Senin, 02 Desember 2013

Ibnu Bathuthah, Sang Pengembara Selama Dua Dasawarsa

Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Al-Tanji. Ia berasal dan dilahirkan dari orang tua Moor yang kaya dan bijaksana di Tangier, Maroko, pada 1304 M / 703 H dan wafat pada 1369 M / 770 H. Harapan orang tuanya, dia menjadi ahli hukum. Namun kenyataan bicara lain, ia menjadi pengelana yang andal selama hampir dua dasawarsa dengan nama Ibnu Bathuthah.

Tangier adalah sebuah kota pelabuhan di Maroko Utara, terletak di bibir selat Gibraltar atau Jabal Thariq, yang sangat ramai disinggahi kapal-kapal dagang, yang merupakan arus pelayaran utama kala itu. Situasi semacam itulah yang mempengaruhi kehidupan Bathuthah kecil. Kupingnya tajam menangkap pembicaraan para pelancong dan awak kapal yang singgah di kota kelahirannya itu, dan telah menebarkan isyarat, kelak ia akan menjadi seperti mereka, yaitu melancong dan mengembara. Untuk itu ia melengkapi dirinya dengan berbagai bacaan mengenai perjalanan lintas benua.

Pada usianya yang relatif muda, Ibnu Bathuthah memulai pengembaraannya yang panjang selama 20 tahun (1325-1345). Ia meninggalkan Tanjier pada 1325 M / 735 H untuk mengunjungi kota-kota penting di Afrika Utara dan Mesir sampai ke kawasan Hulu, kemudian menuju ke Syiria dengan menyebrangi laut merah, lalu singgah di Kaukasus menjadi tamu kehormatan Sultan Muhammad Uzbeg. Ketika sampai di Yunani, ia juga disambut hangat oleh Kaisar Andronicus. Begitu juga begitu ia tiba di Khurasan, Bulgar, Volga, dan Bhkhara. Untuk mencapai Cina ia harus melewati India.

Dalam pelayaran ke negeri Panda itu, ia singgah dua kali di Kerajaan Samudra Pasai, yang kini di kenal sebagai NAD, Nangro Aceh Darussalam. Konon, ia kagum kepada Sultan Malik Al-Zhahir, yang memerintah Pasai saat itu, terutama pada kealiman dan kedalaman ilmunya. Bahkan Bathuthah menegaskan, dari raja-raja Islam yang ditemuinya, di Hundustan, Turkistan, Bukhara, bahkan Mesir, Raja “Jawi” ini yang paling alim dengan ilmunya yang sangat banyak dan mendalam.

WABAH PENYAKIT

Dalam perjalanan pulang dari Cina, ia singgah lagi ke Pasai 1346 dan beraudiensi dengan Sultan Malik. Kabarnya ia sangat terkesan dengan kehebatan Pasai, lantaran tidak bisa dikalahkan Majapahit, yang menyerang Pasai pada 1339, meski tentara Majapahit di pimpin langsung oleh Patih Gajah Mada, yang terkenal perkasa dan sakti. Ini menunjukkan Pasai adalah negara yang kuat. Dia tidak melihat tanda-tanda kerusakan yang disebabkan perang atau rehabilitasi pascaperang. Semua dalam keadaan damai dan sejahtera. Sultan Malik bahkan berjalan kaki menuju masjid untuk shalat Jumat di iringi para pembesar kerajaan.

Berikut adalah catatan Bathuthah tentang Pasai, “Kemudian saya masuk menghadap Sultan dan di suruh duduk disamping kirinya. Ketika itu beliau sedang duduk di hadapan murid-muridnya. Beliau menanyakan perihal Sultan Mahmud (Raja Maroko), dan perjalanan saya. Setelah itu beliau meneruskan muzakarah ilmu fikih sampai waktu ashar tiba. Setelah itu beliau masuk ke dalam Istana.”

Pada 1340, ketika tiba di Syam, negeri tersebut sedang dilanda wabah penyakit, dia menyingkir hingga ke Ghazan. Ternyata wabah itu telah menelan korban yang tidak sedikit. Bahkan teman-temannya di Syam hampir semuanya ,eninggal. Kemudian ia pergi ke Mesir. Disana kondisinya sama saja.

Akhirnya ia memilih pergi ke Mekah melalui Izhab untuk berhaji. Selesai berhaji yang dijalani selama 40 hari, ia balik ke Syam lewat Hijaz, kemudian ke Mesir, Tunis dan Maroko, terus ke Aljazair. Disini ia mendapat kabar bahwa ibunya telah meninggal dunia dua tahun lalu karena wabah penyakit itu. Dia baru sempat menengok makam kedua orang tuanya, di Tangier, setelah Sultan Maroko, Abi Ana Al-Markisy, memberi uang bulanan, sebagai ucapan terima kasih atas petualangannya yang dinilai sangat positif itu.

Setelah kerinduannya pada kampung halamannya terobati, ia kembali berkelana ke Andalusia, yang kini di sebut Spanyol. Dia menyaksikan benteng-benteng pertahanan kaum muslimin masa lalu dan kembali ke Maroko. Setelah itu ia berkelana ke Sudan, Mauritania, dan Mali.

Sultan Maroko lah yang kemudian mempunyai inisiatif untuk membukukan petualangannya itu. Dia memerintahkan perdana mentrinya untuk mengumpulkan catatan-catatan Bathuthah yang berserakan dimana-mana.

Setelah terkumpul, ia memerintah penulis terkenal masa itu, Ibnu Juza’i, untuk menuliskannya. Caranya, Ibnu Bathuthah di suruh menceritakan pengalamannya berdasarkan catatan. Bila catatan itu hilang, di dasarkan pada ingatan.

Penulisan tersebut memakan waktu dua tahun pada 1355 M M/ 756 H. dan di terbitkan dengan judul: Tuhfat an-Nazzar fi Gharaib al-Amsar wa Afaib al-Asfar (hasil pengamatan menjelajahi negeri-negeri ajaib yang makmur). Lima abad kemudian, S. Lee, menerbitkan terjemahan buku itu (1863) dan H.A.R. Gibb (1950). Buku ini sampai kepada kita lewat tulisan DR. Hasan Muannis, yang berjudul Ibnu Bathuthah dan Pelayarannya.

Lima abad setelah Ibnu Bathuthah meninggal, para orientalis mulai menaruh perhatian terhadap petualangannya. Buku-bukunya kemudian diterjemahkan dan di cocokkan kebenaran tanggal-tanggalnya, nama-nama tempat, dan tanda-tanda khusus tempat-tempat yang disinggahinya.

Ibnu Bathuthah meninggal di Markisy pada 1369 M/ 770 H di Maroko. Untuk menghormati keberaniannya mengarungi tiga Benua lewat laut dan darat, pemerintah setempat mengabadikan namanya untuk nama jalan tempat kelahirannya yang terletak di dekat Pasar Tangier, dan makamnya di beri nama “Kubah Hijau.”

http://www.sufiz.com/jejak-wali/ibnu-bathuthah-sang-pengembara-selama-dua-dasawarsa.html

HUJAN RINDU YANG TAK TERBENDUNG LAGI (Kisah Cinta dan Rindu Bilal bin Rabah)

Langit Madinah kala itu mendung…Bukan mendung biasa, tetapi mendung yang kental dengan kesuraman dan kesedihan. Seluruh manusia bersedih, burung-burung enggan berkicau, daun dan mayang kurma enggan melambai, angin enggan berhembus, bahkan matahari enggan nampak. Seakan-akan seluruh alam menangis, kehilangan sosok manusia yang diutus sebagai rahmat sekalian alam.
Di salah satu sudut Masjid Nabawi, sesosok pria yang legam kulitnya menangis tanpa bisa menahan tangisnya.Waktu shalat telah tiba. Bilal bin Rabah, pria legam itu, beranjak menunaikan tugasnya yang biasa: mengumandangkan adzan.

Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Suara beningnya yang indah nan lantang terdengar di seantero Madinah. Penduduk Madinah beranjak menuju masjid. Masih dalam kesedihan, sadar bahwa pria yang selama ini mengimami mereka tak akan pernah muncul lagi dari biliknya di sisi masjid.

Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha ilallah.

Suara bening itu kini bergetar. Penduduk Madinah bertanya-tanya, ada apa gerangan. Jamaah yang sudah berkumpul di masjid melihat tangan pria legam itu bergetar tak beraturan.

Asy…hadu.. an..na.. M..Mu..mu..hammmad. ..

Suara bening itu tak lagi terdengar jelas. Kini tak hanya tangan Bilal yang bergetar hebat, seluruh tubuhnya gemetar tak beraturan, seakan-akan ia tak sanggup berdiri dan bisa roboh kapanpun juga. Wajahnya sembab. Air matanya mengalir deras, tidak terkontrol. Air matanya membasahi seluruh kelopak, pipi, dagu, hingga jenggot. Tanah tempat ia berdiri kini dipenuhi oleh bercak-bercak bekas air matanya yang jatuh ke bumi. Seperti tanah yang habis di siram rintik-rintik air hujan.

Ia mencoba mengulang kalimat adzannya yang terputukalimat dari dua kalimat syahadat. Kalimat persaksian bahwa Muhammad bin Abdullah adalah Rasul ALLAH.

Asy…ha..du. .annna…

Kali ini ia tak bisa meneruskan lebih jauh. Tubuhnya mulai limbung. Sahabat yang tanggap menghampirinya, memeluknya dan meneruskan adzan yang terpotong.

Saat itu tak hanya Bilal yang menangis, tapi seluruh jamaah yang berkumpul di Masjid Nabawi, bahkan yang tidak berada di masjid ikut menangis. Mereka semua merasakan kepedihan ditinggal Kekasih ALLAH untuk selama-lamanya. Semua menangis, tapi tidak seperti Bilal. Tangis Bilal lebih deras dari semua penduduk Madinah. Tak ada yang tahu persis kenapa Bilal seperti itu, tapi Abu Bakar ash-Shiddiq ra. tahu. Ia pun membebastugaskan Bilal dari tugas mengumandangkan adzan.

Saat mengumandangkan adzan, tiba-tiba kenangannya bersama Rasulullah SAW berkelabat tanpa ia bisa membendungnya. Ia teringat bagaimana Rasulullah SAW memuliakannya di saat ia selalu terhina, hanya karena ia budak dari Afrika. Ia teringat bagaimana Rasulullah AW menjodohkannya. Saat itu Rasulullah meyakinkan keluarga mempelai wanita dengan berkata, “Bilal adalah pasangan dari surga, nikahkanlah saudari perempuanmu dengannya.” Pria legam itu terenyuh mendengar sanjungan Sang Nabi akan dirinya, seorang pria berkulit hitam, tidak tampan, dan mantan budak.

Kenangan-kenangan akan sikap Rasul yang begitu lembut pada dirinya berkejar-kejaran saat ia mengumandangkan adzan. Ingatan akan sabda Rasul, “Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat.” lalu ia pun beranjak adzan, muncul begitu saja tanpa ia bisa dibendung. Kini tak ada lagi suara lembut yang meminta istirahat dengan shalat.

Bilal pun teringat bahwa ia biasanya pergi menuju bilik Nabi yang berdampingan dengan Masjid Nabawi setiap mendekati waktu shalat. Di depan pintu bilik Rasul, Bilal berkata, “Saatnya untuk shalat, saatnya untuk meraih kemenangan. Wahai Rasulullah, saatnya untuk shalat.” Kini tak ada lagi pria mulia di balik bilik itu yang akan keluar dengan wajah yang ramah dan penuh rasa terima kasih karenaudah diingatkan akan waktu shalat.

Bilal teringat, saat shalat ‘Ied dan shalat Istisqa’ ia selalu berjalan di depan Rasulullah dengan tombak di tangan menuju tempat diselenggarakan shalat. Salah satu dari tiga tombak pemberian Raja Habasyah kepada Rasulullah SAW. Satu diberikan Rasul kepada Umar bin Khattab ra., satu untuk dirinya sendiri, dan satu ia berikan kepada Bilal. Kini hanya tombak itu saja yang masih ada, tanpa diiringi pria mulia yang memberikannya tombak tersebut. Hati Bilal makin perih.

Seluruh kenangan itu bertumpuk-tumpuk, membuncah bercampur dengan rasa rindu dan cinta yang sangat pada diri Bilal. Bilal sudah tidak tahan lagi. Ia tidak sanggup lagi untuk mengumandangkan adzan.

Abu Bakar tahu akan perasaan Bilal. Saat Bilal meminta izin untuk tidak mengumandankan adzan lagi, beliau mengizinkannya. Saat Bilal meminta izin untuk meninggalkan Madinah, Abu Bakar kembali mengizinkan. Bagi Bilal, setiap sudut kota Madinah akan selalu membangkitkan kenangan akan Rasul, dan itu akan semakin membuat dirinya merana karena rindu. Ia memutuskan meninggalkan kota itu. Ia pergi ke Damaskus bergabung dengan mujahidin di sana. Madinah semakin berduka. Setelah ditinggal al-Musthafa, kini mereka ditinggal pria legam mantan budak tetapi memiliki hati secemerlangermin.

Jazirah Arab kembali berduka. Kini sahabat terdekat Muhammad SAW, khalifah pertama, menyusulnya ke pangkuan Ilahi. Pria yang bergelar Al-Furqan menjadi penggantinya. Umat Muslim menaruh harapan yang besar kepadanya.

Umar bin Khattab berangkat ke Damaskus, Syria. Tujuannya hanya satu, menemui Bilal dan membujuknya untuk mengumandangkan adzan kembali. Setelah dua tahun yang melelahkan; berperang melawan pembangkang zakat, berperang dengan mereka yang mengaku Nabi, dan berupaya menjaga keutuhan umat; Umar berupaya menyatukan umat dan menyemangati mereka yang mulai lelah akan pertikaian. Umar berupaya mengumpulkan semua muslim ke masjid untuk bersama-sama merengkuh kekuatan dari Yang Maha Kuat. Sekaligus kembali menguatkan cinta mereka kepada Rasul-Nya. Umar membujuk Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan.

Bilal menolak, tetapi bukan Umar namanya jika khalifah kedua tersebut mudah menyerah. Ia kembali membujuk dan membujuk. “Hanya sekali”, bujuk Umar. “Ini semua untuk umat. Umat yang dicintai Rosululloh, umat yang dipanggil Rosululloh saat sakaratul mautnya. Begitu besar cintamu kepada Rosululloh, maka tidakkah engkau cinta pada umat yang dicintai Rosululloh?”

Bilal tersentuh. Ia menyetujui untuk kembali mengumandangkan adzan. Hanya sekali, saat waktu Subuh..Hari saat Bilal akan mengumandangkan adzan pun tiba. Berita tersebut sudah tersiar ke seantero negeri. Ratusan hingga ribuan kaum muslimin memadati masjid demi mendengar kembali suara bening yang legendaris itu.

Allahu Akbar, Allahu Akbar

Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha illallah

Asyhadu anna Muhammadarrasululla h

Sampai di sini Bilal berhasil menguatkan dirinya. Kumandang adzan kali itu beresonansi dengan kerinduan Bilal akan Sang Rasul, menghasilkan senandung yang indah lebih indah dari karya maestro komposer ternama masa modern mana pun jua. Kumandang adzan itu begitu menyentuh hati, merasuk ke dalam jiwa, dan membetot urat kerinduan akan Sang Rasul. Seluruh yang hadir dan mendengarnya menangis secara spontan.

Asyhadu anna Muhammadarrasululla h

Kini getaran resonansinya semakin kuat. Menghanyutkan Bilal dan para jamaah di kolam rindu yang tak berujung. Tangis rindu semakin menjadi-jadi. Bumi Arab kala itu kembali basah akan air mata.

Hayya ‘alash-shalah, hayya ‘alash-shalah

Tak ada yang tak mendengar seruan itu kecuali ia berangkat menuju masjid.

Hayya `alal-falah, hayya `alal-falah

Seruan akan kebangkitan dan harapan berkumandang. Optimisme dan harapan kaum muslimin meningkat dan membuncah.

Allahu Akbar, Allahu Akbar

Allah-lah yang Maha Besar, Maha Perkasa dan Maha Berkehendak. Masihkah kau takut kepada selain-Nya? Masihkah kau berani menenetang perintah-Nya?

La ilaha illallah

Tiada tuhan selain ALLAH.

Tahun 20 Hijriah. Bilal terbaring lemah di tempat tidurnya. Usianya saat itu 70 tahun. Sang istri di sampingnya tak bisa menahan kesedihannya. Ia menangis, menangis dan menangis. Sadar bahwa sang suami tercinta akan segera menemui Rabbnya.

“Jangan menangis,” katanya kepada istri. “Sebentar lagi aku akan menemui Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatku yang lain. Jika ALLAH mengizinkan, aku akan bertemu kembali dengan mereka esok hari.” Esoknya ia benar-benar sudah dipanggil ke hadapan Rabbnya. Pria yang suara langkah terompahnya terdengar sampai surga saat ia masih hidup, Pria yang suara dan kumandang adzannya membuat para malaikat sujud dan membuat arasy berguncang kini berada dalam kebahagiaan yang amat sangat. Ia bisa kembali bertemu dengan sosok yang selama ini ia rindukan. Ia bisa kembali menemani Rasulullah, seperti sebelumnya saat masih di dunia….

yaaaa Allah sampaikan iman dan rasa cinta bilal di dalam hati kami…

sampaikan..

sampaikan wahai Allah….


HASAN BASHRI DAN GADIS KECIL

SORE itu Hasan Bashri, seorang tabi’in terkemuka, sedang duduk di teras rumahnya. Tak lama kemudian lewat iringan jenazah dengan rombongan pelayat dibelakangnya. Dibawah keranda yang diusung, berjalan seorang gadis kecil sambil terisak-isak. Ia adalah putri orang yang sedang meninggal itu.
Keesokan harinya, usai salat subuh, gadis kecil itu bergegas lagi ke makam ayahnya. Hasan Bashri mengikutinya sampai ke makam. Ia bersembunyi dibalik pohon, mengamati gerak-gerik gadis kecil itu secara diam-diam. Gadis kecil itu berjongkok di depan gundukan makam. Ia menempelkan pipinya ke atas gundukan tanah. Sejurus kemudian, ia meratap dengan kata-kata yang terdengar jelas oleh Hasan Bashri.

“Ayah, bagaimana keadaanmu tinggal sendirian dalam kubur yang gelap gulita tanpa pelita dan pelipur? Ayah,kemarin malam aku nyalakan lampu untukmu, semalam siapa yg menyalakannya untukmu?
Kemarin masih kubentangkan tikar, kini siapa yang melakukannya?
Ayah, kemarin malam aku masih memijat kaki dan tanganmu, siapa memijatmu semalam? Ayah, kemarin aku memberimu minum, siapa yg memberi minum tadi malam kepadamu?
Kemarin malam aku membalikkan badanmu dari sisi yg satu ke sisi yang lain agar engkau merasa nyaman, siapa yang melakukannya untukmu semalam?”
Mendengar rintihan gadis kecil itu, Hasan Bashri tak kuasa menahan tangis. Ia keluar dari tempat persembunyiannya, lalu menyambut kata-kata gadis kecil itu.

“Hai gadis kecil! Jangan berkata seperti itu, tetapi, ucapkanlah, ‘Ayah, kuhadapkan engkau ke arah kiblat, apakah engkau masih seperti itu atau telah berubah?.
Ayah, kami kafani kau dengan kain terbaik, masih utuhkah kain kafan itu?
Ulama mengatakan bahwa hamba yang mati ditanya imannya. Ada yang menjawab dan ada yg tidak.
Bagaimana dengan ayah? Apakah engkaku bisa mempertanggungjawabkan imannmu, ayah? Ataukah engkau tak berdaya?
Ulama mengatakan, kubur sebagai taman surga atau jurang menuju neraka. Kubur kadang membelai orang mati seperti kasih ibu, atau kadang menghimpitnya seperti tulang belulang berserakan. Apakah engkau dibelai atau dihimpit ayah?
Kata ulama, orang yg dikebumikan menyesal, mengapa tak memperbanyak amal baik. Orang ingkar menyesal dengan tumpukan maksiatnya. Apakah engkau menyesal karena kejelekan mu ataukah karena amal baikmu sedikit, Ayah?
Ayah, engkau sudah tiada. Aku sudah tak bisa menemuimu lagi hingga hari kiyamat nanti. Wahai Allah, janganlah Engkaku rintangi pertemuanku dengan ayahku di akhirat nanti.”

Gadis kecil itu menengok kepada Hasan Bashri seraya berkata, “Betapa indah ratapanmu kepada ayaku, betapa baik bimbingan yang telah kuterima, engkau ingatkan aku dari lelap lalai.”
Kemudian Hasan Bashri dan gadis kecil itu meninggalkan makam. Mereka pulang sembari berderai tangis.

http://pecintahabibana.wordpress.com/2012/12/05/hasan-bashri-dan-gadis-kecil/

Habib Muhdhar bin Salim bin Aqil bin Ahmad Bin Syekh Abu Bakar (BSA)

Sedikit sekali catatan sejarah tentang beliau. Namun diperkirakan Habib Muhdhar berhijrah ke Barabai tidak jauh dengan kedatangan Habib Alwi bin Abdullah Al-Habsyi. Beliau bermarga (fam) Bin Syekh Abubakar yang di Kalimantan Selatan fam ini tergolong langka (jarang ada).

Beliau lahir di Tarim Hadramaut Yaman. Di masyarakat beliau dikenal sangat alim akan ilmu agama, shaleh, taat dan rajin beribadah.

Diceritakan di jaman dahulu tatkala sungai, sumur dan air hujan yang menjadi tumpuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air rumah tangga, karena air ledeng bahkan pompa air (DRAGON kata orang Barabai) masih belum ada, hampir seluruh masyarakat yang tinggal di sekitar rumah habib Alwi Al-Habsyi, setiap harinya mengambil air di sumur belakang rumah habib Alwi. Ketika habib MUHDHAR BSA berkunjung ke rumah habib Alwi, mungkin beliau melihat begitu banyak orang yang mengambil air di sumur tersebut, maka beliau pun meludahi sumur tersebut. Manakala ditanya pengapa beliau melakukan hal itu, beliau menjawab agar airnya tidak pernah kering. Alhasil, hingga kini air sumur tersebut belum pernah kering, bahkan volume airnya dimusim kemarau hampir sama dengan dimusim hujan.

Menurut beberapa referensi yang pernah saya baca menyebutkan bahwa, habib Muhdhar menikah dengan anak habib Abubakar Al-Habsyi, yang adalah sahabat dan tetangga beliau ketika masih bermukim di Tarim, dan memilih berhijrah ke Martapura yang bernama Syarifah Noor binti Abubakar Al-Habsyi, dari perkawinan ini beliau tidak dikaruniai anak laki-laki hanya anak perempuan sehingga menyebabkan keturunan Habib Muhdhar terputus.

Habib Muhdhar wafat di Barabai dan dimakamkan di turbah Alawiyyin jalan Keramat Manjang (simpang 10) Barabai.


FARDHU-FARDHU WUDHU

NiatNiat yaitu tujuan untuk berbuat (melakukan) dengan motivasi (dorongan) untuk mengikuti perintah-perintah Allah. Para ulama mazhab sepakat bahwa niat itu termasuk salah satu fardhu dalam wudhu dan tempatnya pada waktu melaksanakan wudhu itu. Hanafi: Sahnya shalat tidak hanya tergantung pada wudhu dan niat; maka seandainya ada seorang yang mandi dengan tujuan hanya untuk mendinginkan badannya atau untuk membersihkannya, kemudian membasahi semua anggota wudhu, lalu ia shalat, maka shalatnya adalah sah, karena tujuan final dari wudhu itu adalah suci, sedangkan kesucian dengan mandi tersebut telah tercapai, lianya Hanafi mengecualikan sesuatu yang bercampur dengan sisa-sisa keledai atau anggur yang tcrbuat dari kurma. Dalam masalah ini mereka (Hanafi) menegaskan dengan wajibnya niat. (Ibnu Abidin, Jilid I, halaman 76). Membasuh MukaYang dimaksud dengan membasuh muka adalah mengalirkan air pada muka. la wajib cukup satu kali saja. Batasnya dari tumbuhnya rambut sampai pada ujung dagu.  Syafi’i: Juga wajib membasahi sesuatu yang di bawah dagu.  Imamiyah dan Maliki: Batasnya seluas ibu jari dan telunjuk.  Mazhab-mazhab yang lain: Batas membasuh muka itu dari anak kuping kiri ke anak kuping kanan.  Empat maz­hab: Kewajibannya itu hanya membasuh muka, sedangkan memulai dari atas itu adalah lebih utama. Membasuh Dua TanganKaum Muslimin sepakat bahwa membasuh dua tangan sarnpai dua siku-sikunya satu kali adalah wajib. Imamiyah: Wajib memulainya dari dua siku-siku dan batal bila sebaliknya, sebagairnana Imamiyah mewajibkan mendahulukan ta­ngan yang kanan dari tangan yang kiri.  Mazhab-mazhab yang lain:Yang wajib itu adalah membasuhnya, sedangkan mendahulukan tangan yang kanan dan memulai dari jari jemari adalah lebih utarna. Mengusap KepalaHambali: Wajib mengusap semua kepala dan dua telinga. Sedang­kan mandi, menurut Hambali adalah cukup sebagai pengganti dari mengusap, dengan syarat melewatkan kedua tangannya di atas kepala.  Maliki; Wajib mengusap semua kepala tanpa telinga.  Hanafi: Wajib mengusap seperempat kepala, tetapi cukup dengan memasukkan kepala ke dalam air atau menuangkan air di atas kepalanya. Syafi’i: Wajib mengusap sebagian kepala, sekalipun sedikit. Tetapi cukup dengan membasahi atau menyiram sebagai pengganti dari mengusap. Imamiyah: Wajib mengusap sebagian dari depan kepala, dan cu­kup dengan sangat sedikit sepanjang bisa dinamakan mengusap ke­pala, tetapi tidak boleh membasahi dan tidak boleh pula menyiraminya, sebagaimana Imamiyah mewajibkan mengusapnya dengan basahan wudhu, dan jika digunakan air baru serta mengusap dengannya, maka wudhunya batal.  Empat mazhab: Wajib mengusap dengan air baru. (Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah,jilid I, dalam bab mashurra’si, dan juga di Tadzkirah, ‘Allamah Al-Hilli). Kalau mengusap surban, maka Hambali telah membolehkannya, dengan sebagian surban itu berada di bawah dagu. Hanafi, Syafi’i dan Maliki: boleh kalau ada udzur, tetapi bila tidak, tidak boleh. Imamiyah: Tidak boleh mengusap surban, berdasarkan firman Allah:  “Dan usaplah kepala-kepala kalian”. Sedangkan surban tidak bisa dinamakan kepala. DuaKaki Empat mazhab: Wajib membasuhnya sampai mata kaki satu kali.  Imamiyah: Wajib mengusapnya dari ujung jari-jemari sampai pada mata kaki. Kesepakatan ulama mazhab: Boleh mendahulukan yang kanan dari yang kiri. Perbedaan apakah mengusap atau membasuh dua kaki itu sebenarnya bersumber dari pemahaman ayat 6 surat Al-Maidah: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menegakkan shalat, maka basuhlah muka-muka kamu, kedua langan kamu sampai siku-siku, dan usaplah kepala-kepala kamu dan kaki kamu sampai dua mata kakinya”. Kata arjul ada yang membaca dengan kasrah, yaitu arjulikum, dan ada yang membacanya dengan fathah, yaitu arjulakum. Maka orang yang berpendapat dengan cukup mengusap berarti menjadikan kata arjul itu athaf kembali pada kata ru ‘us sekaligus membacanya kasrah, dan kedudukan nashabnya fil mahalli (berada di tempat), karena setiap yang dikasrahkan lafadznya ia di-nashab-kan (di-fathah-kan) pada mahal (tempat). Dan orang berpendapat dengan membasuh, ia mengatakan bahwa arjul itu di-nashab-kan (di-fathah-kan) dengan menjadikannya athaf kembali pada kata aidiya. Silahkan membaca Tafsir Ar-Razi. Empat mazhab: Boleh mengusap sepatu dan kaos kaki sebagai pengganti dari membasuh dua kaki.  Imamiyah: Tidak boleh, berdasarkan perkataan Imam Ali salâmullâhi ‘alaihi:  “Saya tidak mengamalkan, apakah saya mengusap dua khuf (sepatu) atau punggung unta di padang Sahara”. TertibTertib ini berdasarkan keterangan ayat, yaitu: Dimulai dari muka, lalu dua tangan, lalu kepala, lalu dua kaki. la wajib sekaligus syarat sahnya wudhu, menurut Imamiyah, Syafi’i dan Hambali. Hanafi dan Maliki: Tidak wajib tertib, dan boleh dimulai dari dua kaki dan berakhir di muka.  MuwalatYaitu berurutan antara membasuh anggota-anggota wudhu dan apabila telah selesai dari satu anggota lalu pindah (melakukan) pada anggota selanjutnya dengan segera. Imamiyah dan Hambali: Wajib muwalat, hanya Imamiyah mensyaratkan tidak sampai kering anggota yang dibasuh itu sebelum melanjutkan anggota sesudahnya. Kalau sampai kering anggota wudhu itu, maka batallah wudhunya, dan berarti wajib memulai lagi. Hanafi dan Syafi’i: Tidak wajib muwalat, hanya dimakruhkan memisahkan dalam membasuh antar anggota-anggota wudhu itu kalau tidak udzur, bila ada udzur, maka hilanglah kemakruhan itu. Maliki: Muwalat itu diwajibkan hanya bagi orang yang berwudhu dalam keadaan sadar, dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ia tidak sadar, sebagaimana kalau ia menuangkan air yang dianggapnya untuk wudhu, maka kalau ia membasuh mukanya, lalu lupa membasuh dua tangannya, atau air yang akan dipergunakan untuk wudhu itu telah habis, maka kalau mengikuti keyakinannya berarti ia telah melakukan sesuatu yang dibangun di atas keyakinannya, sekalipun telah lama


Etika Memberi Nama Anak Dalam Islam

Etika Memberi Nama Anak Dalam Islam
Pentingnya Pemberian Nama
Nama adalah ciri atau tanda, maksudnya adalah orang yang diberi nama dapat mengenal dirinya atau dikenal oleh orang lain. Dalam Al-Qur’anul Kariim disebutkan;

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَل لَّهُ مِن قَبْلُ سَمِيًّا (7) سورة مريم

“Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia” (QS. Maryam: 7).

Dan hakikat pemberian nama kepada anak adalah agar ia dikenal serta memuliakannya. Oleh sebab itu para ulama bersepakat akan wajibnya memberi nama kapada anak laki-laki dan perempuan 1). Oleh sebab itu apabila seseorang tidak diberi nama, maka ia akan menjadi seorang yang majhul (=tidak dikenal) oleh masyarakat.

Waktu Pemberian Nama

Telah datang sunnah dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang waktu pemberian nama, yaitu:

a) Memberikan nama kepada anak pada saat ia lahir.

b) Memberikan nama kepada anak pada hari ketiga setelah ia lahir.

c) Memberikan nama kepada anak pada hari ketujuh setelah ia lahir.

Pemberian Nama Kepada Anak Adalah Hak (Kewajiban) Bapak.

Tidak ada perbedaan pendapat bahwasannya seorang bapak lebih berhak dalam memberikan nama kepada anaknya dan bukan kepada ibunya. Hal ini sebagaimana telah tsabit (=tetap) dari para sahabat radhiallahu ‘anhum bahwa apabila mereka mendapatkan anak maka mereka pergi kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam agar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nama kepada anak-anak mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan bapak lebih tinggi daripada ibu.

Nasab Anak Kepada Bapak Bukan Kepada Ibu

Sebagaimana hak memberikan nama kepada anak, maka seorang anakpun bernasab kepada bapaknya bukan kepada ibunya, oleh sebab itu seorang anak akan dipanggil: Fulan bin Fulan, bukan Fulan bin Fulanah.

Allah Ta’ala berfirman:

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ (5) سورة الأحزاب

Panggilah mereka (anak-anak  angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka…” (QS. Al-Ahzab: 5)

Oleh karena itu manusia pada hari kiamat akan dipanggil dengan nama bapak-bapak mereka: Fulan bin fulan. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadits dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam 2).

Memilih Nama Terbaik Untuk Anak

Kewajiban bagi seorang bapak adalah memilih nama terbaik bagi anaknya, baik dari sisi lafadz dan maknanya, sesuai dengan syar’iy dan lisan arab. Kadangkala pemberian nama kepada seorang anak baik adab dan diterima oleh telinga/pendengaran akan tetapi nama tersebut tidak sesuai dengan syari’at.

Tata Tertib Pemberian Nama Seorang Anak

1. Disukai Memberikan Nama Kepada Seorang Anak Dengan Dua Suku Kata, misal Abdullah, Abdurrahman. Kedua nama ini sangat disukai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana diterangkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud dll. Kedua nama ini menunjukkan penghambaan kepada Allah Azza wa Jalla.

Dan sungguh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan nama kepada anak pamannya (Abbas radhiallahu ‘anhu), Abdullah radhiallahu ‘anhuma. Kemudian para sahabat radhiallahu ‘anhum terdapat 300 orang yang kesemuanya memiliki nama Abdullah.

Dan nama anak dari kalangan Anshor yang pertama kali setelah hijrah ke Madinah Nabawiyah adalah Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhuma.

2. Disukai Memberikan Nama Seorang Anak Dengan Nama-nama Penghambaan Kepada Allah Dengan Nama-nama-Nya Yang Indah (Asma’ul Husna), misal: Abdul Aziz, Abdul Ghoniy dll. Dan orang yang pertama yang menamai anaknya dengan nama yang demikian adalah sahabat Ibn Marwan bin Al-Hakim.
3. Disukai Memberikan Nama Kepada Seorang Anak Dengan Nama-nama Para Nabi.

Para ulama sepakat akan diperbolehkannya memberikan nama dengan nama para nabi’’

Diriwayatkan dari Yusuf bin Abdis Salam, ia berkata:”Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nama kepadaku Yusuf” (HR. Bukhori –dalam Adabul Mufrod-; At-Tirmidzi –dalam Asy-Syama’il-). Berkata Ibnu Hajjar Al-Asqolaniy: Sanadnya Shohih.

Dan seutama-utamanya nama para nabi adalah nama nabi dan rasul kita Muhammad bin Abdillah shalallahu ‘alaihi wa sallam.


4. Memberikan Nama Kepada Seorang Anak Dengan Nama-nama Orang Sholih Dari Kalangan Kaum Muslimin.

Telah tsabit dari hadits Mughiroh bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda:

أنهم كانوا يسمون بأسماء أنبيائهم والصالحين (رواه مسلم).

“Sesungguhnya mereka memberikan nama (pada anak-anak mereka) dengan nama-nama para nabi dan orang-orang sholih” (HR. Muslim).

Kemudian para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah penghulunya orang-orang sholih bagi umat ini dan demikian juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari akhir.

Para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memandang bahwa hal ini adalah baik, oleh karena itu sahabat Zubair bin ‘Awan radhiallahu ‘anhu memberikan nama kepada anak-anaknya –jumlah anaknya 9 orang- dengan nama-nama sahabat yang syahid pada waktu perang Badr, missal: Abdullah,’Urwah, Hamzah, Ja’far, Mush’ab, ‘Ubaidah, Kholid, ‘Umar, dan Mundzir.

Syarat-syarat Dalam Pemberian Nama

a. Nama tersebut menggunakan bahasa arab.
b. Nama tersebut dibangun dengan makna yang baik secara bahasa dan syari’at. Oleh karenanya dengan adanya syarat ini tidak boleh menggunakan nama-nama yang haram atau makruh baik dalam segi lafadz ataupun maknanya. Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam merubah nama-nama yang jelek menjadi nama-nama yang baik dari segi lafadz dan maknanya.

Nama-nama yang Diharamkan

a. Kaum muslimin telah bersepakat terhadap haramnya penggunaan nama-nama penghambaan kepada selain Allah Ta’ala baik dari matahari, patung-patung, manusia atau selainnya, missal: Abdur Rasul (=hambanya Rasul), Abdun Nabi (=hambanya Nabi) dll. Sedangkan selain nama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, misal: Abdul ‘Izza (=hambanya Al-‘Izza (nama patung/berhala), Abdul Ka’bah (=hambanya Ka’bah), Abdus Syamsu (=hmabanya Matahari) dll.

b. Memberi nama dengan nama-nama Allah Tabaroka wa Ta’ala, misal: Rahim, Rahman, Kholiq dll.

c. Memberi nama dengan nama-nama asing atau nama-nama orang kafir.

d. Memberi nama dengan nama-nama patung/berhala atau sesembahan selain Allah Ta’ala, misal: Al-Lat, Al-‘Uzza dll.

e. Memberi nama dengan nama-nama asing baik yang berasal dari Turki, Faris, Barbar dll.

f. Setiap nama yang memuji (tazkiyyah) terhadap diri sendiri atau berisi kedustaan.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

إن أخنع إسم عند الله رجل تسمى ملك الأملاك (رواه البخاري؛ مسلم).

“Sesungguhnya nama yang paling dibenci oleh Allah adalah seseorang yang bernama Malakul Amlak (=rajanya diraja)” (HR. Bukhori; Muslim).

g. Memberi nama dengan nama-nama Syaithon, misal: Al-Ajda’ dll.

Nama-nama Yang Dimakruhkan

a. Dimakruhkan memberi nama anak dengan nama-nama orang fasiq, penzina dll.

b. Dimakruhkan memberi nama anak dengan nama perbuatan-perbuatan jelek atau perbuatan-perbuatan maksiat.

c. Dimakruhkan memberi nama anak dengan nama para pengikut Fir’un, misal: Fir’un, Qarun, Haman.

d. Dimakruhkan memberi nama anak dengan nama-nama hewan yang telah dikenal akan sifat-sifat jeleknya, misal: Anjing, keledai dll.

e. Dimakruhkan memberi nama anak dengan Ism, mashdar, atau sifat-sifat yang menyerupai terhadap lafzdz “agama” (الدين) , dan lafadz “Islam” (الإسلام), misal: Nurruddin, Dliyauddin, Saiful Islam dll.

f. Dimakruhkan memberi nama ganda, misal: Muhammad Ahmad, dll.

g. Para ulama memakruhkan memberi nama dengan nama-nama surat dalam Al-Qur’an, misal: Thoha, Yasin dll.

Catatan Kaki:

1) Marotib Al-Ijma’, hal: 154. Oleh Ibn Hazm.

2) Lihat Shahih Bukhori, bab: Maa Yad’u An-Naas Bi abaihim.

3) Lihat Syarh Shahih Muslim 8/437. Imam An-Nawawi rahimahullah; Marotib Al-Ijma’, hal: 154-155.

4) Zaadul Ma’ad, 2/347. Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah.


5) Maksudnya adalah memberikan nama anak dengan dua nama, yang mana nama tersebut terdapat dalam satu orang. Misal Muhammad Ahmad, nama Muhammad dan Ahmad dimiliki oleh satu orang, dan Ahmad bukanlah nama bapaknya,pent.

Bisyir bin Harits, Seorang Wali dari Dunia Pemabuk

Hidayah bisa datang kepada siapa saja yang dikehendaki Allah SWT. Tak terkecuali Bisyir bin Harits, seorang pemuda yang gemar minum-minuman keras.

Bisyir bin Harits benar-benar datang. Ia menempati janji seperti yang disampaikan kepada saudara perempuannya. Namun kemunculannya terlihat lain, ia limbung seperti halnya orang yang tengah kebingungan.

Belum lagi duduk atau berkata sepatah katapun untuk basa-basi, Bisyir malah melenggang meninggalkan ruang tamu, “Saya akan naik ke atas,” begitu kata Bisyir tanpa basa-basi, membuat saudara perempuannya heran.

Keheranan saudara perempuan Bisyir kian bertambah. Pasalnya setelah melewati beberapa anak tangga menuju ke loteng, Bisyir berhenti. Ia terdiam di sana sampai saat subuh tiba.

“Mengapa sepanjang malam tadi engkau hanya berdiri di tangga itu?” tanya saudara perempuan Bisyir  sesaat setelah Bisyir selesai melaksanakan shalat subuh.

“Ketika saya baru naik, tiba-tiba muncul pemikiran dalam otakku. Di Baghdad ini banyak orang yang memiliki nama Bisyir, ada yang Yahudi, Kristen, Majusi. Aku sendiri seorang muslim yang bernama Bisyir. Saat ini aku mendapat kebahagiaan yang besar. Aku bertanya dalam diriku: Apakah yang telah aku lakukan ini sehingga mendapat kebahagiaan sedemikian besar, dan apa pula yang selama ini mereka kerjakan sehingga tidak mendapat kebahagiaan seperti yang kudapat? Itulah yang membuatku berdiri di tangga itu sepanjang malam tadi,” kata Bisyir kepada suadara perempuannya.

Tingkah aneh yang dilakukan Bisyir tidak itu saja. Orang-orang yang mengenalnya mengetahui, hampir separuh hidup Bisyir dijalani dengan penuh keanehan.

Suatu ketika cuaca sangat dingin, orang-orang yang tidak kuat dengan cuaca itu merangkap bajunya beberapa lembar, tapi Bisyir malah melepas bajunya yang dipakai hingga menggigil kedinginan.

“Mengapa engkau melepas bajumu wahai Abu Nashr, bukankah engkau menggigil kedinginan. Lihatlah orang-orang itu, mereka mengenakan baju berlapis-lapis,” kata salah seorang sahabat yang merasa aneh dengan tingkah Bisyir.

“Aku teringat pada orang-orang miskin, betapa menderitanya mereka saat ini, sementara aku tidak punya uang untuk membantu mereka, karena itu aku turut merasakan penderitaan seperti yang mereka rasakan saat ini,” kata Bisyir. Sahabatnya tidak bisa berkata-kata.

Di waktu yang lain, Bisyir berjanji hendak mengunjungi Ma’ruf, salah satu sahabatnya. Mendapati janji tersebut Ma’ruf dibuat girang. Dengan sabar Ma’ruf menunggu kedatangan Bisyir hingga waktu dluhur tiba, Bisyir belum juga tiba hingga usai shalat Asar.

Bahkan setelah menunaikan salat Isya pun, Bisyir belum juga tiba. Ma’ruf tetap bersabar menunggu kedatangan Bisyir, Ia yakin Bisyir tidak mungkin mengkhianati janjinya. Harapan dan kesabaran Ma’ruf tidak sia-sia. Ketika malam semakin larut, ia melihat Bisyir dari kejauhan, tanangannya mengapit sebuah sajadah.

Saat sampai di Sungai Tigris, Bisyir menyebrang sungai itu dengan cara berjalan di atas air. Hal sama dilakukannya ketika hendak pulang saat waktu subuh tiba setelah mereka berbincang sepanjang malam. Seorang sahabat Ma’ruf yang menyaksikan kejadian itu mencoba mengejar Bisyir, kepadanya ia minta didoakan, setelah mendoakan sahabat Ma’ruf sesuai yang dimintanya, Bisyir berpesan agar apa yang dilihatnya itu tidak diceritakan kepada siapapun. Dan orang itu tetap menjaga rahasia tersebut sepanjang masa hidup Bisyir.

Di lain kesempatan Bisyir kedatangan sekelompok orang dari Syiria. Mereka bermaksud mengajaknya menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Namun ajakan itu tidak serta merta dipenuhinya. Kepada tamunya itu Bisyir mengajukan syarat: Pertama, mereka tidak dibolehkan membawa bekal apapun. Kedua, mereka tidak boleh meminta belas kasihan orang lain dalam perjalanan. Ketiga, jika ada orang yang melihat karena iba dan kasihan kepada mereka, mereka tidak diizinkan menerima pemberian itu.

Tawakal kepada Allah

“Pergi tanpa perbekalan dan tidak boleh meminta-minta dapat kami terima, tapi apabila orang lain memberikan sesuatu mengapa tidak boleh menerimanya,” tanya salah seorang dalam rombongan itu.

Mendengar kekhawatiran tersebut, Bisyir pun menjawab, “Sebenarnya diri kalian tidak memasrahkan diri kepada Allah, tapi kepada perbekalan yang kalian bawa.”

Pada saat yang lain datang seorang lelaki datang minta nasihat pada Bisyir, lelaki itu memiliki uang sebanyak 2000 dirham, yang halal dan akan digunakannya untuk melaksanakan haji.

Kepada orang itu Bisyir malah berkata, “Apakah engkau hendak bersenang-senang? Jika engkau benar-benar bermaksud membuat Allah suka, lunasilah hutang seseorang, atau berikan uang itu kepada anak yatim, atau kepada orang yang butuh pertolongan. Kelapangan yang diberikan kepada jiwa seorang muslim lebih disukai Allah daripada seribu kali menunaikan ibadah haji.”

Mendengar nasihat itu, laki-laki itu menjawab, “Walau demikian aku lebih suka jika uang ini kupergunakan untuk menunaikan ibadah haji.”

“Itulah bukti, engkau telah memperolehnya dengan cara tidak halal, maka engkau tidak akan merasa senang sebelum menghabiskannya dengan cara-cara yang tidak benar,” kata Bisyir kemudian.

BismillahKeanehan dan kealiman Bisyir tidak terlepas dari pengalaman relijius yang pernah dialaminya. Sewaktu muda, Bisyir dikenal sebagai seorang pemabuk. Suatu malam ia berjalan seorang diri dengan sempoyongan karena mabuk minuman keras. Di tengah perjalanan ia menemukan secarik kertas bertuliskan kalimat “Bismillahirramanirrahim”. Antara sadar dan tidak, ia lantas membeli minyak mawar yang dipakainya memerciki kertas itu untuk disimpannya.

Setelah kejadian itu, di suatu malam ada seorang ulama yang bermimpi bahwa ia diperintah Allah agar menemui Bisyir, dengan menyatakan, “Engkau telah mengharumkan namaku, maka Aku pun telah mengharumkan namamu. Engkau telah memuliakan nama-Ku, maka aku pun telah memuliakan dirimu. Engkau telah menyucikan nama-Ku, maka aku pun telah menyucikan dirimu. Demi kebesaran-Ku, niscaya kuharumkan namamu, baik di dunia maupun di akhirat.”

Namun, karena ia mengenal  Bisyir sebagai sosok pemuda berandal, lelaki itupun langsung melanjutkan tidurnya setelah ia bersuci. Tapi ia menemukan mimpi yang sama hingga tiga kali.

Keesokan harinya ia pergi menemui Bisyir, yang tengah menghadiri pesta minuman keras. Ia ceritakan sebuah pengalaman dan perintah Allah yang mesti dikerjakannya. Sejak itu, atas izin dan perkenan Allah, Bisyir langsung berubah. Namanya tidak lagi disebut dalam pesta anggur, apalagi sampai ia datang ke pesta maksiat itu.

***

Kisah yang lain menyebutkan, Bisyir sempat bertemu Rasulullah SAW dalam tidurnya. Rasulullah mengatakan kepadanya alasan mengapa Allah memilih sebagai hamba yang dimuliakan. Karena dia selalu mengikuti sunah Nabi SAW, memuliakan orang yang saleh, memberi nasihat yang baik kepada saudara-saudaranya, dan mencintai Rasulullah dan keluarganya.

Pada kesempatan lain Bisyir sempat meminta nasihat pada sahabat Ali bin Abi Thalib melalui mimpinya. Sahabat Ali pun memberinya nasehat. “Belas kasihan orang kaya kepada orang miskin, karena berharap pahala dari Allah adalah perbuatan baik. Tapi lebih baik lagi bila orang-orang miskin itu enggan menerima pemberian orang kaya karena percaya kepada kemurahan Allah.”

Begitulah kisah hidup Abu Nashr Bisyir bin Al-Harits Al-Hafi. Meski sempat menjadi brandal dan pemabuk semasa mudanya, hamba Allah yang saleh yang lahir di Kota Merv (Persia) pada 150 H / 767 M ini segera berubah setelah hidayah itu diperolehnya. Ia tinggalkan segala kesenangan di dunia, lalu belajar hadits di Baghdad. Ia meninggal pada 227 H. Karena kesalehannya, Imam Ahmad bin Hambal, pendiri mazhab Hambali, pun ikut menghormati dan mengaguminya

http://www.sufiz.com/jejak-sufi/bisyir-bin-harits-seorang-wali-dari-dunia-pemabuk.html

As-Sulami, Sufi yang Produktif sebagai Penulis

As-Sulami adalah sufi produktif di zamannya, karya-karyanya menjadi rujukan sufi besar sesudahnya.

Namanya tidak mungkin terlupakan dalam perkembangan tasawuf, betapa tidak, ia rajin dan produktif menuliskan gagasan-gagasannya tentang Ketuhanan. Sampai kini pemikirannya masih relevan dan sering digunakan oleh kalangan sufi sebagai rujukan. Selain itu, As-Sulami juga berhasil menciptakan terobosan baru dalam mistisisme Islam.

Nama lengkapnya Abu Abdurrahman bin Al-Hussain bin Muhammad bin Musa As-Sulami Al-Azdi. Ia lahir di Khurasan, Iran, pada tahun 325 H / 937 M dalam sebuah keluarga yang sangat taat bergama. Bahkan kedua orang tuanya di kenal sebagai ulama dan Sufi yang masyhur di Khurasan. Suasana serba religius di dalam rumah inilah yang mempengaruhi As-Sulami di kemudian hari. Ketika ia berusia 15 tahun, ayahnya meninggal. Ia kemudian diasuh oleh nenek dari pihak ibunya.

Seperti lazimnya para ulama dan sufi masa itu, As-Sulami mengenal agama dari ayahnya sendiri dan kemudian berguru kepada sejumlah ulama. Sejak kecil ia sudah mendalami bahasa Arab dan Al-Qur’an sebagai basis untuk mempelajari berbagai hal mengenai Islam. Di antara guru-gurunya terdapat beberapa nama terkemuka, seperti Ad-Daruquthni, Al-Sarraj, Al-Nasrabazi, Al-Abzari, dan Al-Asfahami.

Dari merekalah As-Sulami memperlajari ilmu tafsir, hadis, fikih hingga tasawuf. Belakangan ia dikenal sebagai pakar Hadis dan sejarah serta guru para sufi. Dimanapun ia berada – di Naisabur, Merv, Irak, Hijaz, – As-Sulami selalu menulis.

Sejak usia delapan tahun ia sudah mendalami hadits bahkan kemudian meriwayatkannya. Ia mempelajari hadis dari beberapa guru seperti Syekh Abu Bakar As-Sibhghi dan Imam Abu Nua’im Al-Isbahani, pengarang kitab mengenai tasawuf, “Hilyatul Awliya”. Kepiawaiannya dalam ilmu hadis menjadikan As-Sulami sebagai rujukan banyak ulama.

Para ulama tersebut antara lain: Imam Al-Hakim, pengarang kitab Al-Mustadrak, Imam Al-Qusyairi, pengarang kitab Al-Risalah Qusyairiyah, Imam Al-Bayhaqi, Abu Said Abu Ramish, Abu Bakr Muhammad ibn Yahya ibn Ibrahim Al-Muzakk, Abu Saleh Al-Muadhdhin, Abu Abdillah Al-Qasim ibn Al-Fadl ibn Ahmad Al-Thaqafi Al-Jubari, Ahmad ibn Muhammad ibn Abd. Al-Wahid Al-Wakil Al-Munkadiri, Al-Qadi Ahmad ibn Ali ibn Al-Husyain Al-Tawwazi, Abu bakar Ahmad ibn Ali ibn Abdillah Al-Shirazi, Abu Hamid Ahmad ibn Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi, dan Abu Muhammad al-Juwaini.

Panjangnya deretan nama ulama dan sufi yang sering merujuk kepadanya membuktikan betapa mereka mengagumi As-Sulami mempunyai kedudukan yang tinggi dalam ilmu, sementara Abdul Ghafir Al-Farisi berkata, “Beliau adalah seorang Syekh Thariqat (jalan menuju kebenran dalam tasawuf) yang telah dikaruniai penguasaan berbagai ilmu hakekat dan tasawuf. Beliau telah menulis sekitar 100 kitab tentang risalah tasawuf yang hebat.” Dalam hal tasawuf, As-Sulami mengaji kepada Ibnu Munazil, Abu Ali Al-Thaqafi (di Khurasan), Abu Uthman Al-Hiri, Abu Nasr As-Sarraj (penulis kitab Al-Luma fit Tasawuf) dan Abu Qasim Al-Nasrabadzi yang juga sahabatnya dalam berdiskusi.

Banyak kisah sufistik seputar As-Sulami, salah satunya diceritakan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi, ia meriwayatkan, Imam Abu Ali Ad-Daqqaq pernah berkata kepada muridnya Imam Al-Qusyairi, bahwaq ia mendengar As-Sulami mempunyai amalan unik.

Menari Berputar

Imam Abu Ali pun kemudian berkata kepada Qusyairi, “Bagi seorang sufi yang mempunyai maqam (kedudukan yang mulia atau tinggi) seperti As-Sulami, lebih baik jika ia berdiam diri, bertafakkur, daripada menari,” kemudian Ad-Daqqaq menyuruh Qusyairi mengunjungi As-Sulami dan berkata, “Engkau akan dapati bahwa dia sedang di perpustakaannya, engkau akan lihat sebuah buku berwarna merah berisi puisi karya Abu Mansur Al-Hallaj, bawa buku itu kepadaku.”

Maka Qusyairi pun pergilah, dan mendapati as-Sulami seperti yang diceritakan oleh Ad-Daqqaq. Imam Qusyairi pun duduk dan sejenak kemudian As-Sulami berkata, “Ada seorang hamba Allah yang biasa mengkritik perilaku para ulama, pada suatu hari pengkritik itu sendiri berputar menari di rumahnya.” Maka ketika As-Sulami di tanya mengapa ia menari, padahal ia selalu mengkritik perbuatan tersebut, As-Sulami menjawab, “Aku mempunyai persoalan yang sulit yang kemudian jadi jelas. Aku tidak dapat menahan kegembiraanku, lalu aku bangun dan berputar menari, begitulah keadaan orang yang menari berputar.”

Seolah-olah As-Sulami menjawab persoalan yang ditanyakan oleh Ad-Daqqaq. Selanjutnya Qusyairi menceritakan semua suruhan gurunya, “Aku takut menyalahimu, tapi aku tidak mengingkari suruhan guruku,” maka As-Sulami pun menjawab. “Ambillah buku itu dan katakan kepada gurumu bahwa kadangkala aku mengutip puisi Al-Hallaj dalam karangan-karanganku.”

Al-Qusyairi meriwayatkan, suatu ketika As-Sulami bertanya kepada Abu Ali Ad-Daqqaq, “Manakah yang lebih sempurna, dzikir atau pikir?” Ad-Daqqaq menjawab dengan ganti bertanya, “Apakah pembuka Rohani tuan Syekh?” jawab As-Sulami, “bagiku dzikir terlebih sempurna, karena Al-Haq itu diberitakan oleh dzikir, bukan oleh pikir.” Abu Ali Ad-Daqqaq setuju. As-Sulami juga pernah berkata, “Akar tasawuf adalah ketaatan kepada Al-Qur’an dan sunah, meninggalkan nafsu syahwat dan perkara Bid’ah, menghormati orang-orang suci, dan istiqamah dalam berdzikir.”

Selain dikenal luas sebagai sufi besar, As-Sulami juga sebagai seorang penulis kitab yang produktif. Ia sudah menulis ketika masih berusia 20 tahun. Karya-karyanya meliputi sejumlah besar kitab dan risalah tentang hadis dan tasawuf. Semua karyanya menjadi tumpuan rujukan para ulama di seluruh dunia hingga kini. Sebagian besar masa hidupnya ia habiskan di perpustakaan untuk membaca dan menulis. Sampai beberapa bulan menjelang wafatnya pada tahun 412 H / 1021 M (ketika berusa 87 tahun), ia masih berkarya. Hari-hari terakhirnya ia habiskan dengan bersunyi diri di sebuah pertapaan sufi di Naisabur, Iran. Di sana pula ia wafat dan dimakamkan.

Karya-karyanya: Adab As-Sufiyya, Adab Al-Suhba wa Husn al-Ushra, Amthal al-Qur’an, Al-Arbain fi al-Hadis, Bayan fi Al-Sufiyya, Darajat al-Muamalat, Darajat As-Shiddiqin, Al-Farq Bayn al-Syaria wal Haqiqa, Al-Futuwwa, Ghalatat al-Sufiyya, Al-Ikhwah wal Akhwa min al-Sufiyya, al-Istishadat, Juwami, Adab al-Sufiyya, al-Malamatiyya, Manahij al-Arifin, Maqamat al-Awliya, Masail  Waradat min Makkah, Mihan Al-Sufiyya, Al-Muqaddimah fi at-Tasawuf wa Haqiqatih al-Radd ‘ala ahl al-Kalam, Al-Sama, Al-Sualat Suluk al-Arifin, Sunnah al-Sufiyya, dan sebagainya.

Di antara sekian banyak karyanya, yang paling mendapat perhatian para ulama ialah Thabaqat al-Sufiyya. Lebih dari 100 orang telah memberikan syarah dan komentar atas kitab tersebut. Bahkan pengaruh-pengaruh pikirannya dalam kitab itu tampak jelas dalam karya Abu Naim dalam kitab Hilyat al-Auliya, Kitab Al-Baghdadi dalam kitab Tarikh al-Baghdad, Al-Qusyairi dalam kitab Al-Risalah, Abdurrahman al-Jami, dalam kitab Nafkhat al-Uns dan Al-Sya’rani dalam Thabaqat al-Qubra. Dalam karya-karyanya As-Sulami selalu berusaha mempersatukan syariat dan hakikat, selalu berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunah.


An-Nifari, Sang Pengelana yang Enggan Bicara

Ketinggian tokoh sufi dari Irak ini konon melebihi Rumi dan Hallaj. Dia adalah teoritikus sufi sekaligus sastrawan besar.

“Ketika kita sudah melakukan sesuatu dengan baik dan bersungguh-sungguh, mengapa harus meributkan penilaian orang lain? Bukankah Ridha-Nya yang kita harapkan?”

Nama mistikus ini agak asing di telinga kita. Tidak seperti al-Hallaj, ia seakan kurang begitu terdengar. Padahal dimata para ahli tasawuf, pandangan-pandangan sufistiknya sangat berpengaruh. Terbukti dari banyaknya para sufi sesudahnya yang banyak mengikutinya. Dia adalah An-Nifari, yang telah meninggalkan jejak kesufian yang luar biasa. Dalam memaknai tasawuf, misalnya, ia lebih berhati-hati. Itu sebabnya ia menjadi panutan bagi para sufi yang lain. Nama lengkapnya ialah Muhammad ibnu Abdul Jabbar bin al-Husain an-Nifari. Di dunia sastra klasik Irak, namanya menjulang karena karya-karyanya yang masyhur. Tapi sejarah hidupnya sulit dilacak. Menurut catatan , ia lahir di Basrah, Irak, tapi tanggal dan tahunnya sulit ditemukan. Bisa dimaklumi, karena dia suka menyendiri. Apalagi dia lebih suka berkelana.

Itu pula sebabnya seorang pengamat sufisme Dr. Margareth Smith mernjulukinya sebagai “Guru besar di jalan Mistik.” Kalaupun sekarang ditemukan karya-karyanya, hal itu semata-mata lantaran jasa orientalis Ingris, Arthur Jhon Arbery, pengamat Islam ini berhasil menerjemahkan beberapa karya an-Nifari pada 1934 – meski tidak semuanya berhasil dilacak. Bisa dimaklumi jika karya-karyanya penuh dengan catatan perjalanan spritual – yang tahap demi tahap dilakukannya sampai kepuncak ruhaniyah paling tinggi. Sosok an-Nifari memang unik. Pengalaman spritualnya terbingkai dengan indah dalam bahasa sastra nan elok. Karena itu tak dapat dipungkiri bahwa nama an-Nifari disejajarkan dengan para sufi dan sastrawan Irak lainnya. Bait-bait puisinya selalu menampilkan pemaknaan tentang Allah. Dengarlah, misalnya, puisinya tentang penyerahan diri kepada Allah.

Ilmu adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh perbuatan.

Dan perbuatan adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh keikhlasan.

Dan keikhlasan adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh kesabaran.

Dan kesabaran adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh penyerahan.

           Menurut An-Nifari, sabar ialah upaya untuk menahan diri dalam menanggung penderitaan, baik dalam menemukan sesuatu yang tidak di inginkan, maupun dalam bentuk kehilangan sesuatu yang disenangi. Sabar adalah kondisi mental dalam mengendalikan nafsu yang tumbuh atas dasar ajaran agama. Karena merupakan kondisi mental dalam mengandalikan diri, sabar merupakan salah satu tingkatan yang harus dijalani oleh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dalam tingkatan-tingkatan yang harus dilalui oleh seorang sufi, biasanya sabar diletakkan sesudah zuhud, karena orang yang dapat mengendalikan diri dalam menghadapi duniawi berarti telah berusaha menahan diri dari dunia. Keberhasilan dalam tingkatan zuhud akan membawanya ke tingkatan sabar. Dalam tingkatan sabar ia tidak lagi terguncang oleh penderitaan, dan hatinya sudah betul-betul teguh menghadap Allah SWT.

Menurut An-Nifari, unsur sabar adalah ilmu. Sedang yang dimaksud dengan ilmu ialah pengetahuan atau kesadaran bahwa sabar mengandung kemaslahatan dalam agama, dan memberi manfaat bagi seseorang dalam menghadapi segala problem kehidupan – yang seterusnya bersemayam di hati.

Dalam kesanggupan dalam mengendalikan kesabaran, manusia dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, orang yang sanggup mengalahkan hawa nafsu karena mempunyai daya juang dan kesabaran yang tinggi. Kedua, orang yang kalah oleh hawa nafsu. Ia telah mencoba bertahan atas dorongan nafsu, tapi karena kesabarannya lemah, ia kalah. Ketiga, orang yang mempunyai daya tahan  terhadap dorongan nafsu, tapi suatu kali ia kalah, karena besarnya dorongan nafsu. Dalam hal ini para sufi berpijak pada hadis Rasulullah SAW yang di riwayatkan oleh Imam Tirmidzi, “Sabar terhadap segala sesuatu yang engkau benci merupakan kebajikan yang sangat besar.”

Sikap kepasrahan itu ia ungkapkan dalam  bahasa yang begitu indah. Puisi ini menggambarkan bagaimana memaknai kepasrahan kepada Allah secara mendasar, kepasrahan dengan totalitas yang penuh, yang menghasilkan pemaknaan yang benar tentang islam. Dan itulah pula makna sujud dalam shalat. Bukan hanya kening yang melekat dihamparan Sajadah, tapi lebih jauh lagi adalah menyerahkan segenap jiwa dan raga kepada Allah. Pemahamannya yang tinggi terhadap nilai-nilai tasawuf menempatkannya dalam deretan teoritikus mistik yang piawai.

Ada yang berpendapat, An-Nifari mempunyai kemiripan dengan al-Hallaj, keduanya telah mencapai Wahdatus Syuhud (penyatuan penyaksian). Bedanya hanya dalam hal kehati-hatian. An-Nifari cendrung lebih hati-hati, sementara al-Hallaj dan al-Bustami lebih suka berterus terang, al-Hallaj dalam menanggapi perjalanan spritualnya sering kali emosional. Kata-katanya tidak jarang menimbulkan kontroversi. Bahkan gara-gara pencapaiannya yang diluar jangkauan kaum awam, ia dihukum mati. Berbeda dengan al-Bustami dan an-Nifari yang lebih hati-hati dalam mengungkapkan pencapaian-pencapaian spritualnya

Terlepas dari semuanya, pemikiran tasawufnya memang sangat memukau. Tasawuf, dikaji secara mendalam dengan argumentasi yang cerdas. Sufisme merupakan bahasa spritual sekaligus ilmu pengetahuan. Melalui simbol-simbol tampaklah perjalanan dan konsep-konsep tentang tasawuf. Meski dengan dengan hati-hati, seorang sufi mampu menerjamahkannya dalam sebuah pola pikir yang pas. An-Nifari menulis sebuah buku berjudul al-Mawafiq wal Mukhthabat (posisi-posisi dan percakapan-percakapan). Para pengamat sufi mengakui, karya ini sarat dengan simbol. Di dalamnya terkandung berbagai kiasan yang sering menimbulkan kontroversi dalam penafsiran. Jika menafsirkannya kurang hati-hati pastilah bisa menimbulkan pemaknaan yang salah.



Mendiktekan Ide

Buku tersebut dibagi dalam dua bagian penting, tapi dua-duanya tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain. Menurut Afifuddin at-tilmisani, pensyarah karya-karya an-Nifari, sayang ia tidak menulis sendiri karya-karyanya. Melainkan hanya mendiktekan ide dan pengalaman spritualnya kepada anaknya. Atau hanya menulis pada sobekan-sobekan kertas yang kemudian di susun kembali oleh anaknya. Andai ia menulis sendiri, pastilah jauh lebih sempurna dan indah. Bagian pertama kitab itu menjelaskan tentanag maqam, posisi, atau tempat berdiri seorang sufi, sementara Muafiq (Jamak dari Mauqif) menunjukkan posisi seorang sufi dalam tingkatan spritualitas. Posisi itu sendiri disebut “Waqfah”, yang juga merupakan sumber ilmu. Tentang hal ini, Dr. Fudholi Zaini, pengamat sufi dari Indonesia, menulis “Waqfah” adalah Ruh dari Ma’rifat, dan pada Ma’rifat adalah Ruh dari kehidupan. Pada waqfah telah tercakup didalamnya Ma’rifah, dan pada Ma’rifah telah tercakup di dalamnya ilmu. Waqfah berada di balik kejauhan (al-Ab’ud) dan kedekatan (al-Qurb) dan Ma’rifah berada dalam kedekatan, dan ilmu ada dalam kejauhan. Waqfah adalah kehadiran Allah dan Ma’rifah adalah ucapan Allah, sementara ilmu adalah tabir Allah. Dengan demikian urutan dari besar ke kecil sebagai berikut: Waqfah, Ma’’ifah dan Ilmu.

Proses penyaksian seperti itu pada seorang sufi menjadi hal yang sangat pribadi. Bila seorang sufi mencapai maqam tinggi, ucapan-ucapannya bisa menjadi sesuatu yang tidak jelas dan sulit dimengerti, bahkan dalam beberapa hal sulit dikomunikasikan. Oleh karena itu an-Nifari memilih diam ketika melewati tahapan spritualitasnya. Baginya kata-kata tidak bisa menampung pengalaman dan penglihatannya. Dalam kitab tersebut juga diterangkan tentang ilmu dan amal perbuatan atau Ma’rifah dan Ibadah. Ia berpendapat bahwa hakikat ilmu adalah perbuatan, hakikat perbuatan adalah keikhlasan, hakikat keikhlasan adalah kesabaran, dan hakikat kesabaran adalah penyerahan. Dan baginya hakikat tidak akan terbentuk kecuali dengan Syari’at. Demikian pula ide tidak akan terlaksana jika tidak ada penerapan dan perbuatan. Oleh karena itu keterkaitan antara Syari’at dan hakikat menjadi sangat penting.

http://www.sufiz.com/jejak-sufi/an-nifari-sang-pengelana-yang-enggan-bicara.html

Al-Tirmidzi, Membuang Kitab Ke Sungai

Ia pemikir mistisisme Islam terkemuka dan kreatif. Tidak berhasil menuntut ilmu agama ke daerah lain, ia lebih  mementingkan mengabdi kepada ibunya, dan akhirnya ia berguru kepada Nabi Khidir

Suatu hari, ketika cahaya surya yang terik melecut bumi seorang anak lelaki bernama Abu Abdullah Hakim Al-Tirmidzi memutuskan untuk mengembara bersama dengan dua sahabatnya, menuntut ilmu. Namun niat luhur itu kandas, lantaran sang ibu tidak menyetujui keberangkatannya.

“Wahai buah hatiku, mengapa Ananda tega meninggalkan wanita yang sudah renta tak berdaya ini? Bila engkau pergi, tidak ada lagi seorang pun yang Ibunda miliki. Sebab selama ini engkaulah tempat sandaranku. Lalu kepada siapa Ananda akan menitipkan Ibunda yang sebatang kara dan lemah ini? Kata Ibundanya bercucuran air mata.

Apa boleh buat, ia terpaksa mengurungkan niatnya, sementara kedua sahabatnya berangkat. Keberangkatan kedua sahabatnya itu sering membuat Tirmidzi termenung. Suatu hari ia duduk termenung di sebuah makam, membayangkan kedua sahabatnya yang akan pulang. “Oh sedihnya aku, tiada seorangpun memperdulikan orang bodoh seperti aku. Sedangkan kedua sahabatku akan kembali sebagai orang terpelajar dan berpendidikan,” katanya, dalam hati sangat sedih.

Tanpa disadari, muncul seorang kakek dengan wajah teduh. “Mengapa engkau menangis, anakku?” tanya si kakek. Maka Tirmidzi pun menceritakan perihal kegundahan hatinya. Mendengar itu si kakek menawarkan kepada Tirmidzi untuk belajar kepadanya. “Maukah engkau belajar kepada saya setiap hari, sehingga engkau dapat melampaui kedua sahabatmu itu dalam waktu singkat?” kata sang kakek. Tentu saja Tirmidzi sangat senang. “Baik aku bersedia,” katanya berseri-seri.

Hari demi hari, kakek tua itu mengajar Tirmidzi. Sekitar tiga tahun kemudian, barulah Tirmidzi menyadari bahwa si kakek itu sesungguhnya adalah Nabi Khidir. “Rupanya inilah keberuntungan yang kuperoleh karena telah berbakti kepada Ibuku dengan penuh ketulusan hati,” katanya dalam hati.

Ketika di kemudian hari, salah seorang murid Tirmidzi, yaitu Abu Bakar Al-Warraq, mengisahkan, setiap hari minggu Nabi Khidir mengunjungi Tirmidzi untuk berdiskusi mengenai berbagai persoalan agama. Pada suatu hari, Tirmidzi berkata kepada Warraq, “Maukah engkau kuajak pergi ke suatu tempat pada hari ini?” Tanpa pikir panjang, Warraq menjawab, “Terserah Syekh saja, saya pasti ikut.”

Sungai Oxus

Maka mereka pun berangkat, tatkala sampai di sebuah padang pasir, Warraq melihat sebuah singgasana kencana di bawah naungan sebatang pohon rindang di pinggir sebuah telaga. Di sana duduk seorang lelaki, yang berpakaian indah, ketika Syekh Tirmidzi menghampirinya, lelaki itu berdiri dan mempersilahkan duduk di singgasana. Dan tak lama kemudian 40 orang berdatangan dan berkumpul di situ. Tiba-tiba mereka memberi isyarat ke atas. Maka seketika itu juga tersajilah berbagai hidangan lezat, merekapun bersantap bersama. Setelah itu Syekh Tirmidzi berdialog dengan mereka.

Tapi, bahasa mereka sama sekali tidak dapat dimengerti oleh Warraq. Beberapa saat setelah itu, Tirmidzi mohon diri. “Mari pergi, karena engkau telah diberkahi,” katanya kepada Warraq, maka mereka pun pulang.

“Wahai Syekh, apakah arti semua kejadian tadi?” Tempat apakah itu, dan siapakah mereka itu?” tanya Warraq. “Tempat itu adalah lembah pemukiman putra-putra Israil,” jawab Tirmidzi.

“Tapi, bagaimana kita dapat pulang pergi dalam waktu sesingkat itu?” tanya Warraq. “Jika Allah berkenan mengantarkan kita, sampailah kita. Apalah gunanya kita bertanya, mengapa dan bagaimana, yang penting engkau sudah sampai ke tujuan, bukan untuk bertanya-tanya,” jawab Tirmidzi.

Kemudian Tirmidzi bertutur mengenai pengalamannya. “Aku pernah berjuang keras untuk menundukkan hawa nafsu namun aku tidak berhasil. Dalam keputusasaan, aku berkata dalam hati. “Mungkin Allah telah menciptakan diriku untuk disiksa di neraka. Lalu untuk apa diri yang terkutuk ini harus terus kupertahankan? Maka akupun pergi ke pinggir sungai Oxus, di sana aku minta tolong kepada seseorang untuk mengikat kaki dan tanganku. Tapi setelah itu, ia pergi meninggalkan aku seorang diri. Lalu aku berguling-guling menjatuhkan diri ke dalam air, aku ingin mati tenggelam,” tutur Tirmidzi.

Ia melanjutkan kisahnya, “Ketika aku tercebur ke dalam air, ikatan di tanganku terlepas dan gulungan ombak mengempaskan tubuhku ke pinggir sungai. Dengan perasaan kalut terharu aku berseru, “Ya Allah, Yang Maha Besar, engkau telah menciptakan seorang yang tak pantas diterima, baik di surga maupun di neraka,” tiba-tiba terbukalah mata hatiku, dan terlihatlah olehku segala sesuatu yang semetinya dilakukan oleh manusia terhadap Allah dan dirinya sendiri. Sejak itu, terbebaslah aku dari hawa nafsu. Selama hayat aku selalu bersyukur, setiap kali mengingat-ingat hal itu.”

Dalam pada itu, Abu Bakar Al-Warraq punya kisah lain mengenai gurunya itu. Suatu hari Tirmidzi menyerahkan buku-bukunya kepada Warraq agar dibuang ke Sungai Oxus. Tapi ia tidak lantas membuangnya, melainkan membacanya terlebih dahulu. Dari sekian buku yang dibaca, buku-buku itu penuh dengan seluk beluk dan kebenaran mistik. Maka ia pun tidak jadi melaksanakan perintah gurunya, dan disimpanlah buku-buku itu di rumahnya.

Membuang Buku

Keesokan harinya Tirmidzi bertanya kepada Warraq. “Apakah buku-buku yang kuberikan kemarin sudah kau buang ke Sungai Oxus? Lalu kejadian apa yang kau saksikan setelah itu?” jawab Warraq, “Sudah Ya Syekh, buku-buku itu telah saya lemparkan ke dalam sungai, tapi saya tidak menyaksikan kejadian apapun.” Maka kata Tirmidzi lagi. “Kalau begitu berarti engkau belum membuang buku-buku itu ke sungai, pergilah dan buanglah!”

Tentu saja Warraq terheran-heran. “Apa gerangan yang membuat Tirmidzi rela melakukan hal itu? Apa yang akan terjadi seandainya buku-buku itu aku buang ke sungai? Ia bingung dan penasaran. Lalu sambil menyusuri Sungai Oxus, ia melemparkan buku-buku itu.

Seketika itu juga air sungai itu terbelah, dan antara belahan itu muncul sebuah peti yang terbuka, dan buku-buku itu terjatuh ke dalam peti itu. Setelah seluruh buku berada dalam peti, tutup peti itu mengatup sendiri, sementara air sungai pun bersatu kembali seperti sedia kala. Menyaksikan kejadian itu, Warraq terheran-heran sambil membaca tasbih.

Ketika Warraq pulang, Tirmidzi bertanya, “Sudahkah engkau lemparkan buku-buku itu?” Jawab Warraq, “Sudah, Guru, demi keagungan Allah, katakanlah kepadaku, apakah rahasia di balik semua itu?” Tirmidzi menjelaskan, “Buku-buku itu memuat segala hal mengenai ilmu sufi yang ditulisnya dengan keterangan yang sulit dipahami oleh manusia biasa.

“Khidir minta buku-buku itu. Sedangkan peti yang kau lihat tadi itu dibawakan oleh seekor ikan atas permintaan Khidir. Dan Allah, Yang Mahabesar, memerintahkan kepada air untuk mengantarkan peti itu kepadanya,” tutur Tirmidzi.

Selain karomah-karomah yang luar biasa itu, Tirmidzi juga dikenal sebagai ulama yang ramah. Suatu ketika seorang muridnya bertanya kepada keluarga Tirmidzi. “Kalau guru sedang marah, apakah kalian tahu?” Maka jawab salah seorang keluarga Tirmidzi. “Ya, kami tahu. Dan setiap kali ia marah kepada kami, ia akan bersikap lebih ramah daripada biasanya. Kemudian ia tidak mau makan dan minum.

Ia menangis dan memohon kepada Allah. “Ya Allah, apakah perbuatanku yang menimbulkan murka-Mu, sehingga engkau membuat keluargaku sendiri menentangku? Ya Allah, aku mohon ampunan-Mu, tunjukkan lah mereka jalan yang benar.” apabila ia berbuat seperti itu, tahulah kami bahwa ia sedang marah. Dan segeralah kami bertobat, agar ia terlepas dari duka citanya itu.”

***

Ada seorang asket besar yang hidup sezaman dengan At-Tirmidzi. Ia selalu mengkritik At-Tirmidzi.

Di seluruh dunia ini, At-Tirmidzi tak memiliki apapun kecuali sebuah pondok. Saat ia kembali dari perjalanannya dari Hijaz, seekor anjing telah melahirkan di pondoknya yang tak berpintu.

At-Tirmidzi tak ingin mengusir anjing itu. Ia datang dan pergi sebanyak delapan kali dengan harapan anjing itu akan pergi sendiri dengan membawa anak-anaknya.

Malam itu sang asket itu bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Nabi berkata, “Sirrah, engkau menentang seseorang yang delapan kali menolong seekor anjing. Jika engkau menginginkan kebahagiaan abadi, pergilah, kencangkan ikat pinggangmu, dan mengabdilah padanya.”

Sang asket menjadi terlalu malu untuk menjawab salam At-Tirmidzi. Sejak saat itu, ia mengabdi pada At-Tirmidzi.

***

Selama beberapa waktu At-Tirmidzi tidak bertemu dengan Nabi Khidir.

Pada suatu hari seorang pembantu wanita mencuci pakaian bayi, membuang kotoran bayi ke sebuah baskom. Sementara itu Sang Syekh, dengan memakai jubah yang bersih dan sorban yang tanpa noda, tengah berjalan menuju masjid.

Si pembantu itu, karena merasa kesal dengan sesuatu yang sepele membuang isi baskomnya tepat di kepala Sang Syekh.

At-Tirmidzi diam saja dan menelan amarahnya, seketika itu kembali dapat berjumpa dengan  Nabi Khidir AS.

***

Di masa mudanya, ada seorang wanita cantik yang tergila-gila padanya, dan meminta At-Tirmidzi untuk melamarnya, namun At-Tirmidzi menolaknya dengan halus. Kemudian pada suatu hari, wanita itu mengetahui At-Tirmidzi sedang saantai di taman. Si wanita itu berdandan dan pergi menuju ke taman itu.

Ketika At-Tirmidzi mengetahui kedatangan wanita itu, ia melarikan diri. Wanita itu berlari mengejarnya. At-Tirmidzi tidak perduli, ia memanjat tembok yang tinggi dan melompat ke seberang.

Suatu hari di masa tuanya, At-Tirmidzi mengenang masa itu dan berkata dalam hatinya, “Apa masalahnya seandainya aku memenuhi hasrat wanita itu? Aku toh masih muda, masih punya banyak kesempatan untuk bertobat.”

Saat ia merasakan pikiran ini di benaknya, ia diliputi oleh kesedihan yang mendalam.

“Dasar jiwa yang bodoh dan durhaka!” tukasnya. “Empat puluh tahun lalu, dalam gejolak mudamu, pikiran seperti itu tidak merasukimu, kini di masa tuamu yang sudah renta ini, setelah melalui begitu banyak perjuangan, mengapa engkau menyesal karena tidak melakukan perbuatan dosa?”

Merasa sangat sedih, selama tiga hari ia duduk menyesali pikirannya itu. Setelah tiga hari berlalu, ia melihat Nabi SAW dalam mimpinya.

Nabi SAW berkata padanya, “Muhammad, janganlah bersedih, apa yang terjadi bukanlah disebabkan oleh ketergelinciranmu. Pikiran ini merasuki benakmu karena empat puluh tahun lagi telah bertambah sejak kepergianku dari dunia ini. Periode kepergianku dari dunia ini telah bertambah lagi selama itu. Ini bukanlah dosamu, bukan pula karena kemunduran spiritualmu. Apa yang engkau alami disebabkan oleh bertambah panjangnya periode kepergianku dari dunia ini, bukan dikarenakan kemunduran karaktermu.”

http://www.sufiz.com/jejak-sufi/al-tirmidzi-membuang-kitab-ke-sungai.html

AL HABIB ZEIN BIN ‘ALI BIN AHMAD BIN UMAR AL JUFRI

Habib Zein Al Jufri dikenal sebagai orang yang tidak banyak bicara, suka beramal shalih, dan akhlaqnya sangat tinggi, la menghormati para ulama, menyayangi para pemuda, dan lembut kepada anak-anak.


 Diantara ciri khas akhlak beliau yang terlihat ialah “Kalau datang di suatu majelis, beliau duduk di belakang, dan tidak ingin merepotkan orang lain dengan melangkahi tempat duduk orang lain,” ujar Habib Ahmad Al-Jufri.

Banyak orang merasa ditolongnya. Seperti ketika terjadi banjir di Semarang, ada seseorang yang kebanjiran mendapatkan bantuan beras dan pakaian dari Habib Zen. Di lain waktu orang itu datang ke Habib Zen dan berterima kasih karena sudah dibantu ketika banjir. la mengatakan, ia bertemu Habib Zen pada waktu banjir itu. Saat itu Habib Zen mengenakan sarung, baju, dan peel putih, persis seperti yang dimiliki Habib Zen. “Padahal pada saat itu, saya tahu, Abah ada di dalam kamar rumah karena sakit,” kata Habib Ahmad.

Habib Zen Al-Jufri lahir di Kawasan Petek, Semarang Utara, pada 1911, la adalah salah satu dari empat anak Habib Ali bin Ahmad bin Umar Al-Jufri, Leluhurnya, Habib Umar Al-Jufri, berasal dari Taris, kota kecil antara Seiwun dan Syibam, datang ke Semarang bersama anaknya yang masih kecil, Ahmad. Habib Umar lalu berdagang dan berdakwah di Semarang. Kemudian ia mengawinkan anaknya, Ahmad, dengan putri patih Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Kakeknya inilah yang kemudian membangun rumah gedung di Jalan Petek, yang pada waktu itu merupakan rumah yang tergolong mewah dan besar. Ahmad adalah seorang pedagang yang berhasil, sehingga banyak meninggalkan harta benda.

Zen Al-Jufri kecil bersekolah di madrasah di Semarang, kemudian melanjutkan ke Madrasah Syama’il Al-Huda di Pekalongan dan di Surabaya.

Pada umur belasan tahun, ia pernah belajar ke Hadhramaut, tepatnya di kota Taris, dan salah satu gurunya adalah Habib Idrus Al-Jufri, Palu, pendiri Perguruan Al-Khairat. Di Hadhramaut, ia hanya belajar selama tiga bulan. Kemudi¬an ia diajak pulang ke Indonesia oleh Habib Idrus Al-Jufri.

Di tanah air, Habib Zen masih melanjutkan belajarnya kepada banyak guru, khususnya di Jakarta. Di antaranya, Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Kwitang, tetapi yang cukup teratur ia mengaji kepada Habib Abdur¬rahman Assegaf. Sedang di Pekalong¬an, ia belajar kepada Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas. Setelah itu ia kembali ke Semarang.

Rumahnya di Jalan Petek di Se¬marang merupakan persinggahan para habib bila lewat ke ibu kota Jawa Tengah itu. Hampir setiap Sya’ban, Habib Abubakar Assegaf, Gresik, Habib Salim Bin Jindan, Jakarta, Habib Ali bin Husein Alatas, Bungur, Habib Soleh Tanggul, dan yang lainnya, menginap di rumah¬nya. “Kalau para pembesar dari kalangan habaib datang ke rumah Abah, pasti kami adakan pembacaan Maulid dan rauhah,” tutur Habib Ahmad.

Kepada para tokoh habaib itu, Habib Zen selalu berujar, “Masukkan nama ana di hati antum, supaya antum cintai.”Habib Abubakar Assegaf Gresik menjawab, “Melihat langsung wajah antum, nama antum tersimpan dalam hati ana.” Waliyullah dari Gresik itu menambahkan, “Akhlaqmu, Zen, sebagaimana namamu.” (Zen dalam bahasa Arab berarti “perhiasan” atau “bagus”).

Pada tahun 1950-an, Habib Zen membaca kitab Ihya’ Ulumiddin untuk beberapa pendengar, dan menjelaskan dalam bahasa Arab. Namun karena jama’ah semakin bertambah, pengajian diganti de¬ngan membaca kitab-kitab Habib Abdullah Al-Haddad, seperti An-Nashaih Ad- Diniyyah, dan ditambah Tanbihul Ghafilin.Pengajian itu berjalan hingga Habib Zen meninggal pada Desember 1992, dimakamkan di Pemakaman Bergota, Semarang.Seorang janda di Gresik sehari sebelum Habib Zen meninggal berujar, “Orang yang menjatah saya sekarang sudah tidak ke sini lagi.”

Habib Zen memang tidak pemah meninggalkan Haul Habib Abubakar Assegaf Gresik. Di tempat itu, ia suka memberikan jatah uang kepada orang miskin.

Kini banyak generasi muda yang hanya mengenal namanya tetapi belum tahu manaqibnya. Menurut Habib Hasan Al-Jufri dan dua rekannya, Habib Abddurahman Bin Smith, M.A., dan Habib Ghazi Shahab, Habib Zen Al-Jufri adalah ulama besar yang dikenang umatnya bukan karena semata-mata ilmunya, melainkan lebih karena akhlaqnya yang luhur.

sumber :
Habib Ahmad bin Zein Al Jufri (Anak Habib Zein Al Jufri)
JEJAK PARA HABAIB ( Dzurriat RASULULLAH SAW )
Pondok Habib


Al-Muhasibi, Penjaga Batin dari Basrah

Ia sufi besar dan intelektual produktif. Pergaulannya yang luas dengan berbagai pemikir menghasilkan analisis obyektif.

Tentang al-Muhasibi, sufi besar Al-Imam Al-Qusyairi berkata: “Ia sufi yang tiada tandingannya dalam hal otoritas keilmuan, kesalehan. Pergaulan dan kekayaan intelektualnya.”

Siapa sebenarnya Al-Muhasibi, sehingga Al-Qusyairi begitu mengaguminya? Warisan apa yang ia tinggalkan buat generasi kaum muslimin masa kini?
Nama lengkapnya Abu Abdillah Al-Haris ibnu Asad Al-Basri Al-Muhasibi. Lahir pada abad ke-2 Hijriyah (165 H/781 di Basrah, Irak. Ia dibesarkan dalam keluarga yang berada baik secara materi maupun intelektual.

Dengan mudah ia pun pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu, dan di sana pula ia berkembang menjadi seorang intelektual. Ia menulis banyak kitab, meliputi berbagai ilmu pengetahuan seperti tafsir, hadis, fikh sampai tasawuf. Sementara pergaulannya yang luas dengan berbagai kalangan menghasilkan karya-karya dengan sudut pandang yang luas dan mendalam. Apalagi ia berguru kepada banyak ulama yang beberapa diantaranya sangat terkenal, seperti Imam Syafi’i, Yazid bin Harun, dan sebagainya.

Mula-mula ia mempelajari fikih, hadis dan tafsir. Dengan cepat murid yang cerdas ini menguasai cabang-cabang ilmu tersebut, bahkan belakangan ia dikenal sebagai ahli hadits pada zamannya. Para guru hadisnya, Syekh Hasyim Syureh bin Yunus, Yazid bin Harun, Abu an-Nadar, dan Junaid bin Daud. Sementara guru Fikihnya, Imam Syafi’i, Abi Ubaid Qasim bin Salim, dan Qadi Abu Yusuf.

Dalam menuntut ilmu ia tidak membatasi diri hanya pada ilmu agama, melainkan juga ilmu politik dan sosial. Tidak heran jika gurunya begitu banyak, sementara pergaulannya dengan para ilmuan berbagai disiplin ilmu di Baghdad cukup luas. Ia juga sering berdiskusi dengan para ahli ilmu kalam dari berbagai aliran seperti kalangan Khawarij, Muktazilah, dan Murji’ah. Ia cukup terbuka dan dapat mencerna setiap pola pikir berbagai aliran, baik yang tradisional maupun modern.

Belakangan ia menyusun suatu pendekatan yang relatif lebih baru dalam ilmu filsafat, yakni mendekatkan relasi antara rasionalisme dan teologi. Tapi setelah melakukan studi lebih mendalam, dan menganalisis beberapa aliran yang dikenalnya dengan baik, akhirnya ia menentang aliran-aliran yang dianggapnya sesat, seperti Khawarij, Jahmiyah, dan Muktazilah. Hebatnya, ia bukan sekedar menentang, melainkan juga mendasarkan pandangannya pada argumen yang kuat dengan tujuan untuk mencari kebenaran.

Bukan hanya dengan para ilmuan, Al-Muhasibi juga mengamati para Zahid – orang yang melakukan Zuhud, lebih mementingkan ibadah ketimbang sekedar kehidupan duniawi. Ia misalnya menelaah kehidupan para sufi Syaqiq al-Balkhi, Ma’ruf al-Kharqi, Bisir al-Hafi, Dzun Nun al-Misri, dan Sirri as-Saqati, termasuk para sufi sebelumnya seperti Hasan Al-Basri, Ibrahim bin Adham, Daud At-Ta’i, dan Fudlali bin iyad.

Mempengaruhi Ghazali

Karena luasnya pengetahuan yang menjadi perhatiannya, tidak heran jika pengaruh Al-Muhasibi sangat terasa sampai sekarang. Hal itu tampak dalam beberapa karya para ulama sesudahnya, seperti Syekh Abu Said al-Kharraz dalam kitab Al-Sidq, Syekh Al-Hakim Al-Tirmidzi dalam al-Maknunah, Syekh Al-Imam Al-Musthafa bin Kamaluddin al-Bakri dalam kitab Al-Ara’is al-Qudsiyah al-Muhasyahah al-Dasais al-Nafsiyah, Abu Zaid ad-Dabusi dalam kitab Al-Amad al-Aqsa dan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin.

Begitu besar pengaruhnya pada para ulama dan intelektual, sehingga mereka memujinya, seperti Al-Imam as-Sya’rani dalam kitab Thabaqat Qubra, “Al-Muhasibi termasuk ulama yang piawai dalam ilmu Dzahir (ilmu pengetahuan umum), ilmu Ushul (ilmu agama), dan ilmu Muamalah (ilmu sosial). Ia menulis beberapa karya terkenal yang tidak tertandingi pada masanya. Dia adalah guru besar para ulama Baghdad saat itu. Sementara sejarawan besar Ibnu Khaldun menulis:

“Al-Muhasibi menghimpun dalam dirinya sejumlah ilmu pengetahuan seperti Fikih, Tasawuf dan llmu-ilmu akhirat.”

Tasawuf memang telah melejitkan nama Al-Muhasibi dalam jajaran intelektual dan sufi. Ada sebuah ungkapan tentang kepeduliannya pada dunia tasawuf, katanya, “Telah berlalu waktu selama 30 tahun, dan selama itu aku telah mendengar sesuatu dalam kepalaku. Kemudian telah berlalu pula masa 30 tahun, dan selama itu aku tidak pernah mendengar sesuatu kecuali dari Allah SWT.

Maksudnya ia telah bergumul dengan berbagai analisis pemikiran selama 30 tahun, kemudian beralih kepada ilmu tasawuf dengan menyucikan batin dan mempertajam hati agar dapat mendengar bisikan suci dari Allah SWT, karena kesungguhan inilah kalangan tasawuf menggelarinya AL-MUHASIBI (orang yang mawas diri terhadap aktivitas batin sendiri).

Sebagai pakar dengan latar belakang fikih dan hadits yang kuat, tasawufnya pun erat berpegang pada Al-Qur’an dan Hadis, dan tidak mau melanggar batas-batas syari’at. Selain itu karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu kalam ia sangat mengunggulkan akal, selaras dengan hadits Rasulullah SAW:

“Allah SWT tidak menerima shalat seseorang, puasanya, hajinya, umrahnya, sedekahnya, jihadnya, dan berbagai kebaikannya, jika ia tidak memahaminya.”

Berkaitan dengan ilmu tasawuf, banyak sekali nasihatnya, salah satunya tentang rasa sedih.

“Rasa sedih ada beberapa macam: Sedih karena kehilangan sesuatu yang sangat disenangi, Sedih karena khawatir tentang apa yang akan terjadi esok, Sedih karena merindukan yang didambakan tapi tidak tercapai, Sedih karena mengingat betapa diri menyimpang dari ajaran Allah SWT.”

Katanya pula:

“Manusia yang baik ialah yang akheratnya tidak terpengaruh oleh dunianya, dan tidak meninggalkan dunia sama sekali karena akheratnya. Sebaik-baiknya sikap ialah tahan menderita karena kesukaran dan kesakitan, sedikit marah, belas kasihan, indah tutur katanya, serta lemah lembut. Orang yang zalim akan mendapatkan azab meski dipuji orang. Orang yang dizalimi selamat meski di cela orang. Orang yang selalu merasa cukup termasuk orang kaya meski ia lapar, sedang orang yang merasa kecewa termasuk orang Faqir meski dia punya harta melimpah.”

Tangannya Mengejang

Kehidupan Al-Muhasibi antara lain dapat dibaca dalam kitab Risalah Qusyairiyah karangan Imam Al-Qusyairi. Di dalamnya ditulis beberapa hikayat, misalnya tentang tangan Al-Muhasibi yang akan tertarik dan mengejang kalau ia hendak meraih makanan yang diragukan kehalalannya. Jari-jarinya tidak akan bergerak dan kaku. Bila ia mengalaminya, makanan itu bisa jadi diperoleh dengan cara yang tidak halal.

Seorang tokoh sufi Junaid Al-Bagdadi, yang juga kemenakan Al-Muhasibi, berkisah tentang pamannya itu. “Pada suatu hari Al-Muhasibi mengunjungiku, tampaknya ia sedang lapar, maka aku pun berniat mengambilkan makanan ke Gudang, disana aku dapatkan sisa makanan dari pesta perkawinan, ku suguhkan makanan itu kepadanya. Tapi ketika ia hendak mengambilnya, tangannya mengejang tidak dapat digerakkan, ia sempat memasukkan sesuap ke mulutnya, tapi ia tidak bisa menelannya, ia memaksa menelan dan mengunyah, kemudian berdiri dan keluar, lalu meludahkan makanan di halaman, setelah itu ia pamit pulang.”

Junaid melanjutkan, “Selang beberapa hari, aku bertanya, apa sebenarnya yang terjadi, ia menjawab, “Waktu itu aku memang lapar, dan ingin menyenangkan kamu, namun Allah memberi isyarat khusus kepadaku bahwa makanan yang kuragukan kehalalannya itu tidak bisa kutelan, jari-jarku tegang, tidak mau menyentuhnya, aku berusaha menelannya tapi percuma saja, beberapa hari kemudian aku berkata, sekarang maukah engkau datang ke rumah? Sampai di rumah kukeluarkan sekerat roti kering, dan kami pun makan bersama-sama. Ia berkata, “Makanan seperti inilah yang harus disuguhkan kepada guru sufi.”

Di samping sebagai sufi yang luhur budi dan zahid, Al-Muhasibi juga penulis produktif. Menurut AJ. Arberry, pengamat dunia sufi dari Ingris, karya-karya Al-Muhasibi berkaitan dengan disiplin diri, antara lain, Al-Ri’ayah lil Ruquq Islam, Al-Wayasah, Bad’u Man Anaba ila Allah, Al-Khuluwah wa Tanaqqul fil ‘Ibadah wa Darajat al-Abidin, dan Adal al-Nufus. Beberapa diantaranya mempengaruhi kitab-kitab para ulama sesudahnya, bahkan juga mempengaruhi intelektual dan pembaharu yang terkemuka seperti Imam Al-Ghazali.

http://www.sufiz.com/jejak-sufi/al-muhasibi-penjaga-batin-dari-basrah.html