Selasa, 08 Oktober 2013

Seputar Makanan ( Kitab Riyadhus Shalihin )

Membaca basmalah dan hamdalah

1. Dari Umar bin Salamah ra., ia berkata: Rasulullah SAW,bersabda: “Sebutlah nama Allah (bacalah basmalah), dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah dari makanan yang dekat dengan kamu.” (HR. Bukhari danMuslim)

2. Dari Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda:
“Apabila salah seorang diantara kalian makan, hendaklah ia menyebutkan nama Allah Ta’ala. Apabila lupa menyebut nama-Nya sewaktu memulai makan, hendaklah ia membaca:
“BISMILAHI AWWALAHU WA AKHIRAHU”(Dengan menyebut nama Allah pada permulaan dan penghabisan makan)!” (HR.Abu Daud dan Tirmidzi)

3. Dari Jabir ra., ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW, bersabda: “Apabila seseorang masuk ke rumahnya, lalu berdzikir kepada Allah Ta’ala ketika ia masuk, dan sewaktu makan, maka setan berkata (kepada temannya): ‘Kamu tidak bisa ikut masuk dan kamu tidak bisa ikut makan.’ Dan apabila seseorang tidak berdzikir kepada Allah Ta’ala ketika masuk rumahnya, maka setan berkata: ‘kamu dapat mengikutinya masuk.’ Dan apabila seseorang tidak berdzikir kepada Allah Ta’ala sewaktu makan, maka setan berkata (kepada temannya): ‘Kamu bisa ikut makan dan bisa ikut masuk.’” (HR. Muslim)

4. Dari Hudzaifah ra., ia berkata: Apabila kami makan bersama Rasulullah SAW, kami tidak berani meletakkan tangan ke tempat makanan sebelum Rasulullah SAW, meletakkannya terlebih dahulu. Suatu saat, ketika kami akan makan bersama beliau, tiba-tiba datanglah seorang wanita tergesa-gesa, seakan-akan ada sesuatu yang mendorongnya. Ia langsung meletakkan tangannya ke tempat makanan, tetapi Rasulullah SAW, memegang tangannya. Kemudian datanglah seorang Badui terburu-buru seakan-akan ada sesuatu yang mendorongnya. Ia langsung meletakkan tangannya ke tempat makanan, maka dengan cepat Rasulullah SAW, memegang tangannya, seraya bersabda: “Sesungguhnya setan itu merebut makanan yang tidak disebut nama Allah. Sesungguhnya setan datang bersama-sama wanita ini untuk merebut makanan, maka aku pegang tangannya. Kemudian ia datang bersama-sama orang Badui ini untuk merebut makanan, maka kau pegang tangannya. Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya tangan setan ini saya pegang bersama-sama kedua tangan orang ini.” Kemudian Rasulullah menyebut nama Allah Ta’ala dan memulai makan.” (HR. Muslim)

5. Dari Umayya bin Makhsyiy Ash-Shahabiy ra., ia berkata:
“Ketika Rasulullah SAW, duduk ada seseorang makan tanpa menyebut nama Allah, sehingga hampir habis makanannya, hanya tinggal sesuap. Ketika ia akan menyuapkan ke mulutnya ia membaca: BISMILAHI AWWALAHU WA AKHIRAHU.” Melihat yang demikian Nabi SAW, tersenyum dan bersabda: “Setan itu selalu makan bersamanya, namun ketika ia menyebut nama Allah, maka setan itu memuntahkan apa yang ada dalam perutnya.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i)

6. Dari Aisyah ra., ia berkata: Ketika Rasulullah SAW, sedang makan bersama enam orang sahabatnya, seorang Badui datang dan makan sebanyak dua kali suapan. Kemudian
Rasulullah SAW, bersabda: “Seandainya ia menyebut nama Allah, niscaya mkanan itu cukup untuk kalian.” (HR. Tirmidzi)

7. Dari Abu Umamah ra., ia berkata: Apabila Nabi SAW, mengangkat hidangannya, beliau membaca: ‘ALHAMDU LILLAAHI HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI GHAIRA MAKFIYYIN WALAA MUSTAGHNAN ‘ANHU RABBANAA’(Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak dan baik serta penuh berkah yang tiada terbalas dan sangat dibutuhkan, wahai Tuhan kami).” (HR. Bukhari)

8. Dari Muadz bin Anas ra., ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: “Siapa saja yang telah makan, kemudian membaca: ‘ALHAMDULILLAAHI ATH ‘AMANII HAADZAA WARAZAQINIIHI MIN GHAIRI HAULIN MINNII WALAA QUWWATIN’(Segala puji bagi Allah, Zat yang telah memberi makanan ini kepada saya, dan telah mengkaruniakan rezeki dengan tiada daya dan kekuatan dari diri saya), maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Abu Daud dan tirmidzi)

Dilarang mencela makanan

1. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Rasulullah tidak pernah mencela makanan. Apabila beliau menyukainya, beliau memakannya, dan apabila tidak menyenanginya, maka meninggalkan makanan itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Dari Jabir ra., ia berkata: Nabi SAW, pernah menanyakan lauk kepada keluarganya, kemudian mereka menjawab: “Kami tidak mempunyai apa-apa selain cuka.” Maka beliau meminta cuka itu, dan makan berlauk cuka, seraya bersabda: “Sebaik baik lauk adalah cuka,” (HR.Muslim)
Sikap orang yang berpuasa

1. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda:
“Apabila salah seorang diantara kalian diundang, hendaklah ia menghadirinya. Jika ia sedang berpuasa, hendaklah ia mendoakan, dan jika tidak berpuasa hendaklah ia makan.”(HR. Muslim)
Sikap orang yang diundang makan

2. Dari Abu Mas’ud A-Badriy ra., ia berkata: “Ada seseorang mengundang Nabi SAW, untuk jamuan makan yang disiapkan bagi lima orang, kemudian ada seseorang yang mengikuti mereka. Ketika sampai di muka pintu, Nabi SAW, menjelaskan kepada orang yang mengundangnya: “Sesungguhnya orang ini mengikuti kami, maka terserah kamu. Apabila kamu suka, izinkanlah orang ini, apabila tidak, biarlah orang ini pulang!” Orang yang mengundang itu berkata: “Wahai Rasulullah, saya mengizinkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adat makan

1. Dari Umar bin Abu Salamah ra., ia berkata: “Waktu kecil, saya diasuh Rasulullah SAW, dan pernah mengulurkan tangan untuk mengambil makanan yang terletak di piring, kemudian beliau bersabda kepada saya: “Wahai anak muda, sebutlah nama Allah Ta’ala serta makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari makanan yang dekat dengan kamu!” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Dari Salamah bin Al-Akwa ra., ia berkata: Ada seseorang makan di hadapan Rasulullah SAW, dengan menggunakan tangan kirinya, kemudian beliau bersabda: “Makanlah dengantangan kananmu!” Ia menjawab: “Saya tidak bisa.” Beliau bersabda: “Kamu tidak bisa, karena kesombonganmu.” Setelah itu orang tersebut tidak bisa mengangkat tangannya ke mulut.” (HR. Muslim)

Larangan makan kurma atau sejenis dua butir sekaligus

1. Dari Jabalah bin Suhaim, ia berkata: “Kali tertentu, kami bersama dengan Ibnu Zubair mengalami musim paceklik. Tiba-tiba kami mendapatkan rezeki kurma. Waktu Abdullah bin Umar ra., lewat, ia mendapati kami sedang makan kurma. Kemudian ia berkata: “Janganlah kalian makan dua butir kurma atau lebih sekaligus! Sesungguhnya Nabi SAW, melarang untuk makan dua butir kurma atau lebih sekaligus.” Kemudian ia berkata lagi: “Kecuali orang itu minta izin kepada kawannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

MEMPERBANYAK KAWAN DISAAT MAKAN

1. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah SAW, bersabda: “Makanan dua orang cukup untuk tiga orang, dan makanan tiga orang cukup untuk empat orang.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Dari Jabir ra., ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW, bersabda: “Makanan satu orang cukup untuk dua orang, makanan dua orang cukup untuk empat orang, dan makanan empat orang itu cukup untuk delapan orang.” (HR. Muslim)

http://sufiroad.blogspot.com/2011/06/riyadathus-shalihin-seputar-makanan.html


Menilai Diri Sendiri Yang Paling Buruk

Syeikh Abdul Qodir Al Jaelany berkata “Apabila engkau bertemu dengan seseorang, hendaklah engkau memandangnya lebih utama dari kamu, dan engkau mengatakan ‘Mungkin dia lebih baik di sisi Allah daripada diriku, dan lebih tinggi derajatnya’. Apabila dia lebih kecil, hendaklah engkau mengatakan, ‘Orang ini tidak berbuat dosa kepada Allah sedangkan aku telah berbuat dosa, maka tidak ragu lagi bahwa dia lebih baik daripada diriku’.
Dan Apabila keadaan orang yang engkau lihat itu lebih tua, hendaklah engkau mengatakan, ‘Orang ini telah banyak beribadah kepada Allah sebelum aku’. Apabila keadaan orang yang engkau pandang adalah seorang alim (kiai), hendaklah engkau mengatakan, ‘Orang ini telah diberi sesuatu (anugrah) yang belum aku dapatkan dan ia telah mengetahui apa yang belum ku ketahui serta telah mengamalkan ilmunya’.
Dan Apabila orang yang engkau jumpai itu orang bodoh, hendaklah engkau mengatakan, ‘Orang ini durhaka kepada Allah karena kebodohannya, sementara aku berbuat dosa padahal aku berilmu. Aku tidak tahu dengan apa aku diakhiri atau dengan apa dia diakhiri kehidupannya (Husnul Khotimah atau Su’ul Khotimah)’.
Dan Apabila keadaan orang yang engkau jumpai adalah orang kafir, hendaklah engkau mengatakan, ‘Aku tidak tahu, mungkin aku menjadi kafir sehingga aku berakhir dengan amal yang jelek’.

Diambil dari Kitab Nashaihul Ibad




17 Ilmu Yang Harus Dikuasai Dalam Memahami Al-Qur’an

17 Ilmu Yang Harus Dikuasai Dalam Memahami Al-Qur’an

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Pada jaman akhir ini Perselisihan karena perbedaan pemahaman yang terjadi  boleh jadi dikarenakan segelintir kaum muslim terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi sehingga cara memahami Al Qur'an dan Hadits mengikuti cara  pemahaman  yang serampangan menurut pikiran dan nafsunya mereka sendiri.

Mereka memahami Al Qur'an dan Hadits dengan makna dzahir atau yang kami namakan pemahaman dengan metodologi “terjemahan saja” berdasarkan arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi). Hal ini umum terjadi pada mereka yang memahami agama berlandaskan muthola’ah , menelaah kitab dengan akal pikirannya sendiri.
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)
Baiklah, padahal dalam memaknai Al-Qur'an tersebut ada 17 Ilmu yang harus dikuasai agar bisa memahaminya dengan benar tidak serampangan, adalah sebagai berikut ;
1. Ilmu Mawathin al-Nuzul.
Yaitu ilmu yang menerangkan tempat-tempat turunnya ayat, masanya, awal dan akhirnya. Kitab yang membahas ilmu ini banyak. (Diantaranya ialah al-Itqan, tulisan al-Suyuthi)
 2. Ilmu Tawarikh al-Nuzul.
Yaitu ilmu yang menerangkan dan menjelaskan masa turun ayat dan tertib turunnya, satu demi satu, dari awal turun hingga akhirnya, dan tertib turun surat dengan sempurna.
 3. Ilmu Asbab al-Nuzul.
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab turun ayat. (Diantara kitab yang menjelaskan hal ini ialah Lubab al-Nazul karangan al-Suyuthi)
 4. Ilmu Qira'at.
Yaitu ilmu yang menerangkan rupa-rupa Qira'at (bacaan al-Qur'an yang diterima dari Rasulullah SAW). (Seindah-indah kitab untuk mempelajari ilmu ini ialah kitab al-Nasyr Fi Qira'at al-Asyr, tulisan Ibnu Jazary)
 5. Ilmu Tajwid.
Ilmu yang menerangkan cara membaca al-Qur'an, tempat mulai dan pemberhentianny­a, dan lain-lain yang berhubungan dengan itu.
 6. Ilmu Gharib al-Qur'an.
Ilmu yang menerangkan makna kata-kata yang ganjil yang tidak terdapat dalam kitab-kitab biasa, atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ilmu ini menerangkan makna kata-kata yang halus, tinggi, dan pelik.
 7. Ilmu I'rabil Qur'an.
Ilmu yang menerangkan baris al-Qur'an dan kedudukan lafal dalam ta'bir (susunan kalimat). Di antara kitab yang memenuhi kebutuhan dalam membahas ilmu ini ialah Imla al-Rahman, karangan Abdul Baqa al-Ukbary.
 8. Ilmu Wujuh wa al-Nazhair.
Yaitu ilmu yang menerangkan kata-kata al-Qur'an yang banyak arti; menerangkan makna yang dimaksud pada satu-satu tempat. (Ilmu ini dapat mempelajari dalam kitab Mu'tarak alAqran, karangan al-Suyuthi)
 9. Ilmu Ma'rifat al-Muhkam wa al-Mutasyabih.
Ilmu yang menyatakan ayat-ayat yang dipandang muhkam dan ayat-ayat yang dianggap mutasyabih. (Salah satu kitab mengenai illmu ini ialah al-Manzhumah al-Sakhawiyah, susunan Imam al-Sakhawy)
 10. Ilmu Al-Nasikh wa Al-Mansukh.
Yaitu ilmu yang menerangkan ayat-ayat yang dianggap mansukh oleh sebagian mufassir. (Untuk mempelajari ilmu ini dapat dibaca kitab al-Nasikh wa al-Mansukh, susunan Abu Ja'far al-Nahhas dan al-Itqan karangan al-Suyuthi)
 11. Ilmu Bada'i Al-Qur'an.
Ilmu yang membahas keindahan-keind­ahan Al-Qur'an. Ilmu ini menerangkan kesusasteraan Al-Qur'an, kepelikan-kepel­ikan dan ketinggian-keti­nggian balaghah-nya. (Untuk ini dapat juga dibaca kitab al-Itqan karangan al-Suyuthi)
 12. Ilmu I'dazAal-Qur'an.
Yaitu ilmu yang menerangkan kekuatan susunan tutur al- Qur'an, sehingga ia dipandang sebagai mukjizat, dapat melemahkan segala ahli bahasa Arab. (Kitab yang memenuhi keperluan ini ialah I’jaz al-Qur'an, karangan al-Baqillany)
 13. Ilmu Tanasub Ayat al-Qur'an.
Ilmu yang menerangkan persesuaian antara suatu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya. (Kitab yang memaparkan ilmu ini ialah, Nazhmu al-Durar karangan Ibrahim al-Riqa'iy)
 14. Ilmu Aqsam al-Qur'an.
Yaitu ilmu yang menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah Tuhan atau sumpah-sumpah lainnya yang terdapat di dalam al-Qur'an.
 15. Ilmu Amtsal al-Qur'an.
Ilmu yang menerangkan segala perumpamaan yang ada dalam al-Qur'an.(Kitab yang dapat dipelajari untuk ilmu ini antara lain Amtsal al-Qur'an karangan al-Mawardi)
 16. Ilmu Jidal Al-Qur'an.
Ilmu untuk mengetahui rupa-rupa debat yang dihadapkan Al- Qur'an kepada kaum musyrikin dan lain-lain. Ayat-ayat yang mengandung masalah ini. (Dikumpulkan oleh Najamuddin al- Thusy)
 17. Ilmu Adab al-Tilawah al-Qur'an.
Yaitu ilmu yang mempelajari segala bentuk aturan yang harus dipakai dan dilaksanakan di dalam membaca al-Qur'an. Segala kesusilaan, kesopanan dan ketentuan yang harus dijaga ketika membaca al-Qur'an. Salah satu kitab yang amat baik.


Sumber : YusufAl-Buchory Bin AL-Azhar in TASHOWWUF ILMU PENJAGA BATHIN DAN MANISNYA IBADAH dan diposting kembali oleh:Abdul Qodir Al-Busthomi III, MKub dalam kitab Al-Tibyan, karangan al-Nawawy)





Kemuliaan Ilmu Dan Harta Menurut Sayyidina Ali Bin Abu Thalib KRW

Suatu ketika 10 orang khawarij datang mengunjungi tempat Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib k.r w., mereka bermaksud ingin mengetahui dan menguji sejauh mana kedalaman ilmu yang di kuasai oleh Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib. Mereka penasaran karena Rosululloh SAW dalam sabdanya pernah menggambarkan bahwa bila Beliau adalah kotanya ilmu, maka Ali adalah pintunya ilmu.

10 orang tersebut sepakat bahwa masing-masing dari mereka bertanya dengan pertanyaan yang sama. Pikir mereka, jika ‘Ali dapat menjawab masing-masing dari pertanyaan mereka dengan jawaban yang lain, maka berarti ‘Ali memang berilmu luas sebagaimana yang disabdakan Rosululloh SAW. 

Kemudian mereka bertanya:

Orang Pertama :"Hai Ali, manakah yang lebih mulia, ilmu atau harta, dan terangkan sebab-sebabnya?"

Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib menjawab: "Ilmu lebih mulia daripada harta karena  ilmu adalah warisan para nabi, sedangkan harta kekayaan adalah warisan Fir'aun, Qorun, Syadad, dan sejenisnya. Maka ilmu lebih mulia daripada harta."

Orang Ke 2 : "Hai Ali, manakah yang lebih utama, ilmu ataukah harta?"

Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib menjawab: "Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu bisa memelihara pemiliknya, sedangkan harta, pemiliknya yang harus menjaga hartanya.

Orang Ke 3 : "Hai Ali, manakah yang lebih utama, ilmu ataukah harta?"

Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib menjawab: "Ilmu lebih mulia daripada harta benda, karena orang yang berilmu banyak sahabatnya, sedangkan orang yang banyak hartanya lebih banyak musuhnya."

Orang Ke 4 : "Hai Ali, manakah yang lebih utama, ilmu ataukah harta?"

Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib menjawab: "Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu bila disebarkan/dibagikan akan bertambah, sedangkan harta jika disebarkan atau dibagikan akan berkurang."

Orang Ke 5 : "Hai Ali, manakah yang lebih utama, ilmu ataukah harta?"

Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib menjawab: "Ilmu lebih mulia daripada harta karena pemilik ilmu mendapat panggilan orang yang mulia dan terhormat, sedangkan pemilik harta akan mendapat julukan bakhil."

Orang Ke 6 : "Hai Ali, manakah yang lebih utama, ilmu ataukah harta?"

Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib menjawab: "Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu hanya diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang dicintai-Nya, sedangkan harta diberikan oleh Allah kepada orang-orang, baik yang dicintai maupun yang tidak dicintai-Nya."

Orang Ke 7 : "Hai Ali, manakah yang lebih utama, ilmu ataukah harta?"

Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib menjawab: "Ilmu lebih mulia daripada harta karena pemilik ilmu akan disyafa’ati pada hari kiamat, sedangkan pemilik harta akan dihisab pada hari kiamat."

Orang Ke 8 : "Hai Ali, manakah yang lebih utama, ilmu ataukah harta?"

Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib menjawab: " Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu tidak  akan binasa dan tidak dapat habis selamanya, sedangkan harta bisa habis dan bisa lenyap karena masa atau usia."

Orang Ke 9 : "Hai Ali, manakah yang lebih utama, ilmu ataukah harta?"

Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib menjawab: "Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu sebagai pelita penerang cahaya hati, menjernihkan pikiran dan hati serta menenangkan jiwa, sedangkan harta pada umumnya menggelapkan jiwa dan hati, membuat hati keras dan membatu."

Orang Ke 10 : "Hai Ali, manakah yang lebih utama, ilmu ataukah harta?"

Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib menjawab: "Ilmu lebih mulia daripada harta, karena orang yang berilmu lebih terdorong untuk mencintai Allah, merendahkan diri, dan bersifat perikemanusiaan. Sedangkan harta benda membangkitkan orang pada sifat-sifat sombong, congkak, takabur, dan angkuh."

***

Selanjutnya Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib k.w. berkata, "Seandainya mereka masih bertanya lagi dalam masalah ini tentu aku akan menjawab dengan jawaban lain selama aku masih hidup."

Akhirnya mereka mengakui ketinggian dan keluasan ilmu Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib k.r w. sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. S
esungguhnya ilmu itu adalah cahaya orang mukmin di dunia dan akhirat.


Posted by Tatang Gunawan S



LIMA JALAN PENYEMBUH HATI

(Bahasan Terhadap Syi’ir “Tombo Ati”)

Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya dalam tubuh ada segumpal daging, apabila baik maka akan baik pula seluruh jasadnya dan apabila daging itu buruk maka akan buruk pula jasad seluruhnya, ketahuilah bahwa dia adalah hati (Muttafaq ‘alaih).
Hadits di atas menunjukkan betapa pentingnya peranan hati dalam kehidupan manusia.

Menurut Imam Ghozali  , hati mempunyai dua pengertian, pertama berarti segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada sebelah kiri, yang didalamnya ada rongga-rongga yang mengandung darah hitam sebagai sumber roh. Kedua berarti yang halus bersifat ketuhanan dan rohaniah yang ada hubungannya dengan hati jasmani tadi.
Hati dalam arti kedua ini adalah hakekat manusia yang dapat menangkap segala pengertian, berpengetahuan dan arif, yang menjadi sasaran dari segala perintah dan larangan Tuhan, yang akan disiksa, dicela dan dituntut segala amal perbuatannya.
Selanjutnya Imam Ghozali mengatakan bahwa taat kepada Allah dengan tidak menurutkan hawa nafsu dapat mengkilatkan hati, sebaliknya berdosa kepada Allah akan menghitamkannya. Senada dengan Imam Ghozali Muhammad Ibrahim Salim mengatakan pengaruh dosa dalam hati sama dengan pengaruh penyakit pada tubuh. Dosa adalah penyakit hati dan tidak ada obatnya kecuali dengan bertobat untuk menghilangkan dosa yang mengkotori hati. Dengan demikian dosa akan menyebabkan hati menjadi sakit dan untuk mengobatinya adalah obat-obatan yang berupa amal ibadah.
Dalam buku Syi’iran Kiai-Kiai dicantumkan sebuah syi’ir (pujian) yang berjudul “Tombo Ati” yang biasa didendangkan di masjid, pesantren dan pengajian-pengajian (sekarang sudah direkam dalam pita kaset, dinyanyikan/dibawakan oleh Emha Ainun Najib). Syi’iran tersebut didendangkan di sela-sela bacaan sholawat nabi yang dilagukan. Adapun bunyi syi’ir Tombo Ati itu adalah sebagai berikut :

Tamba ati iku lima warnane
Ingkang dingin nderes Qur’an sakmanane
Kaping pindo wongkang sholeh kumpulana
Kaping telu shalat wengi lakonana
Kaping papat weteng iro ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sapa wongkang gelem nglakoni
Insya Allah gusti Allah ngijabahi.
Terjemahan bebasnya kira-kira sebagai berikut :
Obat hati itu lima macam
Yang pertama membaca Qur’an berikut maknanya
Yang kedua bergaul dengan orang shaleh
Yang ketiga melaksanakan shalat malam
Yang keempat melaparkan perut/berpuasa
Yang kelima dzikir malam yang panjang
Siapa yang dapat melakukan salah satu diantaranya Insya Allah, Tuhan akan mengabulkan

Sumber dari syi’ir di atas kemungkinan besar adalah dari kitab Nashoihul ‘Ibad, di mana di dalamnya disebutkan bahwa Abdullah Al Anthakiy Rahimahullah berkata : Lima macam obat hati yaitu : Bergaul dengan orang-orang shalih, membaca Al-Qur’an, melaparkan perut, shalat di malam hari, dan bersembah sujud di waktu menjelang shubuh. (Imam Nawawi,).
Uraian berikut mencoba untuk memberikan bahasan yang bersifat penjelasan terhadap lima macam obat hati di atas.

B. Pembahasan Lima Jalan Penyembuh Hati
1. Dzikir
Dzikir adalah bacaan, puji-pujian dan lain-lain sebutan yang tidak mengandung permintaan (Ibnu Hajar Al Asqolani, 1976). Sedang menurut Hasbi Ashshiddieqy dzikir  adalah menyebut Allah dengan membaca tasbieh (subhanallahi) membaca tahliel (la-ilaha illallahu) membaca tahmied (alhamdulillahi) membaca taqdies (quddusun), membaca takbir (Allahu Akbar), membaca hauqalah (lahaula wala quwwata illa billahi), membaca hasbalah (hasbiyallahu), membaca basmalah, membaca Al-Qur’anul Majied dan membaca do’a-do’a ma’tsur, yaitu do’a-do’a yang diterima dari Nabi saw. Dzikir adalah mengingat Allah dalam hati dan menyebut nama-Nya pada lisan berdasarkan perintah Allah dalam Al Qur’an dan contoh-contoh dari Nabi saw.
Terdapat banyak perintah untuk melaksanakan dzikir baik dalam Al Qur’an maupun hadits, diantaranya adalah dalam surat Al Ahzab ayat 41: “Sebutlah olehmu akan Allah dengan sebutan yang banyak”, surat Al Anfal ayat 45 : “Dan sebutlah olehmu akan Allah dengan sebutan yang banyak, supaya kamu mendapat kemenangan”, juga dalam Surat Ad Dahr ayat 25-26: “Dan sebutlah akan nama Tuhanmu di waktu pagi dan petang dan disebagian malam. Dan bersujudlah kepadaNya seraya bertasbih pada malam yang panjang”.
Nabi Muhammad saw juga menganjurkan untuk dizikir yaitu dengan sabdanya: “Barang siapa tiada banyak menyebut Allah, maka sungguh terlepas dia dari iman”, juga sabda beliau: “orang yang menyebut Tuhannya dengan orang yang tiada menyebut Tuhannya, adalah seumpama orang yang masih hidup dibanding dengan orang yang mati” (HR. Bukhori) Ash Shiddiqy, 1983).
Dzikir sebagai amalan ibadah yang sangat dianjurkan sangat berpengaruh positif terhadap hati manusia, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Membuat hati bersih dan bening, tenteram dan tenang sebagaimana disebutkan dalam Qur’an Surat Ar-Ra’du ayat 28 :
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra’du: 28).
2. Hati merasa Ridla
Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbihlah pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya hatimu merasa ridla. (QS. Thaha: 130).

3. Diingat Allah dan dipenuhi rahmat dan ketenteraman, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw.
Tidak ada majlis suatu kaum yang di dalamnya ada mengingat Allah, kecuali akan diliputi oleh para malaikat dan dipenuhi dengan rahmat, dan Allah akan mengingat mereka di sisi-Nya (HR. Muslim) (Ibnu Hajar Al-Asqolani, 1976).
4. Menimbulkan rasa dekat, dalam perlindungan dan pertolongan Allah, sebagaimana firman-Nya: Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu… (QS. Al-Baqoroh: 152).
Rasulullah Saw bersabda :
Allah Ta’ala berfirman : Aku beserta hambaku selama ia sebut-Ku dan bergerak dua bibirnya pada menyebut-Ku (Ibnu Majah) (Ibnu Hajar As-Qolani: 1976).
5. Terapi bagi kegelisahan ketika manusia merasa lemah, sebagai penyangga dan penolong menghadapi berbagai tekanan dan permasalahan kehidupan.
Firman Allah :
Dan barang siapa berpaling dari mengingat-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (QS. Thaha: 124).

6. Dibersihkan (hati) dari dosa
Bersabda Rasulullah Saw. :
Barang siapa yang berkata (yang artinya): Maha suci Allah dan dengan memuji-Nya (aku berbakti) sebanyak seratus kali, niscaya digugurkan dari padanya dosa-dosanya, walaupun sebanyak buih laut (Mutattaq ‘alaihi) (Ibnu Hajar As-Asqolani, 1976).

7. Disembuhkan dari Penyakit (hati)
Bersabda Rasulullah saw. : Menyebut-nyebut Allah adalah suatu penyembuhan dan menyebut-nyebut tentang manusia adalah penyakit (HR. Al Baihaqi) (Muhammad Faiz Almath, 1993).
Selanjutnya menurut Fat-hiy Yakan (1984:150) dzikir merupakan biduk penyelemat dari tenggelam di lautan keraguan, was-was resah gelisah dan semua penyakit jiwa. Dzikir kepada Allah menumbuhkan ketegaran dan kelapangan hati, yang mana pada gilirannya menumbuhkan kekuatan dan kemampuan pada dirinya untuk mampu menghadapi segala tantangan dan melewati segala rintangan hidup dengan penuh kepercayaan dan ketenangan.

2. Membaca Al Qur’an
Membaca Al Qur’an selain merupakan ibadah juga merupakan cara untuk penyembuhan hati sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat Yunus ayat 57: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit (yang ada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. Juga dalam surat Al-Isra ayat 82” “Dan Kami turunkan dari Al Qur’an itu, apa yang menjadi obat dan rahmat bagi mereka yang beriman.
Jalaluddin As Suyuti (1995) mengemukakan bahwa diantara keistimewaan Al Qur’an adalah dapat mengobati kekerasan hati, menghilangkan duka dan memasukkan kegembiraan dalam hati, menghilangkan kesusahan, bahkan untuk penyembuhan penyakit-penyakit fisik.
Selanjutnya Hasbi Ash Shiddiqy (1983) menyebutkan bahwa faedah tilawat atau membaca Al Qur’an adalah sebagai berikut :
a. Pembaca Al Qur’an ditempatkan di dalam shaf orang-orang besar yang utama dan tinggi.
b. Pembaca Al Qur’an memperoleh beberapa kebajikan dari tiap-tiap huruf yang dibacanya dan bertambah-tambah derajatnya di sisi Allah sebanyak kebajikan yang diperolehnya itu.
c. Pembaca Al Qur’an akan dinaungi rahmat dikelilingi para malaikat dan Allah menurunkan kepadanya ketenangan dan kewaspadaan.
d. Pembaca Al Qur’an digemilangkan hatinya oleh Allah dan dihindarkan dari kegelapan.
e. Pembaca Al Qur’an disegani dan dicintai oleh orang-orang shaleh.
f. Pembaca Al Qur’an tidak akan gundah hatinya di hari kiamat, karena ia senantiasa dalam pemeliharaan dan penjagaan Allah.
g. Pembaca Al Qur’an memperoleh kemuliaan dan diberikan rahmat kepada ibu bapaknya.
h. Pembaca Al Qur’an memperoleh kedudukan yang tinggi dalam syurga.
i. Pembaca Al Qur’an memperoleh pula derajat seperti yang diingini oleh orang-orang shaleh
j. Pembaca Al Qur’an ditemani dan dikelilingi oleh para malaikat, semuanya mendo’akan dan memohonkan ampunan dan derajat yang tinggi baginya.
k. Pembaca Al Qur’an terlepas dari kesusahan-kesusahan akherat
l. Pembaca Al Qur’an termasuk orang yang dekat kepada Allah, berada dalam rombongan orang-orang yang mengiringi Allah di hari syurga.

3. Melaparkan Perut/Puasa
Menurut Imam Nawawy  dimaksudkan dalam melaparkan perut ialah tidak banyak makan, dan berhati-hati agar yang dimakannya benar-benar halal. Makanan halal itu pmenjadi pangkal segala kebajikan, sebab barang halal itu dapat menyinari hati sehingga matahati menjadi bersih cemerlang dan ibarat cermin akan kembali mengkilap mampu memantulkan bayangan dan membiaskan sinar. Dalam hadits dinyatakan: “Tiga hal berikut dapat membuat pengerasan dihati yaitu gemar makan, gemar tidur dan gemar menganggur”.

Bentuk lain dari melaparkan perut adalah puasa. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda : “Berpuasalah kamu maka kamu akan sehat”. Dalam hadits lain Nabi menganjurkan puasa bagi para pemuda untuk menahan hawa nafsunya jika mereka belum mampu untuk menikah. Dari hadits Nabi tersebut nampak bahwa puasa merupakan sarana auntuk mencapai kesehatan baik lahir maupun batin dan juga merupakan jalan untuk mengekang hawa nafsu yang merupakan sumber dari penyakit hati.
Menurut Fat-hiy Yakan puasa merupakan pembersih jiwa yang paling kuat terutama untuk melawan hawa nafsu yang menjadi pangkal dari kotornya hati. Selain itu dengan puasa perasaan menjadi halus dan peka, pikiran jernih dan nafsu melemah.

4. Shalat Malam
Dalam Al Qur’an terdapat ayat-ayat yang menjadi dasar bagi pelaksanaan shalat malam, yaitu surat Al-Isra ayat 79: “Sebagian waktu malam itu hendaknya engkau gunakan untuk salat tahajud, sebagai salat sunat untuk dirimu, mudah-mudahan Tuhan akan membangkitkan engkau dengan kedudukan yang baik”. Surat Al Muzammil ayat 6: “Sesungguhnya bangun di waktu malam untuk shalat adalah lebih tepat dan bacaan di waktu itu lebih terkesan”. Dan juga Surat Ad Dahr ayat 26: “Dan di sebagian dari pada malam sujudlah kepadaNya dan berbaktilah kepadaNya di malam yang panjang”.

Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda: “Kerjakanlah shalat malam karena shalat itu merupakan kebiasaan orang-orang saleh sebelum kamu. Ia mendekatkan kamu kepada Tuhan, menghapus dosa-dosa, mencegah perbuatan dosa dan menolak penyakit dari tubuh”. (HR. At Thabrany dan A Turmudziy).
Berdasarkan kepada Al Qur’an dan Hadits Nabi tersebut Fat-hiy Yakan berpendapat bahwa shalat malam mempersiapkan manusia menjadi insane rabbani yang bergayut dengan Allah, berjiwa cemerlang, hatinya bercahaya, sadar dan berpikiran jernih. Dengan kondisi yang demikian tentu saja akan mampu menghadapi persoalan hidup dengan tenang dan tidak mudah merasa bingung apalagi stress.
Dengan demikian menjalankan shalat malam yang didukung oleh suasana yang tenang, hening dan sunyi secara psikologis akan mendatangkan ketenangan dan ketentraman hati

5. Bergaul Dengan Orang Shaleh
Menurut Imam Nawawi (1983) bergaul dengan orang shaleh artinya hadir di majlis mereka dan memegangi petuah mereka, dan sebaliknya bersikap diam dan menyingkir dari mereka yang gemar berbuat bathil.
Dalam Al Qur’an surat Al Maidah ayat 55-56 Allah berfirman: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah); Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang”.
Selanjutnya dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah kalian bersahabat dengan kawan yang tulus hati, karena mereka menjadi hiasan di kala bahagia dan menjadi perisai di saat terjadi bencana”. (Imam Nawawi, 1983: 227).
Berdasarkan kepada firman Allah dan hadits Rasul tersebut maka dapat dikatakan bahwa bergaul atau bersahabat dengan orang shaleh dan menjadikannya sebagai penolong, merupakan jalan yang tepat untuk mengatasi kesusahan termasuk di sini adalah kesusahan hati.


http://sufiroad.blogspot.com/2010/12/sufi-road-lima-jalan-penyembuh-hati.html

Habib Abdullah bin Husain bin Thahir

 Beliau lahir di Tarim, sebuah kota kecil di Yaman Selatan pada tahun 1191 Hijriyah. Menimba ilmu dari ulama-ulama besar di Hadhramaut dan ulama-ulama besar dari Makkah dan Madinah. Dengan kemauan yang kuat dan kecerdasan yang luar biasa serta kebersihan dan keikhlasan hatinya, beliau pada akhirnya menjadi salah seorang ulama paling besar pada masanya.Dari beliau banyak sekali lahir murid-murid yang kemudian menjadi ulama-ulama besar di antaranya adalah Al-Allamah Muhammad bin Husain Al-Habsyi dan Al-Habib Ali Al-Habsy, penulis risalah Maulid Nabi Muhammad s.a.w yang terkenal (Simthud Duror).

Dari tangan beliau juga lahir karya-karya (kitab) yang cukup fenomenal, antara lain Diwan (kumpulan syair), al-Washiah an-Nafi’ah fi Kalimat Jami’ah, Dzikru al-Mu’minin bima Ba’atsa bihi Sayyidil Mursalin (berisi tentang ajakan untuk mengerjakan amal salih), Silmu at-Taufiq (tentang fiqih), Miftahul I’rab (tentang ilmu nahwu) dan Majmu’ (yang sekarang ada di tangan pembaca).

Beliau meninggal pada usia 81 tahun, yakni pada tahun 1272 Hijriyah. Tepatnya, setelah menjalani kehidupan yang penuh dengan perjuangan di jalan Allah, baik dalam ilmu agama maupun perjuangan politiknya, dengan mengatakan yang benar di hadapan penguasa pada masa itu.

Demikianlah sekelumit tentang riwayat hidup beliau. Semoga Allah meridhai perjuangan beliau dan membalasnya dengan sebaik-baik balasan.

dipetik dari: Mencapai Jiwa Yang Tenteram karangan Al-Alamah Abdullah bin Husain bin Thahir terbitan Pustaka Hidayah


AL QUTHUB AL HABIB ABDULLAH BIN ALWI AL HADDAD (Shohibur Ratib)

lahir hari Rabu, Malam Kamis tanggal 5 Bulan Syafar 1044 H di Desa Sabir di Kota Tarim, wilayah Hadhromaut, Negeri Yaman.

Nasab

Beliau adalah seorang Imam Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Hadad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwy bin Ahmad bin Abu Bakar Al–Thowil bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Faqih bin Abdurrohman bin Alwy bin Muhammad Shôhib Mirbath bin Ali Khôli’ Qosam bin Alwi bin Muhammad Shôhib Shouma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Muhâjir Ilallôh Ahmad bin Isa bin Muhammad An-Naqîb bin Ali Al-Uraidhi bin Imam Jakfar Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam As-Sibth Al-Husein bin Al-Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib suami Az-Zahro Fathimah Al-Batul binti Rosulullah Muhammad SAW.

Orang-tuanya

Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad, Ayah Syaikh Abdullah Al-Haddad dikenal sebagai seorang yang saleh. Lahir dan tumbuh di kota Tarim, Sayyid Alwy, sejak kecil berada di bawah asuhan ibunya Syarifah Salwa, yang dikenal sebagai wanita ahli ma’rifah dan wilayah. Bahkan Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad sendiri banyak meriwayatkan kekeramatannya. Kakek Al-Haddad dari sisi ibunya ialah Syaikh Umar bin Ahmad Al-Manfar Ba Alawy yang termasuk ulama yang mencapai derajat ma’rifah sempurna.

Suatu hari Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad mendatangi rumah Al-Arif Billah Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Habsy, pada waktu itu ia belum berkeluarga, lalu ia meminta Syaikh Ahmad Al-Habsy mendoakannya, lalu Syaikh Ahmad berkata kepadanya, ”Anakmu adalah anakku, di antara mereka ada keberkahan”. Kemudian ia menikah dengan cucu Syaikh Ahmad Al-Habsy, Salma binti Idrus bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Al-Habib Idrus adalah saudara dari Al-Habib Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Yang mana Al-Habib Husein ini adalah kakek dari Al-Arifbillah Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy (Mu’alif Simtud Durror). Maka lahirlah dari pernikahan itu Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad. Ketika Syaikh Al-Hadad lahir ayahnya berujar, “Aku sebelumnya tidak mengerti makna tersirat yang ducapkan Syaikh Ahmad Al-Habsy terdahulu, setelah lahirnya Abdullah, aku baru mengerti, aku melihat pada dirinya tanda-tanda sinar Al-wilayah (kewalian)”.

Masa Kecil

Dari semenjak kecil begitu banyak perhatian yang beliau dapatkan dari Allah. Allah menjaga pandangan beliau dari segala apa yang diharomkan. Penglihatan lahiriah Beliau diambil oleh Allah dan diganti oleh penglihatan batin yang jauh yang lebih kuat dan berharga. Yang mana hal itu merupakan salah satu pendorong beliau lebih giat dan tekun dalam mencari cahaya Allah menuntut ilmu agama.

Pada umur 4 tahun beliau terkena penyakit cacar sehingga menyebabkannya buta. Cacat yang beliau derita telah membawa hikmah, beliau tidak bermain sebagaimana anak kecil sebayanya, beliau habiskan waktunya dengan menghapal Al-Quran, mujahaddah al-nafs (beribadah dengan tekun melawan hawa nafsu) dan mencari ilmu. Sungguh sangat mengherankan seakan-akan anak kecil ini tahu bahwa ia tidak dilahirkan untuk yang lain, tetapi untuk mengabdi kepada Allah SWT.

Dakwahnya

Berkat ketekunan dan akhlakul karimah yang beliau miliki pada saat usia yang sangat dini, beliau dinobatkan oleh Allah dan guru-guru beliau sebagai da’i, yang menjadikan nama beliau harum di seluruh penjuru wilayah Hadhromaut dan mengundang datangnya para murid yang berminat besar dalam mencari ilmu. Mereka ini tidak datang hanya dari Hadhromaut tetapi juga datang dari luar Hadhromaut. Mereka datang dengan tujuan menimba ilmu, mendengar nasihat dan wejangan serta tabarukan (mencari berkah), memohon doa dari Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Di antara murid-murid senior Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah putranya, Al-Habib Hasan bin Abdullah bin Alwy Al-Haddad, Al-Habib Ahmad bin Zein bin Alwy bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy, Al-Habib Ahmad bin Abdullah Ba-Faqih, Al-Habib Abdurrohman bin Abdullah Bilfaqih, dll.

Selain mengkader pakar-pakar ilmu agama, mencetak generasi unggulan yang diharapkan mampu melanjutkan perjuangan kakek beliau, Rosullullah SAW, beliau juga aktif merangkum dan menyusun buku-buku nasihat dan wejangan baik dalam bentuk kitab, koresponden (surat-menyurat) atau dalam bentuk syair sehingga banyak buku-buku beliau yang terbit dan dicetak, dipelajari dan diajarkan, dibaca dan dialihbahasakan, sehingga ilmu beliau benar-benar ilmu yang bermanfaat. Tidak lupa beliau juga menyusun wirid-wirid yang dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bermanfaat untuk agama, dunia dan akhirat, salah satunya yang agung dan terkenal adalah Rotib ini. Rotib ini disusun oleh beliau dimalam Lailatul Qodar tahun 1071 H.

Akhlaq dan Budi Pekerti

Al-Imam Al-Haddad (rahimahullah) memiliki perwatakan badan yang tinggi, berdada bidang, tidak terlalu gempal, berkulit putih, sangat berhaibah dan tidak pula di wajahnya kesan mahupun parut cacar.

Wajahnya sentiasa manis dan menggembirakan orang lain di dalam majlisnya. Ketawanya sekadar senyuman manis; apabila beliau gembira dan girang, wajahnya bercahaya bagaikan bulan. Majlis kendalian beliau sentiasa tenang dan penuh kehormatan sehinggakan tidak terdapat hadhirin berbicara mahupun bergerak keterlaluan bagaikan terletak seekor burung di atas kepala mereka.

Mereka yang menghadhiri ke majlis Al-Habib bagaikan terlupa kehidupan dunia bahkan terkadang Si-lapar lupa hal kelaparannya; Si-sakit hilang sakitnya; Si-demam sembuh dari demamnya. Ini dibuktikan apabila tiada seorang pun yang yang sanggup meninggalkan majlisnya.

Al-Imam sentiasa berbicara dengan orang lain menurut kadar akal mereka dan sentiasa memberi hak yang sesuai dengan taraf kedudukan masing-masing. Sehinggakan apabila dikunjungi pembesar, beliau memberi haknya sebagai pembesar; kiranya didatangi orang lemah, dilayani dengan penuh mulia dan dijaga hatinya. Apatah lagi kepada Si-miskin.

Beliau amat mencintai para penuntut ilmu dan mereka yang gemar kepada alam akhirat. Al-Habib tidak pernah jemu terhadap ahli-ahli majlisnya bahkan sentiasa diutamakan mereka dengan kaseh sayang serta penuh rahmah; tanpa melalaikan beliau dari mengingati Allah walau sedetik. Beliau pernah menegaskan “Tiada seorang pun yang berada dimajlisku mengganguku dari mengingati Allah”.

Majlis Al-Imam sentiasa dipenuhi dengan pembacaan kitab-kitab yang bermanfaat, perbincangan dalam soal keagamaan sehingga para hadhirin sama ada yang alim ataupun jahil tidak akan berbicara perkara yang mengakibatkan dosa seperti mengumpat ataupun mencaci. Bahkan tidak terdapat juga perbicaraan kosong yang tidak menghasilkan faedah. Apa yang ditutur hanyalah zikir, diskusi keagamaan, nasihat untuk muslimin, serta rayuan kepada mereka dan selainnya supaya beramal soleh. Inilah yang ditegaskan oleh beliau “Tiada seorang pun yang patut menyoal hal keduniaan atau menyebut tentangnya kerana yang demikian adalah tidak wajar; sewajibnya masa diperuntuk sepenuhnya untuk akhirat sahaja. Silalah bincang perihal keduniaan dengan selain dariku.”

Al-Habib (rahimahullah) adalah contoh bagi insan dalam soal perbicaraan mahupun amalan; mencerminkan akhlak junjungan mulia dan tabiat Al-Muhammadiah yang mengalir dalam hidup beliau. Beliau memiliki semangat yang tinggi dan azam yang kuat dalam hal keagamaan. Al-Imam juga sentiasa menangani sebarang urusan dengan penuh keadilan dengan menghindari pujian atau keutamaan dari oramg lain; bahkan beliau sentiasa mempercepatkan segala tugasnya tanpa membuang masa. Beliau bersifat mulia dan pemurah lebih-lebih lagi di bulan Ramadhan. Ciri inilah menyebabkan ramai orang dari pelusuk kampung sering berbuka puasa bersama beliau di rumahnya dengan hidangan yang tidak pernah putus semata mata mencari barakah Al-Imam.

Al-Imam menyatakan “Sesuap makanan yang dihadiahkan atau disedekahkan mampu menolak kesengsaraan”. Katanya lagi “Kiranya ditangan kita ada kemampuan, nescaya segala keperluan fakir miskin dipenuhi, sesungguhnya permulaan agama ini tidak akan terdiri melainkan dengan kelemahan Muslimin”.

Beliau adalah seorang yang memiliki hati yang amat suci, sentiasa sabar terhadap sikap buruk dari yang selainnya serta tidak pernah merasa marah. Kalaupun ia memarahi, bukan kerana peribadi seseorang tetapi sebab amalan mungkarnya yang telah membuat Al-Imam benar-benar marah. Inilah yang ditegaskan oleh Al-Habib “Adapun segala kesalahan berkait dengan hak aku, aku telah maafkan; tetapi hak Allah sesungguhnya tidak akan dimaafkan”.

Al-Imam amatlah menegah dari mendoa’ agar keburukan dilanda orang yang menzalimi mereka. Sehingga bersama beliau terdapat seorang pembantu yang terkadangkala melakukan kesilapan yang boleh menyebabkan kemarahan Al-Imam. Namun beliau menahan marahnya; bahkan kepada si-Pembantu itu diberi hadiah oleh Al-Habib untuk meredakan rasa marah beliau sehinggakan pembantunya berkata: “alangkah baiknya jika Al-Imam sentiasa memarahiku”.

Segala pengurusan hidupnya berlandaskan sunnah; kehidupannya penuh dengan keilmuan ditambah pula dengan sifat wara’. Apabila beliau memberi upah dan sewa sentiasa dengan jumlah yang lebih dari asal tanpa diminta. Kesenangannya adalah membina dan mengimarahkan masjid. Di Nuwaidarah dibinanya masjid bernama Al-Awwabin begitu juga, Masjid Ba-Alawi di Seiyoun, Masjid Al-Abrar di As-Sabir, Masjid Al-Fatah di Al-Hawi, Masjid Al-Abdal di Shibam, Masjid Al-Asrar di Madudah dan banyak lagi.

Diantara sifat Al-Imam termasuk tawaadu’ (merendah diri). Ini terselah pada kata-katanya, syair-syairnya dan tulisannya. Al-Imam pernah mengutusi Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Aidarus. “Doailah untuk saudaramu ini yang lemah semoga diampuni Allah”

Wafatnya

Beliau wafat hari Senin, malam Selasa, tanggal 7 Dhul-Qo’dah 1132 H, dalam usia 98 tahun. Beliau disemayamkan di pemakaman Zambal, di Kota Tarim, Hadhromaut, Yaman. Semoga Allah melimpahkan rohmat-Nya kepada beliau juga kita yang ditinggalkannya.

Habib Abdullah Al Haddad dimata Para Ulama

Al-Arifbillah Quthbil Anfas Al-Imam Habib Umar bin Abdurrohman Al-Athos ra. mengatakan, “Al-Habib Abdullah Al-Haddad ibarat pakaian yang dilipat dan baru dibuka di zaman ini, sebab beliau termasuk orang terdahulu, hanya saja ditunda kehidupan beliau demi kebahagiaan umat di zaman ini (abad 12 H)”.

Al-Imam Arifbillah Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Idrus ra. mengatakan, “Sayyid Abdullah bin Alwy Al-Haddad adalah Sultan seluruh golongan Ba Alawy”.

Al-Imam Arifbillah Muhammad bin Abdurrohman Madehej ra. mengatakan, “Mutiara ucapan Al-Habib Abdullah Al-Haddad merupakan obat bagi mereka yang mempunyai hati cemerlang sebab mutiara beliau segar dan baru, langsung dari Allah SWT. Di zaman sekarang ini kamu jangan tertipu dengan siapapun, walaupun kamu sudah melihat dia sudah memperlihatkan banyak melakukan amal ibadah dan menampakkan karomah, sesungguhnya orang zaman sekarang tidak mampu berbuat apa-apa jika mereka tidak berhubungan (kontak hati) dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebab Allah SWT telah menghibahkan kepada beliau banyak hal yang tidak mungkin dapat diukur.”

Al-Imam Abdullah bin Ahmad Bafaqih ra. mengatakan, “Sejak kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad bila matahari mulai menyising, mencari beberapa masjid yang ada di kota Tarim untuk sholat sunnah 100 hingga 200 raka’at kemudian berdoa dan sering membaca Yasin sambil menangis. Al-Habib Abdullah Al-Haddad telah mendapat anugrah (fath) dari Allah sejak masa kecilnya”.

Sayyid Syaikh Al-Imam Khoir Al-Diin Al-Dzarkali ra. menyebut Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai fadhillun min ahli Tarim (orang utama dari Kota Tarim).

Al-Habib Muhammad bin Zein bin Smith ra. berkata, “Masa kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah masa kecil yang unik. Uniknya semasa kecil beliau sudah mampu mendiskusikan masalah-masalah sufistik yang sulit seperti mengaji dan mengkaji pemikiran Syaikh Ibnu Al-Faridh, Ibnu Aroby, Ibnu Athoilah dan kitab-kitab Al-Ghodzali. Beliau tumbuh dari fitroh yang asli dan sempurna dalam kemanusiaannya, wataknya dan kepribadiannya”.

Al-Habib Hasan bin Alwy bin Awudh Bahsin ra. mengatakan, “Bahwa Allah telah mengumpulkan pada diri Al-Habib Al-Haddad syarat-syarat Al-Quthbaniyyah.”

Al-Habib Abu Bakar bin Said Al-Jufri ra. berkata tentang majelis Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai majelis ilmu tanpa belajar (ilmun billa ta’alum) dan merupakan kebaikan secara menyeluruh. Dalam kesempatan yang lain beliau mengatakan, “Aku telah berkumpul dengan lebih dari 40 Waliyullah, tetapi aku tidak pernah menyaksikan yang seperti Al-Habib Abdullah Al-Haddad dan tidak ada pula yang mengunggulinya, beliau adalah Nafs Rohmani, bahwa Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah asal dan tiada segala sesuatu kecuali dari dirinya.”

Seorang guru Masjidil Harom dan Nabawi, Syaikh Syihab Ahmad al-Tanbakati ra. berkata, “Aku dulu sangat ber-ta’alluq (bergantung) kepada Sayyidi Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani. Kadang-kadang dia tampak di hadapan mataku. Akan tetapi setelah aku ber-intima’ (condong) kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad, maka aku tidak lagi melihatnya. Kejadian ini aku sampaikan kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Beliau berkata,’Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani di sisi kami bagaikan ayah. Bila yang satu ghoib (tidak terlihat), maka akan diganti dengan yang lainnya. Allah lebih mengetahui.’ Maka semenjak itu aku ber-ta’alluq kepadanya.”

Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi ra. seorang murid Al-Habib Abdullah Al-Haddad yang mendapat mandat besar dari beliau, menyatakan kekagumannya terhadap gurunya dengan mengatakan, ”Seandainya aku dan tuanku Al-Habib Abdullah Al-Haddad ziaroh ke makam, kemudian beliau mengatakan kepada orang-orang yang mati untuk bangkit dari kuburnya, pasti mereka akan bangkit sebagai orang-orang hidup dengan izin Allah. Karena aku menyaksikan sendiri bagaimana dia setiap hari telah mampu menghidupkan orang-orang yang bodoh dan lupa dengan cahaya ilmu dan nasihat. Beliau adalah lauatan ilmu pengetahuan yang tiada bertepi, yang sampai pada tingkatan Mujtahid dalam ilmu-ilmu Islam, Iman dan Ihsan. Beliau adalah mujaddid pada ilmu-ilmu tersebut bagi penghuni zaman ini. ”

Syaikh Abdurrohman Al-Baiti ra. pernah berziaroh bersama Al-Habib Abdullah Al-Haddad ke makam Sayidina Al-Faqih Al-Muqoddam Muhammad bin Ali Ba’Alawy, dalam hatinya terbetik sebuah pertanyaan ketika sedang berziaroh, “Bila dalam sebuah majelis zikir para sufi hadir Al-Faqih Al-Muqaddam, Syaikh Abdurrohman Asseqaff, Syaikh Umar al-Mukhdor, Syaikh Abdullah Al-Idrus, Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, dan yang semisal setara dengan mereka, mana diantara mereka yang akan berada di baris depan? Pada waktu itu guruku, Al-Habib Abdullah Al-Haddad, menyingkap apa yang ada dibenakku, kemudian dia mengatakan, ‘Saya adalah jalan keluar bagi mereka, dan tiada seseorang yang bisa masuk kepada mereka kecuali melaluiku.’ Setelah itu aku memahami bahwa beliau Al-Habib Abdullah Al-Haddad, adalah dari abad 2 H, yang diakhirkan kemunculannya oleh Allah SWT pada abad ini sebagai rohmat bagi penghuninya.”

Al-Habib Ahmad bin Umar bin Semith ra. mengatakan, “Bahwa Allah memudahkan bagi pembaca karya-karya Al-Habib Abdullah Al-Haddad untuk mendapat pemahaman (futuh), dan berkah membaca karyanya Allah memudahkan segala urusannya agama, dunia dan akhirat, serta akan diberi ‘Afiat (kesejahteraan) yang sempurna dan besar kepadanya.”

Al-Habib Thohir bin Umar Al-Hadad ra. mengatakan, “Semoga Allah mencurahkan kebahagiaan dan kelapangan, serta rezeki yang halal, banyak dan memudahkannya, bagi mereka yang hendak membaca karya-karya Al-Quthb Aqthob wal Ghouts Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad ra.”

Al-Habib Umar bin Zain bin Semith ra. mengatakan bahwa seseorang yang hidup sezaman dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad ra., bermukim di Mekkah, sehari setelah Al-Habib Abdullah Al-Haddad wafat, ia memberitahukan kepada sejumlah orang bahwa semalam beliau ra. sudah wafat. Ketika ditanya darimana ia mengetahuinya, ia menjawab, “Tiap hari, siang dan malam, saya melihat beliau selalu datang berthowaf mengitari Ka’bah (padahal beliau berada di Tarim, Hadhromaut). Hari ini saya tidak melihatnya lagi, karena itulah saya mengetahui bahwa beliau sudah wafat.”

Karya-karyanya

Beliau meninggalkan kepada umat Islam khazanah ilmu yang banyak, yang tidak ternilai, melalui kitab-kitab dan syair-syair karangan beliau. Antaranya ialah:

1. An-Nashaa’ih Ad-Dinniyah Wal-Washaya Al-Imaniyah.

2. Ad-Dakwah At Tammah.

3. Risalah Al-Mudzakarah Ma’al-Ikhwan Wal-Muhibbin.

4. Al Fushuul Al-Ilmiyah.

5. Al-Hikam.

6. Risalah Adab Sulukil-Murid.

7. Sabilul Iddikar.

8. Risalah Al-Mu’awanah.

9. Ittihafus-Sa’il Bi-Ajwibatil-Masa’il.

10. Ad-Durrul Manzhum Al-Jami’i Lil-Hikam Wal-Ulum.

Sumber :

http://majlismajlas.blogspot.com/2006/08/hikam-al-haddad-3.html

http://www.alhawi.net/riwayat.htm

Posted in Calm

Diposkan oleh Majlis Arrahman



Al Habib Abdullah bin Ali Al Haddad

Beliau dilahirkan di kota Hawi, Tarim, pada tanggal 2 Shafar 1261 H. Semenjak kecil beliau mendapatkan pendidikan langsung dari kedua orangtuanya. Hal itu memang sudah menjadi suatu ciri para ulama salaf Bani Alawi, yang kebanyakan dari mereka semenjak kecil didikan langsung oleh orangtua nya.

Menginjak usia dewasa, beliau berguru kepada para ulama besar yang ada di kota Tarim. Di antara guru-guru beliau adalah :

Al-Habib Hamid bin Umar Bafaraj

Al-Habib Umar bin Hasan Alhaddad

Al-Habib Muhammad bin Ibrahim Bilfagih

Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur (mufti Tarim saat itu)

Al-Habib Idrus bin Umar Alhabsyi (pengarang kitab Iqdul Yawaaqit)

Al-Habib Muhsin bin Alwi Assegaf

Al-Habib Muhammad bin Syaikh Jamalul Lail

Tidak hanya itu saja, beliau juga melakukan perjalanan jauh untuk menuntut ilmu yang bermanfaat kepada para ulama di daerah-daerah lain. Beliau mengambil ilmu dari guru-guru besar beliau, diantaranya:

Asy-Syaikh Sa’id bin Isa Al-Amudi (Damun)

Al-Habib Thahir bin Umar Alhaddad (Damun)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Basaudan (Geidun)

Al-Habib Ahmad bin Muhammad Almuhdhor (Huwaireh)

Pada tahun 1295 H, berangkatlah beliau menuju ke tanah Haram untuk menunaikan ibadah haji. Di kota Makkah, beliau tinggal di kediaman Al-Habib Muhammad bin Husin Alhabsyi yang berada di daerah Jarwal. Disana keduanya saling mengisi dengan membaca bersama-sama kitab-kitab agama. Pada saat di kota Madinah, beliau bertemu dengan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Mukti bin Muhammad Al-Azab, seorang fagih dan pakar bahasa dan kesustraan arab, serta pengarang kitab maulud Al-Azab. Disana juga keduanya saling mengisi dengan saling memberikan ijazah.

Pada tahun 1297 H, beliau melakukan hijrah dalam rangka berdakwah ke negeri Melayu. Tempat awal yang beliau tuju adalah Singapura, kemudian beliau menuju ke Johor. Di Johor ini beliau tinggal selama 4 tahun. Setelah itu beliau meneruskan perjalanan dakwahnya ke pulau Jawa. Sampailah beliau di daerah Betawi. Beliau lalu meneruskan perjalanan ke kota Bogor, Solo dan Surabaya. Beliau tidak tertarik tinggal di kota-kota tersebut, walaupun diajak penduduk setempat untuk menetap di kotanya.

Sampai akhirnya pada tahun 1301 H, tepatnya akhir Syawal, beliau tiba di kota Bangil. Disanalah beliau menemukan tempat yang cocok untuk menetap dan berdakwah. Mulailah beliau membuka majlis taklim dan rauhah di kediaman beliau di kota Bangil. Beliau juga mengembangkan dakwah Islamiyyah di daerah-daerah lain di sekitar kota Bangil. Disana juga beliau mengamalkan ilmunya dengan mengajar kepada murid-murid beliau. Keberadaan beliau di kota Bangil banyak membawa kemanfaatan bagi masyarakat di kota tersebut. Tidak jarang pula, masyarakat dari luar kota datang ke kota itu dengan tujuan untuk mengambil manfaat dari beliau.

Beliau adalah seorang yang sangat pemurah dan sangat memperhatikan para fakir miskin. Beliau adalah seorang yang tidak suka dengan atribut kemasyhuran. Beliau tidak suka difoto atau dilukis. Beberapa kali dicoba untuk difoto tanpa sepengetahuan beliau, tetapi foto tersebut tidak jadi atau rusak. Beliau adalah seorang yang mempunyai sifat tawadhu. Beliau selalu menekankan kepada para muridnya untuk tidak takabur, sombong dan riya. Dakwah yang beliau jalankan adalah semata-mata hanya mengharapkan keridhaan Allah Azza wa Jalla. Dan inilah bendera dakwah beliau yang tidak lain itu semua mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh para pendahulunya.

Hari demi hari beliau jalani dengan mengemban tugas dakwah, suatu aktivitas yang dapat menggembirakan hati Rasulullah SAW dan datuk-datuknya RA, suatu aktivitas yang membawa umat dari kegelapan menuju cahaya iman. Itulah aktivitas beliau sehari-hari. Sampai pada waktunya, beliau dipanggil oleh Sang Pencipta. Beliau wafat pada hari Jum’at, 15 Shofar 1331 H, sesudah melaksanakan shalat Ashar. Berpulanglah beliau kepada Rabbul Alamin dengan amal baik beliau yang beliau tanam semasa hidupnya…berpulang dalam keridhaan-Nya…berpulang dalam naungan-Nya.

Radhiyallohu anhu wa ardhah…

[Disarikan dari Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, M. Syamsu Ass. dan dari berbagai sumber lainnya]

http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-abdullah-bin-ali-alhaddad/

AL HABIB ABDULLAH BIN AHMAD AL KAFF

Tegal, adalah salah satu ulama dan tokoh besar yang dimiliki Indonesia, khususnya kota Tegal, Jawa Tengah. Setiap tokoh atau ulama yang berkunjung ke Indonesia biasanya selalu menyempatkan diri mengunjunginya. Demikian juga Habib Umar bin Hafidz, pemimpin Daarul Musthafa, Tarim Hadhramaut.

Namun demikian, beliau ibarat cemaran yang pucuknya tampak dari jauh tapi yang berada dibawahnya tidak melihatnya, artinya Nama Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff memang dikenal oleh banyak kalangan sampai mancanegara, tapi orang-orang di daerah sekitarnya sering tidak mengenal kealiman dan ketokohannya.

Habib Abdullah Al-kaff memang terkenal karena sikap tawadhu’nya. Ia tidak ingin menonjol, dan takut menjadi orang terkenal, sehingga dalam bersikap sangatlah hati-hati, dalam hidupnya hampir tidak punya musuh.

Masa Kanak-kanak
Habib Abdullah Al-Kaff lahir di Cirebon (Jawa Barat) pada tanggal 27 Ramadhan 1340 H, bertepatan dengan 17 Mei 1922. Ayah beliau bernama Ahmad bin Abdullah Al-Kaff dimana ia mempunyai beberapa isteri. Dari Isteri pertamanya ia mendapatkan seorang anak bernama Abdurrahman. Dari Isteri kedua, ia mendapatkan tiga anak laki-laki yaitu Husein, Muhammad, dan Abdullah (Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, yang jadi pembahasan kali ini). Dari isteri ketiga, anaknya banyak juga, tapi yang laki-laki hanya satu, yaitu Umar. Sedangkan dari isteri keempat, ia mempunyai enam anak laki-laki.

Semua saudara Habib Abdullah Al-Kaff disekolahkan di Arab Saudi dan Yaman. Habib Abdullah Al-Kaff sendiri pada usia 11 dibawa oleh ayahnya ke Hadhramaut, tepatnya di Tarim. Selama enam tahun ia dititipkan pada kakeknya di kota Hajrain. Sebuah kota di kaki gunung yang banyak dihuni para wali mastur.

Pada umur 17 Tahun, beliau belajar di Rubath Tarim kepada Habib Umar Asy-Syathiri, yang sudah sepuh. Setelah Habib Umar Asy-Syathiri meninggal, ia melanjutkan belajarnya kepada Habib Abdullah As-Syathiri , anak Habib Umar Asy-Syathiri. Sepeninggal Habib Abdullah Asy-Syathiri, Rubath Tarim kini diasuh oleh Habib Salim Asy-Syathiri.

Habib Abdullah Al-Kaff sekelas dengan Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar. Gurunya waktu termasuk juga Habib Ali bin Abdullah bin Syihab.

Beliau mengambil kekhususan pada bidang fiqih. Tapi ia juga sangat menggandrungi sastra sehingga banyak tulisannya berbentuk syair.

Dewasa di Tegal Jawa Tengah
Pada usia 25 Tahun, Habib Abdullah kembali ke kota Tegal, Jawa Tengah. Kemudian ia menikah dan sehari-hari sebagai pedagang sarung tenun. Selain berdagang, ia juga menyisakan waktunya untuk mendidik anak-anaknya dan juga mengisi majelis taklim.

Habib Abdullah Al-Kaff bermukim di Kota Tegal. Sering ketika ada tamu yang berkunjugn ke Tegal, walau tamu itu bukan tamunya namun Habib Abdullah Al-Kaff merasa berkewajiban untuk menjamunya. Penghormatannya kepada tamu sungguh luar biasa. Kalau tamu itu tidak sempat dijamu hari itu, besoknya dipanggil untuk sarapan. Yang lebih mengherankan, kalau ada tamu, selalu saja ada kambing sebagai masakannya. Beliau pernah bilang, “Setiap manusia ada rizkinya, dan itu tidak akan pernah tertukar. Tidak mungkin kita memakan rizki orang karena sudah diatur oleh Allah SWT.”.

Beberapa tahun ia pernah tinggal di Condet, Jakarta. Karena keulamaannya, Habib Umar bin Hafidz, pengasuh Daarul Musthafa Tarim, menyempatkan diri untuk mengunjunginya di Condet, Jakarta guna meminta doa restu darinya.

Mendidik anak-anak
Habib Abdullah Al-Kaff termasuk tokoh habib yang sangat sukses dalam mendidik anak-ananya. Hampir semua putranya adalah ulama, pendidik, pendakwah yang istiqomah. Siapakah yang tidak kenal Habib Thohir Al-Kaff, Habib Ahmad Al-Kaff (Pengasuh PP Hikmatun Nur Jakarta), Habib Hamid, Habib Ali, dan Habib Muhammad Al-Kaff.

Habib Abdullah Al-Kaff berharap semua anaknya bisa menjadi ulama. Salah seorang anaknya, Habib Muhammad dikirim ke Arab Saudi, Habib Muthahar dimasukkan di Pesantren Darul Hadits Malang, Habib Murtadha dikirim ke Arab Saudi, lalu ke Yaman, Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff dan Habib Hamid Al-Kaff dikirim ke Makkah untuk berguru kepada Sayyid Muhammad Al-Maliki dan belajar disana selama tujuh tahun, sedangkan Habib Ahmad Al-Kaff belajar di Mesir sehingga meraih gelar Doktor disana, demikian juga si bungsu Habib Ali yang juga dikirim ke Mesir.

Walau demikian Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff tetap berikhtiar dalam membina anak-anaknya supaya menjadi alim, anak yang berilmu, dengan harapan kelak akan menjadi ulama. Apa yang dilakukannya adalah meneladani Rasulullah SAW yaitu mendidik anak-anaknya dengan tarbiyah dan uswatun hasanah (teladan baik) atas apa yang diajarkannya.

Setiap hari, Beliau mengumandangkan adzan di rumahnya, Jalan Duku Kota Tegal, Jawa Tengah. Mendengar adzan itu, anak-anaknya ikut bangun dan langsung mengambil wudhu. Satu keluarga itu kemudian shala Shubuh berjamaah. Usai shalat berjamaah, ia memberikan nasihat agama kepada anak-anak, hingga hari mulai terang.

Kebiasaan Habib Abdullah Al-Kaff yang tidak pernah hilang adalah mencium tangan orang yang bersalaman dengannya, walau itu anak kecil sekalipun. Nah, orang yang tahu maqam Habib Abdullah jadi saling mencium.

Soal Kesabaran, Beliau sangat luar biasa. Ketika mendapat ujian sakit yang cukup lama, sembilan tahun, tidak pernah sekalipun ia mengeluh.

Berpulang ke Rahmatullah..
Kota Tegal saat itu berkabung kehilangan salah satu tokoh ulama besar yang dimilikinya. Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff berpulang ke Rahmatullah pada hari Ahad 7 September 2008 bertepatan pada 7 Ramadhan 1429 H, pukul 04.00 di Condet, Jakarta Timur setelah dirawat dua hari di Rumah Sakit Haji Pondok Gede Jenazah sang ulama, Al-Maghfurlah Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, dimakamkan di pemakaman Al-Haddad, kota TEGAL, pada sore harinya.

Harapan dan Cita-Cita
Ada satu harapan Habib Abdullah yaitu mendirikan sebuah pesantren di Tegal. Ia berharap anak-anaknya dapat mewujudkan cita-cita itu. Kini rumah di Jalan Duku kota TEGAL yang ditinggalkannya menjadi kantor dan embrio berdirinya pesantren tersebut. “Insya Allah saya dan saudara-saudara yang lain akan mewujudkan harapan Abah,” kata Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff yang meski bertempat tinggal di Pekalongan, namun lebih banyak berkiprah dakwah di Kota Tegal.