperdalam ilmu sayriah karena beberapa alasan daiantaranya: banyakanya orang lain memperdalami ilmu dan atau merasa dirinya tidak mampu untuk mendalami ilmu dan akhirnya memilih untuk menyibukan diri dengan ibadah kepada Allah SWT.

Hal yang menunjukkan bahwa Sayid Muhammad Maula Dawilah memiliki ilmu yang luas baik ilmu dzahir ataupun bathin –walaupun dikatakan tidak pernah menuntut ilmu- adalah kisah yang disebutkan dalam “Al-Masyra’” halaman 201. Dikisahkan pada sauatu saat beliau akan mengimami shalat di Masjid Baalawy, namun jamaah mencegahnya dan mereka berkata, kamu adalah orang kampung tidak pantas jadi imam, maka ketika mereka shalat beliau duduk dan berbicara tentang salah satu ayat Al-Quran dengan kata-kata yang agung, setelah kejadian itu maka tahulah mereka bahwa ilmunya adalah merupakan ilmu laduni.
Karamah Imam Muhammad bin Ali Mauladdawilah

Sebetulnya pembahasan tentang karamah telah penulis sebutkan di dalam jilid sebelumnya. Namun menurut hemat penulis alangkah baiknya kalau pembahasan tersebut diulang dalam setiap riwayat hidup para ulama. Sebab dengan menyebutkan karamah setiap ulama dalam sejarah hidupnya, akan menunjukkan kelebihan si empunya sejarah tersebut. Pada zaman dulu, hal tersebut merupakan suatu keharusan dalam menulis sejarah kehidupan seorang ulama, sesuai dengan budaya dan kemampuan orang pada masa itu.

Adapun di zaman sekarang ini, orang yang menyukai dan mempunyai karamah dalam suatu lingkungan bisa dihitung dengan jari. Adapun generasi yang hanya mempercayai ilmu teori dan belajar guna mengejar ijazah dan gelar, masalah karamah bukanlah suatu masalah yang menarik perhatian mereka. Kalaupun ada di antara mereka yang berbicara dan mempelajari tentang karamah, maka mereka melihat dan mempelajarinya sebagai suatu keanehan yang terjadi pada seorang sufi. Bahkan ada dari mereka yang menganggap hal tersebut adalah suatu penyakit yang menyerang umat Islam pada masa kemunduran.

Faktor utama yang mempengaruhi pola pikir tersebut adalah pengaruh orientalis barat dalam dunia pendidikan Islam secara keseluruhan, baik secara langsung atau tidak langsung. Hal tersebut sebagaimana kita ketahui, tuduhan terhadap segi kerohanian dalam tasawuf dan sufi merupakan hasil penelitian dan pembelajaran para orientalis. Penelitian tersebut berlangsung sejak masa revolusi industri, dengan memunculkan isu-isu keraguan dalam agama secara keseluruhan, terhadap jati diri Rasul SAW dan Al-Qur’an.

Sepeninggal para orientalis, dengan berakhirnya penjajahan fisik, pola pikir tersebut banyak diteruskan oleh lembaga-lembaga pendidikan dan kebudayaan yang telah terinfeksi pemikiran orientalis. Juga setelah terpecah belahnya negara Islam dan terbagi-baginya warisan Daulah Islamiyah di Turki (baca: Otoman). Lembaga-lembaga tersebut mempelajari tentang tawasuf dengan memakai metode yang mereka warisi dari orientalis. Penulis tidak mengatakan, semua orang yang berbicara tasawuf seperti itu. Namun kebanyakan mereka ketika berbicara tentang sufi dan tasawuf seakan-akan melepaskan suatu unek-unek yang terpendam dengan tanpa meneliti dengan seksama terlebih dahulu tentang hakikat tasawuf itu sendiri.

Setelah pendahuluan yang bermaksud untuk menjelaskan faktor-faktor yang mendorong seorang penulis sejarah untuk menyebutkan karamah dalam pembahasan riwayat hidup para ulama terdahulu, dalam bab ini kami ingin menegaskan, kebanyakan para ulama sufi yang dikarunia karamah tidak mau membicarakan, terlebih menyebarluaskan karamahnya. Bahkan mereka enggan, walaupun sekedar disebut bahwa dia mempunyai karamah terntentu. Bahkan sebagian ulama menganggap hal tersebut merupakan suatu aib. Dan di lingkungan Hadhramaut khususnya, para ulama di sana melarang para pengikutnya menyebut dan menyebarluaskan karamah.

Oleh sebab itu, penulis berpendapat, dalam berdialog dengan generasi sekarang ini kita harus menggunakan cara yang halus. Begitupula bagi para penulis sejarah tentang seorang wali, hendaknya dia menggunakan metode yang memunculkan keutamaan para wali baik dari segi keilmuan ataupun amal agar menimbulkan rasa hormat dan menjadikan mereka suri tauladan, dengan menyebutkan jasa mereka dalam mendidik masyarakat dan peran social. Masalah karamah biarlah menjadi ciri has penulisan sejarah masa lampau. Kalaupun seorang penulis harus menyebutkan suatu karamah dalam bukunya maka hendaklah dengan metode rasional agar lebih bisa dipahami dan diterima masyarakat luas.

Adapun tentang karamah Sayyid Muhammad Mauladdawilah, penulis Al-Masyra’ pada halaman 201 menyebutkan, “Dikisahkan, pada suatu waktu, Sultan Yaman mengirimkan bala tentara ke Sultan Hadhramaut, Ahmad bin Yamani, untuk menduduki pelabuhan Shihir. Kebetulan waktu itu, Sayyid Muhammad Mauladdawilah sedang bersama Sultan. Maka Sultan Hadhramaut meminta kepada pimpinan tentara untuk memberikan tenggang waktu sampai selesai menunaikan Shalat Jum’at. Namun permintaan itu ditolak dan Sultan diminta untuk keluar dari Shihir pada waktu itu juga. Sayyid Muhammad Mauladdawilah lalu berkata pada Sultan, “Pergilah kamu, temui mereka. Sesungguhnya Allah akan menolong kamu.” Maka pergilah Sultan Hadhramaut beserta tentaranya untuk memerangi tentara Sultan Yaman. Ketika kedua pihak saling berhadapan dan bersiap siaga untuk berperang, Sultan Hadhramaut mengambil segenggam tanah dan meniupnya, kemudian melemparkannya ke arah tentara Sultan Yaman. Seketika itu juga mereka lari berhamburan.

Dikisahkan pula, suatu ketika Sayyid Muhammad Mauladdawilah memegang teras rumahnya dan menyuruh orang-orang yang berada di dalam rumah untuk segera keluar dari dalam rumah. Begitu mereka keluar dari dalam rumah dan menjauh, seketika itu rumahnya roboh.

Itulah dua macam karamah Sayyid Muhammad Mauladdawilah yang disebutkan dalam kitab-kitab sejarah. Bukan maksud penulis mempromosikan karamah. Karena kalau tujuannya demikian, maka akan penulis sebutkan semuanya secara terperinci. Namun sebagaimana kami isyaratkan sebelumnya, tujuan kami adalah untuk menjawab kebutuhan zaman sekarang dalam mengetahui riwayat hidup para ulama. Karena itu ketika penulis menyebutkan biografi seorang ulama, maka penulis lengkapi dengan menyebutkan amal ibadah dan mujahadahnya. Adapun selain itu, seperti karamah dan semacamnya, itu merupakan buah dari amal ibadah yang mereka lakukan. Hal tersebut adakalanya didapatkan oleh seseorang dan adakalanya tidak. Hal ini bukan suatu syarat untuk menjadi wali. Syarat yang harus terpenuhi dalam diri seorang wali adalah istiqamah. Kalau seorang hamba istiqamah, sebagaimana diperintahkan Allah, niscaya Allah menyediakan jalan karamah baginya.  Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah (فاستقم كما أمرت) yang artinya: “Maka tetapkanlah pendirianmu sebagaimana engkau disuruh.” (QS Hud ayat 112)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” Kemudian mereka beristiqomah (berketetapan hati), maka malaikat-malaikat turun kepada mereka (lalu berkata), “janganlah kamu takut dan janganlah kamu berdukacita, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan (Allah) kepadamu.” (QS Fushshilat ayat 30).

Patut disebutkan juga, di antara bukti kebenaran ahwal para ulama terdahulu seperti Syekh Muhammad bin Ali Mauladdawilah, adalah kesaksian para ulama sezamannya. Sebagaimana tertera dalam qasidah Syekh Abdurrahman Al-Khatib yang mengungkapkan keutamaan dan kedudukan Imam Muhammad bin Ali.
Hal yang sama diungkapkan penulis Al-Ghurar pada halaman 395, “Sayyid Muhammad Mauladdawilah adalah salah satu Masyayikh Arif Billah yang agung dan juga salah satu wali besar dan mempunyai pengetahuan yang dalam tentang ilmu agama.”

Penulis Al-Masyra’ berkata, “Dia adalah imam yang namanya menjadikan hati terbuka, Al-Arif Billah, yang diberikan kelebihan oleh Allah dalam kemuliaan dan kebaikan.

Wafatnya Sayyid Muhammad Mauladdawilah

Dalam kitab Al-Masyra’ halaman 201 disebutkan, Sayyid Muhammad Mauladdawilah pergi menghadap Sang Khaliq, pada hari Senin, 10 Sya’ban 665 H. Ia dimakamkan di pemakam Zanbal, Tarim. Ia wafat meninggalkan empat orang putra yaitu Syekh Alawi, Syekh Ali, Syekh Abdullah, Syekh Abdurrahman dan seorang putri bernama Alawiyah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar