Ketinggian tokoh sufi dari Irak ini konon melebihi Rumi dan
Hallaj. Dia adalah teoritikus sufi sekaligus sastrawan besar.
“Ketika kita sudah melakukan sesuatu dengan baik dan
bersungguh-sungguh, mengapa harus meributkan penilaian orang lain? Bukankah
Ridha-Nya yang kita harapkan?”
Nama mistikus ini agak asing di telinga kita. Tidak seperti
al-Hallaj, ia seakan kurang begitu terdengar. Padahal dimata para ahli tasawuf,
pandangan-pandangan sufistiknya sangat berpengaruh. Terbukti dari banyaknya
para sufi sesudahnya yang banyak mengikutinya. Dia adalah An-Nifari, yang telah
meninggalkan jejak kesufian yang luar biasa. Dalam memaknai tasawuf, misalnya,
ia lebih berhati-hati. Itu sebabnya ia menjadi panutan bagi para sufi yang
lain. Nama lengkapnya ialah Muhammad ibnu Abdul Jabbar bin al-Husain an-Nifari.
Di dunia sastra klasik Irak, namanya menjulang karena karya-karyanya yang masyhur.
Tapi sejarah hidupnya sulit dilacak. Menurut catatan , ia lahir di Basrah,
Irak, tapi tanggal dan tahunnya sulit ditemukan. Bisa dimaklumi, karena dia
suka menyendiri. Apalagi dia lebih suka berkelana.
Itu pula sebabnya seorang pengamat sufisme Dr. Margareth
Smith mernjulukinya sebagai “Guru besar di jalan Mistik.” Kalaupun sekarang
ditemukan karya-karyanya, hal itu semata-mata lantaran jasa orientalis Ingris,
Arthur Jhon Arbery, pengamat Islam ini berhasil menerjemahkan beberapa karya
an-Nifari pada 1934 – meski tidak semuanya berhasil dilacak. Bisa dimaklumi
jika karya-karyanya penuh dengan catatan perjalanan spritual – yang tahap demi
tahap dilakukannya sampai kepuncak ruhaniyah paling tinggi. Sosok an-Nifari
memang unik. Pengalaman spritualnya terbingkai dengan indah dalam bahasa sastra
nan elok. Karena itu tak dapat dipungkiri bahwa nama an-Nifari disejajarkan
dengan para sufi dan sastrawan Irak lainnya. Bait-bait puisinya selalu
menampilkan pemaknaan tentang Allah. Dengarlah, misalnya, puisinya tentang
penyerahan diri kepada Allah.
Ilmu adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh perbuatan.
Dan perbuatan adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh
keikhlasan.
Dan keikhlasan adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh
kesabaran.
Dan kesabaran adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh
penyerahan.
Menurut
An-Nifari, sabar ialah upaya untuk menahan diri dalam menanggung penderitaan,
baik dalam menemukan sesuatu yang tidak di inginkan, maupun dalam bentuk
kehilangan sesuatu yang disenangi. Sabar adalah kondisi mental dalam
mengendalikan nafsu yang tumbuh atas dasar ajaran agama. Karena merupakan
kondisi mental dalam mengandalikan diri, sabar merupakan salah satu tingkatan
yang harus dijalani oleh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam tingkatan-tingkatan yang harus dilalui oleh seorang
sufi, biasanya sabar diletakkan sesudah zuhud, karena orang yang dapat
mengendalikan diri dalam menghadapi duniawi berarti telah berusaha menahan diri
dari dunia. Keberhasilan dalam tingkatan zuhud akan membawanya ke tingkatan
sabar. Dalam tingkatan sabar ia tidak lagi terguncang oleh penderitaan, dan
hatinya sudah betul-betul teguh menghadap Allah SWT.
Menurut An-Nifari, unsur sabar adalah ilmu. Sedang yang
dimaksud dengan ilmu ialah pengetahuan atau kesadaran bahwa sabar mengandung
kemaslahatan dalam agama, dan memberi manfaat bagi seseorang dalam menghadapi
segala problem kehidupan – yang seterusnya bersemayam di hati.
Dalam kesanggupan dalam mengendalikan kesabaran, manusia dibagi
menjadi tiga tingkatan. Pertama, orang yang sanggup mengalahkan hawa nafsu
karena mempunyai daya juang dan kesabaran yang tinggi. Kedua, orang yang kalah
oleh hawa nafsu. Ia telah mencoba bertahan atas dorongan nafsu, tapi karena
kesabarannya lemah, ia kalah. Ketiga, orang yang mempunyai daya tahan terhadap dorongan nafsu, tapi suatu kali ia
kalah, karena besarnya dorongan nafsu. Dalam hal ini para sufi berpijak pada
hadis Rasulullah SAW yang di riwayatkan oleh Imam Tirmidzi, “Sabar terhadap
segala sesuatu yang engkau benci merupakan kebajikan yang sangat besar.”
Sikap kepasrahan itu ia ungkapkan dalam bahasa yang begitu indah. Puisi ini
menggambarkan bagaimana memaknai kepasrahan kepada Allah secara mendasar,
kepasrahan dengan totalitas yang penuh, yang menghasilkan pemaknaan yang benar
tentang islam. Dan itulah pula makna sujud dalam shalat. Bukan hanya kening
yang melekat dihamparan Sajadah, tapi lebih jauh lagi adalah menyerahkan
segenap jiwa dan raga kepada Allah. Pemahamannya yang tinggi terhadap
nilai-nilai tasawuf menempatkannya dalam deretan teoritikus mistik yang piawai.
Ada yang berpendapat, An-Nifari mempunyai kemiripan dengan
al-Hallaj, keduanya telah mencapai Wahdatus Syuhud (penyatuan penyaksian).
Bedanya hanya dalam hal kehati-hatian. An-Nifari cendrung lebih hati-hati,
sementara al-Hallaj dan al-Bustami lebih suka berterus terang, al-Hallaj dalam
menanggapi perjalanan spritualnya sering kali emosional. Kata-katanya tidak
jarang menimbulkan kontroversi. Bahkan gara-gara pencapaiannya yang diluar
jangkauan kaum awam, ia dihukum mati. Berbeda dengan al-Bustami dan an-Nifari
yang lebih hati-hati dalam mengungkapkan pencapaian-pencapaian spritualnya
Terlepas dari semuanya, pemikiran tasawufnya memang sangat
memukau. Tasawuf, dikaji secara mendalam dengan argumentasi yang cerdas.
Sufisme merupakan bahasa spritual sekaligus ilmu pengetahuan. Melalui
simbol-simbol tampaklah perjalanan dan konsep-konsep tentang tasawuf. Meski
dengan dengan hati-hati, seorang sufi mampu menerjamahkannya dalam sebuah pola
pikir yang pas. An-Nifari menulis sebuah buku berjudul al-Mawafiq wal
Mukhthabat (posisi-posisi dan percakapan-percakapan). Para pengamat sufi
mengakui, karya ini sarat dengan simbol. Di dalamnya terkandung berbagai kiasan
yang sering menimbulkan kontroversi dalam penafsiran. Jika menafsirkannya
kurang hati-hati pastilah bisa menimbulkan pemaknaan yang salah.
Mendiktekan Ide
Buku tersebut dibagi dalam dua bagian penting, tapi
dua-duanya tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain. Menurut Afifuddin
at-tilmisani, pensyarah karya-karya an-Nifari, sayang ia tidak menulis sendiri
karya-karyanya. Melainkan hanya mendiktekan ide dan pengalaman spritualnya
kepada anaknya. Atau hanya menulis pada sobekan-sobekan kertas yang kemudian di
susun kembali oleh anaknya. Andai ia menulis sendiri, pastilah jauh lebih
sempurna dan indah. Bagian pertama kitab itu menjelaskan tentanag maqam,
posisi, atau tempat berdiri seorang sufi, sementara Muafiq (Jamak dari Mauqif)
menunjukkan posisi seorang sufi dalam tingkatan spritualitas. Posisi itu
sendiri disebut “Waqfah”, yang juga merupakan sumber ilmu. Tentang hal ini, Dr.
Fudholi Zaini, pengamat sufi dari Indonesia, menulis “Waqfah” adalah Ruh dari
Ma’rifat, dan pada Ma’rifat adalah Ruh dari kehidupan. Pada waqfah telah
tercakup didalamnya Ma’rifah, dan pada Ma’rifah telah tercakup di dalamnya
ilmu. Waqfah berada di balik kejauhan (al-Ab’ud) dan kedekatan (al-Qurb) dan
Ma’rifah berada dalam kedekatan, dan ilmu ada dalam kejauhan. Waqfah adalah
kehadiran Allah dan Ma’rifah adalah ucapan Allah, sementara ilmu adalah tabir
Allah. Dengan demikian urutan dari besar ke kecil sebagai berikut: Waqfah,
Ma’’ifah dan Ilmu.
Proses penyaksian seperti itu pada seorang sufi menjadi hal
yang sangat pribadi. Bila seorang sufi mencapai maqam tinggi, ucapan-ucapannya
bisa menjadi sesuatu yang tidak jelas dan sulit dimengerti, bahkan dalam
beberapa hal sulit dikomunikasikan. Oleh karena itu an-Nifari memilih diam
ketika melewati tahapan spritualitasnya. Baginya kata-kata tidak bisa menampung
pengalaman dan penglihatannya. Dalam kitab tersebut juga diterangkan tentang
ilmu dan amal perbuatan atau Ma’rifah dan Ibadah. Ia berpendapat bahwa hakikat
ilmu adalah perbuatan, hakikat perbuatan adalah keikhlasan, hakikat keikhlasan
adalah kesabaran, dan hakikat kesabaran adalah penyerahan. Dan baginya hakikat
tidak akan terbentuk kecuali dengan Syari’at. Demikian pula ide tidak akan
terlaksana jika tidak ada penerapan dan perbuatan. Oleh karena itu keterkaitan
antara Syari’at dan hakikat menjadi sangat penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar