Senin, 28 Oktober 2013

Syekh Yusuf

Syeikh Yusuf lahir tahun 1626 di Goa, Sulawesi Selatan. Ayahnya, Abdullah, bukan bangsawan, tetapi ibunya, Aminah, keluarga Sultan Ala al-Din. Dia dididik menurut tradisi Islam, diajari bahasa Arab, fikih, tauhid. Pada usia 15 tahun dia belajar di Cikoang pada seorang sufi, ahli tasawuf, mistik, guru agama, dan dai yang berkelana. Saya tahu dari sejarawan Belanda, Van Leur, betapa agama Islam dibawa ke Indonesia pada mulanya oleh pedagang-pedagang Islam yang sekaligus adalah sufi. Kembali dari Cikoang Syeikh Yusuf menikah dengan seorang putri Sultan Goa, lalu pada usia 18 tahun dia naik haji ke Mekkah sekalian memperdalam studi tentang Islam.
Di Makassar dia naik sebuah kapal Melayu dan berlayar menuju Banten yang merupakan pusat Islam penting di Nusantara. Di sana dia bersahabat dengan putra mahkota yang kelak memerintah sebagai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-83), penguasa agung terakhir dari Kesultanan Banten, juga kerajaan terakhir dari Nusantara yang dengan kapal-kapalnya melaksanakan perdagangan jarak jauh.
Mengikuti rute perdagangan antar-Nusantara zaman itu Syeikh Yusuf melanjutkan perjalanan ke Aceh, lalu ke Gujarat, India, tempat dia bertemu dengan Sufi Nuruddin Ar-Raniri, penasihat sultan perempuan Safyatuddin dari Aceh, kemudian ke Yaman, akhirnya ke Mekkah dan Madinah, bahkan sampai ke Damascus (Suriah) dan Istanbul (Turki) yang disebut dalam tambo-tambo Melayu sebagai “Negeri Rum”. Bila dipikir sangat lamanya waktu perjalanan dengan kapal layar atau dengan kafilah unta zaman itu, maka sungguh mengagumkan kekuatan fisik dan mental Syeikh Yusuf untuk berkelana sambil belajar tasawuf bertahun-tahun dalam tradisi seorang sufi. Sungguh menyenangkan di Mekkah dia memperoleh ijazah dari tarekat (mystical order) Khalwatiyyah, diakui sebagai ilmuwan Islam yang berwibawa, dipandang sebagai guru agama oleh orang-orang Melayu-Indonesia yang datang naik haji ke tanah Haramyn. Dia menikah dengan putri Imam Shafi’i di Mekkah yang meninggal dunia waktu melahirkan bayi. Sebelum pulang ke Indonesia, dia kawin lagi dengan seorang perempuan asal Sulawesi di Jeddah.
SYEIKH Yusuf tidak kembali ke Goa di mana agama sudah dilecehkan, orang berjudi, mengadu ayam, meminum arak, menghidupkan lagi animisme tanpa ditindak secara tuntas oleh Sultan. Alih-alih dia menetap di Banten dan menjadi penasihat agama utama Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan ini sangat anti-VOC Belanda. Ia berselisih dengan putranya yang dikenal sebagai Sultan Haji. Timbul perang saudara, Sultan Haji minta bantuan VOC yang mengirim tentara Kompeni untuk menangkap Sultan Ageng dan menyekapnya di Batavia di mana dia meninggal tahun 1692.
Syeikh Yusuf dengan 4.000 tentara Bugis memihak Sultan Ageng, turut bergerilya dengannya, juga ditangkap oleh Belanda. Pada bulan September 1682, Syeikh Yusuf bersama dua istrinya, beberapa anak, 12 murid, dan sejumlah perempuan pembantu dibuang ke Ceylon, kini Sri Lanka. Di Sri Lanka dia menulis karya-karya keagamaan dalam bahasa Arab, Melayu, dan Bugis. Dia aktif menyusun sebuah jaringan Islam yang luas di kalangan para haji yang singgah di Sri Lanka, di kalangan para penguasa, dan raja-raja di Nusantara. Haji-haji itu membawa karya-karya Syeikh Yusuf ke Indonesia, dan karena itu bisa dibaca di negeri kita sampai sekarang.
Mengingat aktivitas Syeikh Yusuf tadi, VOC Belanda khawatir dampaknya dalam bidang agama dan politik di Nusantara. Keadaan bisa bergolak terus. VOC lalu mengambil keputusan memindahkan Syeikh Yusuf ke Kaapstad di Afrika Selatan. Dalam usia 68 tahun, Syeikh Yusuf beserta rombongan pengikutnya terdiri dari 49 orang tiba di Tanjung Harapan tanggal 2 April 1694 dengan menumpang kapal Voetboog. Di tengah perjalanan badai besar menghantam sehingga membuat nakhoda Belanda, Van Beuren, ketakutan kapalnya akan tenggelam, tapi berkat wibawa dan karisma Syeikh Yusuf dia bisa tenang dan selamat sampai di Kaapstad. Akibat pengalaman tersebut, sang kapten memeluk agama Islam dan sampai sekarang keturunannya yang semua Muslim masih ada di Afrika Selatan.
Syeikh Yusuf ditempatkan di Zandvliet, desa pertanian di muara Eerste Rivier, dengan tujuan supaya tidak bisa berhubungan dengan orang-orang Indonesia yang telah datang lebih dahulu. Lokasi itu di Cape Town sekarang dikenal sebagai Macassar. Bersama ke-12 pengikutnya, yang dinamakan imam-imam, Syeikh Yusuf memusatkan kegiatan pada menyebarkan agama Islam di kalangan budak belian dan orang buangan politik, juga di kalangan orang-orang Afrika hitam yang telah dibebaskan dan disebut Vryezwarten.
MENYAMPAIKAN syiar Islam, memelihara dan mempertahankan agama Islam di kalangan golongan Muslim merupakan perhatian dan aktivitas Syeikh Yusuf di Afrika Selatan. Sebagai sufi, dia mengajarkan tarekat Qadiniyyah, Shattariyyah, dan Rifaiyyah di kalangan Muslim Afrika Selatan. Dia meninggal dunia tanggal 22 Mei 1699 dan dimakamkan di Faure, Cape Town. Makamnya terkenal sebagai Karamah yang berarti ‘keajaiban, mukjizat’. Sultan Gowa meminta kepada VOC supaya jenazah Syeikh Yusuf dibawa ke Tanah Airnya. Dia tiba di Goa 5 April 1705 dan dimakamkan kembali di Lakiung. Seperti makamnya di Faure, makamnya di Makkasar juga banyak diziarahi orang. Fakta bahwa Syeikh Yusuf memiliki dua makam menimbulkan spekulasi. Sejarawan De Haan percaya Belanda mengirimkan kerangka Syeikh Yusuf ke Makassar dan karena itu makamnya di Faure telah kosong. Di pihak lain, tulis Prof Azyumardi Azra dalam makalahnya, orang-orang Muslim di Cape percaya hanyalah sisa sebuah jari tunggal dari Syeikh Yusuf yang dibawa kembali. Spekulasi ini mungkin ada benarnya mengingat sebuah legenda di Goa mengenai jenazah Syeikh Yusuf yang dimakamkan kembali. Menurut legenda, pada mulanya hanya sejemput abu yang mungkin sisa-sisa jarinya yang dibawa dari Afrika Selatan. Tapi abu itu bertambah terus sampai mengambil bentuk seluruh badan penuh Syeikh Yusuf tatkala tiba di Goa. Dr Nabilah Lubis berkata kepada saya, soalnya adalah apakah yang tiba di Goa, kerangka atau keranda?
Syeikh Yusuf adalah seorang sufi. Pada awal tahun 1960-an ketika membaca soal mistik di Jawa dalam disertasi Dr Schmidt yang diajukan di Universitas Geneva saya mendapat keterangan tasawuf mana yang tidak diterima oleh Islam. Yaitu yang mengandung panteisme, yang menganggap diri sendiri adalah Tuhan, ana’l Haq, itu ditolak. Azyumardi Azra menulis Syeikh Yusuf menolak konsep wahdah al-wujud. Dalam analisis terakhir: man is man and God is God. Karena HAMKA menulis buku Tasawuf Indonesia saya bertanya kepadanya apakah dia sufi, dan pada awal tahun 1960-an Buya menjawab dalam bahasa Minang: Ha indak, ambo ma ngaji-ngaji sajo. HAMKA menyangkal dirinya seorang sufi.
Memang susah menjelaskan tentang sufi apabila orang tidak menjalankannya dengan bergabung dalam sebuah tarikat yang dipimpin oleh syeikh. Sebagai orang awam, tentu terlebih-lebih saya tidak punya bakat dan persediaan untuk memahami sufi dan ajarannya. Kalangan yang mengetahui berkata sufi-ism adalah sama dengan akhlak yang baik.
Siapa yang berusaha hidup dengan akhlak baik, tidak mengundurkan diri dari masyarakat ramai, tetap aktif dalam urusan dunia, mengindahkan sepenuhnya suruhan dan larangan Tuhan, dia itu sesungguhnya mirip sufi. Bagaimanapun juga, Syeikh Yusuf al-Makassari, Pahlawan Nasional, adalah seorang sufi.

SYEKH NAFIS AL BANJARI (DATU NAFIS)

Sekitar pertengahan tahun 1772 M /
1180 H
Syekh Muhammad Arsyad Albanjari
akan
mengakhiri masa belajarnya setelah menuntut
berbagai cabang ilmu pengetahuan
selama
kurang lebih 25 tahun di Makah
Almukarramah
dan 5 tahun terakhir di Madinah Almunawarah
(1742 – 1772) selanjutnya kembali ke
Makah
Almukarramah sebagai persiapan untuk
kembali
ke Tanah air. ( Yang pada waktu itu disebut
Tanah Jawi ).
Pada suatu hari jum ’at pertengahan
tahun
tersebut, Syeh Muhammad Arsyad
Albanjari bertemu dengan salah seorang keluarga
bernama Muhammad Nafis ( Syekh
Muhammad
Nafis Ibnu Idris Albanjari )didalam
Masjidil haram
yang sejak 30 tahun yang lalu telah terpisah.
Beliau langsung saja menanyakan
tentang sejak
kapan saja Syekh Muhammad Nafis
berada di
Makah Almukarramah, beliau menjawab, sejak
kurang lebih satu jam yang, Syekh
Muhammad
Arsyad Albanjari bertanya lagi tentang
dengan
sarana Kapal apa saja dari Jawi ke Mekah Almukarramah ini, yang pada waktu itu
satu –
satunya sarana angkutan dari Jawi ke
tanah Suci
hanya dengan Kapal layar yang
memerlukan waktu pelayaran antara 3 s/d 5 bulan.
Syekh
Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari
hanya
menjawabnya dengan isyarat yang
pengertiannya tidak dengan angkutan Kapal
Layar. Kemudian ditanyakan lagi kapan
saja
kembali ke Jawi, itupun tidak
dijawabnya dengan
lisan, akan tetapi dijawabnya dengan isyarat
yang pengertiannya Insyallah satu jam
kemudian. Bagi Syekh Muhammad
Arsyad
Albanjari sebagai Ulama besar dan sangat
A ’rif cukup mengerti, bahwa hal-hal
demikian sebagai
suatu keajaiban yang perlu dilakukan
penelitian
lebih jauh. Pada hari jum ’at berikutnya
beliau bertemu lagi dengan Syekh Muhammad
Nafis
Ibnu Albanjari didalam Mesjid Harum,
namun
tidak sempat berkata apa-apa beliau
sudah menghilang tanpa diketahui kemana
arahnya.
Kemudian pada hari jum ’at berikutnya
lagi
( jum’at ketiga ) Syekh Muhammad
Arsyad Albanjari pada saat akan keluar dari
Mesjidil
Haram melalai pintu menuju ke Syamiah
langsung bertemu dengan Syekh
Muhammad
Nafis Ibnu Idris Albanjari yang sekaligus
dirangkulnya dengan erat seraya
berkata, saya
juga tahun ini akan kembali ke Tanah
Jawi setelah
kurang lebih tiga puluh tahun bermukim di
Tanah Suci, nanti di Martapura Insya
Allah kita
akan bertemu kembali serta ada hal-hal
yang
perlu kita bicarakan lebih luas, rangkulan
terhadap Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
dilepaskan dan pada saat bersalaman
sebagai
tanda perpisahan langsung saja Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari
berkata,
diharap agar jangan sampai menemui
saya
setelah berada di Martapura kemudian
langsung menghilang tanpa diketahui kemana
arahnya.
Setelah musim Haji tahun 1772 M =
1186 H
Syekh Muhammad Arsyad Albanjari
setelah mendapat restudari Guru-guru beliau,
baik di
Mekah maupun di Madinah, beliau segera
akan
kembali ke Tanah Air ( Jawai ) bersama-
sama dengan teman beliau, yaitu Syekh
Abdussamad
Alpalimban, Syekh Abdul Wahab Bugis
serta
Syekh Abdurrahman Masri asal Betawi.
Beliau istirahat di Jakarta beberapa hari
bersama teman-
teman beliau dan sempat memberikan
petunjuk
membetulkan arah Qiblat Mesjid
Jembatan Lima Jakarta tanggal 7 Mei 1172 M. Mereka
berpisah di
Jakarta dan kembali ke Daerah asal
mereka
masing-masing. Setelah berada kembali
beberapa bulan di Martapura, beliau menanyakan
keadaan Syekh Nafis Ibnu Idris Albanjari
yang
pada waktu itu hanya dikenal sebagai
Muhammad Nafis. Syekh Muhammad
Nafis Ibnu Idris Albanjari adalah pengarang Kitab “
ADDRUNNAFIS “ SEBAGAI Kitab ilmu
Tashauf
yang terkenal berbobot berat dan
terlarang bagi
orang a ’wam mempelajarinya karena dikhawatirkan akan menimbulkan
kesalahan
pemahamannya yang dapat
menimbulkan
kesesatan dibidang akidah ahlussunah
waljama ’ah. Beliau adalah kelahiran serta
bertempat tinggal di wilayah Kabupaten
Banjar di
Martapura dan masih satu rumpun
keluarga
dengan Syekh Muhammad Arsyad Albanjari,
dari segi usiapun kemungkinan besar
tidak jauh
perbedaannya. Sampai saat ini belum
diketemukan petunjuk-petunjuk
tentang : 1. Tanggal/bulan dan tempat kelahirannya.
2.
Perkawinan serta keturunannya. 3.
Guru – guru
serta tempat belajarnya. 4. Cabang –
cabang ilmu pengetahuan apa saja yang
dikuasainya
selain ilmu Kalam dan ilmu Tasauf. 5.
Dimana
saja beliau menyusun Naskah Kitab
ADDARUNAFIS serta Naskah aslinya kepada
siapa saja beliau menyerahkannya. Syekh
Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari
meninggal
dunia di Anak Desa Sampit, Desa
Bahungin ( sekarang desa Binturu ) Kecamatan
Kelua. Pada
masa hangat-hangatnya perlawanan
rakyat
dibawah pimpinan Penghulu Rasyid
terhadap Serdadu Belanda di wilayah Tabalong dan
sekitarnya, maka rakyat pendukung
perjuangan
Peghulu Rasyid mengadakan pemukiman
baru
di anak desa yang dinamakan “ SAMPIT “ artinya
kecil, ( lokasi anak Desanya tidak terlalu
luas )
mereka setiap saat siap bertempur
melawan
serangan Serdadu Belanda disamping mereka
juga membuka areal persawahan dan
perkebunan dalam anak Desa tersebut.
Peserta pemukiman baru di Anak Desa
SAMPIT
tersebut antara lain : – Orang tua keluarga Gst.
Musa. – Orang tua keluarga Gst. Bakri.
– Orang
tua keluarga Gst. Muhammad. – Orang
tua
keluarga Gst. Irawan. – Orang tua keluarga Gst.
Iwih. – Orang tua keluarga Gst. Haji
Darmawi. –
Orang tua keluarga Gst. Yusuf. – Orang
tua
keluarga Marjuni. – Orang tua keluarga Haji
Sulaiman.
Setelah selesai perang Banjar kemudian
terbukanya Jalan Desa Bahungin, maka
pemukiman anak Desa Sampit tersebut
secara berangsur-angsur pindah tempat
tinggal ke Desa
Bahungin dan sekitarnya. Keluarga yang
paling
akhir meninggalkan anak Desa Sampit
ke Desa Bahungin adalah Saudara Marjuni dan
Saudara
H. Sulaiman yang meriwayatkan secara
singkat
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris
Albanjari yang dikumpulkannya dari tahun 1945
– 1960
sebagai tahun terakhir pemukimannya
di Anak
Desa Sampit. Kedua keluarga tersebut
termasuk keluarga yang berada serta dihormati
oleh
penduduk dan bahkan mendapat
simpatik
tersendiri dari para tamu/penziarah asal
Martapura, Banjarmasin Marabahan, Muara Tewi,
Rantau, Pelaihari, Kota Baru, Kandangan
Barabai,
Amuntai dan tidak jarang dari luar
Daerah
Kalimantan Selatan yang menziarahi Makam
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris
Albanjari
yang dimakamkan di Komplek Kuburan
Muslim
Sampit ( Desa Bahungin / Desa Binturu istilah
baru ).
Dari para penziarah tersebut yang
sepanjang
bisa diingat-ingatkan sejak tahun
1945-1960 mengenai riwayat singkat Syekh
Muhammad
Nafis Albanjari dimaksud, kemudian
diceritakannya kembali pada kami hari
Kamis
tanggal 18 April 1991 dirumah kediamannya di
Desa Binturu kecamatan Kelua.
Riwayat singkat dimaksud dibagi
menjadi 2
( dua ) fase : – Fase pertama ialah
riwayat pertemuan Syekh Muhammad Arsyad
Albanjari
dengan Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
Albanjari di dalam Masjid Makkah
Almukarramah sekitar pertengahan tahun 1772 M
sebanyak 3 kali
pertemuan . – Fase kedua ialah riwayat
singkat
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris
Albanjari melarikan diri atau menghindarkan diri
dari
pertemuannya kembali dengan Syekh
Muhammad Arsyad Albanjari yang
tadinya dia
sudah menolak atas usulan Syekh Muhammad
Arsyad Albanjari pada saat
pertemuannya yang
ketiga di masjidil Haram.
Isi Riwayat fase kedua : Syekh
Muhammad Arsyad Albanjari tetap memandang
perlu
menemui Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
Albanjari untuk mendiskusikan atau
bertukar pendapat mengenai hal-hal berkenaan
dengan
masalah keagamaan. Didapat informasi
bahwa
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris
Albanjari pada waktu itu berada di Desa Astambul,
Syekh
Muhammad Arsyad Albanjari ditemani
oleh dua
orang pembantu , tidak diceritakan,
beliau ke Astambul itu naik perahu atau berjalan
kaki.
Sesampainya di Astambul, ternyata
Syekh
Muhammad Nafis satu hari sebelumnya
sudah berangkat menuju Rantau ( Tapin ).
Perjalanan
Syekh Muhammad Arsyad diteruskan
menuju
Rantau, ternyata Syekh Muhammad
Nafis sudah berangkat menuju Tatakan dan
bermalam.
Kemudian perjalanan diteruskan dan
sesampainya di Kandangan, ternyata
Syekh
Muhammad Nafis sudah berangkat menuju
Pantai Hambawang, perjalanan
dilanjutkan dan
sesampainya di Pantai Hambawang
ternyata
Syekh Muhammad Nafis sudah berangkat
menuju Amuntai, sesampainya di
Amuntai
ternyata beliau sudah berangkat menuju
Kelua.
Perjalanan tetap dilanjutkan dan sesampainya di
Kelua ternyata Syekh Muhammad Nafis
baru saja
berangkat ke Desa SAMPIT. Sementara
Syekh
Muhammad Nafis berada di Kelua hanya beberapa jam, masyarakat sudah
melakukan
kontak dengan tokoh-tokoh anak Desa
SAMPIT
antara lain dengan Gst. Musa dll. Karena
rencana akhir dari Syekh Muhammad Nafis akan
istirahat
di Anak Desa SAMPIT, maka masyarakat
disana
menyambutnya dengan penuh anyusias.
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari
langsung
saja istirahat dirumah Gst. Musa serta
duduk di
atas kasur, kurang lebih 15 menit.
Kemudian datanglah rombongan Syekh Muhammad
Arsyad Albanjari dan langsung juga
menuju dan
mau istirahat dirumah Gst. Musa, hal
ini atas
petunjuk dari tokoh-tokoh masyarakat Kelua.
Begitu Syekh Muhammad Arsyad
Albanjari
memasuki rumah Gst. Musa dan setelah
beradu
pandang dengan Syekh Muhammad Nafis, pada
saat itu Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
Albanjari berpulang kerahmatullah
tanpa ada
kesempatan untuk berbicara dari hati ke hati
antara Syekh Muhammad Arsyad
Albanjari
dengan Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
Albanjari. Hal ini barangkali sesuai dengan isyarat
pada saat perpisahan pada pertemuan
yang
ketiga di Masjiddil Haram. Sampai saat
ini belum
ada petunjuk mengenai perjalanan Syekh Muhammad Idris Albanjari ke Wilayah
Hulu
Sungai sampai ke Anak Desa SAMPIT
Kecamatan
Kelua, apakah dengan berjalan kaki atau
naik perahu atau bertunggangan, demikian
juga
mengenai hari dan tanggal serta tahun
berapa
persisnya kejadian itu. Demikian
Riwayat pada fase kedua Syekh Muhammad Nafis Ibnu
Idris
Albanjari sebagai Ulama Besar dan ahli di
bidang
Ilmu Tashauf dengan Kitabnya bernama
“ ADDARUNNAFIS “. BUKTI-BUKTI
SEJARAH :
Sebuah Komplek Kuburan Muslim
dengan areal
kurang lebih 6 berongan, disana banyak
Kuburan yang telah berusia tua dan bahkan
Nissannya sebagian besarnya dalam
bentuk
sebelum abad kita ini. Lokasi Kuburan
Muslim
tersebut di Anak Desa SAMPIT Desa Bahungin
Kecamatan Kelua.
Diantaranya terdapat sebuah Kubah
Kuburan
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris
Albanjari yang senantiasa diziarahi oleh
masyarakat dan
bahkan Ulama-Ulama di Kalimantan
Selatan sejak
dulu jauh sebelum Indonesia Merdeka.
Kubah tersebut dibangun oleh H. YUSRAN,
salah
seorang Ulama Kubah tersebut
berukuran : –
Panjang 2 meter – Lebar 1,95 meter –
Tinggi 1,60 meter – Teras 70 cm. – Atap dari
sirap.
Terdapat satu buah pesanggrahan tempat
istirahat para penziarah yang dibangun
oleh
Camat Darwin, BA pada beberapa tahun yang
lalu. Sekarang bangunan tersebut
nampaknya
kurang terawatt dengan baik.
Pesanggrahan
tersebut dibangun dari Kayu berukuran : –
Panjang 4 meter – Lebar 3 meter –
Atap dari
seng – Dinding/Lantai dari papan.
Satu buah kitab yang dikarang oleh
beliau bernama ADDARUNNAFIS dalam bahasa
Melayusebanyak 38 halaman. Catatan : a.
Pertemuan Syekh Muhammad Arsyad
Albanjari
dengan Syekh Muhammad nafis Ibnu
Idris Albanjari di Makkah Almukkarramah
pada
pertengahan tahun 1772 = 1186 H. b.
Penyusutan
Naskah Kitab ADDARUNNAFIS
sebagaimana tercantum dalam halaman pertama
Kitab
tersebut ialah dalam tahun 1200 H. c.
Kemungkinan meninggalnya Syekh
Muhammad
Nafis Ibnu Idris Albanjari sekitar dalam tahun
1201 H.


Syekh Muhammad Hisyam Kabbani

Syekh Muhammad Hisyam Kabbani adalah seorang ulama dan syekh Sufi dari Timur Tengah. Ia adalah lulusan American University di Beirut di bidang Kimia dan dari sana ia mengambil gelar Kedokteran di Louvain, Belgia. Ia juga meraih gelar di bidang Syariah dari Damaskus. Sejak masa kanak-kanak, ia menemani Syekh ‘Abdullah ad-Daghestani dan Syekh Muhammad Nazim al-Haqqani, grandsyekh dari Tarekat Naqsybandi ‘Aliyyah di masa ini. Ia telah banyak melakukan perjalanan ke seluruh Timur Tengah, Eropa, dan Timur Jauh dalam menemani syekhnya.

Pada tahun 1991 ia pindah ke Amerika dan kemudian mendirikan yayasan Tarekat Sufi Naqsybandi-Haqqani di Amerika.

Sejak saat itu, ia telah membuka tiga belas Pusat Sufi di Kanada dan Amerika Serikat. Ia telah memberi kuliah di banyak universitas, termasuk Oxford, University of California di Berkeley, University of Chicago, Columbia University, Howard, McGill, Concordia, Dawson College, begitu pula di banyak pusat religius dan spiritual di seluruh Amerika Utara, Eropa, Timur Jauh dan Timur Tengah.

Ke mana pun Syekh Hisyam Kabbani pergi, kegiatannya adalah menyebarkan ajaran Sufi dalam lingkup persaudaraan antar umat manusia dan kesatuan dalam kepercayaan terhadap Tuhan yang terdapat dalam semua agama dan jalur spiritual. Usahanya diarahkan untuk membawa spektrum keagamaan dan jalur-jalur spiritual yang beragam ke dalam keharmonisan dan kerukunan, dalam rangka pengenalan akan kewajiban manusia sebagai khalifah di planet yang rentan ini dan satu sama lainnya.

Sebagai seorang syekh Sufi, Syekh Hisyam, telah diberi otoritas dan izin untuk membimbing para pengikutnya menuju Kecintaan terhadap Tuhan dan menuju maqam-maqam yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta bagi mereka. Pelatihan spiritualnya yang berat selama 40 tahun di bawah bimbingan grandsyekh dan syekhnya telah memberinya kualitas luhur mencakup kebijaksanaan, cahaya, kecerdasan, dan kasih sayang yang diperlukan bagi seorang Guru sejati dalam Tarekat.

Pencapaian misi Syekh Hisyam di Amerika adalah kontribusinya yang unik bagi Upaya Manusia dalam mencapai takdir tertingginya, yaitu kedekatan dengan Tuhan. Perjuangannya untuk menyatukan hati umat manusia dalam perjalanan mereka menuju Hadirat Ilahi barangkali merupakan warisan terbesarnya bagi dunia Barat.

Syekh Hisham q.s. adalah keturunan Rasulullah saw. baik dari jalur
Ayah dan Ibunya (al-Hasani al-Husayni). Dari istrinya, Hj. Nazihe Adil
yang merupakan putri Syekh Nazim al-Haqqani q.s., beliau dikaruniai 3
putra dan 1 putri, serta beberapa cucu yang semuanya menetap di
Fenton, Michigan.

Beberapa posisi yang beliau duduki di Amerika saat ini antara lain:
Ketua Islamic Supreme Council of America (ISCA), penasihat dalam Unity
One, yaitu sebuah organisasi yang ditujukan untuk perdamaian
antar-gang di Amerika, penasihat dalam Human Rights Council, penasihat
dalam American Islamic Association of Mental Health Providers dan
penasihat dalam Office of Religious Persecution, US Department of
State.

Beberapa tulisannya yang telah dipublikasikan secara internasional
antara lain: Classical Islam and the Naqshbandi Sufi Tradition,
Naqshbandi Sufi Way: the Story of Golden Chain, Angels Unveiled-Sufi
Perspective (edisi Indonesia: Dialog dengan para Malaikat, diterbitkan
Hikmah), Pearls and Coral, Encyclopedia of Islamic Doctrine (7
volume), The Permissibility of Mawlid, “Salafi” Movement Unveiled, dan
The Approach of Armageddon? (edisi Indonesia: Kiamat Mendekat,
diterbitkan Serambi).

Sejak tahun 1997, beliau telah beberapa kali berkunjung ke Indonesia
dan sekarang telah memiliki ribuan murid yang tersebar di pelosok
Jakarta, Sukabumi, Bandung, Pekalongan, Semarang, Tuban, Surabaya,
Batam, Aceh, Padang, Bukittinggi, Bali dan lain-lain, yang semuanya
terwadah dalam suatu keluarga besar Jemaah Tarekat Naqsybandi
al-Haqqaniyah yang dalam keorganisasiannya dikelola Yayasan Haqqani
Indonesia.

Mengenai Yayasan Haqqani Indonesia

Secara kejama`ahan, masyarakat Naqsybandi Haqqani Indonesia secara resmi mulai tergelar kebersamaannya sejak ditunjuknya Bapak KH. Mustafa Mas’ud sebagai perwakilan pertama dari As-Sayyid Maulana Syaikh Muhammad Nazhim Adil al-Haqqani an-Naqsybandi k untuk Indonesia pada tanggal 5 April 1997. Penunjukan dan Bay’at sebagai representatif dilaksanakan melalui As-Sayyid Maulana Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani k pada kunjungan perdana beliau di Jakarta pada saat itu. Kedatangan tersebut bermula dari pertemuan beliau dengan beberapa orang Indonesia yang tinggal di California, di mana mereka secara konstan mengikuti ritual Sohbet Naqsybbandi Haqqani di USA, Shalat Jumat, Dzikir Khatam Kwajagan, dan lain sebagainya, di Masjid Mountain View, CA sebagai salah satu Masjid Utama Jama’ah Naqsybandi al-Haqqani Amerika. Pada akhirnya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani k selaku Khalifah Syaikh Nazhim k di USA bertemu dengan para Muslim Indonesia, termasuk seorang mahasiswa bernama M. Hadid Subki yang sedang berada di San Jose, CA. Selanjutnya beliau mengutarakan maksudnya untuk membuka hubungan ke Indonesia atas nama Maulana Syaikh Muhammad Nazhim Adil al-Haqqani an-Naqsybandi k. Persiapan yang dilaksanakan di Jakarta membawa saudara Farid Bubbi Djamirin bertemu dengan K.H. Mustafa Mas’ud. Pada dua kunjungan berikutnya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani k mentasbihkan empat Ulama lainnya sebagai wakil dari Syaikh Muhammad Nazhim Adil al-Haqqani an-Naqsybandi k yang tersebar di Jawa Barat, Jakarta, dan Jawa Tengah.
Mereka adalah :

Kyai Haji Taufiqqurahman al-Subky (Wonopringgo, Pekalongan, Jawa Tengah)

Al-Habib Luthfi bin Yahya (Pekalongan, Jawa Tengah)

Kyai Haji Qari Ahmad Syahid (Nagrek, Jawa Barat)

Al-Ustadz Haji Wahfiudin, MBA (Jakarta)

Sebagai negara yang mempunyai penduduk mayoritas Muslim, tentunya istilah ’thariqat’ sudah tidak asing lagi di Indonesia, terutama bagi pengikutnya dan para cendikiawan yang mempunyai pengetahuan dan perhatian khusus mengenai hal ini.Meskipun kegiatan sudah berjalan sejak tahun 1997, secara hukum Yayasan Haqqani Indonesia baru diresmikan pada akhir tahun 2000. Para pengurus Haqqani Fondation sebagian adalah jema’ah Thariqat Naqsybandi Haqqani, tanpa tertutup untuk ummat Muslim yang tidak mengikuti thariqat untuk turut berpartisipasi. Yayasan Haqqani Indonesia merupakan cabang Haqqani Foundation yang tersebar di beberapa negara, sehingga pada prinsipnya mempunyai pola dasar keorganisasian yang tidak berbeda dengan Yayasan Haqqani lainnya. Sampai saat ini sudah tersebar beberapa cabang Haqqani Foundation di beberapa negara, misalanya: Italia, Belanda, Jerman, Amerika, Malaysia, Perancis, dan Indonesia. Dalam bentuk kelembagaannya, Yayasan Haqqani diharapkan mampu memiliki peran yang strategis dan berkesinambungan dalam melaksanakan syi’ar Islam kepada sesama ummat penghuni bumi.

Diposkan oleh Abu Yazid Bustomi

SYEKH KASYFUL ANWAR AL BANJARI

Tuan Guru Muhammad Kasyful Anwar Al Banjari
dilahirkan di Kampung Melayu pada malam
selasa tanggal 4 Rajab 1304 H jam 22.00
malam,dari pasangan H.Ismail bin H. Muhammad
Arsyad bin Muhammad Sholeh bin Badruddin bin
Kamaluddin dan Hj.Siti binti H.Abdurrahim bin Abu Su’ud bin Badruddin bin Kamaluddin
pasangan yang serasi lagi bertaqwa,sejak kecil
beliau sudah medapatkan pendidikan di
lingkungan keluarga, seperti belajar Al-Qur’an
karena pendidikan seperti ini lazim dikalangan
masyarakat Banjar pada masa itu, diantara guru gurunya yang juga keluarganya adalah : ~KH.Ismail bin H.Ibrahim bin Muhammad Sholeh
bin Khalifah Zainuddin bin Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari
~Syekh Abdullah Khotib bin H.Muhammad Sholeh
bin Khalifah Hasanuddin bin Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari Setelah melihat kecerdasannya, kakeknya yaitu
H. Muhammad Arsyad dan neneknya Hj. Siti
Aisyah mengirimnya ke kota suci sumber ilmu
Makkatul Mukarramah untuk meneruskan
pelajarannya. Pada tahun 1313 H berangkatlah
Beliau beserta seluruh keluarganya ke Tanah Suci Mekkah, sesampainya dinegeri Mekkah ia
sangat rajin menuntut ilmu baik kepada ayahnya
sendiri maupun kepada ulama lainnya, Beliau
belajar bahasa arab kepada H. Amin bin Qadhi
Haji Mahmud bin Aisyah binti Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari beliau lama menetap di Mekkah, sewaktu dua tahun berada di Mekkah
ayah beliau wafat dan dimakamkan di Mekkah
dan dimakamkan di Ma’la, saat itu umurnya baru
11 tahun, pada umur 13 tahun ibunya menyusul
ayahnya wafat di Mekkah dan dimakamkan di
Ma’la sepekuburan dengan bapaknya,setelah itu beliau hanya tinggal bersama kakek dan
neneknya yang selalu merawatnya. Diantara guru guru beliau adalah: 1.Syeikh Umar Hamdan al-Mahrus yang bergelar
Muhaddist al-Haramain
2.Syeikh Muhammad Yahya al-Yamani
3.syeikh said bin Muhammad al-Yamani
4.Syeikh Sayyid Ahmad bin Syeikh Sayyid Abu
Bakar bin Syeikh Sayyid al-Arif Billah sayyid Muhammad Syata
5.Syeikh Sayyid Ahmad bin Hasan al-Aththas
penulis kitab Tadzikirunnas
6.Syeikh Muhammad Ali bin Husein al-Maliki
bergelar Sibawaihi karena kealimannya
7.Syeikh Umar Ba Junaid Mufti Syafiiyyah 8.Syeikh Muhammad Sholeh bin Muhammad Ba
Fadhal
9.Syeikh Muhammad Ahyad al-Bughuri
10.Syeikh Sayyid muhammad Amin al-Kutbi Setelah 17 tahun belajar di Mekkah akhirnya
pada bulan Rabiul Awwal Tahun 1330 H ia
kembali ke Tanah Air, setelah tiba di Tanah air
beliau dikawinkan oleh kakek neneknya dengan
seorang perempuan sholehah bernama Halimah
binti Ja’far pada bulan Syawwal 1330 H pada usia 26 tahun. Beliau dikaruniai anak 6 rang 4
putra 2 putri, setelah menerapkan ilmu selama
20 tahun di kampung halaman pada tahun
1350/1930 M beliau berangkat lagi keTanah Suci
bersama istri dan 2 orang anaknya beserta dua
orang keponakannya yaitu Anang Syarani dan Muhammad Syarwani Abdan (Bangil) yang
nantinya sangat terkenal di Tanah Suci sebagai
Dua Mutiara dari Banjar, keberangkatannya kali
ini selain untuk memperdalam ilmu agama juga
untuk membimbing anak dan kedua
keponakannya. Beliau bermukim selama 3 tahun,pada 17 Syafar 1353 H beliau kembali ke
Martapura sedang dua keponakanna tetap tinggal
di Tanah Suci meneruskan pendidikannya. Dirumahnya beliau membuka pengajian atas
permintaan masyarakat,kemudian pada tahun
1922 M ia tampil memimpin Madrasah
Darussalam pada periode ke 3, kepribadian
beliau sangat sederhana, tanpa henti beliau
mendidik murid muridnya,begitulah kehidupan pribadi seorang ‘alimul jalil ulama yang
memegang teguh disiplin ilmu dan
kemasyarakatan,ilmu dan amal baginya jalan
untuk meningkatkan ketaqwaan, harta tidak
boleh memperbudaknya tetapi hartalah yang
harus menjadi budaknya untuk menunjang segala amal kita dijalan Allah dan beliau tetap
tersenyum walaupun hidup dalam
kesederhanaan,bahkan dikatakan masih
kekurangan untuk mencukupi keperluannya
sehari hari, namun beliau selalu bersikap qanaah
(merasa cukup dengan nikmat yang telah diberikan Allah Swt) serta bersikap ikhlas fi
sabilillah dalam setiap keaadaan. Akhirnya pada malam senin pukul 9.45 menit
tanggal 18 syawwal 1359 H rohnya yang mulia
kembali kepada Rabb nya yang Maha Tinggi
dengan tenang dan damai pada usia 55 tahun dan
dimakamkan di Kampung Melayu Martapura,
Semoga Allah SWT membalas segala amal ibadah beliau dan dikumpulkan dengan Rasulullah Saw
dan orang orang sholeh sebelum beliau. amiin.


Syekh Jumadil Kubro

ran Islam di Indonesia ini bahkan memiliki 4 empat tempat yang dipercaya sebagai peristirahatan terakhir Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) yaitu di makam Troloyo berada satu lokasi dengan situs Trowulan Majapahit, Mojokerto, Semarang, Desa Turgo, Merapi, Yogyakarta dan Parang Tritis, Gunung Kidul, Yogjakarta. Saya kemudian mencari - cari mengenai empat tempat, yang saya dapatkan adalah banyak sekali peziarah yang datang ke makam Troloyo atau makam Tralaya untuk berziarah ke Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro). Sehingga makam Syeh Jumadil Kubro menjadi salah satu obyek wisata religi di Mojokerto. Di  Desa Turgo, Merapi,Yogjakarta dekat Plawangan dan Parang Tritis, Yogja hanyalah petilasan (daerah yang pernah disinggahi beliau). 
Dalam penulisan biografi dan sejarah Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) saya berpegang pada naskah Mertasinga. Silsilah yang terdapat dalam Naskah Mertasinga ini saya dapatkan di buku Sajarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati (Naskah Kuningan) karya H.R Amman N. Wahyu. Menurut Naskah Merasinga, Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) merupakan kakek dari Raden Rakhmat (Sunan Ampel) dan uyut dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) melalui garis ayah. Nama Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) yang terdapat di buku inipun hanya mencantumkan nama Jumadil Kabir. Nama asli beliau diambil dari sumber lain, yang menyatakan nama asli Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) adalah Zainul Husein atau Jamaluddin Husein Akbar.

Pada Naskah Mertasinga, Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) adalah cucu ke 18 Rasulullah Muhammad SAW melalui garis Imam Husein putra, Sayyidah Fatimah Az Zahra dan Imam Ali bin Abi Thalib. Pada Naskah Mertasinga tersebut juga terdapat nama Syekh Jumad yang merupakan kakek dari sunan Giri. Tetapi menurut sumber lain, nama asli Syekh Jumad adalah Syekh Majagung atau R. Nyingkara, adik dari istri Syekh Mustakim. 

Perjalanan dakwah Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) berakhir di Trowulan, Mojokerto. Beliau wafat tahun 1376 M, 15 Muharram 797 H. diperkirakan hidup di antara dua Raja Majapahit (awal Raja Tribhuwana Wijaya Tunggadewi dan pertengahan Prabu Hayam Wuruk).Keberadaannya Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) di tanah Majapahit hingga ajal menjelang menunjukkan perjuangan Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) untuk menegakkan agama Islam di bumi Majapahit sangatlah besar. Bahkan saya berpendapat bahwa Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) menjadi saksi ketika Gaj Ahmad (Gajahmada) bersumpah amukti Palapa.

Melihat letak makam beliau di makam Troloyo, terlihat bahwa Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) memiliki dekat dengan pejabat kerajaan Majapahit. Beliau dimakamkan di tempat khusus, ditengah pejabat kerajaan antaranya adalah makam Tumenggung Satim Singgo Moyo, Kenconowungu, Anjasmoro, Sunan Ngudung (ayah Sunan Kudus).

http://waliyuallahliveforever.blogspot.com/search/label/Syekh%20Jumadil%20Kubro

Syekh Burhanudin

Syekh Burhanudin adalah tokoh yang luar biasa dalam menyebarkan agama Islam di Sumatera Barat. Kebesaran Syekh Burhanudin tetap abadi hingga kini ratusan tahun setelah Beliau meninggal. Makam Syekh Burhanudin di Ulakan, Sumatera Barat adalah tempat yang dikunjungi tak henti - henti oleh peziarah dari dalam negeri dan mancanegara. 

Keberadaan Makam Syekh Burhanuddin di tengah masyarakat merupakan sejarah yang tidak pernah dilupakan oleh murid-murid dan pengikutnya.hari wafat Syekh Burhanudin dijadikan tradisi Basyafa (Syekh Burhanuddin wafat pada hari ke-10 bulan Syafar tahun 1111 H (1691 M)). Istilah "Basyafa" diambil dari nama bulan kedua Hijriah, yakni bulan Safar. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Padangpariaman, Usman Labai, Basyafa adalah satu-satunya kegiatan rutin di Padangpariaman yang diikuti ratusan ribu warga berasal dari berbagai daerah.

Sifat-sifat Syekh Burhanuddin tercermin dalam sistem kehidupan masyarakat Sumatera Barat. Beliau adalah tokoh Islam terkemuka yang karya - karyanya tak lekang oleh waktu. Karya Syekh Burhanudin dipaparkan oleh Guru Besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang Prof Dr H Duski Samad Tuanku Mudo MA secara rinci dari berbagai sumber. 



Jaringan intelektual Syekh Burhanuddin sejak dari guru pertamanya Syekh Abdullah Arif (lebih populer dengan panggilan Syekh Madinah) di Tapakis Ulakan sampai belajar dengan Syekh Abdurrauf di Aceh masih berasal dari rumpun yang sama. Kedua guru ini sama-sama belajar dengan Syekh Ahmad Qusyasi di Madinah. Ulama Madinah ini merupakan tokoh yang menjadi sentral dalam jaringan Ulama Nusantara pada abad ke-17 dan ke-18 M. Sebab memalui Ahmad Qusyasilah para ulama Nusantara menemukan warisan intelektual Islam Fiqh, Tafsîr, tak terkecuali juga tasawuf baik yang sudah melembaga menjadi tarekat maupun yang masih menjadi anutan dari pribadi muslim.

Satu di antara murid Ahmad Qusyasi yang dikenal luas dalam jaringan ulama nusantara adalah Abdurrauf al-Sinkili. Nama lengkapnya Amin al-Din Abdurrauf bin ‘Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili, ia lahir diperkirakan sekitar tahun 1024/1615 M. di sebuah kota kecil di pantai Barat pulau Sumatera. Ia berasal dari keluarga ulama, ayahnya Syekh al-Fansuri adalah seorang Arab yang mengawini seorang wanita setempat dari Fansur (Barus) dan bertempat tinggal di Singkil, di mana Abdurrauf dilahirkan.)

Sistem dan pola pemikiran Syekh Burhanuddin tidak dapat ditunjukkan secara konkrit, karena tulisannya yang dapat dijadikan acuan tidak ditemukan. Meskipun ada dua manuskrip yang oleh pengikutnya dikaitkan dengan Syekh Burhanuddin dan disebut sebagai karya Syekh Burhanuddin, tetapi manuskrip ini hanyalah merupakan mukhtasar (ringkasan) dari beberapa kitab tasawuf yang disebut pada penutup manuskrip itu.

Pertama, manuskrip yang ditulis tangan oleh Syekh Burhanuddin sendiri yang oleh pengikutnya dinamakan dengan Kitab Tahqîq (Kitab Hakikat). Kitab aslinya masih tersimpan di tangan khalifah Syahril Luthan Tuanku Kuning, khalifah yang ke-42 bertempat di Surau Syekh Burhanuddin Tanjung Medan Ulakan. Kitab yang ditulis dengan mengunakan bahasa Arab ini ditulis dengan tinta kanji dan kertas lama berwarna kuning lebih tebal dari kertas biasa yang ada sekarang. Dilihat dari tulisan, tinta, dan kertas yang dipergunakan dapat diduga bahwa memang kitab ini sudah berusia sekitar 4 abad (zamannya Syekh Burhanuddin).

Satu hal yang menjadi catatan penting bahwa kitab Tahqîq tersebut tidak bisa dilihat oleh sembarang orang dan juga tidak boleh dibawa keluar dari Surau, karena hal itu merupakan amanah, demikianlah seperti dikemukakan oleh khalifah yang memegang kitab ini. Pada bagian pendahuluan kitab Tahqîq penulis dengan jelas menyatakan bahwa kitab ini (Mukhtasar) diringkaskan dari 20 (dua puluh) kitab tasawuf yang populer dan dipakai luas di lingkungan Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamâah.

Kemudian kitab-kitab sumber tersebut oleh penulis dituliskan nama-namanya saja, seperti : Kitâb Tuhfah al-Mursalah ilâ rûhin Nabî, Kitâb al-Ma`lûmât, Kitâb al-Jawâhir al-Haqâiq, Kitâb al-Mulahzhah, Kitâb Khâtimah, Kitâb Fath al-Rahmân, Kitâb Maj al-Bahraiin, Kitâb Mi`dân al-Asrâr, Kitâb Fusûs al-Ma`rifah, Kitâb Bayân al-Allâh, Bahr al-Lahût, Asrâr al-Shalâh, Kitâb al-Wahdah, Kitâb Futûhat, Kitâb Syarh al-Hikâm, Kitâb al-Asrâr al-Insân, Kitâb al-Anwâr al-Haqâiq, Kitâb al-Baitîn, Kitâb Tanbîh al-Masyi’ dan Kitâb Adab ‘Asyik wa Khalwat. Memperhatikan kitab sumber yang dipakai oleh penulis kitab Tahqîq dapat dipastikan bahwa kitab ini merupakan manuskrip tasawuf yang menjadi paham keagamaan yang dianut oleh penulisnya.

Kedua, manuskrip tulisan tangan berbahasa Arab dan bahasa Arab melayu terdiri dari lima kitab yang juga tidak dicantumkan nama penulisnya. Kitab ini lebih sedikit maju karena dicantumkan masa penulisannya. Pada bahagian akhirnya tertulis, ‘‘Alhamdulilah tamatlah kitab ini ditulis pada hari Selasa bertepatan dengan tahun 1223 hijriah Nabi Muhamad SAW bersamaan dengan 1788 M.’’ Jelaslah bahwa kitab ini ditulis setelah satu abad Syekh Burhanuddin wafat. Kitab ini sekarang dipegang oleh Khalifah Syekh Burhanuddin yang berada di Sikabu Ulakan melalui Tuanku Karimun, yaitu Tuanku Ali Bakri S.Ag (Sarjana Agama) Alumni S.1 Universitas Muhammadiyah Jakarta dan sekarang tinggal di Jakarta. 

Buku ini dapat dipinjamkan dan diperlihatkan kepada pihak lain tanpa harus melalui tata cara ibadah zikir seperti buku Tahqîq yang dipegang Syahril Lutan Tuanku Kuning tersebut di atas. Buku ini oleh khalifah yang lain termasuk oleh Tuanku Kuning Syahril Luthan dikatakan ditulis oleh Syekh Abdurrahman khalifah Syekh Burhanuddin ketiga dan buku itu tidak lengkap dan bukan buku asli dari Syekh Burhanuddin. Tuanku Ali Bakri yang memegang buku kedua saat ini menceritakan bahwa buku ini diperoleh dari gurunya Tuanku Karimun Ulakan. Pada saat gurunya akan meninggal ia berwasiat agar buku ini harus dipegang oleh orang yang tahu dengan kitab, maka Ali Bakri kemudian ditunjuk karena dialah murid sekaligus kemenakannya yang relatif bisa membaca kitab. Jadi buku tersebut juga amanat yang mesti dijaga dan rasanya sulit untuk diserahkan kepada pihak lain.

Buku ini terdiri dari lima kitab yang digabung dalam satu buku yang cukup tebal dengan jumlah 315 halaman, diawali dengan pembukaan dan dilanjutkan dengan tulisan dalam bentuk esei panjang. Tiga dari kitab itu ditulis dengan menggunakan bahasa Arab murni dan dua yang lain ditulis dengan huruf Arab Melayu. Kitab pertama ditulis dengan bahasa Arab berisikan ringkasan dari Kitab Tanbîh al-Masyi, buah karya Syekh Abdurrauf al-Sinkili ini dicantumkan secara jelas.

Empat kitab sesudahnya tidak diterangkan dari kitab apa diringkas dan siapa pengarangnya pun tidak dinukilkan. Dari isinya dapat ditangkap isyarat bahwa kitab ini jelas memiliki hubungan yang erat dengan kajian tasawuf, khususnya tarekat Syathariyah. Misalnya pada kitab ketiga ada ungkapan yang menjelaskan hubungan murid dengan guru. Hubungan murid dengan guru itu laksana mayyat di tangan orang yang memandikannya. Murid harus patuh terhadap semua perintah guru, kepatuhan murid pada guru itu haruslah ikhlas.

Apabila hendak berziarah ke makam wali Allah, Syekh Burhanudin maka letak lokasinya di Tapakis, Nagari Ulakan, Kecamatan Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Berada di tepi jalan besar Jalan Pariaman Lubuk Alung - Pulau Air, apabila dari kota Padang maka mengambil jalan Padang - Bukit Tinggi lalu belok kiri mengambil Jalan Pariaman Lubuk Alung - Pulau Air. Lokasi makam Syekh Burhanudin dekat dengan Bandar Udara Minangkabau.


Syekh Badruddin al-Hassani

Cinta untuk 'ilm (pengetahuan suci)
Sebuah foto Sangat Langka dari Syaikh al-Hassani Badruddin Alayhi Rahma dari Damaskus - Syaikh berada di tengah-tengah gambar, usinghis sorban tertentu.

The Muhaddith terbesar - Semua ulama dan syuyukh Suriah menerima dia sebagai guru mereka, dan mereka yang tinggal di Damaskus digunakan untuk menghadiri pelajaran sehari-hari. Dia memiliki memori fotografi. Hafal semua hadits dari Bukhari, Muslim, dan sisanya dari enam buku yang paling terkenal dari hadits, termasuk biografi semua perawi semua grup setiap hadits, tanggal kelahiran mereka dan kematian, dan status mereka keaslian. Selain itu, ia digunakan untuk menjelaskan Quran dengan hati dari Tafsir al Baydaawi ini (penjelasan Al-Qur'an).
Ijaazah Nya terutama dipintanya oleh ulama hadis untuk menjadi yang terdekat dari usianya kepada Nabi Salla'l Laahu `alaihi Wa Sallam (menghitung jumlah laki-laki dalam rantai). Dokter dan insinyur yang menghadiri kelas itu digunakan untuk mengatakan: Kami kelelahan hidup kita belajar profesi kita, dan dia tahu itu lebih dari kami. Dia juga berperan dalam organisasi revolusi melawan pendudukan Perancis.

The Late Pertapa Syaikh Ahmad al-Rifai Habbal Alayhi Rahma dari Damaskus Berkaitan:
"Satu tahun, pada hari kedua setelah Idul Fitri, Syekh Abdul Karim al-Rifai Mengunjungi Syaikh al-Hassani Badruddin dan ia ditanya tentang alasan ketidakhadirannya dari pelajaran? Syaikh 'Abdul Karim Alayhi Rahma mengatakan bahwa semua orang sibuk merayakan Idul Fitri. Syaikh Badruddin Alayhi Rahma menjawab dan mengatakan bahwa ia tidak memiliki lebaran selain 'ilm (pengetahuan suci). "

Kebijaksanaan Syaikh Muhammad al-Yaqoubi - Syaikh al-Hassani Badruddin Rha:


Syaikh Ahmat Tretetet, Sang Ulama Misterius

Ia disebut Tretetet karena sering mengeluarkan bunyi 'tretetet' dari mulutnya.
Sepi menggelayut saat VIVAnews mengunjungi pemakaman umum di Desa Karang Kelok, Kelurahan Monjok, Kota Mataram. Tampak bangunan bercat biru berada di area pemakaman yang rimbun oleh pepohonan besar. Bangunan biru itu dikelilingi pagar kayu dan sejumlah makam lain.

Terpampang tulisan “Makam Datuk Assyaikh Tuan Guru Haji Ahmat Tretetet bin Tuan Guru Haji Umar Kelayu” pada pintu satu-satunya di depan bangunan biru itu. Begitu pintu dibuka, bau wangi langsung menyeruak dari dalam ruangan. Di dalam ruangan berukuran 4 x 4 meter itu, terdapat makam bertutupkan kain hijau yang kedua nisannya terbungkus kain putih. Di atas makam, terdapat kendi yang terbuat dari tanah liat berisi air.

Tumpukan Al-Quran dan tasbih menghiasi dinding ruangan. Tak jauh dari situ, terpasang bingkai foto bergambar seseorang berpakaian putih dan bersorban putih. Meski pakaiannya terlihat lusuh, sosok bersorban itu tampak tersenyum ramah.

Inak Saiyah, tukang sapu makam itu, menceritakan bahwa sosok dalam bingkai foto itu adalah Tuan Guru Haji Ahmat Tretetet, ulama kharismatis yang dimakamkan di situ. Tretetet yang wafat pada 19 Desember 1985, disapa oleh warga Lombok, Nusa Tenggara Barat, dengan sebutan Tuan Guru Tretetet. “Masyarakat menyebutnya ‘Tretetet’ karena bibirnya selalu mengeluarkan suara ‘tretetet.’ Dia juga biasa mengucapkan kata ‘halal’ sambil tertawa lucu,” tutur Saiyah, Rabu, 3 Agustus 2011.

Saiyah menuturkan, keberadaan makam Ahmat Tretetet cukup mengundang  banyak  peziarah, baik dari Lombok maupun daerah lain seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, bahkan Jakarta. Meski begitu, warga di sekitar makam melarang para peziarah untuk membawa benda-benda seperti saji, kemenyan, dan kembang. Hal itu demi menjaga agar orang-orang tidak menganggap makam itu sebagai tempat kramat.

“Kalau mau datang untuk berdoa atau berziarah, silakan. Tapi jangan coba-coba berniat lain, seperti minta pesugihan atau nomor togel, dengan membawa kemenyan. Itu dilarang,” tegas Saiyah.
Seorang peziarah bernama Syamsudin, warga Kota Mataram, mengaku sering mengunjungi makam Syaikh Tretetet. Ia mengatakan, hal Itu dilakukan sebagai bentuk kekagumannya terhadap tokoh spiritual yang dikenal dengan kesederhanaannya itu
Syamsudin menuturkan, Tuan Guru Tretetet adalah sosok yang misterius. Tretetet dikenal sebagai ulama yang berbeda dengan ulama lainnya pada zaman itu. Sebab, selain tidak memiliki murid atau santri seperti kyai-kyai pada umumnya, dia juga selalu berkelana. “Ajarannya cuma satu yang saya ingat, yakni jangan pernah lalai menjalankan salat lima waktu,” ujarnya.

Selama hidupnya, Tretetet dikenal sebagai ulama yang senang dengan anak kecil. Bahkan, tidak jarang dia memberikan sesuatu kepada anak-anak yang ditemuinya di perjalanan. Tretetet juga dikenal sebagai orang yang santun dan murah senyum.

Namun, jika ada keinginannya tidak dipenuhi oleh seseorang,  orang tersebut akan mendapat malapetaka. Kemampuannya itulah yang mengundang banyak tokoh ingin berguru dengannya. Tapi hingga akhir hayatnya, Tretetet tak memikiki murid seorang pun. “Dia tidak pernah pergi mengajar. Tapi banyak yang datang untuk menuntut ilmu darinya. Setiap orang yang datang kepadanya selalu disambut senyum dan tawa,” kata Syamsudin.

Makam Ahmat Tretetet, lanjutnya, juga pernah didatangi penjabat pemerintahan. Meski banyak dikunjungi orang, hingga kini makam Tretetet tetap sederhana. Dengan ilmu dan amalnya, warga setempat mengenang Tretetet sebagai contoh manusia yang bermanfaat bagi manusia lain. 



http://nasional.news.viva.co.id/news/read/237919-syaikh-ahmat-tretetet-yang-misterius

Syekh Ahmad al-Alawi

Hidup-Nya dalam Firman-Nya Sendiri

Dia adalah:

Abu al-Abbas Ahmad
b. Mostafa
b. Mohammad
b. Ahmad (yang dikenal sebagai 'Hakim')
b. Muhammad, yang dikenal sebagai 'Bo Shantōf', yang menurut penulis buku 'Sabika al-' Iqyān fi man bi Mustaghānem min al-'ayan' adalah penyembah setia yang mengikuti sekolah Hanafi hukum dan merupakan kanonik mahir)
b. Madbōgh al-Jobha '(salah satu dari dahi kecokelatan) dan dikenal sebagai seorang yang saleh di kota
b. al-Hajj 'Ali dikenal sebagai' Alīwa dan jadi urutan Sheikh al-'Alawi bernama setelah itu dikenal sebelumnya sebagai al-Darqāwiyya al-Shādhiliyya
b. Ibnu Ghanim, yang datang dari ibukota Aljir ke Mostaghānem baik untuk tinggal atau diangkat sebagai hakim di sana.

Keluarga itu dikenal sebagai benar dan tegak ditengah-tengah masyarakat kota. Dikatakan bahwa pada masa kekhalifahan Ottoman pada penunjukan hakim di kota dibatasi untuk keluarga ini saja. Dikatakan bahwa lebih dari 30 orang dari keluarga yang ditunjuk sebagai hakim.
Sheikh al-'Alawi Penampilan

Dia bertubuh tinggi dan sangat tipis. Dia adalah kulit berwarna zaitun, dengan sedikit merah. Jenggotnya putih keperakan. Dia memiliki hidung panjang dan ramping pipinya cekung. Alisnya tebal dan menonjol. Matanya yang gelap dan menusuk. Jika ia berbicara, suaranya lembut dan tenang.
Ia lahir di Mostaghānem, Aljazair pada 1286 era Islam (1869). Dia adalah anak tunggal dengan dua saudara. Sedikit kurang dari setahun sebelum kelahirannya ibunya Fatimah melihat dalam tidurnya Nabi dengan warna kuning muda di tangannya. Dia tampak penuh wajahnya dan tersenyum dan melemparkan bunga padanya, dimana dia mengambil itu dengan kerendahan rendah hati.

Ketika dia terbangun, dia mengatakan kepada suaminya visi, dan ia menafsirkannya sebagai berarti bahwa mereka akan dikaruniai seorang putra yang saleh, dan ia sebenarnya sudah importuning Tuhan tidak meninggalkan dia tanpa ahli waris ... dan setelah beberapa minggu Allah dikonfirmasi mimpinya, dan ia mengandung anaknya.
Pada saat Cheikh kembali dari perjalanannya, bukunya al-Minah al-Qudsiyyah telah dicetak (1329/1911) dan menjadi terkenal di kalangan masyarakat. Itu dicetak untuk kedua kalinya oleh Sheikh al-Hashimi di Kairo pada tahun 1940. Sepanjang hidupnya ia mengajar tanpa henti, terutama Fiqih dan bahasa Arab.

Namun, tujuan utama adalah untuk menyebarkan prinsip-prinsip agama kepada orang-orang di daerahnya. Menyebar perintahnya seluruh wilayah tetangga terutama desa-desa sekitar Ghalīzan dan Tlemcan, yang ia dihormati sangat.

The Sheikh mengubah nama ordo dari Darqāwiyya untuk 'Alawiyyah tahun 1333 (1914). Hal ini mengakibatkan sejumlah pihak luar bantalan kecemburuan dan dendam karena minuman keras ini agama. Mereka mulai mencoba untuk menempatkan rintangan di jalan untuk mencegah perintahnya dari mendapatkan penerimaan di kalangan masyarakat.
Pada awalnya jumlah pengikutnya tidak lebih dari murid-murid Yesus sendiri . Namun, itu tidak lama sampai Zawiya nya menjadi menyerupai tempat ziarah . Orang-orang datang dari jauh dan luas untuk mengambil darinya . Melalui usahanya sejumlah orang memeluk iman , beberapa yang telah misionaris Kristen di Aljazair .

Pada awal mengajar , ia menulis kata-kata :

بشرني بدر البدور
Bulan dari semua bulan membawa saya kabar gembira
بالنصر مع الظهور
Keberhasilan disertai terkenal ;
محبنا في السرور
Orang yang mencintai kita adalah dalam kebahagiaan ,
محفوفا بلطف الله
Diselimuti oleh grasi dari Tuhan .
و الله لقد قال
Demi Tuhan , dia mengatakan
بأفصح المقالة
Dalam paling fasih kata-kata ,
نصرناك في الملا
"Kami telah membawa Anda kemenangan di antara massa ,
أنت في أمان الله
Anda berada di bawah perlindungan Tuhan . '

Mendengar kata-kata ini , satu orang mempertanyakan seperti pernyataan yang berani . ' Kata-kata ini perlu semacam dukungan ' , katanya . The Sheikh menjawab , ' Cukuplah bahwa saya katakan untuk Anda sekarang . Anda melihat saya sekarang dengan sedikit berikut dan masa depan akan menjelaskan hal-hal , 'dan begitu itu datang untuk menjadi .