Jumat, 18 Oktober 2013

AL HABIB MUHAMMAD BIN SYECH BIN YAHYA

( KANG AYIP MUH - Jagasatru Cirebon )


Suatu hari, rumah Habib ‘Alwi Al Habsyi, ayah Habib Anis Al Habsyi (Solo), di datangi Habib Syekh Cirebon atau yang akrab disapa “Abah Syekh”. Habib ‘Alwi menyambut dengan hangat, seorang santri kemudian disuruh untuk menyiapkan jamuan. Entah mengapa selama membawa dan menyiapkan jamuan, santri tersebut menundukkan kepala. Si santri rupanya mengenal baik tamu itu dan berharap tamu itu tidak sampai mengenalinya.

Setelah berbincang ringan dan saling bertukar kabar, Abah Syekh kemudian menjelaskan maksud kedatangannya, Beliau ingin menjenguk putranya. Habib ‘Alwi tampak heran, karena ia tak tahu ada putra Abah Syekh nyantri di sini. Kemudian Habib ‘Alwi bertanya siapa yang dimaksud. Dengan tenang Abah menjawab, “itu yang sedang menuangkan air”, ini putraku. Tentunya Habib ‘Alwi terkejut ternyata santri yang hampir dua tahun mengerjakan tugas rumahnya Habib ‘Alwi ternyata putra Habib Syekh, ‘Ulama besar Cirebon. Padahal jika ditanya putra siapa, sang santri tadi menjawab aku putra “ ’Abdullah si tukang air ”, tentunya sang santri tidak mau berbohong dan identitasnya diketahui karena dulu Ayah beliau “Abdullah : Hamba Allah” sempat berdagang air ketika menimba ilmu dan menetap di Makkah. Begitulah kebiasaan Habib Muhammad bin Yahya supaya perlakuannya disamakan dengan santri lainnya. Setelah latar belakangnya terungkap kemudian ia meminta izin ke Habib ‘Alwi untuk berguru di tempat lain.

Menyamar merupakan kebiasaan dalam menuntut ilmu sewaktu muda sebagai sifat mujahadahnya bahkan setelah beliau menjadi ‘ulama besar di Cirebon. Pernah suatu saat “Kang Ayip Muh” sapaan akrab orang Cirebon, mengunjungi salah satu cucu keponakannya yang sedang kuliah di Malang. Beliau minta pada cucu nya untuk mengantar keliling kampung untuk berkunjung ke Kyai setempat, tanpa ragu dan segan Kang Ayip Muh mendatangi mereka layaknya orang biasa yang minta dido’akan, dinasehati, bahkan beliau duduk sangat khusyu mendengarkan wejangan dari Kyai yang beliau temui. Dan di saat pamitan, beliau dengan tawadhu’ nya mencium tangan sang Kyai bolak-balik, demikianlah ke Tawadhu’an beliau. Tentunya sang cucu bingung meliat kejadian ini, sebelum berangkat ia dipesan untuk tidak komentar dan hanya mengantar saja.

Beliau pun sering memakai nama samaran jika masuk rumah sakit di Cirebon ketika sakit, karena tidak ingin merepotkan dan di perlakukan khusus di sana. Bahkan keluarga beliau sampai tidak tahu tentang hal ini, sampai tidak jarang beliau “menghilang” beberapa hari, sampai keluarganya harus mencari di setiap rumah sakit untuk mencarinya.

‘Abdul Qodir, demikianlah Ayah beliau memberikan nama sewaktu kecil, saat lahir 15 Juli 1932. Namun seorang sahabat, Habib ‘Abdullah Asseggaf, ayah Habib Sholeh Asseggaf Kebon Syarif Cirebon, malah menamainya “Muhammad”, dan Abah Syekh menerimanya. Dalam rujukan kitab nasab ‘Alawiyyin namanya tertera sebagai Muhammad ‘Abdul Qodir.

Kang Ayip Muh kecil memang anak yang cerdik sewaktu kecilnya, senang bercanda, dan pandai membuat suasana gembira. Namun beliau lebih mementingkan urusan belajarnya, sehingga beliau terkenal dengan kesukaannya berburu ilmu. Sambil menekuni berguru kepada ayahnya sendiri, beliau awali dengan pendidikan formalnya di MI Persatuan Umat Islam hingga kelas 3, kemudian dilanjutkan ke Jami’iyyah Ta’limiyyah atau Madrasah Darul Hikam sekarang. Selepas dari sana kemudian dilanjutkan mondok ke Kyai Sanusi di Pesantren Babakan Ciwaringin. Selain nyantri beliau juga rajin mendatangi ulama untk menimba ilmu dari mereka. Diantaranya Habib Ahmad bin Ismail bin Yahya Arjawinangun, Kyai Idris Pesantren Kempek, Kyai Ridhwan Pesantren Buntet, Pesantren Benda, dan Pesantren Galagamba.

Saking gemarnya berburu ilmu sampai-sampai ilmu kanuraggan pun beliau pelajari, tidak main-main beliau berguru ke Kyai Tarmidji Kebon Gedang, salah satu Kyai Cirebon yang terkenal ilmu kanuranggan dan kesaktiannya. Namun keahlian yang pernah dipelajari ini tidak pernah beliau tampakkan. Lalu pendidikannya beliau lanjukan ke Jakarta di Jami’at Khoir, lembaga pendidikan terkemuka saat itu, dan beliau juga sempatkan mengaji ke Habib Salim bin Jindan, semua ulama pun beliau datangi untuk sekedar bertabarruq dan meminta ijazah. Setelah di Jakarta beliau melanjutkan mondoknya ke Jawa Tengah tepatnya di Ponpes Kaliwungu asuhan Kyai Ru’yat, sambil melanjutkan pendidikan SLTP di Semarang, kemudian melanjutkan SLTA nya ke Solo dan mukim dan mengaji dengan Habib ‘Alwi Al Habsyi selama 2 tahun. Kemudian dilanjutkan ke Ponpes Jamsaren di Solo asuhan Kyai Abu Ammar.

Setelah berkelana di jawa tengah, pemuda yang haus ilmu ini lanjutkan mondoknya di Jawa Timur. Di awali masuk ke Ponpes Darul Hadist dan belajar kepada Habib ‘Abdul Qodir bin Ahmad Bilfagih. Setiap kali mondok beliau selalu memanfaatkan waktu untuk belajar, dan bukan hanya belajar di Kyai pengasuh pesantren saja, beliau sempat pesankan, “Lamon mondok sing akeh gurune” atau kata lain, kalo belajar harus punya banyak guru. Pendidikan formalnya bahkakn berlanjut hingga tingkat akademi jurnalistik, Yogya, tapi setiap kali beliau ditanya mengenai perihal itu, dengan entengnya beliau katakan “semuanya hilang”.

Pada akhirnya beliau kembali ke tanah Cirebon untuk berkhidmat ke Ponpes Jagastru, beliau juga menimba ilmu kembali ke sang Ayah, abah Syekh yang telah lama menimba ilmu di tanah suci, tentunya dengan bingkai birrul walidain. Kecintaan akan ilmu tak trehenti sampai di situ bukan hanya pergi ke Kyai sepuh, beliau juga sempatkan menimba ilmu ke teman sejawat beliau, guru sekaligus teman seperjuangan Habib Sholeh Asseggaf.

Sejak kecil kang Ayip Muh senang mengajak teman-temannya untuk mengaji, di waktu yang sama ketikan masa kolonial beliau tidak tega melihat penderitaan, beliau sempatkan memberi bantuan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi. Ya, kedua sifat inilah yang selalu melekkat dalam pribadi beliau, pertama, berdakwah, menyampaikan ilmu, dan bertutur bijak kepada masyarakat luas. Kedua, berpikir, berbuat, dan menebar manfaat dengan penuh rasa ikhlas.

Dalam berdakwah semua orang tahu, beliau orang yang tegas. Sampai beliau pernah difitnah dan di bui dan tentunya dengan menerima berbagai deraan. Sampai kaki beliau diikat ke atas sementara kepalanya menggantung ke bawah. Di saat yang sama kepala beliau dihajar dengan dengan batang senapan sampai berdarah, sampai kemudian tali penggantungnya putus, sehingga kepalanya terbentur keras di lantai. Aneh bin ajaib tidak keluar suara apapun dari mulut beliau yang menadakan kesakitan, pas sudah sadar, beliau pun ditanya oleh kawan-kawannya yang juga turut di siksa, “tadi sakit kang..?”. Beliau katakan, “tidak, Alhamdulillah pas saya tadi dipukuli saya tidur pulas, makannya saya tak merasakan apa-apa, emang tadi bagaimana..?” beliau malah tanya balik. Mendengar jawab itu, kawan-kawannya keheranan bukan main.

Konon singkat cerita orang-orang yang dulunya menganiaya beliau, setelah mereka taubat dan pensiun, malah datang ngaji ke beliau, dan diterima dengan baik seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Beliau maafkan dan melupakan kejadian itu dan tak menceritakan ke orang lain sewaktu beliau hidup. Pola pikirnya selalu dilandaskan dengan prasangka baik, membuat ulama yang berjiwa besar ini menjadi panutan yang menghargai perbedaan dan tak suka menyalahkan upaya dakwah pihak lain. Bahkan kepada pemabuk pun beliau masih berakhlak, beliau awalnya mengingatkan kalau mabuk yang teratur janagn di sudut jalan, jangan meminta paksa ke jamaah yang berkunjung, sampai beliau pun sempatkan member uang ke mereka, “nih untuk kalian”. Dengan kemuliaan hati, banyak diantara mereka yang sadar dan kembali ke jalan yang benar. Pesan beliau “Orangnya jangan dibenci tapi bencilah perbuatannya, setiap kondisi harus dipilah berdasarkan kondisi dan porsinya”. Jangan heran waktu itu di Tahun 2003 Cirebon bergejolak Kang Ayip Muh, langsung turun memimpin ribuan warga dan santrinya untuk mendesak pemerintah setempat untuk mengesahkan RUU Anti Miras dan Perjudian, akhirnya Alhamdulillah tuntutan itu dipenuhi.

Sehari – hari Kang Ayip hampir tidak punya waktu luang untuk urusan pribadi, maklum karena banyak warga Cirebon dan sekitar nya berebut meminta beliau ceramah, menikahkan, atau hanya sekedar hadir di acara tertentu. Sebelum azan subuh, sudah ada tamu yang menjemputnya, pulang saat menjelang dhuhur, siangnya ada yang menjemput lagi, setelah rehat sebentar beliau lannjutkan sholat ashar, setelahnya mengajari santrinya, setelah itu sudah banyak tamu yang menunggu di beranda pesantren untuk bersilaturahim, beliau buang jauh rasa penat dan lelah, dengan selalu ceria dihadapan para tamu, antara maghrib dan isya beliau mengajar santrinya kembali, stelah sholat isya lagi-lagi sudah ada yang menjemputnya di teras rumah. Seringkali jarak yang ditempuh sangat jauh, sampai beliau sering pulang larut malam, tak sempat bertukar baju beliau sudah terlanjur tidur.

Hari-hari Kang Ayip bukan hanya sibuk, tapi berkah, bayangkan selain mengurusi pesantren, menjadi Ketua MUI kodya Cirebon selama dua periode, sudah hamper semua tamu bisa mengambil berkah, bertemu dengan beliau. Namun dibalik kacamata beliau, terlihat mata yang agak merah berair seperti ada masalah besar yang beliau pikirkan atau rasakan, namun beliau pendam dalam-dalam. Sesekali air matanya tertetes ketika mengajar, membuat uraiannya terhenti sejenak. Di luar itu, bukan hanya sesekali orang mendapati beliau menangis di keheningan malam ditempat yang sunyi, sendirian. Di belakang rumah, di balik pepohonan, di pinggir sungai dekat pesantren, dan di tempat lainnya. Bahkan malam sebelum Tsunami di Aceh, seorang muridnya mendapati beliau tengah menagis seorang diri, di sisi patai Pulau Jawa yang sepi. Ketika ditanya, beliau justru minta untuk jangan dilanjutkan pertanyaan itu, dan diminta untuk meniggalkan dirinya. Esoknya, entah ada hubungannya atau tidak, terjadilah bencana Tsunami terbesar yang memilukan itu.

Potret kehidupan Kang Ayip adalah cerminan akhlakul karimah dan contoh yang baik, dibalut kesederhanaan dan ketawwadhuan, banyak orang dekat yang mendengar langsung kisah beliau, tapi minta jangan disebarkan, kecuali sudah wafat. Rupanya beliau inginkan orang lain bisa memetik hikmah dari kisahnya, namun risih jika orang lain menganggapnya lebih. Jarang beliau mengenakan imamah layaknya yang seperti kita lihat, kecuali di saat beliau mengisi majelis Ahad Pagi, Kajian Tafsir Jalalain. Beliau selalu tampil bersahaja, zuhud dan wara’ dalam urusan dunia, ucapannya selalu ditunggu orang, dalam berbagai kesempatan, ketika mengajar, ceramah, diskusi berat dan lain sebagainya, kata-kata beliau selalu melekat di pribadi masing-masing yang mendengarkannya, bahkan bercanda nya pun sarat makna, jika disimak dengan baik. Pernah di waktu santai bersama keluarga, beliau minta di pijat, di sela obrolannya beliau pesankan “Saya malu orang lain saya ajari tapi anak sendiri tidak”. Rumah beliau tak pernah sepi dari tamu, bahkan dari luar negeri, semua kalangan nusantara. Ada sisi lain dari Kang Ayip, beliau selalu fasih berbahasa tergantung tamu yang datang, arab, sunda, jawa, melayu, bahkan inggris. Beliau juga tidak segan duduk ngobrol ngopi bersama tukan becak, buruh kasar, tukang sayur, dan lainnya, cara beliau berinteraksi sangat memukau di semua kalangan sampai yang mereka rasakan adalah dirinya teramat diperhatikan dan dekat dengan Kang Ayip.

Meski tak berminat di bidang politik, tapi beliau tak menjauhi mereka, beliau menerima kalau mereka sowan ke kediaman beliau dengan baik. Di mata Kang Ayip semuanya semata lahan dakwah, tak ada yang lain, ia sangat menghargai perbedaan, sampai jika ada pihak yang berselisih paham, bertikai dan sebagainya pertemuan itu harus diadakan di Jagastru, kediaman beliau. Sempat terjadi konflik di area keraton Cirebon, dan Kang Ayip lah yang membantu manjadi penengahnya, kharisma beliau begitu kuat, sampai akhirnya mereka sepakat untuk Islah, berdamai. Begitu banyak sifat dan kepribadian beliau jika kita ungkap atau tulis semuanya, menggambarkan beliau secara total mengikuti datuknya Sayyidina Muhammad Saw., total dalam berdakwah dan maslahat bagi umat.

Beberapa tahun terakhir dalam kehidupan Kang Ayip, keluarga sebenarnya sudah mengetahui bahwa beliau mengidap penyakit dalam, namun mereka sepakat untuk tidak mencemaskan di hadapan beliau, selanjutnya perjalanan hidup beliau di dunia ini terhenti, Selasa menjelang Maghrib 26 Desember 2006 tepat di tanggal peristiwa Tsunami, Jagat Cirebon seakan kelabu dan bergetar, Kang Ayip Muh wafat. Dalam waktu yang singkat, awan kesedihan menggelayuti Cirebon dan sekitarnya, kabar ini terhitung mengejutkan karena beberapa hari sebelumnya kesehatan beliau terpantau sehat, Ahad sebelumnya masih mengisi Ta’lim seperti biasa, siang nya masih menghadiri acara dari parpol Islam, bahkan sorenya masih menerima tamu.

Saat berbincang dengan tamu di bangku teras rumahnya, beliau izin pamit sebentar untuk menunaikan sholat ashar, mereka paham kalau sedang sholat memakan waktu yang lama, namun kala itu lain dari biasanya, hingga salah seorang menantunya masuk ke kamar beliau untuk membawakan teh hangat ke beliau. Namun di saat itulah didapati tubuh Kang Ayip sudah tak bergerak sama sekali. Beliau wafat dengan posisi duduk tahiyyat akhir dengan telunjuk masih menghadap ke Ka’bah. Pertanda seorang hamba yang total dengan kesaksian bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah Ta’ala. Allah juga yang menetapkan waktu istirahat panjangnya kepada Kang Ayip setelah sekian lama berjuang di jalan – Nya. Sejenak kemudian Ponpes Jagastaru berubah menjadi lautan manusia, setelah dimandikan dan di sholati sekitar jam 21.00 WIB, ribuan penta’ziyah silih berganti mensholati beliau sampai pagi harinya. Rabu siang iringan manusia mengantarkan beliau seperti lautan manusia, belum lagi warga yang berdiri di sepanjang jalan penuh dengan kesedihan, meneteslah air mata dengan tanpa sengaja, mengingat kemuliaan beliau sewaktu hidupnya. Ini sama dengan kejadian dulu waktu wafatnya Abah Syekh, hampir sama. Sesuai dengan pepatah “Ma fil aba fil abna” seperti halnya seorang ayah, demikian pula anaknya. Suasana pemakaman di Jabang Bayi Cirebon tidak jauh berbeda, sejak pagi ribuan jamaah mendatangi lokasi itu, meraka tak sabar untuk mengantar Kang Ayip untuk terakhir kalinya, semua elemen bangsa turut hadir, dan mngamankan prosesi pemakaman. Pagi itu Cirebon menangis, mentari seolah tak berani menampakkan keceriannya, hilang sudah sosok yang selalu memperhatikan umat, membimbing dan meneladani setiap ahlakul karimah. Sesuai amanah beliau, Kang Ayip dimakamkan di samping makam Abahnya, seperti yang kita ketahui pemakaman Jabang Bayi adalah pemakaman umum, beliau di akhir hayatnya pun ingin selalu dekat dengan rakyat biasa ia cintai, tanda kesejukan dan kesederhanaan begitu juga makam beliau, layaknya makam orang biasa, inilah Totalitas Seorang Hamba.


Al Habib Muhammad bin Idrus Bin Syech Abu Bakar Bin Salim

Penuh Karya di Usia Muda
“Jangan pernah berbangga-bangga dengan ibadah.... Tidak ada satu tempat pun di langit keempat kecuali telah digunakan oleh Iblis untuk ibadah, tapi karena satu kedurhakaannya, yakni kesombongannya, dia dicampakkan oleh Allah ke dalam neraka Jahannam.”

Di Jalan Sawo Kecik Raya, Jakarta Selatan, di kediaman Habib Abu Bakar Sidiq, yang tidak jauh dari kediaman Habib Umar bin Al-Walid Abdurrahaman bin Ahmad Assegaf, wartawan alKisah menemui tokoh muda yang menjadi figur kita pada edisi kali ini.

Ketika keluar dari kamarnya, terlihat pembawaannya tenang, tutur katanya teratur, tidak menggebu-gebu, di saat mengutarakan apa yang hendak ia sampaikan, dan raut wajahnya kalem, menunjukkan kealiman pribadinya. Demikianlah kesan pertama yang kami rasakan.
Belum lagi kesan itu hilang, tiba-tiba kami kembali dibuat kagum. Habib Abu Bakar Sidiq, sang kakak, seorang dokter, yang begitu akomodatif menyambut kedatangan alKisah, dari ruang belakang membawakan setumpuk naskah kitab yang hendak naik cetak, buah karya sang adik.
Tidak sabar, setelah mendapatkan izin, kami pun mengambil satu buah kitab, di antara tumpukan kitab yang tebal-tebal itu, dan membuka-buka beberapa lembar. Kebetulan lembar-lembar yang kami buka adalah biografi singkat sang penulis, yang tidak lain adalah Habib Muhammad Bin Syech Abu Bakar Bin Salim.
Dalam biografi singkat itu tertera kitab-kitab yang telah ditulis dan disusun oleh Habib Muhammad sendiri, antara lain Al-Awrad As-Salafiyyah min Anfas as-Sadah al-``Alawiyyah, AlFiyah al-Fawaid Mustafadah min Majalis al-Habib al-`Allamah al-`Arif Billah Zain bin Ibrahim bin Smith al-`Alawi al-Husaini, Kanz as-Sa`adah fi Ad`iyyah Ahlh al-`Ibadah, Al-Asna fi Ma`ani wa Khawash Asma' Allah al-Husna, Bagaimanakah Cara Menunaikan Ibadah Haji dan Umrah: Kitab Penjabaran Tata Cara Menunaikan Ibadah Haji dan Umrah Menurut Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i ra Hasil dari Rangkumam Pelajaran Al-Habib Al-'Allamah Zein bin Ibrahim bin Zein Bin Smith Ba 'Alawi, Fath al-Mu`in al-Mughits fi `Ilm al-Mawarits, Fiqh al-`Ibadat li Ahl al-Bidayah min ath-Thalibin wa ath-Thalibat, Kitab al-`Inayat fi Bayan Ahkam al-Mu`amalat, Kitab al-`Inayat al-Fawaid wa al-Arbah al-Mustafadah min al-Abwab an-Nikah, Miftah as-Sarair, wa Kanz ad-Dakhair, Mutiara Islami dalam Pernikahan, Mutiara Islami dalam Majelis Habib Zein bin Smith Ba`alawi, Marhaban ya Ramadhan, At-Taj al-Akbar fi Tarjamah as-Sayyid asy-Syarif Sayyidi al-`Arif Billah `Abdullah bin `Umar Bin Asy-Syaikh Fakhr al-Wujud Abu Bakr, An-Nashaih al-Ijtima`iyyah ila Jami` as-Sadah al-`Alawiyyah min al-`Allamah Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith Ba`alawi wa As-Sayyid Muhammad bin Idrus bin Abdullah Bin Syaikh Abu Bakar bin Salim, Nafahat Ar-Rahman fi Ad`iyyah Khatm al-Qur'an, 325 Qishshah min Nawadir ash-Shalihin wa Majalis as-Samirin Mustafadah min Majalis al-Habib al-`Allamah al-`Arif Billah Zain bin Ibrahim bin Smith al-`Alawi al-Husaini.


Diposkan oleh Majlis Arrahman


Al Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi

Ayah bagi Fakir Miskin dan Anak Yatim

Dia peduli pada nasib fakir miskin dan anak yatim. Itu sebabnya ia dijuluki sebagai ayah anak yatim dan fakir miskin.

Sebagian kaum muslimin di Jawa Timur, khususnya di Surabaya, tentu mengenal Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi, yang mukim di Surabaya pada pertengahan abad ke-20 silam. Ia adalah seorang habib dan ulama besar, yang wafat di Surabaya pada malam Rabu, 12 Rabi’ul Akhir 1337 H /1917 M. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Ampel Gubah, Kompleks Masjid Ampel, Surabaya.
Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi lebih dikenal sebagai ulama yang mencintai fakir miskin dan anak yatim. Itu sebabnya kaum muslimin menjulukinya sebagai “bapak kaum fakir miskin dan anak yatim.” Semasa hidupnya ia rajin berdakwah ke beberapa daerah. Dalam perjalanan dakwahnya, ia tak pernah menginap di hotel melainkan bermalam di rumah salah seorang habib.
Hampir setiap hari banyak tamu yang bertandang ke rumahnya, sebagian dari mereka datang dari luar kota. Ia selalu menyambut mereka dengan senang hati dan ramah. Jika tamunya tidak mampu, ia selalu mempersilakannya menginap di rumahnya, bahkan memberinya ongkos pulang disertai beberapa hadiah untuk keluarganya.
Ia juga memelihara sejumlah anak yatim yang ia perlakukan seperti halnya anak sendiri. Itu sebabnya mereka menganggap Habib Muhammad sebagai ayah kandung mereka sendiri. Tidak hanya memberi mereka tempat tidur, pakaian dan makanan, setelah dewasa pun mereka dinikahkan.
Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi lahir di kota Khala’ Rasyid, Hadramaut, Yaman Selatan, pada 1265 H atau 1845 M. Sejak kecil ia diasuh oleh pamannya, Habib Shaleh bin Muhammad Al-Habsyi. Ayahandanya, Habib Idrus bin Muhammad Alhabsyi, berdakwah ke Indonesia dan wafat pada 1919 M di Jatiwangi, Majalengka. Sedangkan ibunya, Syaikhah Sulumah binti Salim bin Sa’ad bin Smeer.
Seperti hanya para ulama yang lain, di masa mudanya Habib Muhammad juga rajin menuntut ilmu agama hingga sangat memahami dan menguasainya. Beberapa ilmu agama yang ia kuasai, antara lain, tafsir, hadits dan fiqih. Menurut Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi, seorang ulama terkemuka, “Sesungguhnya orang-orang Hadramaut pergi ke Indonesia untuk bekerja dan mencari harta, tetapi putra kami Muhammad bin Idrus Al-Habsyi bekerja untuk dakwah Islamiyyah dalam rangka mencapai ash-shidqiyyah al-kubra, maqam tertinggi di kalangan para waliyullah.”
Ketika menunaikan ibadah haji ke Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah, ia sekalian menuntut ilmu kepada beberapa ulama besar di Al-Haramain alias dua kota suci tersebut. Salah seorang di antara para ulama besar yang menjadi gurunya adalah Habib Husain bin Muhammad Al-Habsyi.
Banyak kalangan mengenal Habib Muhammad sebagai ulama yang berakhlak mulia, dan sangat dermawan. Ia begitu ramah dan penuh kasih sayang, sehingga siapa pun yang sempat duduk di sampingnya merasa dirinyalah yang paling dicintai. Ia selalu tersenyum, tutur katanya lemah lembut. Itu semua tiada lain karena ia berusaha meneladani akhlaq mulia Rasulullah SAW.
Tak heran jika masyarakat di sekitar rumahnya, bahkan juga hampir di seluruh Surabaya, sangat mencintai, hormat dan segan kepadanya. Ia juga dikenal sebagai juru damai. Setiap kali timbul perbedaan pendapat, konflik, pertikaian di antara dua orang atau dua fihak, ia selalu tampil mencari jalan keluar dan mendamaikannya. Sesulit dan sebesar apa pun ia selalu dapat menyelesaikannya.
Sebagai dermawan, ia juga dikenal gemar membangun tampat ibadah. Ia, misalnya, banyak membantu pembangunan beberapa masjid di Purwakarta (Jawa Tengah) dan Jombang (Jawa Timur). Dialah pula yang pertama kali merintis penyelenggaraan haul para waliyullah dan shalihin. Untuk pertama kalinya, ia menggelar haul Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad di Tegal, Jawa Tengah. Ia juga merintis kebiasaan berziarah ke makam para awliya dan shalihin.
Menjelang wafatnya, ia menyampaikan wasiat, ”Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu ingat kepada Allah SWT. Semoga Allah SWT menganugerahkan keberkahan kepada kalian dalam menegakkan agama terhadap istri, anak dan para pembantu rumah tanggamu. Hati-hatilah, jangan menganggap remeh masalah ini, karena seseorang kadang-kadang mendapat musibah dan gangguan disebabkan oleh orang-orang di bawah tanggungannya, yaitu isteri, anak, dan pembantu. Sebab, dia adalah pemegang kendali rumah tangga.”


Al Habib Muhammad bin Husein Ba’abud

Pembuka Pesantren di Lawang

Habib Muhammad, begitu ia biasa disapa, dikenal sebagai guru para Habib di daerah Malang dan sekitarnya. Beliaulah yang yang mendirikan pesantren Darun Nasyiien pada tahun 1940.


Semua orang pasti mengenal Pesantren Darun Nasyiien yang didirikannya di Lawang, Malang. Pondok Pesantren ini adalah pesantren kaum habaib yang pertama di Indonesia. Kalaupun sudah banyak lembaga pendidikan para habib yang berdiri sebelumnya, biasanya hanya berbentuk madrasah, bukan pesantren.

Sudah tak terhitung lagi banyaknya alumnus Darun Nasyiien yang menjadi ulama di seluruh Indonesia. Rata-rata mereka selalu mengibarkan bendera Ahlussunnah Wal Jamaah ala Thariqah Alawiyin di tempat mereka berada.

Nama Habib Muhammad bin Husein bin Ali Ba’abud juga tak pernah hilang dari hati kaum muslimin kota Malang sampai saat ini. Masa Kecil di Surabaya Habib Muhammad bin Husein dilahirkan di daerah Ampel Masjid Surabaya. Tepatnya di sebuah rumah keluarga, sekitar 20 meter dari Masjid Ampel, pada malam Rabu 9 Dzulhijjah 1327 H.

Menurut cerita ayahandanya (Habib Husein), saat akan melahirkan, ibunda beliau (Syarifah Ni’mah) mengalami kesukaran hingga membuatnya pingsan. Habib Husein bergegas mendatangi rumah Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya.

Habib Abu Bakar lalu memberikan air untuk diminumkan pada istrinya. Tak lama sesudah diminumkannya air tersebut, dengan kekuasaan Allah, Syarifah Ni’mah melahirkan dengan selamat. Habib Abu Bakar berpesan untuk dilaksanakan aqiqah dengan dua ekor kambing, diiringi pesan agar tidak usah mengundang seseorang pada waktu walimah, kecuali sanak keluarga Syarifah Ni’mah.Acara walimah tersebut dihadiri Habib Abu Bakar. Beliau pulalah yang memberi nama Muhammad, disertai pembacaan do’a-do’a dan Fatihah.

Saat berumur 7 tahun, Habib Muhammad berkhitan. Setelah dikhitan, Habib Husein memasukkan putranya itu ke Madrasah al-Mu’allim Abdullah al-Maskati al-Kabir, sesuai dengan isyarat dari Habib Abu Bakar. Akan tetapi anaknya merasa tidak mendapat banyak dari madrasah tersebut. Tidak lama setelah belajar, Habib Husein memasukkannya ke Madrasah Al-Khairiyah, juga di kawasan Ampel.

Pelajaran di Madrasah Al-Khoiriyah waktu itu juga tidak seperti yang diharapkan, disebabkan tidak adanya kemampuan yang cukup dari para pengajarnya. Habib Muhammad pun merasa kurang mendapat pelajaran. Tapi setelah berada di kelas empat, terbukalah mata hatinya, terutama setelah datangnya para tenaga pengajar dari Tarim-Hadramaut.

Di antara para guru itu adalah Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfaqih dan Habib Hasan bin Abdulloh al-Kaf. Juga terdapat guru-guru lain yang mempunyai kemampuan cukup, seperti Habib Abdurrohman bin Nahsan bin Syahab, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor. Habib Muhammad merasakan futuh, barakah dan manfaat dari do’a-do’a Habib Muhammad al-Muhdlor di dalam majelis rouhah (pengajian)-nya.

Di tengah masa belajar itu beliau seringkali menggantikan para gurunya mengajar, bilamana mereka berudzur datang. Sampai akhirnya nasib baik itu datang padanya setelah menempuh pendidikan hampir enam tahun lamanya. Pada akhir tahun pendidikan, para pelajar yang lulus menerima ijazah kelulusan. Ijazah itu dibagikan langsung oleh Habib Muhammad al-Muhdlor.

Ternyata Habib Muhammad menempati peringkat pertama, dari seluruh pelajar yang lulus waktu itu. Bersamaan dengan itu, Habib Muhammad al-Muhdlor menghadiahkan sebuah jam kantong merk Sima kepadanya. Kebahagiaan semakin bertambah ketika Habib Muhammad al-Muhdlor mengusap-usap kepala dan dadanya sambil terus mendo’akannya.

Dalam waktu bersamaan, Habib Agil bin Ahmad bin Agil (pengurus madrasah) memberitahukan bahwa Habib Muhammad pada tahun itu akan diangkat menjadi guru di Madrasah Al-Khoiriyah, tempatnya belajar selama ini. Disamping mengajar pagi dan sore di Madrasah Al-Khoiriyah, Habib Muhammad juga banyak memberikan ceramah agama di berbagai tempat. Ia juga rajin menerjemahkan ceramah-ceramah para mubaligh Islam yang datang dari luar negeri, seperti Syeikh Abdul Alim ash-Shiddiqi dari India, dsb.

Adapun guru-gurunya yang lain di Madrasah Khairiyah adalah Habib Husein bin Ali Ba’abud, Habib Ali bin Ahmad Babgey, Syekh Abdullah bin Muhammad Ba-Mazru, Sayid Abdurrahman Binahsan bin Syihab, Habib Hasan bin Abdullah Al-Kaf, Sayid Jafar bin Zeid Aidid dan lain-lain.

Pada tahun 1348 H, tepatnya Kamis sore 22 Robi’utsani, ayahanda beliau menikahkannya dengan Syarifah Aisyah binti Sayid Husein bin Muhammad Bilfaqih. Bertindak sebagai wali nikah adalah saudara kandung istrinya, Saiyid Syeikh bin Husein Bilfaqih yang telah mewakilkan aqad kepada Qodli Arab di Surabaya masa itu, yaitu Habib Ahmad bin Hasan bin Smith. Walimatul ursy di rumah istrinya, Nyamplungan Gg IV Surabaya.

Pernikahannya dengan Syarifah Aisyah mengaruniainya enam putra dan delapan putri. Mereka adalah Syifa’, Muznah, Ali, Khodijah, Sidah, Hasyim, Fathimah, Abdulloh, Abdurrahman, Alwi, Maryam, Alwiyah, Nur dan Ibrahim.

Pada bulan Jumadil Akhir 1359 H bertepatan dengan Juli 1940, Habib Muhammad beserta keluarganya pindah ke Lawang, Malang. Di kota kecamatan inilah beliau mendirikan madrasah dan pondok pesantren Darun Nasyiien, yang pembukaan resminya jatuh pada bulan Rojab 1359 H (5 Agustus 1940 M). Pembukaan pondok pertama kali itupun mendapat perhatian yang luar biasa dari masyarakat dan ulama tanah Jawa. Bahkan sebagian sengaja datang dari luar Jawa.

Setelah beberapa bulan setelah tinggal di Lawang, ayahanda dari Surabaya (Habib Husein) turut pindah ke Lawang dan tinggal bersamanya. Ketika penjajah Jepang datang, Habib Muhammad sempat berpindah-pindah tinggal. Mulai dari Karangploso, Simping, hingga Bambangan, yang kesemuanya masih di sekitar Lawang.

Kegiatan mengajarnya juga sempat berhenti sekitar 17 hari, karena Jepang pada waktu itu memerintahkan untuk menutup seluruh madrasah dan sekolah di seluruh daerah jajahannya. Ketika Belanda datang kembali untuk menjajah yang kedua kalinya, terpaksa madrasah ditutup lagi selama tiga bulan, mengingat keamanan yang dirasa membahayakan pada waktu itu.

Barulah sejak 1 April 1951, Habib Muhammad sekeluarga kembali ke Jl. Pandowo sampai akhir hayatnya. Tepatnya di rumah nomor 20, yang di belakangnya terdapat pondok pesantren, beserta kamar-kamar santri, musholla Baitur Rohmah dan ruang-ruang kelas yang cukup baik. Saat itu yang dipercaya sebagai panitia pembangunan sekaligus arsitekturnya adalah putra sulung beliau, Habib Ali bin Muhammad Ba’abud.

Banyak orang shalih yang telah berkunjung ke rumah dan Pondok Darun Nasyiien, diantara mereka adalah Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (Jakarta), Habib Zein bin Abdillah bin Muhsin Alattas (Bogor), Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul), Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi (Solo), Habib Alwi bin Abdillah Al-Habsyi (Kalimantan), Habib Husein bin Abdillah Al-Hamid (Tuban), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Probolinggo), Habib Abdullah bin Umar Alaydrus (Surabaya), Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (Jeddah), Habib Salim bin Abdillah Assyathiri (Tarim), Sayid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki (Mekkah) dan masih banyak lagi habaib serta ulama dari berbagai daerah untuk bersilaturahim.

Habib Muhammad berpulang ke rahmatullah pada hari Rabu pukul 10.20 tanggal 18 Dzulhijjah 1413 h, bertepatan dengan 9 Juni 1993. Jenazah almarhum diantar oleh banyak orang ke pemakaman Bambangan, Lawang dan dimakamkan berdampingan dengan sang ayahanda dan kakak beliau. Rohimahullohu rohmatal abror. Wa askannahul jannata darul qoror. Tajri min tahtihal anhar. Aamiin ya Allohu ya Ghofuru ya Ghoffar.

Diposkan oleh Majlis Arrahman



AL HABIB MUHAMMAD BIN HASAN BIN AHMAD AIDID

mempunyai perangai yang terpuji dan mulia juga ilmuwan serta kewalian yang tak mungkin tertulis karena keluasan ilmunya.

Lahir pada malam berkah tanggal 25 Ramadhan tahun 1290 H. di Wadi Aidid, Tarim. Ketika dilahirkan ayahnya berada di Masjid Maula Aidid sedang menghadiri Khatamul Qur'an. Setelah mendengar kelahiran puteranya orang-orang serentak malam itu memukul gendang karena mendengar kabar gembira tersebut. Walaupun ayahnya mempunyai mata yang rabun, tapi beliau sangat gembira dalam hal ini.

Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mendapat pengasuhan serta pendidikan dari ayahnya, ayahnya sangat memperhatikan tarbiyah kepadanya, sehingga ayahnya banyak dirumah. Ketika berumur 6 tahun, selalu diajak ayahnya duduk di Masjid atau i'tikaf dan jika menemui salah seorang salihin, ayahnya menyuruh cium tangan kepada orang salihin tersebut dan meminta doanya. Begitulah yang sering dilakukan ayahnya terhadapnya, sampai beliau sakit dan akhirnya wafat. Ayahnya wafat tahun 1297 H., sedangkan Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid belum genap berumur 7 tahun.

Kemudian ibunya meneruskan pendidikan Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mengirimnya belajar pada Syekh Abdurahman bin Muhammad bin Sulaiman Bahami di tempatnya Syekh Kutub Abdullah bin Abubakar Alaydrus hingga selesai mempelajari Al-Qur'an. Setelah menanjak dewasa beliau keluar Hadramaut untuk mencari rezeki, bertemu, duduk dan mengambil ilmu dengan ulama-ulama besar khususnya di daerah Jawa, diantaranya Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi, Al-Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad, Al-Habib Muhammad bin Aqil bin Abdullah bin Umar bin yahya dan saudaranya Umar bin Agil bin Yahya, Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Husein bin Tahir serta banyak lagi dari ulama-ulama lainnya. Di Tarim diantaranya  Al-Habib Abdurahman bin Muhammad Almasyhur yang disebutkan didalam Tuhfatul Mustafid, bahwasanya Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mengambil ilmu darinya, selalu bersamanya, menshohibnya (menemaninya), menghadiri pelajaran-pelajaran dan majelis-majelisnya.

Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mempunyai hubungan erat dengan Al-Alamah Al-Habib Umar bin Hasan bin Abdullah Alhaddad karena sering berkunjung ke Al-Hawi, Tarim dan belajar bermacam-macam ilmu kepadanya sehingga mendapat ijazah darinya. Juga mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa sayyid yang mempunyai keutamaan dan kewalian yang ada pada zaman itu, seperti Sayyid Al-Wali Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Alkaff, Syekh bin Idrus bin Muhammad Alaydrus, Muhammad bin Ibrahim bin Idrus Bilfaqih, Muhammad bin Abdullah bin Umar bin yahya, Husein bin Umar bin Sahal Maula Dawilah.

Pada awal bulan Muharram tahun 1304 H. Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mengadakan perjalanan dengan ijin dari guru-gurunya menuju Jawa, sehingga beliau banyak menimba ilmu pada saat berada di Jawa dari ulama-ulama ketika itu. Kemudian awal tahun 1309 H. beliau kembali kenegeri asalnya melalui kota Aden, dan menetap di kota Tarim bersama para ulama-ulama zaman itu seperti Assayyid Al-Alamah Abdurahman bin Muhammad bin Husein Almasyhur hingga wafatnya Assayyid Abdurahman Almasyhur tahun 1320 H.
Setelah wafatnya Assayyid Abdurahman Almasyhur, beliau berkunjung kedaerah Du'an. Dan di daerah Du'an beliau banyak mengambil ilmu dari guru-guru yang ada di daerah Du'an hingga beliau kembali ke Tarim pada bulan Rajab tahun 1320 H.

Kemudian kembali ke Hadhramaut dan menetap guna memperbanyak ibadah, berkunjung kepada para salihin atau tempat-tempat yang berkah dan majelis-majelis. Akhir umurnya beliau tinggal di Hadhramaut, mendukung ahli dakwah dalam penyebarannya dan terkadang mengumpulkan mereka dan semua orang terutama ketika terjadi kesusahan, kekeringan untuk membaca hadits Bukhori. Kemudian mengkhususkan bacaan tersebut pada bulan Ramadhan dan 6 hari dibulan Syawwal dan mengkhatamkannya dengan dihadiri pemimpin negeri, ulama-ulama dan orang banyak.
Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mulai sakit tanggal 21 Muharram 1361 H. hingga wafat pada hari Sabtu 28 Muharram 1361 H. dan dikuburkan pada hari Minggu di Zanbal, Tarim di sholati oleh Al-Habib Abdullah bin Umar bin Ahmad Assyatiri.

Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid orang yang kasyaf dan mempunyai karomah serta nampak sesuatu pada dirinya faedah-faedah, berita keajaiban dan kelembutannya diantara keajaibannya adalah, tatkala beliau sakit diatas kasur, beliau mengatakan akan waktu meninggalnya, akan banjir di Tarim yang akan mencapai ketinggian sekian. Beliau memberi wasiat agar dimandikan dengan air tersebut karena air tersebut adalah air kautsar. Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid sering mengingat air kautsar. Sehingga beliau selalu menyuruh orang yang duduk disekelilingnya agar selalu membaca : " Allahu Nurussamaawaati wal ardh........sampai akhir ayat " , mulai saat itu beliau tidak mau minum dan makan kecuali susu. Al-Habib Muhammad bin Hasan meninggal pada waktu ia tentukan. Itu semua atas ketentuan Allah. Beliau dimandikan dengan air tersebut. Allah merahmatinya dengan rahmat orang yang dekat dengan Allah. Ditempatkan di Surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai dan semoga Allah memberikan kepada kita manfaatnya dan orang-orang yang sepertinya dari orang-orang yang saleh. Amin.

Sumber: himpunan-aidid.org 


Diposkan oleh ANDRI WIJAYA 


http://shoeap.blogspot.com/2010/09/al-habib-muhammad-bin-hasan-bin-ahmad.html

AL HABIB MUHAMMAD BIN HADI ASSEGAF

(1291H-1382H) adalah seorang alim lagi arif. Beliau telah mendidik ribuan murid yang kebanyakan menjadi ulama ahli fiqih. Dalam mendidik murid-muridnya, beliau banyak memberikan nasihat-nasihat yang dikemas dalam kisah-kisah yang penuh hikmah. Beliau menyadari bahawa bagaimanapun sulitnya pengertian yang hendak ditanamkan, tetapi kalau dituturkan dalam format kisah-kisah ringan akan jauh lebih mudah dicerna.

Kisah-kisah ini oleh Habib Muhammad bin Hadi disampaikan kepada para muridnya agar mereka lebih rajin menuntut ilmu, giat dalam beramal dan bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allah.

Mutiara Nasihat Beliau

Belajar, Bekerja Atau Beribadah

Setiap orang hendaknya menekuni jalan hidup yang ditetapkan Allah kepadanya.

Siapa yang ditetapkan Allah menjadi penuntut ilmu, hendaknya ia bersungguh-sungguh menuntut ilmu, mengulang-ulang pelajaran dan hafalannya, kemudian mengamalkan ilmunya.

Siapa yang ditetapkan Allah untuk mencari rezeki, hendaknya ia ridho dan bersungguh-sungguh dalam mengelola usahanya.

Begitulah, setiap orang hendaknya ridho dan mensyukuri apa yang telah ditentukan Allah baginya sehingga ia dapat mencapai derajat orang-orang yang sempurna. Penulis Zubad berkata:

Yang benar, kamu bersikukuh pada ketentuan Allah,
hingga Allah memindahkanmu darinya.

Ibnu Atha Illah berkata dalam Al-Hikam:

Keinginanmu untuk ber-tajrid*, padahal Allah meletakkanmu pada asbab** merupakan syahwat yang tersembunyi. Keinginanmu untuk mencari asbab padahal Allah meletakkanmu dalam tajrid akan menurunkanmu dari derajat yang tinggi. (II:72)

Catatan kaki:
* tajrid: mencurahkan semua perhatian, tenaga dan
waktu hanya untuk beribadah kepada Alloh.
** asbab: semua kemudahan (fasilitas) dan sarana
untuk memperoleh kenikmatan duniawi.

Sedekah

Selidikilah, adakah di antara saudara, kerabat atau tetangga kalian yang membutuhkan bantuan. Bagaimana kalian bisa mendapatkan rahmat Allah kalau kalian tidak mengasihi orang-orang miskin!

Kalian hendaknya memiliki rasa belas kasih, karena madad tak akan bisa diperoleh, kecuali dengan sikap kasih. Kasih sayang ini merupakan amalan
hati. Kakekku, Segaf bin Muhammad selalu mengamati keadaan orang-orang miskin dan tetangganya, padahal beliau sendiri adalah seorang yang miskin.

Beliau pernah berpesan kepada para pedagang di pasar, “Jika ada anjing lapar yang lewat, berilah korma. Kemudian catatlah korma-korma itu sebagai
hutangku.”

Perbuatan Habib Segaf ini sesungguhnya digerakkan oleh kasih sayang yang ditanamkan Allah ke dalam hatinya.

Kasihilah orang-orang yang miskin dan orang-orang yang membutuhkan bantuan, senangkanlah hati mereka.

Rasulullah SAW suatu hari berdoa, “Ya Allah kumpulkanlah aku ke dalam kelompok orang-orang miskin.” (HR Turmudzi dan Ibnu Majah) Beliau tidak
mengatakan, “Ya Allah, kumpulkanlah orang-orang miskin ke dalam kelompokku.”

Habib Segaf, jika duduk bersama orang-orang miskin, ia berkata, “Di hari kiamat nanti, janganlah kalian lupa kepadaku, karena di saat itu kalian memiliki kekuasaan.” (II: 48)

Ummul Mukminin Aisyah RA bersedekah sebutir anggur.
“Sedekah macam apa ini?” tegur seseorang yang kebetulan melihat.
“Tidak pernahkah kalian mendengar firman Allah: Barang siapa berbuat kebaikan sebesar atom pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (QS Al-Zalzalah, 99:7) Berapa banyak atom yang terdapat dalam sebutir anggur?”

Allah berfirman, “Hendaklah orang-orang yang dilapangkan rezekinya memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS At-Tholaq, 65:7)

Dipetik dari:

(Tuhfatul Asyraf, Kisah dan Hikmah dalam kalam Habib Muhammad bin Hadi Asseqaf, Putera Riyadi)

Diposkan oleh ANDRI WIJAYA


AL HABIB MUHAMMAD BIN ALWI SYAHAB

SHOHIBUL FADHILAH Usianya masih terbilang muda, namun Sayid Muhammad bin Alwy Syahab ini gigih berdakwah di kawasan Jakarta Selatan. Majelis Taklim Wat Tadzkir Al Yusrain yang dipimpinnya banyak diikuti oleh kalangan anak muda

Putra ketujuh dari 9 bersaudara Habib Alwy Syahab ini dilahirkan di Palembang 19 Maret 1981. Usianya memang terbilang masih muda, namun Sayid Muhammad ini hampir selama lima tahun terakhir ini membina Majelis Taklim Al-Yusrain Cabang Jakarta Selatan dan sekaligus menjadi wakil ketua umum Majelis Taklim Wat Tadzkir Al Yusrain. Hampir sudah lima tahun terakhir ini ia mengelola majelis taklim yang banyak diikuti oleh anak-anak muda di kawasan Jakarta Selatan.

Tantangannya berdakwah di Jakarta Selatan, selalu ada. Apalagi area Jakarta Selatan mulai dari Buncit, Pomad, Manggarai, Buncit, Duren Tiga, Kalibata, Pejaten, Kebagusan, Depok. “Tantangan orang sekarang sebenarnya hanya sebatas di omongan saja. Ibaratnya tantangan itu hanya mau menjatuhkan semangat untuk berdakwah. Tapi itu justru semakin memicu atau cambukan semangat hati saya untuk berdakwah,” katanya.

Dicontohkan, kalau majelis taklim di Jakarta ini tergantung dari jumlah jamaahnya di mana kalau jamaahnya lebih ramai atau banyak, itu yang disukai oleh jamaah. Tapi baginya, majelis taklim yang dikelola sebenarnya lebih menekankan untuk bertaklim dan bertadkir mengenai ilmu. ”Ini dimaksudkan agar tidak saja mendapatkan ilmu saja, tapi juga bisa bermanfaat bagi kehidupan di dunia dan akhirat.”


Jadwal Majelis Taklim Wat Tadzkir di cabang Jakarta Selatan sebenarnya berlangsung harian dan berpindah-pindah tempat dimulai tiap habis shalat Isya. Adapun materi pelajarannya meliputi tafsir, tarikh, fiqh, tasawuf. Kitab yang dipakai diantaranya mengkaji kitab Al-Anwarul Muhammadiyah (karya As-Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani), As-Syifa (karya Imam Qadhi Iyadh) dan lain-lain. Setiap minggu seluruh jamaah di kumpulkan di Jl H Samali Kalibata, Jakarta Selatan dengan membaca wirid Dalailul Khairaat. Khusus di bulan Maulid, majelisnya mengadakan 100 hari peringatan maulid yang digelar sejak pertengahan bulan Maret yang lalu dan diperkirakan akan berakhir pada 29 Juni 2007 mendatang.

Pendidikan agama dari Sayid Muhammad selain diperoleh dari kedua orang tuanya sejak kecil. Ia kemudian masuk ke sekolah Madrasah Ibtidaiyah Adabiyah, Delapan Ilir, Palembang dan lulus pada tahun 1992. Selain sekolah di pendidikan umum, ia juga masuk ke sekolah diniyah pada madrasah yang sama, yang banyak memuat pendidikan agama Islam pada sore harinya.


Selama masih sekolah diniyah ia juga memperdalam ilmu agama pada ulama-ulama yang ada di Palembang. Salah satunya adalah dengan mengikuti taklim dari Habib Umar bin Abdul Aziz, Habib Novel Al-Kaff, Habib Umar bin Syahab. ”Yang paling berkesan dari Habib Umar bin Abdullah Syahab adalah pesannya kepada saya yakni untuk mengejar tujuan hidup.’Kejarlah tujuan hidup itu dunia dan akhirat’.”

Karena itulah, ia banyak belajar dengan sungguh dan sekolah Tsanawiyah dan SMA di tamatkan di Palembang. Ia juga bertaklim pada sahabat terdekat dari Habib Umar bin Abdullah Syahab yakni Habib Muhammad bin Abdullah Al-Habsyi di rumahnya. Ia menyempatkan selama tiga hari dalam satu minggu belajar mulai dari fiqh (safinatul najah), tarikh, tasawuf, dan lain-lain.

Setelah dirasa cukup menimba ilmu agama di Palembang, pada saat itu sebenarnya ia mengalami kebimbangan, akan masuk ke akademis (universitas atau mahad). Ia kemudian bertanya kepada gurunya yakni Habib Muhammad Al-Habsyi. Ternyata Sayid Muhammad mendapat dukungan penuh untuk meneruskan ke mahad (Pesantren) Darul Hadits, Malang, Jawa Timur.


Ia kemudian masuk Darul Hadits mulai tahun 1998 sampai 2002 di bawah bimbigan Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfagih. Selepas dari Darul Hadits, ia sempat mau melanjutkan ke Hadramaut. Kebetulan, adiknya sedang menempuh pendidikan taklim di Darul Musthofa, Tarim Hadramaut. Maka sebelum berangkat ke Hadramaut, ia sempat bertanya pada adik yang ada di Hadramaut untuk bisa dilihat bagaimana masa depan pendidikannya di sana.

Sang adik, Syarifah Aluya kemudian bertanya kepada Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwy bin Idrus bin Syahab.Ternyata Mufti Hadramaut sekarang itu bukan memberikan jawaban, tapi langsung memberi ijazah dan imamah yang biasa didapat di taklim Darul Musthofa. Habib Abdullah bin Muhammad Syahab kemudian berpesan:

”Bilang kepada kakak kamu. tak usah ke Hadramaut lagi. Cukup taklim di Indonesia dan mulailah berdakwah’.”

Setelah mendapat pesan dari sang adik, Sayid Muhammad Syahab kemudian pada tahun 2002 itu juga ke Jakarta dan bertemu dengan salah seorang gurunya di Palembang sekaligus mursyid dan murobby beliau yakni Habib Muhammad Rafiq bin Luqman Al-Kaff Gathmyr.




AL HABIB MUHAMMAD BIN ALWI AL MALIKI

Sayyid Prof. Dr. Muhammad ibn Sayyid ‘Alawi ibn Sayyid ‘Abbas ibn Sayyid ‘Abdul ‘Aziz al-Maliki al-Hasani al-Makki al-Asy’ari asy-Syadzili (1365-1425 H / - 2004M)

lahir di Makkah pada tahun 1365 H. Pendidikan pertamanya adalah Madrasah Al-Falah, Makkah, dimana ayah beliau Sayyid Alawi bin Abbas al Maliki sebagai guru agama di sekolah tersebut yang juga merangkap sebagai pengajar di halaqah di Haram Makki, dekat Bab As-salam
Ayah beliau, Sayyid Alwi bin Abbas Almaliki (kelahiran Makkah th 1328H), seorang alim ulama terkenal dan ternama di kota Makkah. Disamping aktif dalam berdawah baik di Masjidil Haram atau di kota kota lainnya yang berdekatan dengan kota Makkah seperti Thoif, Jeddah dll, Sayyid Alwi Almaliki adalah seorang alim ulama yang pertama kali memberikan ceramah di radio Saudi setelah salat Jumat dengan judul "Hadist al-Jumah". Begitu pula ayah beliau adalah seorang Qadhi yang selalu di panggil masyarakat Makkah jika ada perayaan pernikahan.
Selama menjalankan tugas da'wah, Sayyid Alwi bin Abbas Almaiki selalu membawa kedua putranya Muhammad dan Abbas. Mereka berdua selalu mendampinginya kemana saja ia pergi dan berceramah baik di Makkah atau di luar kota Makkah. Adapun yang meneruskan perjalanan dakwah setelah wafat beliau adalah Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki dan Sayyid Abbas selalu berurusan dengan kemaslahatan kehidupan ayahnya.
Sebagaimana adat para Sadah dan Asyraf ahli Makkah, Sayyid Alwi Almaliki selalu menggunakan pakaian yang berlainan dengan ulama yang berada di sekitarnya. Beliau selalu mengenakan jubbah, serban (imamah) dan burdah atau rida yang biasa digunakan dan dikenakan Asyraf Makkah.
Setelah wafat Sayyid Alwi Almaiki, anaknya Sayyid Muhammad tampil sebagai penerus ayahnya. Dan sebelumnya ia selalu mendapatkan sedikit kesulitan karena ia merasa belum siap untuk menjadi pengganti ayahnya. Maka langkah pertama yang diambil adalah ia melanjutkan studi dan ta'limnya terlebih dahulu. Beliau berangkat ke Kairo dan Universitas al-Azhar Assyarif merupakan pilihanya. Setelah meraih S1, S2 dan S3 dalam fak Hadith dan Ushuluddin beliau kembali ke Makkah untuk melanjutkan perjalanan yang telah di tempuh sang ayah. Disamping mengajar di Masjidi Haram di halaqah, beliau diangkat sebagai dosen di Universitas King Abdul Aziz- Jeddah dan Univesitas Ummul Qura Makkah bagian ilmu Hadith dan Usuluddin. Cukup lama beliau menjalankan tugasnya sebagai dosen di dua Universiatas tsb, sampai beliau memutuskan mengundurkan diri dan memilih mengajar di Masjidil Haram sambil menggarap untuk membuka majlis ta'lim dan pondok di rumah beliau.
Adapun pelajaran yang di berikan baik di masjid haram atau di rumah beliau tidak berpoin kepada ilmu tertentu seperti di Universitas. Akan tetapi semua pelajaran yang diberikannya bisa di terima semua masyarakat baik masyarakat awam atau terpelajar, semua bisa menerima dan semua bisa mencicipi apa yang diberikan Sayyid Maliki. Maka dari itu beliau selalu menitik-beratkan untuk membuat rumah yang lebih besar dan bisa menampung lebih dari 500 murid per hari yang biasa dilakukan selepas sholat Maghrib sampai Isya di rumahnya di Hay al Rashifah. Begitu pula setiap bulan Ramadan dan hari raya beliau selalu menerima semua tamu dan muridnya dengan tangan terbuka tanpa memilih golongan atau derajat. Semua di sisinya sama tamu-tamu dan murid murid, semua mendapat penghargaan yang sama dan semua mencicipi ilmu bersama-sama.
Dari rumah beliau telah keluar ulama-ulama yang membawa panji Rasulallah ke suluruh pelosok permukaan bumi. Di mana negara saja kita dapatkan murid beliau, di India, Pakistan, Afrika, Eropa, Amerika, apa lagi di Asia yang merupakan sebagai orbit dahwah sayid Muhammad Almaliki, ribuan murid murid beliau yang bukan hanya menjadi kyai dan ulama akan tetapi tidak sedikit dari murid2 beliau yang masuk ke dalam pemerintahan.
Di samping pengajian dan taklim yang rutin di lakukan setiap hari pula beliau telah berusaha mendirikan pondok yang jumlah santrinya tidak sedikit, semua berdatangan dari seluruh penjuru dunia, belajar, makan, dan minum tanpa di pungut biaya sepeser pun bahkan beliau memberikan beasiswa kepada para santri sebagai uang saku. Setelah beberapa tahun belajar para santri dipulangkan ke negara-negara mereka untuk menyiarkan agama.
Sayid Muhammad Almaliki dikenal sebagai guru, pengajar dan pendidik yang tidak beraliran keras, tidak berlebih-lebihan, dan selalu menerima hiwar dengan hikmah dan mauidhah hasanah. Beliau ingin mengangkat derajat dan martabat Muslimin menjadi manusia yang berperilaku baik dalam muamalatnya kepada Allah dan kepada sesama, terhormat dalam perbuatan, tindakan serta pikiran dan perasaannya. Beliau adalah orang cerdas dan terpelajar, berani dan jujur serta adil dan cinta kasih terhadap sesama. Itulah ajaran utama Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki. Beliau selalu menerima dan menghargai pendapat orang dan menghormati orang yang tidak sealiran dengannya atau tidak searah dengan thariqahnya.
Dalam kehidupannya beliau selalu bersabar dengan orang-orang yang tidak bersependapat baik dengan pemikirannya atau dengan alirianya. Semua yang berlawanan diterima dengan sabar dan usaha menjawab dengan hikmah dan menklirkan sesuatu masalah dengan kenyataan dan dalil-dalil yang jitu bukan dengan emosi dan pertikaian yang tidak bermutu dan berkesudahan. Beliau tahu persis bahwa kelemahan Islam terdapat pada pertikaian para ulamanya dan ini memang yang di inginkan musuh Islam. Sampai-sampai beliau menerima dengan rela digeser dari kedudukannya baik di Universitas dan ta'lim beliau di masjidil Haram. Semua ini beliau terima dengan kesabaran dan keikhlasan bahkan beliau selalu menghormati orang orang yang tidak bersependapat dan sealiran dengannya, semasih mereka memiliki pandangan khilaf yang bersumber dari al-Quran dan Sunah. Adapun ulama yang telah mendapat gemblengan dari Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki, mereka pintar-pintar dan terpelajar. Di samping menguasai bahasa Arab, mereka menguasai ilmu-ilmu agama yang cukup untuk dijadikan marja' dan reference di negara-negara mereka.
Tulisan Beliau
Di samping tugas beliau sebagai da'i, pengajar, pembibing, dosen, penceramah dan segala bentuk kegiatan yang bermanfaat bagi agama, beliau pula seorang pujangga besar dan penulis unggul. Tidak kurang dari 100 buku yang telah dikarangnya, semuanya beredar di seluruh dunia. Tidak sedikit dari kitab2 beliau yang beredar telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, Prancis, Urdu, Indonesia dll.
Sayyid Muhammad merupakan seorang penulis prolifik dan telah menghasilkan hampir seratus buah kitab. Beliau telah menulis dalam pelbagai topik agama, undang-undang, social serta sejarah, dan kebanyakan bukunya dianggap sebagai rujukan utama dan perintis kepada topik yang dibicarakan dan dicadangkan sebagai buku teks di Institusi-institusi Islam di seluruh dunia. Kita sebutkan sebahagian hasilnya dalam pelbagai bidang:
Aqidah:
Mafahim Yajib an Tusahhah
Manhaj As-salaf fi Fahm An-Nusus
At-Tahzir min at-Takfir
Huwa Allah
Qul Hazihi Sabeeli
Sharh ‘Aqidat al-‘Awam
Tafsir:
Zubdat al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an
Wa Huwa bi al-Ufuq al-‘A’la
Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi ‘Ulum al-Quran
Hawl Khasa’is al-Quran
Hadith:
Al-Manhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif
Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi ‘Ilm Mustalah al-Hadith
Fadl al-Muwatta wa Inayat al-Ummah al-Islamiyyah bihi
Anwar al-Masalik fi al-Muqaranah bayn Riwayat al-Muwatta lil-Imam Malik
Sirah:
Muhammad (Sallallahu Alaihi Wasallam) al-Insan al-Kamil
Tarikh al-Hawadith wa al-Ahwal al-Nabawiyyah
‘Urf al-Ta'rif bi al-Mawlid al-Sharif
Al-Anwar al-Bahiyyah fi Isra wa M’iraj Khayr al-Bariyyah
Al-Zakha’ir al-Muhammadiyyah
Zikriyat wa Munasabat
Al-Bushra fi Manaqib al-Sayyidah Khadijah al-Kubra
Usul:
Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi Usul al-Fiqh
Sharh Manzumat al-Waraqat fi Usul al-Fiqh
Mafhum al-Tatawwur wa al-Tajdid fi al-Shari‘ah al-Islamiyyah
Fiqh:
Al-Risalah al-Islamiyyah Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha
Labbayk Allahumma Labbayk
Al-Ziyarah al-Nabawiyyah bayn al-Shar‘iyyah wa al-Bid‘iyyah
Shifa’ al-Fu’ad bi Ziyarat Khayr al-‘Ibad
Hawl al-Ihtifal bi Zikra al-Mawlid al-Nabawi al-Sharif
Al-Madh al-Nabawi bayn al-Ghuluww wa al-Ijhaf
Tasawwuf:
Shawariq al-Anwar min Ad‘iyat al-Sadah al-Akhyar
Abwab al-Faraj
Al-Mukhtar min Kalam al-Akhyar
Al-Husun al-Mani‘ah
Mukhtasar Shawariq al-Anwar
Lain-lain:
Fi Rihab al-Bayt al-Haram (Sejarah Makkah)
Al-Mustashriqun Bayn al-Insaf wa al-‘Asabiyyah (Kajian Berkaitan Orientalis)
Nazrat al-Islam ila al-Riyadah (Sukan dalam Islam)
Al-Qudwah al-Hasanah fi Manhaj al-Da‘wah ila Allah (Teknik Dawah)
Ma La ‘Aynun Ra’at (Butiran Syurga)
Nizam al-Usrah fi al-Islam (Peraturan Keluarga Islam)
Al-Muslimun Bayn al-Waqi‘ wa al-Tajribah (Muslimun, Antara Realiti dan Pengalaman)
Kashf al-Ghumma (Ganjaran Membantu Muslimin)
Al-Dawah al-Islahiyyah (Dakwah Pembaharuan)
Fi Sabil al-Huda wa al-Rashad (Koleksi Ucapan)
Sharaf al-Ummah al-Islamiyyah (Kemulian Ummah Islamiyyah)
Usul al-Tarbiyah al-Nabawiyyah (Metodologi Pendidikan Nabawi)
Nur al-Nibras fi Asanid al-Jadd al-Sayyid Abbas (Kumpulan Ijazah Datuk beliau, As-Sayyid Abbas)
Al-‘Uqud al-Lu’luiyyah fi al-Asanid al-Alawiyyah (Kumpulan Ijazah Bapa beliau, As-Sayyid Alawi)
Al-Tali‘ al-Sa‘id al-Muntakhab min al-Musalsalat wa al-Asanid (Kumpulan Ijazah)
Al-‘Iqd al-Farid al-Mukhtasar min al-Athbah wa al-Asanid (Kumpulan Ijazah)
Senarai di atas merupakan antara kitab As-Sayyid Muhammad yang telah dihasilkan dan diterbitkan. Terdapat banyak lagi kitab yang tidak disebutkan dan juga yang belum dicetak.Kita juga tidak menyebutkan banyak penghasilan turath yang telah dikaji, dan diterbitkan buat pertama kali, dengan nota kaki dan komentar dari As-Sayyid Muhammad. Secara keseluruhannya, sumbangan As-Sayyid Muhammad amat agung.Banyak hasil kerja As-Sayyid Muhammad telah diterjemahkan ke pelbagai bahasa.
Mafahim Yujibu an-Tusahhah (Konsep-konsep yang perlu diluruskan) adalah salah satu kitab karya Sayyid Muhammad, red.) bersinar layaknya suatu kemilau mutiara. Inilah seorang manusia yang menantang rekan-rekan senegaranya, kaum Salafi-Wahhabi, dan membuktikan kesalahan doktrin-doktrin mereka dengan menggunakan sumber-sumber dalil mereka.
Untuk keberanian intelektualnya ini, Sayyid Muhammad dikucilkan dan dituduh sebagai “seorang yang sesat”. Beliau pun dicekal dari kedudukannya sebagai pengajar di Haram (yaitu di Masjidil Haram, Makkah, red.). Kitab-kitab karya beliau dilarang, bahkan kedudukan beliau sebagai professor di Umm ul-Qura pun dicabut. Beliau ditangkap dan passport-nya ditahan. Namun, dalam menghadapi semua hal tersebut, Sayyid Muhammad sama sekali tidak menunjukkan kepahitan dan keluh kesah. Beliau tak pernah menggunakan akal dan intelektualitasnya dalam amarah, melainkan menyalurkannya untuk memperkuat orang lain dengan ilmu (pengetahuan) dan tasawwuf.
Pada akhir hayatnya yang berkenaan dengan adanya kejadian teroris di Saudi Arabia, beliau mendapatkan undangan dari ketua umum Masjidil Haram Syeikh sholeh bin Abdurahman Alhushen untuk mengikuti "Hiwar Fikri" di Makkah yang diadakan pada tg 5 sd 9 Dhul Q'idah 1424 H dengan judul "Al-qhuluw wal I'tidal Ruya Manhajiyyah Syamilah", di sana beliau mendapat kehormatan untuk mengeluarkan pendapatnya tentang thatarruf atau yang lebih poluler disebut ajaran yang beraliran fundamentalists atau extremist. Dan dari sana beliau telah meluncurkan sebuah buku yang sangat popular dikalangan masyarakat Saudi yang berjudul "Alqhuluw Dairah Fil Irhab Wa Ifsad Almujtama". Dari situ, mulailah pandangan dan pemikiran beliau tentang da'wah selalu mendapat sambutan dan penghargaan masyarakat luas.
Pada tg 11/11/1424, beliau mendapat kesempatan untuk memberikan ceramah di hadapan wakil raja Amir Abdullah bin Abdul Aziz yang isinya beliau selalu menggaris-bawahi akan usaha menyatukan suara ulama dan menjalin persatuan dan kesatuan da'wah.
Beliau wafat meninggalkan 6 putra, Ahmad, Abdullah, Alwi, Ali, al- Hasan dan al-Husen dan beberapa putri-putri yang tidak bisa disebut satu persatu disini .
Beliau wafat hari jumat tg 15 ramadhan 1425 dan dimakamkan di pemakaman Al-Ma'la disamping kuburan istri Rasulallah Khadijah binti Khuailid ra. Dan yang menyaksikan penguburan beliau seluruh umat muslimin yang berada di Makkah pada saat itu termasuk para pejabat, ulama, para santri yang datang dari seluruh pelosok negeri, baik dari luar Makkah atau dari luar negri. Semuanya menyaksikan hari terakhir beliau sebelum disemayamkan, semua menyaksikan janazah beliau setelah disembahyangkan di Masjidil Haram ba'da sholat isya yang dihadiri oleh tidak kurang dari sejuta manusia. Begitu pula selama tiga hari tiga malam rumahnya terbuka bagi ribuan orang yang ingin mengucapkan belasungkawa dan melakukan `aza'. Dan di hari terakhir `Aza, wakil Raja Saudi, Amir Abdullah bin Abdul Aziz dan Amir Sultan datang ke rumah beliau untuk memberikan sambutan belasungkawa dan mengucapkan selamat tinggal kepada pemimpin agama yang tidak bisa dilupakan umat.
Semoga kita bisa meneladani beliau. Aamiin.



Sumber:
http://www.almihrab.com/
http://muslimdelft.nl/titian_ilmu/biografi/assayyid_muhammad_ibn_alawi_almaliki_pembina_calon_ulama_indonesia_3.php
http://www.asyraaf.com/v2/manaqib.php?op=2&id=15
Diposkan oleh Majlis Arrahman

Qais Dan Laila (KISAH CINTA JAZIRAH ARAB )

Jika matahari tidak terbit,
Cukuplah wajah Laila menggantikan sinarnya,
Jika rembulan tidak timbul,
Kelembutan Laila sudah cukup  menyejukkan bumi.
(Syair Majnun buat Laila)

KISAH cinta Qays (putera hartawan yang budiman) -Laila (puteri bangsawan yang cantik jelita) atau lebih dikenali sebagai Laila Majnun merupakan kisah Arab Klasik Terbaik.  Menurut kajian ahli sastra Arab, kisah ini bukanlah cerita dongengan semata-mata. Watak utama cerita ini yaitu Qays bin Al Mulawwah memang benar-benar wujud pada zaman pemerintahan kerajaan Bani Umayyah. Beliau dikatakan meninggal dunia pada tahun 65 atau 68 hijrah.
Kisah Laila dan Majnun dikupas oleh Nurfaridah Rubani dengan sangat teliti dalam novel ini. Buku ini juga sangat menjaga struktur teks agar tidak menjejaskan keaslian ceritanya.  Bait syair yang terkandung dalam buku ini juga merupakan terjemahan asli daripada naskah asal  daripada Arab. Kisah cinta agung ini dimulakan dengan Syed Omri yaitu  kabilah Bani Amir di lembah Hijjaz. Beliau sangat disegani kepimpinannya. Kekayaannya melimpah ruah dan sangat besar pengaruhnya hingga ke negeri lain. Menyedari dirinya yang semakin uzur, Syed Omri sentiasa berdoa kepada Tuhan agar lekas dikurniakan cahaya mata. Beliau melakukan berbagai ikhtihar seperti doa, bermunajat, nazar dan menyedekahkan hartanya kepada fakir miskin. Allah telah perkenankan hajat Syed Omri dengan mengurniakan seorang cahaya mata. Namun tidak pula Syed Omri lupa diri malah semakin banyak pula doa dan sedekah yang diberikan. Bayi itu diberi nama Qays dan dilimpahkan kesenangan sepanjang masa.
Qays telah berguru dengan guru terbaik di seluruh kepulauan Arab. Di sekolah, Qays merupakan seorang yang cerdas dan senang bergaul dengan semua orang. Beliau gemar membantu rakan yang kesusahan. Tambahan pula, Qays memiliki wajah yang tampan. Di sekolah itulah pertama kalinya Qays terlihat seorang gadis yang sangat istimewa pada pandangan matanya iaitu Laila.  Qays juga tidak sekadar bertepuk sebelah tangan. Gadis itu sememangnya sudah lama tertarik dengan Qays  sejak kali pertama berjumpanya. Qays sering membacakan bait-bait syairnya buat Laila. Kisah percintaan mereka akhirnya sampai pada keluarga Laila. Perkara itu dikatakan amat memalukan dalam kelompok Bani Qtahibiah .  Bapa  Laila sangat marah  dan merasa sangat malu akan hal itu. Lalu, Laila dikurung di dalam rumah dan dikawal dengan sangat rapi.
Mulai detik itu, hidup Qays menjadi tidak terurus. Dadanya bagai dipenuhi dengan duka yang terus berdarah. Qays meninggalkan rumah, berjalan tidak tentu arah dan meredah hutan belantara bersama kesedihannya. Dia mengembara sambil bibirnya hanya menyebut satu nama iaitu Laila.  Dia kehilangan semangat sejak dipisahkan dengan Laila. Dia kerap berjalan dengan tidak berbaju dan melintasi setiap perkampungan sambil melontarkan bait-bait syair untuk Laila. Masyarakat memanggilnya dengan gelaran Majnun bermaksud gila. Qays benar-benar gila tanpa Laila. Nama itu terus melekat sehingga ada yang sudah lupa dengan nama sebenarnya.
Syed Omri sangat sedih melihat keadaan anaknya. Puteranya yang dahulunya cerdas dan boleh menyejukkan hatinya kini sudah berubah serta merta. Mendengar nasihat isterinya, Syed Omri  pergi meminang Laila untuk puteranya. Namun lamarannya ditolak dengan alasan, bapa Laila tidak sudi menyerahkan Laila kepada orang yang gila. Syed Omri berasa sangat terhina dan memujuk Qays agar segera melupakan Laila. Syed Omri meyediakan perlbagai makanan dan menyuruh Qays memilih mana-mana gadis cantik daripada kabilahnya untuk disunting. Namun, dia tetap memilih Laila. Qays kembali mengembara. Tinggal di dalam gua dan meredah hutan belantara sambil membacakan syair-syair buat Laila. Alam seolah-olah kasihan melihatnya. Binatang buas pun tidak sampai hati untuk meyakitinya.  Pengembara yang terjumpa Qays semasa bermusafir juga sangat kagum dengan jejaka itu. Bahkan ada yang mengatakan syair-syair Majnun adalah syair yang paling indah di jazirah Arab.
Suatu hari, seorang pemuda bernama Ibnu Salam daripada kabilah Asad telah terpandang wajah Laila semasa di taman. Lalu Ibnu Salam meminta kedua orang tuanya untuk meminang Laila dengan segera. Tidak dapat dinafikan bahawa Ibnu Salam adalah jejaka terbaik dalam kalangan Kabilah Asad. Ayah Laila dengan senang hati menerima lamaran keluarga Ibnu Salam itu. Ketika Majnun mendengar khabar pernikahan Laila dengan Ibnu Salam, Majnun sukar untuk mempercayainya. Hatinya berkecai. Apakah Laila telah melupakan Majnun? Majnun terus berteriak memanggil nama Laila dan meratap nasib cintanya. Pada masa yang sama, Laila telah berterus terang dengan Ibnu Salam tentang perasaannya yang sebenar. Mujurlah Ibnu Salam memahami dan tidak akan menyentuh Laila sehingga Laila sendiri yang akan menyerahkan cinta buatnya. Sesungguhnya perasaan Laila hanya pada Majnun. Seorang pemuda bernama Ishaq telah mencari Majnun untuk menyampaikan surat Laila buat Majnun. Laila tidak pernah melupakan Majnun.
Berita kematian Ibnu Salam sememangnya merupakan suatu perkara yang mengembirakan Laila.  Laila terpaksa berkabung dan berkurung selama dua tahun kerana mengikut budaya masyarakat kabilahnya. Di rumah Laila duduk sendirian memikirkan kehidupan. Laila berharap pertemuannya dengan Qays nanti akan mengubati kesedihannya.  Namun, Qays dikatakan telah membawa segala harapan dan angan-angan. Pudar sudah semua harapan. Tubuh Laila menjadi kurus kerana tidak mampu menanggung kesedihan. Laila tidak mahu dendam Bani Qhatibiah akan mencelakakan Qays. Tidak ada seorang pun yang mampu melawan kuasa takdir. Laila akhirnya meninggal dunia.  Zayd orang kepercayaan Laila telah berlari tanpa henti mencari Majnun. Mendengar khabar daripada Zayd, Majnun mendapat pukulan yang sangat hebat.
Majnun tersungkur dan menangis di atas pusara Laila. Banyak orang berusaha memujuknya, namun Majnun masih memeluk nisan Laila. Majnun berdoa kepada Tuhan agar disatukan Laila dengannya di Syurga.  Akhirnya, kematian menjemput Majnun di sisi pusara Laila. Kisah Laila Majnun kian tersebar di seluruh tanah Arab. Cinta Majnun dan Laila adalah cinta yang dimurnikan dengan penderitaan dunia, kelak mendapat limpahan cahaya. Inilah kuasa cinta!
Berikut kutipan sajak yang dibacakan oleh Majnun dalam kegilaannya:

“Oh, lilin jiwaku. Jangan kau siksa diriku ketika aku mengelilingimu. Kau telah memikatku, merampas tidurku, akalku juga tubuhku.”

Laila adalah cahaya malam, Majnun adalah sebatang lilin. Laila adalah keindahan, Majnun adalah kerinduan. Laila menabur benih cinta, Majnun menyiraminya dengan air mata. Laila memegang cawan cinta, Majnun berdiri mabuk oleh aromanya.

“Aku bagaikan orang yang kehausan. Kau pimpin aku menuju sungai Eufrat, lalu sebelum sempat aku minum, kau menarikku dan kembali ke kawasan panas membara. Padang pasir yang tandus. Kau mengajakku ke meja jamuan, tapi tidak pernah mempersilakanku makan! Mengapa kau menampakkannya kepadaku di awal, jika tidak pernah berniat untuk membiarkan aku memiliki hartaku.?”

Oleh : Wafa Awla