Minggu, 01 Desember 2013

Abu Nawas, Kuah Dibalas Makjun

Di mata Khalifah Harun al-Rasyid figur Abu Nawas memang lihai, dia tidak hanya lucu tetapi juga bijaksana sehingga tidak dapat dipandang enteng. Di satu pihak hal itu sangat membanggakan khalifah, tetapi di lain pihak, sangat menjengkelkannya, karena ia suka kurang ajar dan tidak tahu diri. Oleh karena itu baginda tidak pernah berhenti memeras otak untuk dapat membalas Abu Nawas.
Pada suatu hari di bulan Rabiulawal, baginda khalifah tersenyum simpul sendiri sambil bergumam, “Awas kau, Abu Nawas, kali ini pasti kena.”

Seperti biasa setiap bulan Rabiulawal, Sultan Harun Al-Rasyid menyelenggarakan acara Maulid Nabi di istana. Pada saat itu semua pembesar negeri hadir termasuk putra-putra mahkota dari negeri-negeri sekitarnya, tapi Abu Nawas tidak tampak.

“Panggil dia kemari,” perintah khalifah kepada punggawa.

Setelah Abu Nawas datang menghadap, dimulailah acara hari itu. Semua hadirin dipersilahkan berdiri, kemudian masing-masing disirami air mawar yang menebarkan bau sangat harum, kecuali Abu Nawas. Ia disiram dengan air kencing.
Sadarlah Abu Nawas, bahwa dia dipermalukan khalifah didepan para pembesar negeri. Ia bungkam seribu basa, namun di dalam hati ia berkata, “Oke, khalifah, hari ini kau beri aku kuah, esok akan kubalas kamu dengan isinya.”

Selesai upacara, semua orang pamitan kepada baginda dan pulang ke rumah masing-masing. Begitu pula dengan Abu Nawas.
Sejak itu Abu Nawas tidak pernah menginjakkan kakinya ke Istana. Tak kurang khalifah pun rindu berat kepadanya. Karena bagaimanapun Abu Nawas selalu dapat menghibur hatinya. Ada saja celotehan-celotehan Abu Nawas yang membuat suasana balairung jadi hidup.

Ketika khalifah memanggilnya, Abu Nawas tidak bersedia memenuhi panggilan itu, dengan alasan sakit, meski panggilan tersebut disampaikan terus menerus. Setiap kali punggawa datang setiap kali itu pula Abu Nawas bilang sakitnya makin serius.
Baginda pun khawatir dengan sakitnya Abu Nawas, maka ditengoknya Abu Nawas ke rumahnya di iringi beberapa orang petinggi kerajaan.

Mendengar khalifah menuju ke rumahnya, Abu Nawas buru-buru pasang aksi. Mata terpejam, badan tergeletak lemah lunglai. Namun sebelum itu ia telah menyuruh istrinya menyiapkan obat makjun, ramuan obat yang dibuat seperti dodol bulat, dan dua butir di antaranya dibubuhi tinja. Abu Nawas menelan sebutir obat itu ketika baginda sudah sampai di depannya.

“Hai Abu Nawas, apa yang kamu telan itu?” tanya khalifah.

“Inilah yang disebut obat makjun,” jawab Abu Nawas masih dalam posisi telentang. “Resepnya hamba peroleh tadi malam lewat mimpi. Seorang tua menghadap hamba dan berpesan agar obat makjun ini hamba telan dua butir, niscaya sembuh,” setelah Abu Nawas menelan sebutir lagi dan tampak badannya segar layaknya orang sembuh dari sakit.

“Kalau begitu aku juga mau makan obat makjun itu,” kata khalifah.

“Baiklah, tuanku,” kata Abu Nawas. “Bila paduka akan menelan obat ini, hendaklan berbaring seperti hamba sekarang ini, tidak boleh sambil duduk, apalagi dengan berdiri.”

Maka baginda pun berbaring.

“Pejamkan mata tuanku,” kata Abu Nawas.

Begitu mata Sultan terpejam, Abu Nawas cepat-cepat memasukkan butiran makjun itu ke mulut khalifah. Tiba-tiba khalifah bangkit karena obat itu menyangkut di batang tenggorokannya. Sambil membelalakkan matanya, Sultan berkata keras-keras. “Hai, Abu Nawas, kamu beri aku makan tinja ya?”

Maka Abu Nawas pun menghormat sambil berkata, “Dulu baginda memberi hamba kuahnya, sekarang hamba memberi baginda isinya. Jikalau baginda tidak memberi hamba uang seratus dinar, kejadian ini akan hamba ceritakan kepada khalayak ramai.”

“Diam kamu, jangan ngomong kepada siapa-siapa, nanti ku beri kau uang seratus dinar ,” kata khalifah.

Setelah itu khalifah dan semua pengiringnya kembali ke Istana, menyiapkan pundi-pundi berisi uang seratus dinar.


Abu Husein Al-Nury

Sufi yang Diselimuti Cahaya
Ia terkenal sebagai seorang Zahid yang menafikan keduniawian. Begitu dalam cintanya kepada Allah hingga dijuluki Al-Nury, “Yang Dianugrahi Cahaya”.
Nama lengkapnya adalah Abu Husien Ahmad bin Muhammad Al-Nury. Ia lahir di Baghdad, Irak, tidak jelas tahun berapa. Sementara nenek moyangnya berasal dari Khurasan, Iran. Yang pasti ia adalah salah seorang murid kesayangan Sarry As-Saqaty dan sahabat Sufi besar Junaid Al-Baghdadi. Mereka hidup di Irak pada abad ke III. Selama hidup ia tinggal di tepian sungai Tigris yang indah.

Ia mendapat julukan “Al-Nury”, karena kapanpun ia bicara di kegelapan malam, seberkas cahaya akan keluar dari mulutnya, hingga membuat terang sekelilingnya. Di riwayatkan juga bahwa ia menadpat julukan itu karena mengungkapkan rahasia-rahasia terdalam dengan cahaya intuisi, karena sikap dan gaya bicaranya yang bernas dan lembut, sementara pemikirannya sangat luas, dan konsekwen dengan sikapnya yang teguh.

Versi yang lain mengatakan bahwa ia dijuluki Nuri karena ia mempunyai sebuah tempat pengasingan ditengah padang pasir dimana ia biasa beribadah sepanjang malam. Orang-orang kerap keluar rumah untuk memperhatikannya, dan mereka melihat seberkas cahaya memancar keluar dari lubang pengasingannya sepanjang malam.

Abul Husain an-Nuri adalah salah seorang figur terkemuka kelompok sufi Baghdad. Ia menyusun sejumlah puisi mistis yang mengagumkan. Ia meninggal dunia pada tahun 295 H / 908 M.

Ia mengawali kehidupan mistiknya dengan sangat unik. Setiap dini hari, sebelum subuh, ia mengambil roti dari tokonya untuk ia sedekahkan. Setelah salat subuh di masjid, ia kembali ke toko, orang-orang mengira ia telah sarapan di toko, sementara orang-orang di toko menyangka ia sudah makan pagi di rumah. Hal itu berlangsung selama 20 tahun tanpa seorang pun tahu. Kisah kewalian Abu Husien ini banyak diungkapkan dalam berbagai kitab, seperti Tadzkirul Awliya (Fariduddin Aththar), Ar-Risalah dan Kasyful Mahjub (Imam Qusyairi).

Tentang kehidupan mistiknya, Abu Husien menyatakan:

“Bertahun-tahun aku berjuang, mengekang diri dan meninggalkan pergaulan. Betapapun aku berusaha keras, jalan belum terbuka bagiku. Aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki diri. Kemudian kataku, “Wahai jasmaniku, bertahun-tahun sudah engkau menuruti hawa nafsu, sungguh semua itu akan mencelakakanmu. Sekarang masuklah kedalam penjara. Akan ku belenggu dirimu dan akan kukalungkan pada lehermu semua kewajiban kepada Allah. Jika sanaggup bertahan, engkau pasti meraih kebahagiaan. Tapi, jika tak sanggup, setidaknya engkau akan mati di jalan Allah, begitulah kataku.”

Mengenai perjanan spritualnya, ia berkata:

“Pernah kudengar, hati para mistikus merupakan alat yang awas waspada, mengetahui segala rahasia, baik yang terlihat maupun yang terdengar. Karena tidak memiliki hati seperti itu, akupun berkata kepada diriku sendiri, “Ucapan para Nabi dan manusia suci adalah benar. Mungkin sekali selama ini aku telah bersikap munafik, sementara kegagalanku karena kesalahan ku sendiri. Aku ingin merenungi diriku sendiri sehingga benar-benar mengenal-Nya”, begitulah kataku.

Setelah merenungi diri sendiri, Abu Husien menemukan hati dan nafsu itu bersatu. Lalu katanya:

“Bila hati dan nafsu bersatu, celakalah! Sebab, jika ada sesuatu yang menyinari hati, hawa nafsu akan menyerap sebagian. Maka sadarlah aku, inilah sumber dilema yang kuhadapi selama ini. Segala sesuatu yang datang dari hadirat Allah SWT dalam hatiku, sebagian diserap pula oleh hawa nafsuku.”

Sejak perenungan itulah, ia menghentikan segala perbuatan yang diperkenankan hawa nafsu. Ia berusaha hanya melakukan segala sesuatu yang “Tidak diperkenankan” hawa nafsu. Lalu katanya, “Misalnya, hawa nafsuku berkenan aku berpuasa, bersedekah, salat, menyepi atau bergaul dengan sahabat-sahabatku, maka aku akan melakukan hal sebaliknya. Akhirnya segala hal yang diperkenankan hawa nafsuku dapat kubuang dan rahasia-rahasia mistik mulai terbuka dalam diriku.”

Suatu hari, ia berdialog dengan diri sendiri. “Siapakah engkau?” tanyanya kepada diri sendiri. “Aku adalah mutiara tanpa hasrat, dan mutiaraku adalah mutiara tanpa maksud,” terdengar suara dalam dirinya. Kemudian ia menuju sungai Tigris dan melemparkan jala. “Aku tidak akan beranjak sebelum seekor ikan terjerat dalam jalaku,” ia bergumam. Tak lama kemudian, seekor ikan berkecupak di dalam jala. Saat aku mengambil ikan itu, aku memekik, “Segala puji bagi Allah, urusan-urusanku telah berjalan dengan baik!”

Aku pergi menemui Junaid dan berkata padanya, “Sebuah karunia telah dianugrahkan padaku!”

“Abul Hasan,” ujar Junaid, “Jika seekor ular yang terjerat jalamu, dan bukannya seekor ikan, itu baru suatu tanda karunia. Namun karena dirimu sendiri terlibat (dalam mendapatkannya), itu adalah muslihat, bukan karunia. Karena tanda dari karunia adalah engkau tidak terlibat sama sekali.”

***

Ketika Ghulam al-Khalil menyatakan permusuhannya terhadap para sufi, ia menemui Khalifah dan menjelek-jelekkan mereka.

“Sekelompok sufi telah muncul,” katanya. “Mereka menyanyi, menari dan menyatakan penghinaan-penghinaan terhadap Tuhan dan agama. Mereka berkumpul hampir setiap hari, bersembunyi dalam gua-gua, dan berkhotbah. Orang-orang itu adalah ahli bid’ah. Jika Amirul Mukminin berkenan mengeluarkan perintah untuk menghabisi mereka, maka ajaran bid’ah akan musnah, karena mereka adalah kepala para ahli bid’ah. Jika Amirul Mukminin melakukan hal ini, aku jamin anda akan mendapatkan pahala yang besar.”

Sang Khalifah segera memerintahkan agar mereka – Abu Hamzah, Raqqam, Syibli, Nuri, dan Junaid – dibawa kehadapannya. Perintah Khalifah pun dilaksanakan. Kemudian Khalifah memerintahkan agar mereka dihukum mati.

Awalnya, algojo diperintahkan untuk mengekskusi Raqqam terlebih dahulu, namun Nuri tanpa rasa takut sedikitpun bangkit mendekat dan mengambil tempat Raqqam.

“Bunuhlah aku lebih dulu, tertawa gembira,” pekiknya.

“Tuan, giliran anda belum tiba,” kata si Algojo padanya. “Pedang bukanlah sesuatu yang digunakan dengan tergesa-gesa.”

Nuri menjelaskan. “Jalanku didasari oleh pikiran. Aku lebih memilih sahabatku daripada diriku sendiri. Hal yang paling berharga didunia ini adalah kehidupan. Aku ingin mempersembahkan sedikit waktuku yang tersisa ini untuk para saudaraku. Aku akan mengorbankan kehidupanku sendiri. Hal ini kulakukan walaupun dalam pandanganku suatu saat di dunia ini lebih berharga daripada seribu tahun di akherat kelak. Karena dunia ini adalah kediaman penghambaan, sementara akherat adalah kediaman kedekatan, dan kedekatan bagiku adalah penghambaan.”

Kata-kata Nuri ini dilaporkan kepada Khalifah. Sang Khalifah mengagumi ketulusan dan kefasehan Nuri. Ia memerintahkan untuk menunda ekskusi dan mengajukan kasus mereka kepada Hakim untuk diperiksa.


“Mereka tidak dapat dihukum tanpa bukti,” kata sang Hakim.
Sang Hakim kemudian menguji Nuri dengan masalah-masalah Fikih. Nuri langsung dapat menjawabnya, dan sang hakimpun membisu dalam kebingungan.

Nuri berkata:

“Wahai hakim, Anda telah mengajukan semua pertanyaan ini, namun semua pertanyaan Anda sama sekali tidak relevan. Karena Allah memiliki hamba-hamba yang berdiri melalui-Nya, bergerak dan diam melalui-Nya, yang hidup melalui-Nya, dan tinggal dalam dzikir kepada-Nya. Jika satu saat saja mereka tidak mengingat-Nya, maka jiwa-jiwa mereka akan keluar dari tubuh mereka. Melalui-Nya mereka tidur, melalui-Nya mereka makan, melalui-Nya mereka menerima, melalui-Nya mereka pergi, melalui-Nya mereka melihat, melalui-Nya mereka mendengar, dan melalui-Nya mereka berada. Inilah ilmu yang hakiki, bukan semua yang anda tanyakan tadi.”

Sang hakim kebingungan, lalu ia mengirim pesan kepada Khalifah, “Jika mereka ini Atheis dan ahli bid’ah, maka aku akan memutuskan maka diseluruh permukaan bumi, tidak seorang pun yang bertauhid.”

Khalifah pun memanggil mereka.

“Adakah yang kalian inginkan?” tanya Khalifah.

“Ya,” jawab mereka. “Kami harap Anda melupakan kami. Kami tidak ingin anda menghormati kami dengan persetujuan Anda (terhadap keyakinan kami) ataupun menghukum kami dengan penolakan Anda. Bagi kami, penolakan Anda sama saja dengan persetujuan Anda, dan persetujuan Anda sama saja dengan penolakan Anda.”

Sang Khalifah pun menangis pilu mendengarnya, dan membebaskan mereka dengan segala penghormatan.

***

Suatu hari Junaid mengunjungi Nuri. Nuri tersungkur ketanah dihadapan Junaid, mengeluhkan ketidakadilan.

“Pertempuranku bertambah dahsyat, dan aku tak mempunyai kekuatan lagi untuk bertarung,” katanya. “Selama tiga puluh tahun, kapanpun Dia ada, aku lenyap, dan kapanpun aku mewujud, Dia lenyap. Kehadiran-Nya adalah ketidakhadiranku. Betapapun aku memohon, jawaban-Nya adalah: Aku atau engkau yang ada.”

Junaid berkata kepada para muridnya. “Lihatlah dia, seorang lelaki yang telah berusaha keras dan dibingungkan oleh Allah.”

Sambil berpaling ke Nuri, Junaid menambahkan, “Seharusnya apakah Dia terhijabi olehmu ataupun tersingkap melaluimu, engkau tidak boleh lagi menjadi dirimu, dan semuanya harus menjadi Dia.”

***

Seseorang menemui Junaid dan berkata, “Sudah beberapa hari ini, siang dan malam, Nuri berkeliling dengan sebongkah batu di tangannya sambil berteriak, “Allah… Allah…” dia tidak makan apa-apa, dan tidak tidur. Namun dia masih mendirikan shalat pada waktunya dan menjalankan seluruh ritual shalat.”

Para murid Junaid menanggapi, “Ia sadar. Ia tidak berada dalam keadaan Fana. Buktinya, ia masih ingat waktu-waktu shalat dan melakukan ritual-ritual shalat. Itu adalah tanda dari usaha sadar, bukan tanda dari fana, seseorang yang telah fana, tidak menyadari apapun.”

“Bukan begitu,” jawab Junaid. “Apa yang kalian katakana tidaklah benar. Orang-orang yang berada dalam ekstasi selalu terpelihara, Allah menjaga mereka, kalau tidak, mereka akan meninggalkan ibadah pada waktunya.”

Kemudian Junaid pergi menemui Nuri.

“Anul Husain,” sapa junaid pada Nuri. “Jika engkau tahu bahwa berteriak adalah salah satu keuntungan dengan-Nya, maka beri tahukanlah aku, dan akupun akan ikut berteriak. Jika engkau tahu bahwa kepuasan dengan-Nya adalah lebih baik, maka bertawakkallah, agar hatimu bisa tenang.”

Sejak saat itu, Nuri berhenti berteriak. “Engkau benar-benar guru yang hebat bagi kami!” katanya pada Junaid.

***

DALAM kitab Al-Risalah, Imam Al-Qusyairi mengungkapkan beberapa pendapat Abu Husien. Salah satu pendapatnya tentang tasawuf, antara lain, “Tasawuf itu meningglkan semua keingnan hawa nafsu. Ada dua hal yang paling mulia, yaitu orang alim yang mengamalkan ilmunya, dan orang arif yang mampu memahami hakekat. Jika ada orang yang mengaku bersama Allah SWT, tapi berani keluar dari batas ilmu agama, sekali-kali jangan engkau mendekatinya.”

Suatu hari Abu Husien Al-Nury, berdoa di sebuah tempat yang sangat terpencil. “Ya Allah engkau menghukum para penghuni neraka, mereka semua adalah ciptaan-Mu, melalui ke-Maha Tahuan-Mu, kemahakuasaan-Mu, dan kehendak-Mu. Jika engkau menghendaki manusia ke dalam neraka, engkaulah yang berkuasa untuk melemparkan mereka ke dalam neraka, dan mengantarkan ke dalam surga.”

Kebetulah seorang sufi, Ja’far Al-Khuldi, mendengar doa itu, dan ia pun sangat takjub. Kemudian suatu malam, ia bermimpi bertemu dengan seseorang yang berkata kepadanya, “Allah memerintahkan agar engkau mengatakan kepada Abu Husien, sesungguhnya Allah telah memuliakanmu dan menganugerahkan pahala kepadamu karena doamu.”

Suatu hari, ketika Abu Husien mandi disebuah telaga, pakaianya di curi orang. Belum sempat ia mentas dari telaga untuk mengejarnya, pencuri itu telah mengembalikan pakaiannya, karena tiba-tiba tangannya terkena penyakit sampar. Lalu Abu Husien berseru. “Ya Allah, karena ia telah mengembalikan pakaianku, sembuhkanlah tangannya,” maka saat itu juga tangan pencuri itu sembuh.

Orang suci itu wafat pada 295 H /908 M. banyak kenangan dan pujian yang diungkapkan oleh para sahabatnya ataupun para ulama se zamannya. Salah satunya dari Junaid Al-Baghdadi, katanya, “Sejak Abu Husien Al-Nury wafat, tidak ada seorangpun yang mampu menceritakan hakikat kebenaran.” Sedangkan Ahmad Al-Maghazili menyatakan:

“Belum pernah aku melihat ibadah yang dilakukan lebih khusyuk daripada ibadah Abu Husien Al-Nury.”

Abu Hurairah, Otaknya Menjadi Gudang Perbendaharaan Hadits Nabi

Kepandaian seorang manusia kadang berakibat merugikan bagi manusia yang menyandangnya. Orang-orang yang mempunyai bakat istimewa itu banyak yang harus membayar mahal, justru pada saat ia pantas menerima penghargaan …


Salah seorang sahabat Nabi saw, Abu Hurairah termasuk dari mereka…. Ia mempunyai bakat yang luar biasa dalam hal kemampuan dan kekuatan ingatan, ia mempunyai kelebihan dalam seni menangkap apa yang didengarnya, sedangkan daya ingatnya mempunyai keistimewaan dalam menghafal dan menyimpan. Hamper tak pernah ia melupakan satu kata atau satu huruf pun dari semua yang pernah di dengarnya. Ia telah mewakafkan hampir seluruh hidupnya untuk lebih banyak mendampingi Rasulullah saw, sehingga ia termasuk salah seorang sahabat yang paling banyak menerima dan menghafal hadis, serta meriwayakannya.

Salah sati akibat yang menimpa Abu Hurairah, adalah masa di mana pemalsu-pemalsu hadis yang dengan dengan sengaja membikin hadis-hadis bohong dan palsu, seolah-olah berasal dari Rasulullah saw. Mereka memperalat nama Abu Hurairah, dan meriwayatkan dengan menggunakan kata-kata: “Berkata Abu Hurairah”

Dengan perbuatan ini, hampir-hampir mereka menyebabkan kemasyhuran dan kedudukan Abu Hurairah selaku penyampai hadis Nabi saw, menjadi diragukan dan tanda Tanya.

Ia adalah salah seorang sahabat Nabi saw yang menerima vahaya revolusi Islam, dengan perubahan mengagumkan yang terjadi pada dirinya, dari orang upahan menjadi majikan…. Dari orang terlunta-lunta di tengah-tengah lautan manusia, menjadin imam da panutan, dan dari seorang sujud di depan batu-batu berhala, menjadi orang yang beriman kepada Allah swt. Suatu saat ia pernah bercerita kepada sahabat-sahabatnya:

“Aku dibesarkan dalam keadaan Yatim, dan ikut hijrah dalam keadaan msikin. Aku menerima upah sebagai pembantu pada keluarga Busrah binti Ghazwan demi untuk sekedar mengisi perutku…! Aku melayani keluarga itu setiap saatbaik kala mereka sedang di rumah, dan menuntun binatang tunggangannya jika mereka sedang bepergian. Sekarang inilah aku, Allah telah berkenan menikahkan aku dengan putrid Busrah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Agama ini tiang penegak, dan menjadikan Abu Hurairah seperti sekarang ini……!

Ia datang dan menemui Nabi saw pada tahun ketujuh hijriyah sewaktu beliau berada di Khaibar, ia memeluk Islam karena dorongan kecintaan dan kerinduan, dan sejak itulah hampir-hampir ia tidak berpisah lagi dari Rasulullah saw kecuali pada saat-saat waktu tidur. Hal ini ia lakukan sejak masuk Islam sampai Nabi saw wafat.

Dengan fitrahnya yang kuat. Abu Hurairah mendapatkan kesempatan yang besar yang memungkinkan ia memainkan peran penting dalam berbakti kepada Agama Allah swt.

Pahlawan perang di kalangan sahabat, sangat banyak…., ahli fiqih, juru dakwah dan para guru juga tidak sedikit….,

Tetapi masyarakat dan lingkungan saat itu belum banyak yang melek huruf, bisa baca tulis. Pada masa itu manusia belum merasa pentingnya baca tulis sebagai bukti kemajuan suatu masyarakat. Pada saat seperti itulah, Abu Hurairah dengan fitrahnya yang kuat dapat menyelami kebutuhan masyarakat baru yang dingun oleh Islam, kebutuhan akan orang-orang yang dapat melihat dan memelihara peninggalan dan ajaran-ajarannya. Saat itu memang sudah ada para sahabat yang sudah mampu manulis, tetapi jumlah mereka sangat sedikit sekali, apalagi sebagian dari mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mencatat hadis-hadis yang ucapkan oleh Rasulullah saw.

Sebenarnya Abu Hurairah bukanlah seorang penulis, ia hanya seorang ahli hafal yang mahir disamping mempunyai kesempatan atau mampu mengadakan kesempatan yang diperlukan untuk itu, karena ia tidak punya tanah yang akan digarap, dan tidak punya perniagaan yang akan diurus.

Ia menyadari sepenuhnya bahwa dirinya termasuk orang yang masuk Islam belakangan, karena itulah ia bertekad untuk mengejar ketertinggalannya dengan cara selalu mendampingi Rasulullah secara terus menerus dan selalu hadir dalam majlisnya. Ia juga sadar dengan bakat pemberian Allah swt pada dirinya, berupa daya ingatan yang luas dan kuat, dan makin bertambah kuat, tajam dan luas dengan Do’a Rasulullah saw, agar pemilik bakat ini diberi Allah berkat.

Dengan kekuatan dan kemampuan serta bakat itulah ia menyiapkan dirinya untuk memikul tanggung jawab dan memelihara peninggalan yang sangat penting itu dan mewariskannya kepada generasi berikutnya……

Sewaktu Rasulullah saw telah berpulang ke Rahmatullah swt, Abu Hurairah terus saja menyampaikan hadis-hadis Nabi, yang menyebabkan sebagian sahabatnya merasa heran dengan bertanya-tanya didalam hati, darimana saja datangnya hadis-hadis ini, kapan di dengarnya dan endapkannya dalam ingatannya…….

Untuk menghilangkan keragu-raguan dan kecurigaan sahabat-sahabatnya itu, Abu Hurairah memberi penjelasan: “Tuan-tuan telah mengatakan bahwa Abu Hurairah banyak sekali mengeluarkan hadis dari Nabi saw, dan tuan-tuan katakana pula bahwa orang-orang Muhajirin yang lebih dulu masuk Islam daripada Abu Hurairah, tidak pernah menceritakan hadis-hadis itu? Ketahuilah, bahwa sahabat-sahabatku orang-orang Muhajirin itu sibuk dengan perdagangan mereka di pasar-pasar, sedang sahabat-sahabatku orang Anshor sibuk dengan tanah pertanian mereka …

Sedang aku adalah orang miskin, yang paling banyak mempunyai kesempatan dan menyertai majlis Rasulullah, aku hadis disaat yang lain absent, dan aku selalu ingat seandainya mereka lupa karena kesibukannya….. pada suatu hari Nabi pernah bersabda kepada kami, “Siapa yang membentangkan serbannya hingga selesai pembicaraanku kemudian ia meraihnya ke dirinya, maka ia tidak akan pernah lupa akan suatu pun dari apa yang telah didengarnya daripadaku….!”

Oleh sebab itulah, kuhamparkan serbanku, lalu beliau berbicara kepadaku, kemudian kuraih kain itu ke diriku, dan demi Allah, tak ada satupun yang terlupa dari apa yang telah kudengar. Demi Allah kalau tidak karena adanya ayat di dalam kitabullah niscaya tidak akan kukabarkan kepada kalian sedikitpun. “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, sesudah kami naytakan kepada manusia di dalam kitab mereka itulah yang dikutuk oleh Allah dan dikutuk oleh para pengutuk (para malaikat) (QS: Al-Baqarah: 159)


Abu Hurairah, Itulah Sebabnya Ia Diberi Gelar “Bapak Kucing”

Begitulah Abu Hurairah menjelaskan mengapa ia menjadi seorang yang paling banyak mengelurkan riwayat hadis dari Rasulullah saw. Pertama, karena ia banyak meluangkan waktunya untuk menyertai Nabi lebih banyak dari para sahabat lainnya. Kedua, karena ia memiliki daya ingatan yang sangat kuat, yang telah diberi berkat oleh Rasulullah, hingga ia jadi semakin kuat. Ketiga, ia menceritakan hadis bukan karena ia gemar bercerita, tetapi karena keyakinan bahwa menyebarluaskan hadits-hadis Nabi, merupakan tanggungjawabnya terhadap agama dalam hidupnya. Jika hal itu tidak dilakukannya, berarti ia menyembunyikan kebaikan dan haq, dan termasuk orang yang lalai yang sudah barang tentu ia akan menerima adzab karena kelalaiannya.


Oleh sebab itulah, ia terus saja memberitakan hadits, tak ada suatupun yang bisa menghalanginya dan tak seorangpun boleh melarangnya. Hingga pada suatu hari Amirul Mukminin, Umar bin Khattab berkata kepadanya, “Hendaklah kamu hentikan menyampaikan berita dari Rasulullah! Jika tidak, maka akan kukembalikan kau ke Tanah Daus…!” (yaitu tanah kaum dan keluarganya).

Tetapi larangan ini mempunyai maksud sebagai pengukuhan dari suatu pandangan yang dipandang baik oleh Umar, yaitu agar orang-orang Islam dalam jangka waktu tertentu tidak menghafal yang lain, kecuali Al-Qur’an sampai ia melekat dan mantap dalam hati sanubari dan pikiran mereka.

Oleh sebab itu Umar berpesan, “Sibukkanlah dirimu dengan Al-Qur’an karena itu adalah kalam Allah, dan kurangilah meriwayatkan hadis perihal Rasulullah kecuali yang berkenaan dengan amal perbuatannya!”

Abu Hurairah sangat menghargai pandangan Umar, tetapi ia juga percaya pada dirinya dan tetap teguh mengemban amanat, hingga ia tidak hendak menyembunyikan suatu pun dari hadis yang diyakininya bahwa menyembunyikannya adalah dosa dan kejahatan…

Ada suatu hal yang selalu merisaukan hati dan dapat menimbulkan kesulitan bagi Abu Hurairah, yaitu adanya tukang hadis lain yang menyebarkan hadis-hadis Rasulullah dengan menambah-nambah dan melebih-lebihkan, sehingga sebagian sahabat merasa tidak puas terhadap sebagian besar hadis-hadisnya. Orang itu bernama Ka’ab Al-Ahbaar, seorang Yahudi yang masuk Islam.

Suatu hari Marwan bin Hakam bermaksud menguji kemampuan menghafal Abu Hurairah. Dipanggillah Abu Hurairah untuk menemuinya dan dibawa duduk bersamanya, lalu dimintanya Abu Hurairah untuk meriwayatkan hadis-hadis gari Rasulullah saw. Sementara itu disuruhnya seseorang untuk menuliskan apa yang diceritakan oleh Abu Hurairah dari balik dinding. Sesudah berlalu satu tahun lamanya, dipanggillah Abu Hurairah kembali, dan dimintanya membacakan kembali hadis-hadis yang dulu yang telah di tulis oleh sekretarisnya. Ternyata tak ada yang terlupa sedikitpun walau hanya satu kalimat atau sepatah katapun.

Ia pernah berkata tentang dirinya: “Tidak ada seorangpun dari sahabat-sahabat Rasul yang lebih banyak menghafal hadis daripadaku, kecuali Abdullah bin Amr bin Ash, karena ia pandai menuliskannya sedang aku tidak”. Imam Syafi’i pernah mengemukakan pendapatnya tentang Abu Hurairah, “Ia seorang yang paling banyak hafal diantara seluruh perawi hadis pada masanya”. Sementara Imam Bukhari menyatakan, “Ada kira-kira delapan ratus orang atau lebih dari sahabat Tabi’in dan ahli ilmu yang meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah”.

Abu Hurairah adalah seorang yang ahli ibadah, ia selalu melakukan ibadah bersama istri dan anak-anaknya semalam-malaman secara bergiliran. Mula-mula ia bangun sambil shalat sepertiga malam kemudian dilanjutkan oleh istrinya sepertiga malam dan sepertiganya lagi dimanfaatkan oleh putrinya”. Dengan demikian, tak ada waktu sedikitpun berlalu setiap malam di rumah Abu Hurairah, kecuali berlangsung disana ibadah, dzikir dan shalat.

Karena keinginannya selalu menyertai Nabi, ia pernah menderita kelaparan yang amat sangat, yang belum diderita oleh orang lain. Bagaimana rasa lapar itu menggigit-gigit perutnya, ia meletakkan batu diperutnya dengan mengikat pakai sorban, lalu ditekannya batu itu ke ulu hatinya dengan kedua tangannya, samp;ai ia terjatuh di masjid sambil menggeliat-geliat kesakitan, hingga sebagian sahabat yang melihatnya mengira ia sakit ayan, padahal sama sekali tidak…!

Abu Hurairah pernah menceritakan kepada Mujahid dan Ahmad bahwa ia pernah menceritakan tentang dirinya: “Demi Allah, terkadang aku menekan perut ke tanah karena rasa lapar, dan terkadang juga aku mengganjal perutku dengan batu. Pada suatu hari aku duduk di pinggir jalan yang biasanya selalu dilalui oleh para sahabat, tiba-tiba Abu Bakar ra. Lewat di disitu, maka aku bertanya mengenai salah satu ayat Al-Qur’an, padahal sebenarnya aku tidak semata-mata bertanya melainkan dengan harapan supaya dia mengajak aku kerumahnya, tetapi dia tidak mengajakku. Kemudian Umar ra lewat di tempat itu, kepadanya juga aku bertanya mengenai ayat Al-Qur’an, dengan harapan dia akan mengajakku kerumahnya, tetapi Umar pun tidak mengajakku. Tidak lama kemudian Rasulullah saw lewat di tempat itu. Ketika beliau melihat raut wajahku, beliau memahami apa yang ada dalam hatiku, maka beliau berkata, “Wahai Abu Hurairah, kemarilah” aku menyahut “Labbaik ya Rasulullah!” Nabi berkata, “Ikutlah denganku!” ketika sampai di rumah beliau, aku minta izin untuk masuk , belay mengizinkan aku masuk. Di dalam rumah, aku melihat ada semangkok susu. Lalu Rasulullah bertanya kepada keluarganya, “Darimana kalian peroleh susu ini?” keluarganya menjawab, “Seseorang mengantarkannya kemari sebagai hadiah untuk kita.” Nabi saw berkata padaku, “Wahai Abu Hurairah,” aku menyahut, “Labbaik ya Rasulullah.”

Beliau berkata lagi, “Pergilah ke ahli Suffah dan panggillah mereka kesini!” Abu Hurairah berkata, “Ahli Suffah adalah para tetamu Islam yang tidak mempunyai rumah dan juga tidak mempunyai harta benda. Apabila ada suatu hadiah datang kepada Rasulullah saw, maka sebagian dimakan oleh Nabi saw dan sebagian lagi diberikan kepada ahli suffah, dan apabila suatu datang kepada beliau sebagai sedekah, maka beliau tidak memakannya melainkan memberikan semuanya kepada ahli suffah.” Ketika aku disuruh memanggil ahli suffah, aku merasa susah hati, karena sebelumnya aku sangat berharap dapat meminum susu tersebut, sehingga dapat memulihkan kekuatanku untuk sehari semalam, sedangkan aku disuruh Rasulullah saw untuk memanggil mereka. Jika mereka datang, maka pasti aku harus memberikan susu itu kepada mereka, lalu mereka semua meminumnya sehingga tidak akan tersisa lagi untukku. Akan tetapi tidak ada jalan lain selain taat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena itulah aku pergi memanggil mereka. Lalu mereka datang dan meminta izin masuk, dan duduk di tempatnya masing-masing.

Kemudian Rasulullah saw berkata, “Wahai Abu Hurairah ambillah susu itu dan berikan kepada mereka!” Akupun mengambil mangkok susu itu dan memberikannya kepada mereka, lalu secara bergantian setiap orang meminumnya hingga merasa kenyang, sehingga aku memberikannya kepada orang yang terakhir diantara mereka. Setelah selesai, aku serahkan kembali mangkok susu itu kepada Rasulullah, lalu beliau menerimanya yang ternyata di dalam mangkok itu masih tersisa susu. Kemudian Nabi mengangkat kepalanya melihat ke arahku sambil tersenyum dan berkata, “Wahai Abu Hurairah!” kini tinggal aku dan kamu,” aku menjawab, “Engkau benar ya Rasulullah.” Beliau berkata, “sekarang duduk dan minumlah!” maka akupun duduk dan meminum susu tersebut. Nabi saw menyuruhku meminum lagi. Akupun meninumnya lagi. Belaiu terus menyuruhku untuk meminumnya, sehingga aku berkata, “Cukup, demi Dzat yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, tidak ada lagi tempat yang kosong dalam perutku, Rasulullah berkata, “Baiklah, berikanlah mangkok itu padaku”. Naka akupun memberikan mangkok itu kepada beliau, kemudian beliau meminum sisa susu yang masih terdapat di dalam mangkok tersebut.”

Di lain waktu Abu Hurairah menceritakan, “Sudah tiga hari lamanya aku tidak makan apa-apa, lalu aku keluar berniat pergi ke suffah, tetapi karena badanku sangat lemah, ditengah jalan aku terjatuh. Anak-anak kecil yang melihatku berkata, “Abu Hurairah terkena penyakit gila!” aku menjawab, “Tidak, Kalianlah yang gila.” Aku terus merangkak hingga sampai di suffah. Setibanya di sana, aku melihat ada dua piring Tsarid (roti yang dicampur daging kuah) dibawa kehadapan Rasulullah, lalu beliau memanggil ahli suffah untuk bersama-sama makan tsrid tersebut. Merekapun menyantapnya bersama-sama. Aku melihatnya dengan memanjangkan leher berharap agar Nabi memanggilku. Setelah ahli suffah selesai makan, mereka semua berdiri, sedangkan yang tersisa hanya sedikit makanan di pinggiran piring, kemudian Rasulullah mengumpulkan sisa makanan tersebut, maka terkumpullah menjadi satu suapan, lalu beliau letakkan sesuap makanan itu di jari-jari beliau sambil berkata padaku, “Ucapkanlah Bismillah dan makanlah,” Demi Dzat yang aku berada dalam genggaman-Nya aku terus menerus memakan dari satu suapan tersebut sehingga aku merasa kenyang.”

Sejak ia menganut agama Islam tidak ada yang memberatkan dan mengganjal perasaannya dari berbagai persoalan hidup yang dialaminya, kecuali satu masalah yang hampi menyebabkan tak dapat memejamkan mata, iaitu masalah ibunya, yang waktu itu ia menolak untuk masuk Islam, tidak hanya itu, bahkan ibunya menyakiti perasaannya dengan menjelek-jelekan Rasulullah di depannya.

Ia bercerita tentang ibunya, “Sambil menangis aku datang menemui Rasulullah sambil mengadu kepada beliau, “Ya Rasulullah, aku telah meminta ibuku untuk masuk Islam, tetapi ajakanku ditolaknya, dan hari ini aku baru saja memintanya masuk Islam. Sebagai jawaban ia malah mengeluarkan kata-kata yang tak kusukai terhadap diri engkau. Karenanya mohon anda doakan kepada Allah kiranya ibuku itu mendapatkan petunjuk untuk masuk Islam.”

Rasulullah pun berdoa, “Ya Allah, tunjukilah Ibu Abu Hurairah!”

Setelah itu aku pun berlari menemui ibuku untuk menyampaikan kabar gembira tentang doa Rasulullah itu, saat aku sampai di depan pintu, kudapati pintu itu terkunci, dari luar terdengar suara gemericik air, dan : suara ibu memanggilku: “Hai Abu Hurairah, tunggulah di tempatmu itu…!”

Saat ibuku keluar ia memakai baju kurungnya dan membalutkan selendangnya sambil mengucapkan dua kalimat syahadat.”

Akupun segera berlari menemui Rasulullah sambil menangis karena gembira, sebagaimana aku dulu menangis karena berduka. Aku berkata kepada beliau, “Aku sampaikan kabar gembira ya Rasulullah, bahwa Allah telah mengabulkan doa anda, Allah telah menujukkan jalan kepada ibuku dalam Islam, Ya Rasulullah mohon doakan kepada Allah, agar aku dan ibuku dikasihi orang-orang mukmin!” maka Rasulullah berdoa, “Ya Allah, mohon Engkau jadikan hamba-Mu ini beserta ibunya dikasihi oleh sekalian orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.”

Di zaman Umar bin Khattab menjadi Khalifah, ia diangkat sebagai Amir di Bahrain. Umar sebagaimana kita ketahui adalah orang yang sangat keras dan teliti terhadap pejabat-pejabat yang diangkatnya. Jika ia mengangkat seseorang sedang ia mempynuai dua pasang pakaian maka sewaktu meninggalkan jabatannya nanti haruslah tetap mempunyai dua pasang pakaian juga, malah lebih baik kalau ia hanya memiliki satu pakaian saja. Apabila waktu meninggalkan jabatan itu terdapat tanda-tanda kekayaan, maka ia tidak akan luput dari introgasi Umar, sekalipun kekayaan itu berasal dari jalan yang halal yang dinbolehkan syara’.

Rupanya sewaktu Abu Hurairah memangku jabatan sebagai kepala daerah di Bahrain ia telah menyimpan harta yang berasal dari sumber yang halal. Hal ini diketahui oleh Umar. Karena itulah ia dipanggil untuk datang dan menghadap di Madinah.

Umar berkata kepada Abu Hurairah, “Hai musuh Allah dan musuh Kitab-Nya, apa engkau telah mencuri harta Allah?” jawab Abu Hurairah, “Aku bukan musuh Allah dan bujkan pula musuh Kitab-Nya, aku hanya menjadi musuh orang-orang yang memusuhi keduanya dan aku bukanlah orang yang mencuri harta Allah!” Umar bertanya, “Dari mana kau peroleh sepuluh ribu itu? Abu Hurairah menjawab, “Kuda kepunyaanku beranak pinak dan pemberian orang berdatangan.” Kembalikan harta itu ke perbendaharaan Negara (baitul mal) jawab Umar.

Abu Hurairah menyerahkan hartanya itu kepada Umar, kemudian ia mengangkat tangannya kea rah langit sambil berdoa, “Ya Allah, ampunilah Amirul Mukminin”.

Tak beberapa lama Umar memanggil Abu Hurairah kembali dan menawarkan jabatan kepadanya di wilayah baru, tapi ditolaknya dan meminta maaf karena tidak dapat menerimanya. Umar bertanya, “Kenapa, apa sebabnya? Abu Hurairah menjawab, “Agar kehormatanku tidak sampai tercela, hartaku tidak dirampas, punggungku tidak dipukuli. Dan aku takut menghukum tanpa ilmu dan bicara tanpa belas kasih!”

Ia meninggal dunia dalam usia 78 tahun pada tahun ke 59 hijriyah. Ia dikebumikan di pekuburan Baqi’. Salah seorang diantara mereka yang baru masuk Islam bertanya kepada temannya, “Kenapa Syekh kita yang telah berpulang ke rahmatullah itu diberi gelar “Abu Hurairah” (bapak kucing)? Si temannya itu menjawab, “Di waktu jahiliyah namanya dulu Abdu Syamsi, dan tatkala memeluk Islam. Ia diberi nama oleh Rasulullah saw dengan nama Abdurrahman. Ia sangat penyayang kepada binatang, dan ia mempunyai seekor kucing, yang selalu diberinya makan, digendongnya, dibersihkannya dan diberinya tempat berteduh. Kucing itu selalu menyertainya kemanapun ia pergi seolah-olah baying-bayangnya. Itulah sebabnya ia diberi gelar “Bapak Kucing”. Semoga Allah ridlo kepadanya dan menjadikannya ridlo kepada Allah swt.


Abu Darda

Saudagar yang “Berniaga” dengan Allah
Ia sahabat Rasulullah yang penuh dengan hikmah. Sampai kini ajarannya masih relevan untuk direnungkan.

Salah seorang di antara sahabat Rasulullah SAW yang utama ialah Abu Darda. Ia dikenal sebagai sahabat yang cerdas, tapi hidupnya sederhana. Ia bahkan menjalani hidup sebagai sufi yang wara – menjauhi kehidupan duniawi, lebih mementingkan ibadah. Ia salah seorang sahabat yang kehidupan ibadahnya menjadi teladan bagi sahabat Nabi yang lain.

Tak jelas, kapan Abu Darda, salah seorang hartawan Madinah dan saudagar yang terkenal jujur itu, masuk Islam karena kejujurannya, banyak orang yang lebih suka berdagang dengannya ketimbang dengan pedagang lain. Sebab sebagai pedagang ia tidak pernah menipu.

Tentang keislamannya, Abu Darda menyatakan. “Aku mengislamkan diriku kepada Rasulullah SAW ketika aku ingin agar ibadah dan perniagaan dapat terhimpun dalam diriku. Tapi tidak berhasil. Lalu aku kesampingkan perniagaan, agar aku dapat lebih banyak beribadah kepada Allah SWT. Sesungguhnya aku tidak terlalu gembira meski setiap hari untung 300 dinar. Allah memang tidak mengharamkan perniagaan, tapi aku lebih suka bergabung dengan orang yang dalam berniaga tidak melalaikan Allah SWT.


Itulah Abu Darda, hartawan yang tidak hanya mengejar keuntungan duniawi, tapi bersamaan dengan itu juga mengejar keuntungan yang lebih berharga di sisi Allah SWT. Tak kurang, sejarawan dari Mesir, Khalid Muhammad Khalid, sempat memujinya.

Dalam bukunya, para sahabat yang akrab dengan ehidupan Rasul, ia menulis tentang Abu Darda, “tidakkah anda perhatikan sinar memancar di sekeliling keningnya? Dan tidakkah anda mencium aroma yang semerbak dari arah dia? Itulah cahaya hikmah dan harumnya Iman. Sesungguhnya Iman dan Hikmah telah bertemu pada laki-laki yang rindu pada Allah ini. Suatu pertemuan yang bahagia tiada tara.”

Abu Darda mampu memadukan kegiatan perniagaan yang bersifat duniawi dan ibadah kepada Allah SWT, menjalin hubungan yang akrab dengan sesama manusia dan hubungan yang mesra dengan Allah SWT. Mampu mengambil hikmah kehidupan di dunia namun tak lupa mengharapkan pahala di akherat.

Setelah meninggalkan perniagaan, belakangan ia menjalani hidup sebagai sufi. Berikut beberapa ajaran Abu Darda yang penuh hikmah.

“Maukah anda mendengarkan jika aku smpaikan amalan yang terbaik? Amalan yang terbersih disisi Allah, yang mampu mempertinggi derajat anda, yang lebih baik daripada memerangi musuh di medan perang, yang lebih baik daripada uang emas dan perak?” kata Abu Darda, “Amalan apakah itu?” tanya para sahabat. Jawab Abu Darda. “Dzukrullah, karena dzikir kepada Allah itu lebih utama.

Anak Durhaka

Suatu hari Abu Darda mengirim surat kepada sahabatnya, “tak ada satupun harta di dunia ini yang kamu miliki melainkan sudah ada orang yang memilikinya sebelum kamu, dan akan ada terus orang lain yang memilikinya sesudah kamu. Sebenarnya harta yang kamu miliki sekedar yang kamu telah manfaatkan untuk dirimu. Maka utamakanlah harta itu untuk orang yang membutuhkannya, yaitu anak-anakmu yang mewarisimu. Mungkin kepada anak saleh yang beramal untuk Allah – maka engkau akan bahagia, mungkin kepada anak durhaka yang mempergunakan harta itu untuk maksiat – maka engkau lebih celaka lagi dengan harta yang telah engkau kumpulkan. Maka pecayakanlah nasib mereka kepada rezeki Allat SWT, dan selamatkanlah dirimu sendiri.”

Menurut pandangan Abu Darda, dunia seluruhnya hanyalah titipan Allah SWT. Ketika banyak harta rampasan di bawa ke Madinah sebagai hasil kemenangan pasukan Islam di Cyprus, Abu Darda malah menangis, maka sahabat Zubair bin Nafis pun bertanya, “Wahai Abu Darda, mengapa engkau menangis ketika di menangkan oleh Allah SWT?’ jawab Abu Darda, “Wahai Zubair, alangkah hinanya makhluk di sisi Allah bila mereka meninggalkan kewajibannya terhadap Allah SWT, selagi ia perkasa, berjaya mempunyai kekuatan, lalu meninggalkan amanat Allah SWT, jadilah mereka seperti yang engkau lihat.”

Suatu hari, Abu Darda berkunjung ke Syiria, yang kala itu makmur, penduduknya hidup dalam gelimang kemewahan. Melihat kenyataan itu ia memberi peringatan. “Wahai warga Syiria, kalian adalah saudara seagama, tetangga dan pembela dalam melawan musuh bersama, tapi aku heran melihat kalian, mengapa kalian tidak punya rasa malu?” kalian kumpulkan apa yang tidak kalian makan, kalian bangun semua yang tidak kalian huni, kalian harapkan apa yang tidak kaliana dapat. Beberapa kurun waktu sebelum kalian, kaum Ad telah mengumpulkan dan menyimpannya, mereka memimpikan dan membina, lalu meneguhkan bangunan, tapi akhirnya semua binasa. Angan-angan mereka jadi fatamorgana, dan rumah mereka jadi kuburan belaka.”

Sebagai ahli hikmah, Abu Darda selalu terbuka untuk meneliti dan merenungkan kembali ibadahnya. Ia selalu mengingatkan orang akan perilaku palsu, karena kepalsuan melemahkan Iman, merasa lebih dari orang lain dan sombong. Tentang hal ini ia berkata, “kebaikan sebesar Zarah (butiran kecil) dari orang yang bertaqwa lebih berat dan bernilai daripada ibadah setinggi gunung dari orang yang menipu diri sendiri.”

Ibadah menurut Abu Darda, bukan sekedar mencari kebaikan dan mengerahkan segala daya upaya untuk mendapatkan Ridla Allah SWT, melainkan juga senantiasa rendah hati, mengingat kelemahan diri sendiri. Ia berkata, “carilah kebaikan sepanjang hidupmu, sebab Allah SWT mempunyai tiupan rahmat yang dapat mengenai siapa saja yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Mohonlah kepada Allah SWT agar ia menutupi malu atau cela dan kejahatanmu, serta menghilangkan rasa tidak tentram di hatimu.”

Itulah beberapa nasehat Abu Darda yang penuh dengan cahaya hikmah dan kebeningan hati. Banyak ulama yang menyatakan, Abu Darda adalah salah seorang peletak fondasi Tasawuf. Karena lebih suka bersunyi diri, sampai di akhir hayatnya orang tidak tahu kapan ia wafat dan dimana dikebumikan. Sebab hidupnya memang hanya untuk Allah SWT, “Berniaga” dengan Allah, dan hanya Allah SWT yang mengetahui segala hal mengenai dirinya.


Abu Bakar Asy-Syibli

Sufi yang Hendak “Membakar” Neraka
Ia pernah menjadi gubernur. Demi mencari kebenaran Ilahiah, ia rela meninggalkan jabatan, lalu jadi pengemis, dan sempat kelaparan.

Nama Abu Bakar Asy-Syibli banyak menghiasi berbagai kitab tentang sufi. Ulama besar ini tidak hanya dikenal dengan konsepnya tentang bagaimana menempuh jalan kerohanian, tapi juga terkenal karena kehidupannya yang unik. Harta berlimpah dan jabatan tinggi ditinggalkannya, demi memburu hakikat hidup dalam ritus sufisme yang mendalam. Tak pelak kehidupannya yang unik memberikan inspirasi para peminat tasawuf bagi generasi-generasi berikutnya.

Nama aslinya adalah Abu Bakar bin Dulaf ibnu Juhdar Asy-Syibly. Nama Asy-Syibli dinisbatkan kepadanya karena ia dibesarkan di Kota Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Ia dilahirkan pada 247 H di Baghdad atau Samarra dari keluarga yang cukup terhormat. Mendapat pendidikan di lingkungan yang taat beragama dan berkecukupan harta, ia berkembang menjadi seorang yang cerdas.

Di Baghdad ia bergabung dengan kelompok Junaid. Ia menjadi sosok terkemuka dalam sejarah Al-Hallaj yang menghebohkan. Ia dikenal karena perilakunya yang eksentrik, yang menyebabkan akhirnya menyeret dia ke rumah sakit jiwa. Ia meninggal dunia pada 334 H / 846 M dalam usia 87 tahun.

Mula-mula ia menempuh pendidikan agama dengan belajar fikih Mazhab Maliki dan ilmu hadits selama hampir 12 tahun. Kecerdasan dan keluasannya dalam ilmu agama membawanya masuk dalam lingkungan kekuasaan, sehingga sempat menyandang berbagai jabatan. Karirnya melesat, ia menduduki beberapa jabatan penting selama bertahun-tahun. Ia, antara lain, menjabat sebagai Gubernur di Provinsi Dermavend.

Dalam buku ajaran dan teladan para sufi, Dr. HM. Laili Mansur menulis:

“Bersama dengan seorang pejabat baru, Abu Bakar Asy-Syibli dilantik oleh Khalifah dan secara resmi dikenakan seperangkat jubah pada dirinya. Setelah pulang, di tengah jalan pejabat baru itu bersin dan batuk-batuk seraya mengusapkan jubah baru itu ke hidung dan mulutnya. Perbuatan pejabat tersebut dilaporkan kepada Khalifah. Dan Khalifah pun memecat serta menghukumnya.”

Asy-Syibli pun terheran-heran, mengapa hanya karena jubah seseorang bisa diberhentikan dari jabatannya dan dihukum. Tak ayal, peristiwa ini membuatnya merenung selama berhari-hari. Ia kemudian menghadap Khalifah dan berkata:

“Wahai Khalifah, engkau sebagai manusia tidak suka bila jubah jabatan diperlakukan secara tidak wajar. Semua orang mengetahui betapa tinggi nilai jubah itu. Sang Maharaja alam semesta telah menganugerahkan jubah kepadaku di samping cinta dan pengetahuan. Bagaimana dia akan suka kepadaku jika aku menggunakannya sebagai sapu tangan dalam pengabdianku pada manusia?”

Sejak itu ia meninggalkan karir dan jabatanya, dan ingin bertobat. Kisah pertobatannya menyentuh kalbu. Asy-Syibli mulai mengarungi dunia tasawuf. Ia berguru kepada sejumlah ulama sebagai pembimbing spritualnya. Antara lain ia juga masuk ke dalam kelompok spritual Khairal Nassaj. Belakangan ia juga berguru kepada beberapa sufi terkenal, seperti Junaid Al-Baghdadi – yang sangat mempengaruhi perkembangan kerohaniannya. Sufi masyhur yang cemerlang dalam berbagai gagasan tasawuf ini memang punya banyak pengikut.

Pertemuannya dengan Junaid Al-Baghdadi digambarkan oleh Fariduddin Aththar dalam kitab Tadzkirul Awliya. “Engkau dikatakan sebagai penjual mutiara, maka berilah aku satu atau juallah kepadaku sebutir,” kata Asy-Syibli kepada Junaid.

Maka Junaid pun menjawab:

“Jika kujual kepadamu, engkau tidak sanggup membelinya, jika kuberikan kepadamu secara cuma-cuma, karena begitu mudah mendapatkannya engkau tidak akan menyadari betapa tinggi nilainya. Lakukanlah apa yang aku lakukan, benamkanlah dulu kepalamu di lautan, apabila engkau dapat dapat menunggu dengan sabar, niscaya engkau akan mendapatkan mutiaramu sendiri.”

Lalu kata Asy-Syibli, ”Jadi apakah yang harus kulakukan sekarang?”

Jawab Junaid, “Hendaklah engkau berjualan belerang selama setahun.”

Maka Asy-Syibli berjualan belerang selama setahun. Lorong-lorong Kota Baghdad dilaluinya tanpa seorangpun yang mengenalnya. Setelah setahun lewat, ia kembali kepada Junaid. Maka ujar Junaid:

“Sekarang sadarilah nilaimu! Kamu tidak ada artinya dalam pandangan orang lain. Janganlah engkau membenci mereka dan janganlah engkau segan. Untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi bendahara, dan untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi Gubernur. Sekarang kembalilah ke tempat asalmu dan berilah imbalan kepada orang-orang yang pernah engkau rugikan.”

Maka ia pun kembali ke Kota Demavend. Rumah demi rumah disinggahinya untuk menyampaikan imbalan kepada orang-orang yang pernah dirugikannya. Akhirnya masih tersisa satu orang, tapi ia tidak tahu kemana dia pergi. Ia lalu berkata, “Aku telah membagi-bagikan 1000 dirham, tapi batinku tetap tidak menemukan kedamaian.” Setelah empat tahun berlalu, ia pun kembali menemui Junaid. Perintah Junaid, “Masih ada sisa-sisa keangkuhan dalam dirimu. Mengemislah selama setahun!”

Tanpa banyak bicara, ia pun segera melaksanakan perintah sang guru. “Setiap kali aku mengemis, semua yang kuperoleh kuserahkan kepada Junaid. Dan Junaid membagi-bagikan kepada orang-orang miskin, sementara pada malam hari aku dibiarkan kelaparan,” kenang Asy-Syibli.

Setahun kemudian Junaid berkata, “Kini kuterima engkau sebagai sahabatku, tapi dengan satu syarat, engkau terus jadi pelayan sahabat-sahabatku.”

Setelah ia melaksanakan perintah sang guru, Junaid berkata lagi, “Hai Abu Bakar, bagaimanakah pandanganmu sekarang terhadap dirimu sendiri?” Jawab Asy-Syibli, “Aku memandang diriku sendiri sebagai orang yang terhina di antara semua makhluk Allah.”

Junaid menimpali, “Sekarang sadarilah nilai dirimu, engkau tidak ada nilainya di mata sesamamu. Jangan pautkan hatimu pada mereka, dan janganlah sibuk dengan mereka.” Junaid pun tersenyum, sembari berkata, “Kini sempurnalah keyakinanmu.”

Banyak hikmah dan karomah di sekitar sufi besar ini. Dalam kitab Tadzkirul Awliya diceritakan, selama beberapa hari Syibli menari-nari di bawah sebatang pohon sambil berteriak-teriak, “Hu, Hu, Hu!”

Para sahabatnya bertanya-tanya, “Apakah arti semua ini?” beberapa hari kemudian Syibli menjawab, “Merpati hutan di pohon itu meneriakkan “Ku, Ku”, maka aku pun mengirinya dengan “Hu, Hu”, burung itu tidak berhenti bernyanyi sebelum aku berhenti meneriakkan Hu, Hu,” begitulah!”

Membakar Surga

Di lain hari orang menyaksikan Syibli berlari-lari sambil membawa obor. “Hendak kemanakah engkau?” tanya orang-orang itu. “Aku hendak membakar Ka’bah, sehingga orang-orang hanya mengabdi kepada yang memiliki Ka’bah,” jawab Syibli.

Di lain waktu, tampak Syibli membawa sepotong kayu yang terbakar di kedua ujungnya, “Aku hendak membakar neraka dengan api di satu ujung kayu ini dan membakar surga dengan api di ujung lainnya, sehingga manusia hanya mengabdi karena Allah.

Setelah mengalami kemajuan spiritual sampai pada suatu titik di mana ia dapat memenuhi sakunya dengan gula-gula, dan pada setiap bocah yang ia temui, ia akan berkata, “Katakanlah, Allah!” lalu ia akan memberikan gula-gula. Setelah itu ia akan memenuhi saku bajunya dengan uang dirham dan dinar. Ika berkata, “Siapa saja yang berkata Allah sekali saja, aku akan penuhi mulutnya dengan emas.”

Setelah itu semangat kecemburuan berkobar dalam dirinya, dengan menghunus pedang, sambil berkata, “Siapa saja yang menyebut nama Allah, akan ku tebas kepalanya dengan pedang ini,” pekiknya.


Orang-orang berkata, “Sebelumnya engkau biasa memberikan gula-gula dan emas, namun mengapa sekarang engkau mengancam mereka dengan pedang?”
Ia menjelaskan, “Sebelum ini aku kira mereka menyebut nama-Nya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan hakiki. Kini aku sadar bahwa mereka melakukannya tanpa perhatian dan hanya sekedar kebiasaan. Aku tidak dapat membiarkan lidah-lidah kotor menyebut nama-Nya.”

Setelah itu di setiap tempat yang ia temui, ia menuliskan nama Allah. Tiba-tiba sebuah suara berkata padanya: “Sampai kapan engkau akan terus berkutat dengan nama itu? Jika engkau merupakan seorang pencari sejati, carilah pemiliknya!”

Kata-kata ini begitu menyentak As-Syibli. Tak ada lagi ketenangan dan kedamaian yang ia rasakan. Betapa kuatnya cinta menguasainya, begitu sempurnanya ia diliputi oleh gonjang-ganjing mistis, sampai-sampai ia menceburkan diri ke Sungai Tigris.

Gelombang sungai membawanya kembali ke tepi. Kemudian ia menghempaskan dirinya ke dalam kobaran api, namun api itu kehilangan daya untuk membakarnya. Ia mencari tempat di mana sekelompok singa berkumpul lalu berdiam diri di sana, namun singa-singa itu malah melarikan diri menghindarinya. Ia terjun bebas dari puncak gunung, namun angin mencengkram dan menurunkannya ke tanah dengan selamat. Kegelisahannya semakin memuncak beribu-ribu kali lipat.

Ia memekik, “Terkutuklah ia, yang tidak diterima oleh air maupun api, yang ditolak oleh binatang buas dan pengunungan!” Lalu terdengarlah sebuah suara, “Ia yang diterima oleh Allah, tidak diterima oleh yang lain.”

Kemudian orang-orang membelenggunya dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Mereka berkata, “Orang ini sudah gila.”

Ia menjawab, “Di mata kalian aku ini gila dan kalian waras. Semoga Allah menambah kegilaanku dan kewarasan kalian. Kalian dihempaskan semakin jauh dan jauh lagi!”

Khalifah lalu menyuruh seseorang untuk merawatnya. Orang itu datang dan menjejalkan obat secara paksa ke mulut As-Syibli.

“Jangan persulit dirimu,” pekik As-Syibli. “Penyakit ini bukanlah jenis penyakit yang dapat disembuhkan dengan obat-obatan seperti itu.”

Saat As-Syibli tengah dikurung dan di belenggu di rumah sakit jiwa, beberapa orang sahabatnya datang menjenguk.

“Siapa kalian?” pekiknya.

“Sahabat-sahabatmu,” jawab mereka.

Tiba-tiba ia mulai melempari mereka dengan batu, dan mereka lari menghindar.

Ia berteriak, “Dasar pembohong! Apakah seorang sahabat lari dari sahabatnya hanya karena beberapa bongkah batu? Ini membuktikan bahwa kalian sebenarnya adalah sahabat bagi diri kalian sendiri, bukan sahabatku!”

***

DIRIWAYATKAN bahwa ketika As-Syibli mulai mempraktikkan penyangkalan diri, selama bertahun-tahun ia biasa mengurapi matanya dengan garam agar ia tetap terjaga. Ia telah menghabiskan 260 kilogram untuk itu.

Ia kerap berujar, “Allah Yang Maha Kuasa selalu memperhatikanku.”

“Orang yang tidur itu lalai, dan orang lalai itu terhijabi,” tambahnya.

Suatu hari Junaid mengunjungi As-Syibli dan melihat sedang menahan kelopak matanya dengan jepitan.

“Mengapa engkau melakukan ini?” tanya Junaid.

“Kebenaran telah menjadi nyata, namun aku tak tahan melihatnya,” jawab As-Syibli. “Aku menjepit kelopak mataku karena siapa tahu Dia berkenan menganugerahkanku satu pandangan saja.”

As-Syibli biasa pergi ke sebuah gua dengan membawa seikat tongkat kayu. Kapan saja hatinya lalai, ia akan memukul dirinya sendiri dengan tongkat-tongkat itu.

Akhirnya ia kehabisan tongkat, semuanya telah patah. Maka ia pun membentur-benturkan kedua tangan dan kakinya ke dinding gua.

As-Syibli selalu mengatakan kalimat: “Allah…, Allah…,” salah seorang muridnya yang setia bertanya kepadanya, “Mengapa Guru tidak berkata, “Tiada Tuhan selain Allah.”

As-Syibli menghela nafas dan menjelaskan, “Aku takut ketika aku mengucapkan “Tiada Tuhan” nafasku terhenti sebelum sempat mengatakan “Selain Allah.” Jika begitu, aku akan benar-benar hancur.

Kata-kata ini benar-benar menggetarkan dan menghancurkan hati sang murid, hingga ia tersungkur dan akhirnya meninggal dunia.

Teman-teman si murid itu datang dan menyeret As-Syibli ke hadapan Khalifah. As-Syibli, tetap dalam gejolak ekstasinya, berjalan seperti orang mabuk. Mereka menuduh As-Syibli telah melakukan pembunuhan.

“As-Syibli, apa pembelaanmu?” tanya Khalifah.

As-Syibli menjawab, “Jiwanya, yang terbakar sempurna oleh kobaran api cinta, tak sabar menghadap keagungan Allah. Jiwanya, yang keras disiplinnya, telah terbebas dari keburukan badaniah. Jiwanya, yang telah sampai pada batas kesabarannya sehingga tak mampu menahan lebih lama lagi, dikunjungi secara berturut-turut oleh para utusan Tuhannya yang mendesak. Kilatan cahaya keindahan dari kunjungan ini menembus inti jiwanya. Jiwanya, seperti burung, terbang keluar sangkarnya, keluar tubuhnya. Apa salah As-Syibli dalam hal ini?

“Segera kembalikan As-Syibli ke rumahnya,” perintah Khalifah. “Kata-katanya telah membuat batinku terguncang sedemikian rupa hingga aku bisa terjatuh dari singgasanaku ini!”

Ketika ajalnya hampir tiba, pandangan matanya tampak murung. Ia minta segenggam abu, kemudian ditaburkannya di kepalanya. Ia gelisah.

“Mengapa engkau gelisah?” tanya salah seorang sahabatnya. Maka jawab Syibli:

“Aku iri kepada Iblis. Di sini aku duduk dalam dahaga, tapi dia memberi nikmat kepada yang lain. Allah telah berfirman: “Sesungguhnya laknat-Ku kepadamu hingga hari kiamat (QS, 38:78). Aku iri karena Iblislah yang mendapatkan kutukan Allah itu. Meskipun berupa kutukan, bukanlah kutukan itu dari Dia dan dari kekuasaan-Nya?”

Apakah yang diketahui oleh si laknat mengenai nilai kutukan itu? Mengapa Allah tidak mengutuk pemimpin-pemimpin kaum muslimin dengan membuat mereka menginjak mahkota di singgasana-Nya? Hanya ahli permatalah yang mengetahui nilai permata. Jika seorang Raja mengenakan gelang manik dari kristal, itu akan tampak seperti permata. Tapi jika pedagang sayur mengenakan cincin setempel dari permata, cincin itu akan tampak sebagai manik dari kaca.”

Setelah beberapa saat tenang, Syibli kembali gelisah. “Mengapa engkau gelisah lagi?” tanya sahabatnya.

Maka jawabnya, “Angin sedang berembus dari dua arah. Yang satu angin kasih sayang, yang lain angin kemurkaan. Siapa saja yang ingin terhembus oleh angin kasih sayang, tercapailah harapannya. Dan siapa yang terembus angin kemurkaan, tertutuplah penglihatannya. Kepada siapakah angin bertiup? Bila angin kasih sayang berembus ke arahku karena akan tercapai harapan itu, aku dapat menanggung segala penderitaan dan jerih payah. Jika angin kemurkaan berembus ke arahku, penderitaan ini tidak ada artinya dibanding bencana yang akan menimpaku. Tidak ada yang lebih berat dalam batinku daripada uang satu dirham yang kuambil dari seseorang secara aniaya. Walaupun untuk itu aku telah menyedekahkan 1000 dirham, batinku tidak memperoleh ketenangan. Berikan air kepadaku untuk bersuci!”

Maka para sahabatnya pun mengambil air untuknya. Usai bersuci, Asy-Syibli pun wafat dengan tenang.

Abu Bakar Al-Kattani

Ulama dan Sejarawan Pelita Masjidil Haram
Sepanjang hidupnya ia beribadah di Masjidil Haram, mimpi didamaikan dengan Ali bin Abi Thalib oleh Rasulullah SAW

Pada abad IV H, ada seorang ulama besar yang mendapat julukan “Pelita Masjidil Haram”. Masjid yang megah dan selalu diterangi lampu-lampu sepanjang siang dan malam itu, semakin semarak dengan hadirnya “Sang Pelita”. Ia adalah Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ja’far Al-Kattani – yang setiap hari salalu membaca dan mengkhatamkan Al-Qur’an.

Lahir di Baghdad, awalnya ia pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, tapi kemudian menetap disana hingga wafat pada 322 H / 934 M. dan selama 30 tahun menetap di Mekah, ia dikenal sebagai ulama yang tidak pernah tidur.

Setiap hari ia duduk di bawah pancuran air dalam Masjidil Haram, dan selama itu pula ia cukup berwudlu sekali dalam 24 jam. Setiap kali tawaf di Ka’bah, konon, ia sempat membaca 20 ribu ayat.

Niat menunaikan ibadah haji sudah terbersit di hatinya sejak masih remaja. Maka ia pun minta izin kepada ibunya, tapi ditolak. Lantaran Al-Kattani mendesak terus, akhirnya hati orang tuanya luluh juga, maka keesokan harinya ia pun berangkat. Dalam perjalanan melintasi padang pasir, Al-Kattani merasakan kelelahan yang luar biasa. Ia pu mendirikan tenda lalu tidur. Namun tak lama kemudian, ia terbangun. Ada perasaan ganjil yang dirasakannya. “Mungkin ini sebuah isyarat agar aku kembali,” katanya dalam hati.

Keesokan harinya, Al-Kattani kembali pulang kampung. Sampai di rumah, ia mendapati ibunyal-qurana duduk termenung menantinya di balik pintu. “Bukankah ibu telah mengizinkan aku pergi? Tanyanya.

“Ya, memang, tapi tanpa engkau, aku tidak sanggup melihat rumah ini lagi. Sejak engkau pergi, aku duduk di sini, bertekad tidak akan beranjak dari sini sebelum engkau pulang kembali,” tutur sang ibu lirih.

Hal ini membuat Al-Kattani sedih. Ia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan meninggalkan ibunya seorang diri, dan akan selalu berbakti kepadanya. “Itulah sebabnya, sebelum ibuku wafat, aku tidak mau mengarungi padang pasir lagi,” katanya.

Selain di kenal sebagai ulama dan waliyullah, ia juga dikenal sebagai sejarawan. Ia paham benar sejarah Islam. Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat, Tabi’in, hingga tokoh-tokoh sesudahnya. Ia begitu mengagumi kesalehan mereka. Tapi ada seorang sahabat yang kurang disenanginya, yaitu Ali bin Abi Thalib.

Katanya, “Nabi pernah bersabda, tidak ada kasatria sejati selain Ali, dan karena kekesatriaannya itulah, Ali menyerah kepada Muawwiyah demi menghindari pertumpahan darah. Padahal ketika itu, Muawiyah di pihak yang salah, sedangkan Ali di pihak yang benar.”

Ditemui Nabi Khidir

Namun, beberapa tahun kemudian, ia disadarkan dalam sebuah mimpi yang menggugah hatinya. Seperti biasanya, ia tidur di sebuah gubuk kecil antara Bukit Shafa dan Marwah. Malam itu ia bermimpi melihat Nabi beserta sahabat-sahabat yang dikasihinya. Lalu Nabi menghampiri dan merangkulnya.

Sambil menunjuk ke arah Abu Bakar, beliau bertanya, “Siapakan dia itu, wahai Al-Kattani?” ia menjawab, “Abu Bakar, wahai Rasulullah.”  Lalu Nabi menunjuk Umar, “siapakah dia?” tanya Nabi. “Umar,” jawab Al-Kattani. Setelah itu Nabi menunjuk Usman dan Al-Kattani menjawab “Usman.” Terakhir, Nabi menunjuk Ali, namun Al-Kattani enggan menjawabnya. Kemudian Nabi mempertemukannya dengan Ali dan mendamaikan keduanya, maka mareka berdua saling berangkulan.

Tak lama kemudian, Nabi dan para sahabatnya meninggalkan mereka. Lalu Ali mengajaknya menyusul para sahabat, menuju Gunung Qubais. “Marilah kita menuju ke Gunung Abu Qubais bersama,” ajak Ali. Merekapun menuju ke puncak Gunung Qubais bersama, dan dari tempat itu memandangi keindahan Ka’bah sambil berbincang-bincang seputar Islam.

Ketika terjaga dari mimpinya, Al-Kattani mendapati dirinya benar-benar berada di puncak Gunung Qubais. Setelah kejadian itu, ia tidak lagi membenci. “Demi Allah, tidak ada kebencian sedikitpun dalam hatiku sekarang.” Katanya.

Pada suatu siang, seorang tua berjubah anggun berjalan melewati gerbang Bani Syaibah. Kendati siang itu terik Matahari membakar kulit, wajah si tua tetap cerah berseri-seri. Dalam perjalanannya, tanpa sengaja, ia bertemu dengan Al-Kattani, yang berdiri dengan kepala tertunduk.

Setelah saling mengucapkan salam, orang tua itu berkata, “Mengapa engkau tidak pergi ke makam Ibrahim? Disana telah datang seorang guru besar yang sedang menyampaikan hadis-hadis yang mulia. Marilah kita kesana untuk mendengarkannya.”

“Siapakah perawi hadits-hadits itu?” tanya Al-Kattani. “Dari Abdullah bin Ma’mar, dari Zuhri, dari Abu Hurairah dan dari Muhammad, ”jawab orang tua itu. Lalu Al-Kattani menjawab, “Sebuah rangkaian perawi yang cukup panjang. Namun, segala sesuatu yang mereka sampaikan melalui rangkaian perawi yang panjang itu, dapat kita dengarkan secara langsung di tempat ini.”

“Melalui siapakah engkau dapat mendengarnya?” tanya orang tua itu. “Allah menyampaikannya langsung melalui hatiku,” jawab Al-Kattani. Merasa heran dengan jawaban itu, orang tua itu bertanya, “Apakah kata-katamu itu dapat dibuktikan?”

“Mungkin saja ini dapat dijadikan sebagai bukti. Sekarang ini hatiku mengatakan bahwa engkau adalah Nabi Khidir,” kata Al-Kattani. Orang itu terkejut.  “Selama ini aku mengira tidak ada “sahabat Allah” yang tak ku kenal, sebelum aku bertemu denganmu. Maka sadarlah aku, yang tak kukenal, tetapi mereka mengenalku,” ujar Nabi Khidir.



Abdurrahman Jami

Penyair Sufi yang Mengetahui Hari Kematiannya
Musim panas, musim dingin, dan musim semi akan berlalu. Kita pasti akan jadi tanah dan debu

Nama lengkapnya Nuruddin Abdurrahman Al-Jami. Dia adalah satu di antara sejumlah orang genius dari negeri Persia. Lahir di Kharjad pada 1414 M (817 H) dan wafat di Heart pada 1492 M (898 H). Sebelum populer dengan sebutan Al-Jami, dia bergelar Ad-Dasyti, karena ayahnya, Nizamuddin, berasal dari Dasyt, dekat Kota Isfahan. Sejak berusia muda, Al-Jami sudah menunjukkan sifatnya yang istimewa. Ia mudah menguasai pelajaran yang diberikan kepadanya. Ia pandai berbicara dan berargumentasi. Salah satu di antara para ulama yang pernah menjadi guru atau pembimbingnya adalah Syekh Sa’aduddin Al-Kasygari, murid sekaligus Khalifah Syekh Bahaudiin Naqsyabandi. Berkat potensinya yang besar dan ketekunannya belajar dan menulis, ia berkembang menjadi sufi besar dan sekaligus menjadi penyair besar yang berpengetahuan luas.

Kebesaran dan kemasyhuran nama Al-Jami tidak hanya bergema di kawasan Persia, tetapi juga mencapai Turki Usmani. Disebutkan pada suatu waktu ia berada di Damaskus, mencari utusan Sultan Turki Usmani yang bermaksud mengundangnya ke Istana dan telah menyiapakan hadiah baginya. Karena tidak tertarik pada undangan itu, Al-Jami segera meninggalkan Kota Damaskus.

Para sarjana masih bisa melihat kebesaran Al-Jami melalu karya-karya tulisnya yang menurut satu sumber berjumlah 46 buah, tapi menurut sumber lain tidak kurang dari 90 buah buku dan risalah. Kebanyakan karya tulisnya berbicara dalam bidang tasawuf, tapi bidang-bidang lain juga tidak luput dari perhatiannya. Ia menulis komentar tafsir atas sejumlah surah dalam Al-Qur’an, komentar terhadap 40 hadis dan hadis-hadis yang riwayatkan oleh Abu Dzar Al-Ghifari

Karya-Karyanya

Ia menulis tentang biografi Nabi Muhammad, bukti-bukti tentang kenabiannya, tentang biografi para sufi dan pengajaran mereka tentang para penyair, raja-raja, puisi, Musik, dan tata bahasa Arab. Di antara karyanya, yang berbentuk prosa adalah Nafahat Al-Uns (hadiah-hadiah persahabatan), yang menyajikan biografi dan pengajaran para sufi. Juga Lawami’ (percikan cahaya-cahaya), yang merupakan komentar terhadap karya Ibnu Arabi.

Kendati kemasyhuran Al-Jami’ lebih bersandar pada kehadirannya sebagai penyair besar, perannya sebagai juru bicara tasawuf aliran Wahdatul Wujud, manunggaling Kawula Gusti, bersatunya Makhluk-Khalik, tidak kalah pentingnya. Satu di antara banyak masalah tasawuf yang dijelaskan oleh AL-Jami’ adalah masalah yang berkaitan dengan manusia. Menurutnya, Nafs atau jiwa manusia, sebagai unsur atau prinsip yang menghidupkan tubuh manusia, memiliki potensi untuk mencapai sejumlah tahap kesempurnaan yang berbeda. Dengan melewati tahap demi tahap, jiwa itu akan semakin dekat dan menyatu dengan Tuhan.

Tingkatan Jiwa

Jiwa pada tahap paling rendah disebut Nafs Amarat, yakni nafs yang terus menerus mendorong kepada hal-hal yang buruk dan rendah. Setelah melalui latihan spritual, jiwa meningkat menjadi Nafs Lawwamat, yakni jiwa yang mampu mencela kekurangan-kekurangan dirinya sendiri. Bila di tingkatkan lagi, jiwa itu akah sampai kepada puncak kesempurnaannya, itulah Nafs Mutmainnat, yakni jiwa yang tentram, damai, dan bahagia. Manusia yang memiliki jiwa yang sempurna itu disebut juga manusia sempurna atau Insan Kamil.

Mengenai manusia sempurna ini, Al-Jami’ sebenarnya memberikan penjelasan  yang cukup panjang. Manusia sempurna dalam kajian penganut Wahdatul Wujud bukan saja mengacu pada sejumlah kecil individu yang pernah hidup dimuka bumi ini dan memiliki jiwa yang paling sempurna namun juga mengacu pada ciptaan  Allah yang pertama, yang bersifat Spritual dan merupakan bentuk awal segenap alam semesta.

Dari banyak munajatnya yang indah kepada Allah, dia berkata, “Ya Rabbi, ya Tuhanku, jauhkanlah kami dari perbuatan menghabiskan waktu untuk perkara-perkara kecil yang tidak berguna. Tunjukkanlah kepada kami segala perkara menurut hakekatnya. Angkatlah dari batin kami selubung ketidaksadaran. Janganlah diperlihatkan kepada kami barang yang tidak nyata sebagai barang yang ada. Janganlah Kau biarkan bayang-bayang menutup batin kami, sehingga kami tidak dapat melihat keindahan-Mu. Jadikanlah bayang-bayang ini sebagai kaca yang melalui batin kami untuk menyaksikan-Mu.”

Pada bagian lain dia berkata, “Sang kekasih menyeru dari kedai minuman, datanglah lalu berilah aku anggur cinta, cawan demi cawan. Kubebaskan diriku dari belenggu logika dan nalar. Lalu kumulai meratap dan menangis untuk bersatu.”

Dalam tahun terakhirnya ia melihat visi tentang kematiannya, dan sering melantunkan bait syair berikut:

Adalah memalukan
Bahwa hari-hari berlalu tanpa kita
Bunga-bunga akan mekar dan musim semi akan tiba
Musim panas, musim dingin, dan musim semi
Akan berlalu
Dan kita pasti akan menjadi tanah dan debu.

Tahu Kematiannya

Beberapa hari sebelum kematianya, Al-Jami’ mengunjungi beberapa desa tetangganya. Sekali waktu ia pergi ke sebuah desa yang tidak diperhatikannya secara khusus, meskipun ia tinggal di sana cukup lama. Murid-muridnya yang merasa khawatir segera pergi kesana. Ia berkata kepada mereka, “Kita harus memutuskan tali Ikatan.”

Tiga hari sebelum kematiannya, ia memanggil beberapa murid dekatnya dan berkata kepada mereka, “Jadilah saksiku bahwa aku sama sekali tidak punya ikatan dengan apapun dan dengan siapa pun.”

Pada hari jumat pagi, ketika fajar menyingsing, ia merasa bahwa kematiannya akan tiba. Ia melakukan salat dan kemudian duduk melakukan dzikir. Di tengah hari ia pun wafat.

Ada sebuah kisah jenaka dituturkan mengenai saat kematian Al-Jami’.

“Para sufi yang sangat sedih mengetahui bahwa ia akan segera wafat, berkumpul di rumahnya, sebagian menangis pelan-pelan, sementara sebagian yang lain sibuk melantunkan dzikir, tetapi ada salah seorang yang membaca Al-Qur’an dengan suara keras dan mengganggu yang lain, akhirnya Al-Jami’ mengangkat kepala dan berkata, “Demi Allah aku akan mati jika engkau tidak menghentikan keributanmu!”

Sebagai seorang penulis serba bisa, ia meninggalkan warisan berupa 81 buku tentang berbagai macam pokok bahasan. Diantaranya, koleksi puisi, uraian atas karya-karya Ibnu Arabi dan Haft Aurang, sebuah koleksi tujuh kisah dalam bentuk Matsnawi, kumpulan puisi.

Dari ketujuh cerita itu yang paling terkenal adalah kisah Yusuf dan Zulaikha. Episode tentang penggodaan atas Yusuf, oleh istri majikannya yang bernama Zulaikha, menjadi kisah cinta yang sangat menyentuh.


Abdullah Al-Mubarak

Antara Cinta Asmara dan Cinta Allah
Sejak muda ia sudah bertobat dan mendapat pencerahan cahaya Ilahiah. Wali yang doanya makbul ini juga dikenal sebagai ahli hadits dan hartawan yang dermawan.

Suatu hari, anak muda itu tergila-gila kepada seorang gadis. Iapun terus menerus dirundung gundah gulana yang sangat dalam. Ia memuja dan mendambakan kekasih hatinya. Setiap detik selalu teringat si jantung hati. Suatu malam, di musim dingin, ia berdiri di bawah jendela kamar sang kekasih, menunggu sang pujaan. Ia rela berlama-lama di situ sekedar untuk menatapnya walau hanya sekejap. Butiran-butiran salju yang membasahi bajunya tak membuatnya gentar, ia tetap saja termangu sepanjang malam, menunggu si pujaan hati menampakkan parasnya.

Sesaat terdengar alunan azan yang memecah keheningan hari yang beranjak menjadi malam. Dingin dan senyap. Tapi justru saat itulah cintanya melampaui ruang dan waktu. Mengalahkan dinginnya malam. Tak terasa ia sudah berjam-jam terpaku di sana. Dan ketika terdengar lagi alunan azan membelah keheningan malam. Ia mengira waktu sudah masuk Isya, tapi beberapa saat kemudian sang surya mulai menampakkan diri, dan cahayanya memancar ke segala penjuru bumi.

Saat itulah ia baru sadar betapa ia sudah begitu terlena gara-gara mendambakan asmara. Dan tiba-tiba ia pun menyesal karena telah menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.

“Wahai putra Mubarak yang tak tahu malu! Di malam yang begitu dingin engkau dapat tegak terpaku sampai pagi hari hanya untuk memuaskan hasrat pribadimu. Tapi bila seorang imam membaca surah yang panjang, engkau malah gelisah bahkan kesal,” begitu bisik hatinya.

Maka sejak saat itu ia merasa seakan-akan telah mendapatkan cahaya Ilahi yang menyejukkan hati, dan sejak itu pula ia bertobat dan menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah SWT. Tidak ada waktu luang yang tak diisinya dengan ibadah. Suatu hari, ketika memasuki taman di sekitar rumahnya, ibunya melihat anaknya itu sedang tertidur di bawah serumpun bunga mawar, sementara seekor ular dengan bunga narkisus di mulutnya mengusir lalat yang hendak mengusik pemuda alim dan saleh itu.

Nama lengkap pemuda itu Abu Abdurrahman Abdullah bin Al-Mubarak Al-Handhali Al-Marwadhi. Ia lahir di Merv, Persia (Iran) pada 118 H / 736 M dari seorang ayah keturunan Turki dan ibu berdarah Persia. Setelah bertobat, Abdullah bin Al-Mubarak meninggalkan Merv untuk berguru pada beberapa Syekh di Baghdad dan Mekah. Beberapa tahun kemudian ia pulang kembali ke Merv, disambut oleh warga kota dengan sangat hangat. Ia memang sosok ulama yang dapat diterima oleh semua kalangan, khususnya dua kelompok yang selalu bersilang pendapat: kelompok Sunnah dan Kelomok fikih.

Di kota kelahirannya itu, ia mendirikan dua sekolah tinggi, yang satu untuk golongan Sunnah dan satu lagi untuk golongan Fikih.

Biji Kurma

Belakangan ia kembali ke Hijaz dan Mekah dan menetap untuk kedua kalinya. Di Mekah selain menunaikan ibadah haji, juga berdagang, keuntungannya selalu ia bagikan kepada para pengikutnya dan fakir miskin. Ia biasa membagi-bagikan kurma kepada orang-orang miskin dan menghitung biji kurma yang mereka makan. Mereka yang makan kurma yang paling banyak diberi hadiah satu dirham untuk setiap biji.

Al-Mubarak dikenal sebagai manusia yang selalu menjaga setiap amal perbuatannya dan selalu berusaha menjaga kesalehan.

Suatu ketika ia bepergian dari Merv ke Damaskus hanya untuk mengembalikan sepucuk pena yang ia pinjam dari sahabatnya, yang ia lupa mengembalikannya. Di lain waktu ia pergi ke masjid untuk shalat, sementara kudanya yang mahal ia tambatkan di depan masjid. Setelah shalat, kudanya hilang.

Ia pun bertanya kepada seseorang di pelataran masjid, “Apakah engkau melihat kudaku?” jawab orang itu, “Tadi kulihat kudamu menerobos ke sebidang ladang Gandum.”

Ia pun lalu meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Dalam hati ia bergumam, “Kudaku pernah mengganyang gandum di kebun orang, biarlah si kuda itu diambil si pemilik kebun sebagai pengganti dari gandum yang dimakannya.”

Pada kesempatan lain, Al-Mubarak melewati sebuah daerah yang penduduknya sudah mengenal kesalehannya. Mendengar kabar kedatangan Al-Mubarak itu warga berduyun-duyun menyambutnya. Seorang anak muda mengabarkan hal itu kepada seorang buta, “Mintalah kepadanya segala sesuatu yang engkau butuhkan.”

Si buta pun menunggu di depan rumahnya. “Beri tahu aku kalau Al-Mubarak sudah melintas di depan rumah,” katanya kepada si pemuda. Tak lama kemudian, ia mendengar langkah seseorang, “Dialah Al-Mubarak, bisik si pemuda kepada si buta.

“Wahai Al-Mubarak, berhentilah sejenak!” seru si buta. “Bisakah engkau menolongku? Berdoalah kepada Allah SWT untuk mengembalikan penglihatanku ini,” pintanya. Sejenak Al-Mubarak menundukkan kepala lalu berdoa. Beberapa saat kemudian, si buta bisa melihat kembali. “Demi Allah, aku tidak akan melupakan jasamu,” kata si buta terkaget-kaget dan tak henti-hentinya bersyukur.

Ketika bermukim di Mekah, Al-Mubarak pernah gelisah. Usai menyempurnakan ibadah haji ia kelelahan hingga tertidur lelap. Ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit dan berbincang-bincang. “Berapa orangkah yang menunaikan ibadah haji tahun ini?” tanya salah satu malaikat itu. “Enam ratus ribu orang,” jawab yang satu. “Tidak seorang pun!” jawab yang lain. Mendengar perbincangan itu, Al-Mubarak gemetar.

“Bukankah mereka telah datang dari seluruh pelosok negeri yang jauh, rela melewati lembah curam dengan susah payah, bahkan ada yang melintasi padang pasir yang panas. Tapi semua itu sia-sia?” lanjut malaikat yang satu.

“Ada seorang tukang sepatu di Damaskus bernama Ali bin Al-Muwaffiq. Ia tidak datang ke Baitullah, tapi ibadah hajinya diterima dan segala dosanya dihapuskan oleh Allah SWT,” sahut malaikat satunya. Mendengar penjelasan itu, Al-Mubarak kaget dan terjaga dari tidurnya. “Aku harus ke Damaskus menemui Ali bin Muwaffiq,” katanya dalam hati.

Keesokan harinya ia berangkat ke Damaskus. Sampai di sana ia bertanya kepada setiap orang tentang keberadaan Ali bin Al-Muwaffiq. Salah seorang penduduk menunjuk seorang tukang sepatu. Dialah Ali Al-Muwaffiq. Maka Al-Mubarak mengisahkan perihal mimpinya. Lalu ia pun mendesak agar Ali Muwaffiq menceritakan apa yang telah ia kerjakan sehingga ibadah hajinya diterima oleh Allah padahal tidak berangkat ke tanah suci.

Maka berceritalah Ali Muwaffiq.

“Telah 30 tahun lamanya aku bercita-cita menunaikan ibadah haji. Dari membuat sepatu aku berhasil menabung uang 350 dirham, aku bertekad akan ke Mekah pada tahun ini juga, kebetulan ketika itu istriku sedang mengidam dan mencium bau makanan dari rumah sebelah, ia mendesak agar aku minta makanan itu sedikit. Akupun pergi ke rumah sebelah untuk minta sedikit makanan yang baunya sedap itu.”

Tapi tetangga itu menangis. “Tiga hari lamanya anak-anakku tidak makan. Dan siang tadi aku melihat ada seekor keledai tergeletak mati, maka aku pun menyayat dagingnya sekerat, lalu memasaknya,” tuturnya lirih. Ali Muwaffiq sedih mendengar cerita itu. “Makanan ini tidak halal, tunggulah sebentar!” ujar Ali. Lalu ia mengambil tabungannya sebanyak 350 dirham itu dan menyerahkan semuanya kepada sang tetangga. “Gunakanlah uang ini untuk anak-anakmu,” pesannya.

Al-Mubarak terkesima. “Malaikat itu telah berbicara dengan sebenar-benarnya di dalam mimpiku. Dan penguasa kerajaan surga benar-benar adil dalam pertimbangan-Nya,” katanya sambil bertasbih.

***

Abdullah mempunyai seorang budak. Ada yang memberitahukan kepada Abdullah bahwa budaknya itu sering menjarah mayat dan memberikan hasil jarahannya kepada Abdullah.

Informasi ini membuat Abdullah sedih. Suatu malam ika mengikuti jejak kaki budaknya itu. Ternyata benar si budak itu berjalan menuju ke sebuah pemakaman dan melihat sebuah liang kosong. Di sana terdapat sebuah mihrab di mana budak itu mendirikan shalat. Abdullah menyaksikan semua apa yang dilakukan budaknya itu dari kejauhan. Ia perlahan mendekat. Ia melihat budaknya mengenakan pakaian yang terbuat dari karung dan memakai kerah di lehernya. Sang budak menggosok-gosokkan wajahnya ke tanah, ia meratap. Melihat hal ini, Abdullah melangkah menjauh, menangis dan duduk di sebuah sudut pemakaman itu.

Sang budak itu tetap di sana hingga fajar, kemudia ia keluar dan menutup liang kuburan itu, lalu menuju ke masjid dan berdoa disana. “Ya Allah,” pekiknya, “Pagi hari telah tiba, tuan fanaku akan meminta uang padaku. Engkaulah Yang Maha Kaya, karuniakanlah padaku dari apa yang Engkau ketahui.”

Tiba-tiba seberkas cahaya bersinar dari langit, lalu ada uang satu dirham jatuh ke tangan sang budak. Abdullah tidak sanggup melihatnya lagi, ia bangkit, lalu memeluk kepala sang budak itu dan menciuminya. Ia berkata, “Semoga seribu orang yang hidup menjadi tebusan bagi seorang budak seperti ini! Engkaulah tuan, bukan aku.”

“Ya Allah,” pekik sang budak yang menyadari apa yang telah terjadi, “Kini selubungku telah terbuka dan rahasiaku telah tersingkap, tak ada lagi ketenangan yang tersisa bagiku di dunia ini. Aku memohon kepada-Mu dengan kekuatan dan kemuliaan-Mu, jangan biarkan aku menderita karena menjadi sebab ketergelinciran. Ambillah jiwaku.”

Kepalanya masih berada dalam dekapan Abdullah saat ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Abdullah membaringkannya dan mengafaninya, kemudian menguburkannya di liang yang sama dan masih mengenakan pakaian karung yang sama.

Selain dikenal sebagai ulama, dan waliyullah, Al-Mubarak juga seorang ahli hadits yang terkemuka. Selain itu, iapun ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, antara lain sastra dan tata bahasa. Bukan hanya itu. Ia juga dikenal sebagai saudagar yang dermawan, sering memberi bantuan kepada fakir miskin. Wali yang alim ini wafat pada 181 H / 797 M di Kota Hit, Irak, sebuah kota kecil yang indah di tepi sungai Euphrat.

http://www.sufiz.com/jejak-sufi/abdullah-al-mubarak-antara-cinta-asmara-dan-cinta-allah.html

Guru Mulia Al Habib Umar Bin Hafidz BSA

DAKWAH NYA KITA DI SAMBUT OLEH HIDANGAN MAKANAN LEZAT SEMENTARA NABI KITA RASULULLAH SAW DI SAMBUT DENGAN LEMPARAN BATU ....
Suatu waktu Guru Mulia Al habib Umar bin Hafidz bin Syech Abubakar Bin Salim berdakwah di suatu negara, setibanya Beliau di negara tersebut majelis-majelis pun sangat meriah menyambut kedatangan Beliau dengan makanan yang serba enak dan lezat.
Dan ketika Beliau telah selesai menghadiri majelis, Beliau masuk kedalam mobil dan menangis. Maka bertanya mereka yg berada satu mobil didalam, mengapa Engkau menangis wahai Guru..??
Alhabib Umar bin Hafidz hanya menjawab : ''kita berdakwah disambut dengan majelis-majelis dan makanan yg serba enak dan lezat, sedang Rasulullah SAW berdakwah disambut dengan lemparan batu dari kaum kufar .


سبحانالله