Ia sufi besar,
pengarang kitab Qutubul Qulub fi
Mu’ammalatil Mahbub, yang menjadi panduan bertarekat para sufi
Ia dikenal sebagai sufi jenius dalam hal pemikiran yang
tertuang dalam beberapa kitab, juga pengarang kitab ilmul Qulub dan Qutubul
Qulub fi Mu’ammalatil Mahbub, yang cukup populer dikalangan para sufi maupun
pengamat Tasawuf karena sering dirujuk dalam berbagai perbincangan. Dialah Abu
Thalib Al-Makki.
Ia lahir di Jabal, sebuah desa tidak jauh dari Baghdad,
Irak. Nama lengkapnya Muhammad bin Ali bin Athiyah Abu Thalib Al-Makki
Al-Haritsi Al- Maliki. Dua nama di bagian belakang adalah julukannya. Ia mendapat
julukan Al-Haritsi, karena memang dari suku Harits. Sedangkan julukan
Al-Maliki, sebab ia bermazhab Maliki, sementara julukan Al-Makki, karena ia
dibesarkan di Mekah.
Seperti beberapa sufi besar lainnya, tahun kelahiran Abu
Thalib juga sulit ditemukan, tapi riwayat hidupnya bisa dilihat dari beberapa
catatan dalam berbagai leteratur, meski hanya sedikit, catatan-catatan tersebut
bisa mengungkapkan perikehidupannya. Abu Thalib Al-Makki wafat pada tahun 368 H
/ 966 M di Bahgdad.
Ia memulai pendidikannya dengan belajar ilmu agama dari
berbagai ulama, kemudian memperdalam ilmu hadis, terutama ia berguru kepada
Syekh Ali bin Ahmad bin Al-Misri (w.364/944 M) dan Syekh Abubakar Muhammad bin
Ahmad Al-Jurjani Al-Mufid (w.378H/958 M). belakangan ia belajar ilmu fikih
mazhab Maliki. Keluasan wawasannya dalam mazhab Maliki inilah yang membuat ia
mendapat julukan tambahan Al-Maliki.
Setelah merasa cukup menimba ilmu di Mekah, ia mengembara
untuk memperluas wawasan keilmuannya, hingga akhirnya berlabuh di Basrah, Irak,
yang kala itu terkenal sebagai pusat ilmu dan peradaban. Di sini ia berguru
ilmu tasawuf kepada Syekh Abul Ahmad bin Muhammad ibnu Ahmad bin Salim
Ash-Saghir (w. 360 H/940 M), sufi besar pendiri Tarekat Salimiyah, bersumber
dari tasawuf Sahab bin Abdullah At-Tustari, yang sangat terkenal di Baghdad
kala itu.
Tujuh Piranti
AllahBelakangan ia melanjutkan pengembaraannya ke Baghdad,
Irak. Di sini ia mengalami kesulitan, karena masyarakat tidak menerima tarekat
Salimiyah, hanya menerima tarekat Junaidiyah, sehingga ia di larang mengajarkan
tasawuf Salimiyah. Meski begitu ia mempunyai kelebihan dalam pemikiran Tasawuf
yang terekam dalam beberapa kitabnya.
Sayangnya hanya dua kitab yang tersisa yang dapat dibaca
oleh generasi berikutnya: Al-Ilmul Qulub, dan Qtubul Qulub fi Mu’ammalatil
Mahbub. Dua kitab ini cukup berbobot dalam hal analisis mengenai amalan sufi
berikut argumentasinya, begitu pula jalan yang ditempuh para sufi dalam
memantapkan jiwa dan keyakinan hati. Bahkan Imam Ghazali juga menggunakan metode
dan sistem Abu Thalib dalam beberapa pemikirannya.
Kitab Qutubul Qulub menjadi panduan standard bagi para sufi.
Itu sebabnya banyak ulama yang memberikan syarah atau komentar dan penulisan
ulang terhadap kitab ini. Salah satunya ditulis oleh Muhammad bin Khalafuddin
Al-Umawi, yang meringkas kitab tersebut untuk memudahkan pembaca, dengan judul
Al-Wushul Ila Ghardhil Mathlub min Jawahiril Qtubil Qulub.
Menurut Abu Thalib, tasawuf hanya dapat ditegakkan jika
dasar-dasarnya kuat, yaitu jalan yang benar dalam berkehendak dan berilmu.
Sementara untuk mencapai dasar-dasar tersebut diperlukan tujuh macam piranti:
Pertama, kehendak yang benar dan konsekwen, serta siap dengan segala resiko.
Kedua, membina kehidupan bertaqwa dengan menolak keburukan dan kemaksiatan.
Ketiga, memiliki pengetahuan mengenai keadaan diri, dan mengetahui
kelemahan-kelemahannya.
Keempat, selalu mengikuti forum untuk mengenal dan mengingat
Allah SWT. Kelima, memperbanyak tobat Nasuha, memotong jalur dosa dan
menggantinya dengan jalur pahala, dengan cara merasakan kelezatan taqwa dan
memperkuat kehidupan zuhud. Keenam, makan makanan yang halal dan mengetahui
hukum-hukum makanan, pakaian dan sebagainya sebagaimana telah diatur oleh
syara’. Ketujuh, selalu dekat dengan teman akrab yang saleh dan mampu memantau
kehidupan taqwa sejati.
Abu Thalib menambahkan, ada empat tiang penyanggah yang
memperkuat kehidupan para sufi: Pertama, kehidupan yang dibina dalam keadaan
lapar, untuk memutuskan jalan darah setan yang bersarang di hati. Dengan lapar
hati tidak dipenuhi darah, sehingga menajdi putih dan memancarkan Nur. Selain
itu juga jadi lembut, karena lapar adalah kunci pembuka pintu zuhud, dan zuhud
adalah pembuka pintu akherat.
Kedua, banyak terjaga di waktu malam untuk beribadah.
Ketiga, memperbanyak diam sebagai jalan keselamatan dan kewaspadaan. Kehidupan
sufi selalu memperhatikan apa yang keluar dari lisan. Keempat, bersunyi diri
untuk berdzikir atau berkhalwat agar lebih berkonsentrasi dalam menjernihkan
hati dan menyerap rahmat Allah SWT. Sebab, hati merupakan perbendaharaan Allah
SWT yang tersembunyi. Jika iman telah menghunjam dalam hati, yang tinggal
adalah cinta akherat. Dan itulah, “Hatinya hati”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar