Sabtu, 26 Oktober 2013

Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (Marhum Pekan)



Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah adalah Sultan ke 5 Kerajaan Siak yang juga pendiri kota Pekanbaru yang telah dirintis oleh Ayah beliau sehingga menjadi suatu pekan (pasar) yang besar dan ramai sebagai cikal bakal berdirinya Kota Pekanbaru saat ini

http://opowaela.wordpress.com/2012/11/06/komplek-makam-pendiri-kota-pekan-baru/

Sultan Maulana Hasanudin



Sultan Maulana Hasanuddin sangatlah berpengaruh dalam penyebaran Islam di Banten, karna beliau adalah seorang Sultan yg pertama kali menjadi penguasa di kerajaan Islam di Banten, beliau mendirikan Kseultanan Banten, bahkan beliau mendapatkan gelar Pangeran Sabakingking atau Seda Kikin, gelar tersebut di persembahkan dari kakeknya yaitu Prabu Surasowan pada masa itu Prabu Surasowan menjabat menjadi Bupati di Banten

Sultan Maulana Hasanuddin adalah putera dari Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati) dan Nyi Kawunganten (Putri Prabu Surasowan), beliau adalah seorang sultan yg mengerti akan ekonomi dan politik.

Prabu Surasowan wafat, namun kini pemerintahan banten di wariskan kepada anaknya, yakni Arya Surajaya (Prabu Pucuk Umun), di mana pada masa itu Arya Surajaya menganut Agama Hindu, pada pemerintahan Arya Surajaya, Syarif Hidayatullah kembali ke Cirebon atas panggilan dari kepengurusan Bupati di Cirebon, karna Pangeran Cakrabuana wafat, Lalu Syarif Hidayatullah di angkat menjadi Bupati di Cirebon sekaligus menjadi Susuhanan Jati. Sedangkan puteranya, Hasanuddin memilih menjadi Guru Agama Islam di Banten, bahkan beliau di kenal memiliki banyak Santri di wilayah Banten, lalu beliau mendapatkan gelar Syaikh menjadi Syaikh Hasanuddin.

Meskipun beliau menetap di Banten, namun beliau tetap menjenguk sang Ayah di Cirebon untuk bersilahturahmi, setelah sering bersilahturahmi, beliau mendapatkan tugas dari Ayahnya untuk meneruskan Tugas Sang Ayah yakni menyebarkan Agama Islam di Banten.

“Putraku, Hasanuddin! Kini Engkau sudah dewasa. Pengetahuan agamamu pun sudah cukup mumpuni. Saatnya pengetahuan itu kau sebarkan kepada seluruh rakyat Banten,” ujar Syekh Syarif Hidayatullah.

“Baik, Ayah,” jawab Pangeran Hasanuddin seraya berpamitan kembali ke Banten.

Setiba di Banten, Syaikh Maulana Hasanuddin melanjutkan misi dakwah ayahnya. Bersama para santrinya, beliau berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya, mulai dari Gunung Pulosari, Gunung Karang atau Gunung Lor, hingga ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon.

Pada masa pemerintahan Prabu Pucuk Umun, hubungan antara Prabu Pucuk Umun dan Sultan Maulana Hasanuddin sangatlah buruk yang tidak di pahami oleh Masyarakat, Prabu Pucuk Umun tetap bersih Kukuh untuk mempertahankan Ajaran Sunda Wiwitan (agama Hindu sebagai agama resmi di Pajajaran) di Banten, namun tidak sedemikian dengan Syaikh Maulan Hasanuddin, beliau terus melanjutkan Dakwahnya dengan Lancar.

Namun pada masa itu Prabu Pucuk Umun menantang Syaikh Maulana Hasanuddin untuk berperang, namun bukan berperang untuk duel, namun beradu Ayam, karna jika berperang secara duel akan menimbulkan korban yg banyak, itulah alasan Prabu Pucuk Umun mengapa berperang beradu ayam karna tidak ingin menimbulkan banyak korban.

“Wahai, Mualana Hasanuddin. Jika kamu ingin menyebarkan Islam di daerah Banten, kalahkan dulu ayam jagoku! Jika kamu berhasil memenangkan pertarungan ini, jabatanku sebagai Bupati Banten Girang akan kuserahkan kepadamu. Tapi ingat, jika kamu yang kalah, maka kamu harus menghentikan dakwahmu itu,” kata Prabu Pucuk Umum.

“Baiklah, kalau itu yang Prabu inginkan. Hamba menerima tantangan itu,” jawab Maulana Hasanuddin.

Prabu Pucuk Umun memilih tempat adu kesaktian Ayam di Lereng Gunung Karang, karna di anggap sebagai tempat yang netral, pada waktu yang di tentukan Kedua Pihak pun beramai-ramai mendatangi lokasi, Prabu Pucuk Umun dan Syaikh Maulana Hasanuddin tidak hanya membawa Ayam Jago saja melainkan membawa Pasukan untuk meramaikan dan menyaksikan pertarungan tersebut, bahkan pasukan satu sama lain membawa senjata, karna untuk menghadapi berbagai kemungkinan, Prabu Pucuk Umun membawa Golok yang terselip di pinggangnya dan Tombak yang di genggamnya, namun Syaikh Maulana Hasanuddin hanya membawa sebilah Keris Pusaka milik Ayahnya yakni Sunan Gunung Djati yang di warisi kepada Syaikh Maulana Hasanuddin.

Setiba di arena pertarungan, Prabu Pucuk Umun mengambil tempat di tepi utara arena dengan mengenakan pakaian hitam-hitam, rambut gondrong sampai leher, dan mengenakan ikat kepala. Sementara itu, Syaikh Maulana Hasanuddin tampak berdiri di sisi selatan arena dengan mengenakan jubah dan sorban putih di kepala.

Sebelum pertarungan dimulai, kedua ayam jago dibawa ke tengah arena. Kedua ayam jago tersebut masih berada di dalam kandang anyaman bambu. Ayam jago milik Prabu Pucuk Umun telah diberi ajian otot kawat tulang besi dan di kedua tajinya dipasangi keris berbisa. Sementara ayam milik Maulana Hasanuddin tidak dipasangi senjata apapun, tapi tubuhnya kebal terhadap senjata tajam. Ayam itu telah dimandikan dengan air sumur Masjid Agung Banten. Pada saat ayam itu dimandikan, dibacakan pula ayat-ayat suci Alquran.

Konon, ayam jago milik Maulana Hasanuddin adalah penjelmaan salah seorang pengawal sekaligus penasehatnya yang bernama Syekh Muhammad Saleh. Ia adalah murid Sunan Ampel dan tinggal di Gunung Santri di Bojonegara, Serang. Karena ketinggian ilmunya dan atas kehendak Allah, ia mengubah dirinya menjadi ayam jago.

Akhirnya pertarungan tersebut di mulai, dari kedua belah pihak saling memberikan semangat kepada jagoannya masig-masing.

Tiba-tiba ayam jago Pucuk Umun jatuh terkulai di tanah dan meregang nyawa. Rupanya ayam jago itu terkena tendangan keras ayam jago Maulana Hasanuddin. Para pendukung Pucuk Umun pun menjadi bungkam, sedangkan pendukung Syaikh Maulana Hasanuddin melompat kegirangan sambil meneriakkan:

“Allahu Akbar! Hidup Syaikh Maulana Hasanuddin! Hidup Syariat Islam!”

Akhirnya, Syaikh Maulana Hasanuddin memenangkan pertandingan adu ayam itu. Prabu Pucuk Umun pun mengaku kalah. Ia kemudian mendekati Maulana Hasanuddin untuk memberi ucapan selamat seraya menyerahkan golok dan tombaknya sebagai tanda pengakuan atas kekalahannya. Penyerahan kedua senjata pusaka juga berarti penyerahan kekuasaannya kepada Maulana Hasanuddin atas Banten Girang.

“Selamat, Maulana Hasanuddin! Sesuai dengan kesepakatan kita, maka kini engkau bebas melakukan dakwah Islam sekaligus menjadi penguasa di Banten Girang,” ujar Prabu Pucuk Umun.

Setelah itu, Prabu Pucuk Umun berpamitan. Ia bersama beberapa pengikutnya kemudian mengungsi ke Banten Selatan, tepatnya di Ujung Kulon atau ujung barat Pulau Jawa. Mereka bermukim di hulu Sungai Ciujung, di sekitar wilayah Gunung Kendeng. Atas perintah Prabu Pucuk Umun, para pengikutnya diharapkan untuk menjaga dan mengelola kawasan yang berhutan lebat itu. Konon, merekalah cikal bakal orang Kanekes yang kini dikenal sebagai suku Baduy.

Sedangkan para pengikut Prabu Pucuk Umun yang terdiri dari pendeta dan punggawa Kerajaan Pajajaran menyatakan masuk Islam di hadapan Syaikh Maulana Hasanuddin. Dengan demikian, semakin muluslah jalan bagi Syaikh Maulana Hasanuddin dalam menyebarkan dakwah Islam di Banten. Atas keberhasilan tersebut, ia kemudian diangkat oleh Sultan Demak sebagai Bupati Kadipaten Banten. Pusat pemerintahan semula di Banten Girang dipindahkan ke Banten Lor (Surosowan) yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa.

Selanjutnya, karena keberhasilannya memimpin daerah itu dengan membawa kemajuan yang pesat di berbagai bidang, Kadipaten Banten kemudian diubah menjadi negara bagian Demak atau Kesultanan Banten dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sultan pertama.

Pada tahun 1526 M Banten Pasisir berhasil direbut oleh Panglima Fadillah Khan dan pasukannya, Hasanudin diangkat menjadi Bupati Banten Pasisir, pada usia 48 tahun. Konon ketika terjadi huru hara, Hasanudin dibantu oleh beberapa pasukannya dari Banten Girang. Kelak dikemudian hari Banten Girang menggabungkan diri dengan wilayah Banten Pesisir, sehingga praktis Hasanudin menjadi penguasa Banten Pasisir dan Banten Girang. Hampir semua penduduk Banten beralih agama menganut Islam. Ia bernama nobat Panembahan Hasanudin.

Untuk memperkuat posisi pemerintahannya, Hasanudin membangun wilayah tersebut sebagai pusat pemerintahan dan administratif. Ia pun mendirikan istana yang megah yang didberi nama Keraton Surasowan, mengambil nama kakeknya (Surasowan) yang sangat menyayanginya. Nama Keraton tersebut akhirnya berkembang menjadi nama kerajaan. Berita ini diabadikan didalam prasasti tembaga berhuruf Arab yang dibuat oleh Sultan Abdul Nazar (1671-1687), nama resmi kerajaan Islam di Banten adalah Negeri Surasowan.

Pada tahun 1568 M Susuhunan Jati Wafat, kemudian Penembahan Hasanuddin memproklamirkan Surasowan sebagai Negara yang merdeka, lepas dan kekuasaan Cirebon. Panembahan Hasanuddin menikah dengan puteri Indrapura, kemudian memperoleh putera, bernama Maulana Yusuf. Kelak Maulana Yusuf menggantikan posisinya sebagai penguasa Banten.

Selain Maulana Yusuf, Panembahan Hasanudin dari istrinya yang kedua, yakni Ratu Ayu Kirana (puteri sulung Raden Patah Sultan Demak) yang juga sering disebut Ratu Mas Purnamasidi, Panembahan Hasanudin memperoleh putera, diantaranya Ratu Winahon, kelak menjadi isteri Tubagus Angke Bupati Jayakarta (Jakarta), dan Pangeran Arya, yang diangkat anak oleh bibinya, Ratu Kalinyamat, kemudian ia dikenal sebagai Pangeran Jepara.

Kini Banten telah di akui di berbagai wilayah bahkan sampai ke daerah eropa maupun asia, banten juga sempat di sebut sebagai Amsterdam karna banten adalah pusat perdangan terbesar, banten juga terkenal akan kebudayaannya yang mencolok classic sangat mengundang para tamu untuk melihatnya.

Teruslah mengetahui sejarah Perkembangan Banten, karna melewati Sejarah, anak cucu kita pasti akan Bangga dengan kerja Keras para Pahlawan di Banten.

http://wong-serang.blogspot.com/p/biografi-sultan-maulana-hasanudin.html

Sultan Malikul Dhahir



Sultan Malikul Dhahir adalah anak pertama dari Sultan Malikussaleh yang mengambil alih pimpinan Kerajaan Samudera Pasai dari tahun 1297-1326 M.Batu nisan terbuat dari granit, terpahat surat At-Taubah Ayat 21-22 serta terdapat teks yang terjemahan: “Kubur ini kepunyaan tuan yang mulia, yang syahid bernama Sultan Malik Adh-Dhahir, cahaya dunia dan sinar agama. Muhammad bin Malik Al-Saleh, wafat malam Ahad 12 zulhijjah tahun 726 H (19 Nopember 1326 M)
AL-MALIK AZH-ZHAHIR MUHAMMAD atau Sultan Muhammad, lebih dikenal dengan sebutan Sultan Malikul Zhahir, dimakamkan di sisi ayahnya, Al-Malik Ash-Shalih atau Sultan Malikussaleh, di Desa Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara.

Putra pertama Sultan Malikussaleh ini wafat 726 Hjriah atau 1326 Masehi. Pada nisam makan Al-Malik Azh-Zhahir Muhammad sebelah kepala (utara) terdapat ukiran kaligrafi ayat Al-Qur’an Surah At-Taubah: 21-22.

“Ayat ini menerangkan tentang rahmat, keridhaan, syurga serta kesenangan yang kekal bagi orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta,” kata Taqiyuddin Muhammad, peneliti sejarah dan kebudayaan Islam dari Central Information for Samudra Pasai Heritage (CISAH) kepada ATJEHPOSTcom, pekan lalu.

Terukirnya ayat tersebut pada nisan Sultan Al-Malik Azh-Zhahir Muhammad, kata Taqiyuddin, merupakan suatu pengungkapan bahwa sultan yang juga bergelar dengan “Syamsuddunya waddin” atau Matahari Dunia dan Agama ini adalah seorang yang telah berperan besar dalam menyebarkan Islam sebagaimana ayahnya, Sultan Al-Malik Ash-Shalih.

“Ia dan ayanya adalah peletak fondasi yang kukuh bagi Kerajaan Islam Samudra Pasai (Syammuthrah/Sumatera). Masa pemerintahan keduanya merupakan periode terpenting dalam sejarah Islam di Asia Tenggara,” ujar Taqiyuddin.

Berikut terjemahan inskripsi ayat Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 21-22 pada nisan Al-Malik Azh-Zhahir:

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhaan dan syurga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal. Sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar. Maha benar Allah Yang Maha Agung”

GELAR MATAHARI DUNIA DAN ISLAM

SULTAN AL-ARIFEEN SYEIKH ISMAIL



Nama sebenar ialah Sultan Al-Arifin Syeikh Ismail Ibn Saiyid Abdul Qadir ibn Saiyid Abdul Jabbar (r.a). Beliau adalah keturunan ke 18 Rasullullah (S.A.W). Sultan Al-Ariffin Syeikh Ismail r.a dilahirkan pada 17 Rabiulawal tahun 867H bersamaan 1463M di Baghdad.
Bapanya bernama As-Saiyid As-Syeikh Abdul Qadir serta ibunya bernama Sayyidah Fatimah. Moyang beliau Sultan Al-Awliya’ Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani, seorang Wali Allah yang sangat mashyur di seluruh dunia. Beliau juga dikenali sebagai Wali Lanang di Kepulauan Melayu.
Menurut riwayat, sewaktu ke Madinah menziarahi Makam Nabi, beliau telah mendengar satu suara yang menyuruh beliau mengembangkan ajaran Islam ke Kepulauan Jawa.
Beliau kemudiannya mengembara dan akhirnya tiba di Pulau Besar bersama-sama 16 orang sahabat pada tahun 1495M bersamaan 900H antaranya guru beliau Syeikh Yusuf As-Sidiq serta saudaranya Saiyid Ibrahim r.a. Di Pulau Besar ajaran Islam berkembang luas dan beliau mempunyai pengikut yang sangat ramai di seluruh Kepulauan Melayu termasuk India, Samudera Pasai, Champa dan Kelantan. Antara murid beliau yang sangat masyhur ialah Raden Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) serta Raden Paku (Sunan Giri).

Sultan Al-Arifin Syeikh Ismail r.a meninggal dunia pada 17 Rabiulawal tahun 925H ketika berusia 58 tahun serta dikebumikan di sini. Makam ini juga menjadi tumpuan utama pengunjung di Pulau Besar bagi menghargai jasa dan sumbangan besar Allahyarham ketika mengembangkan agama Islam di seluruh Kepulauan Melayu

SULTAN ABDURRASYID DAN TOMENGGONG RONGGO SOERIA KASOEMA



Sultan Abdurrasyid yang pernah menjadi Sultan di Negeri Solok (Sulu) Mindanau Filipina yang menggantikan kakek beliau yang bernama Datuk Mahareja Malela. Datuk Maharaja Malela (Maharaja Lela?) mempunyai anak yang bernama Puteri Fatimah bersuamikan seorang saudagar dari Negeri Magribi yang bernama Sayid Abdullah Al Qadri Al Idrus Al Habsyi Al Magribi, mempunyai 3 orang anak yang bernama : (1) Abdurrasyid, (2) Mariang (Maring?), dan (3) Muharram. Setelah mempunyai anak 3 orang tersebut Sayid Abdullah Al Qadri Al Idrus Al Habsyi Al Magribi pulang kembali ke Negeri Magribi.
Setelah Maharaja Malela meninggal dunia kedudukan beliau digantikan oleh Abdurrasyid sebagai cucu pertama. Sebagai umat Islam Sultan Abdurrasyid berkeinginan menunaikan rukun Islam yang kelima dan niat tersebut dilaksanakan beliau yang pada waktu itu keberangkatan berhaji ke Mekah menggunakan kapal laut. Namun di tengah perjalanan kapal yang ditumpangi beliau terkena badai besar, dan setelah lama terombang ambing di lautan akhirnya terdampar di pinggiran Sungai Barito yang menjadi bagian wilayah Bandarmasih. Situs bekas kapal Sultan Abdurrasyid di daerah Lupak Kabupaten Batola masih ada sampai sekarang.
Di Bandarmasih (Banjarmasin sekarang) beliau bertemu jodoh dengan seorang wanita bernama Galuh Noerijah alias Katijah binti penghulu putih Abdurrahman bin Kiai Warja Wijaya. Selama kepergian Sultan Abdurrasyid ke Mekah telah diamanahkan beliau bahwa untuk sementara kerajaan diserahkan kepada adik beliau Datuk Mariang yang kemudian menurut kabar dari keturunan Datuk Mariang inilah yang memerintah di Solok Mindanau Filipina. Sedangkan saudara beliau Datuk Muharram memancarkan keturunan di Kutai.

Dari perkawinan mendapatkan 4 (bukan 5) orang anak yaitu :
1.      ABU BAKAR
2.      KHALIFAH MUKSIN
3.      GALUH SYARIAH
4.      KIAI RANGGA KESUMA

 
Kiai Rangga Kesuma mempunyai empat turunan a.l :
1.      BAYAN AJI
2.      RADEN RONGGO
3.      KIAI MUSA
4.      KIAI PANJANG

BAYAN AJI mempunyai keturunan berjumlah 7 (tujuh) yaitu :
1.      HM NORMAS
2.      UNG DIBAB (M JAFRI)
3.      GALUH RAHMAH
4.      GALUH AMNAH (AMINAH)
5.      H. HAMID
6.      HM SAID (CORONG) (DATU M. SAID PANDAN SARI LUPAK KAB. BATOLA) Tahun 1800 M s/d 1905 M
7.      RONGGO ABDURRAHMAN (RONGGO SOERIA KASOEMA)

Tidak banyak cerita mengenai Ronggo Soeria Kasoema. Namun menurut berita dari surat kabar terbitan Semarang De Locomotief tanggal 19 Mei 1877 disebutkan bahwa Toemenggoeng Soeria Kasoema boleh memakai gelar Radhen karena telah diangkat menjadi Ronggo van de afdeeling Bandjermassin. Juga pada tahun 1885 Eisenberger menemukan naskah UUSA (Undang-undang Sultan Adam) yang disimpan dalam arsip Kantor Residen Banjarmasin yang ditulis oleh Tumenggung Soeri Ronggo (Tomenggong Ronggo Soeria Kasoema) tahun 1885.

Sumber :  MASYARAKAT PEDULI SITUS BERSEJARAH MAKAM TOMENGGONG RONGGO SOERIA KASOEMA

http://opinibanjarmasin.blogspot.com/2011/11/sejarah-sultan-abdurrasyid-dan-ronggo.html