Selasa, 05 November 2013

Sayyidah Zainab binti Sayyidina Ali Krw

Juga: Zainab, Zeinab, atau dengan sebutan Sayyeda / Sayyidah berarti "Lady" untuk menunjukkan rasa hormat) adalah salah satu putri Rashid khalifah dan Imam Syi'ah pertama, Ali dan nya istri pertama Fatima. Nabi Muhammad adalah kakek dan dengan demikian ia adalah anggota ahl al-bayt (rumah tangga Nabi Muhammad) dan karena itu sering dihormati tidak hanya untuk karakteristik mengagumkan dan tindakan tetapi juga untuk keanggotaannya dalam dan kelanjutan dari biologi garis Nabi. Seperti anggota lain dari keluarganya, dia menjadi tokoh besar pengorbanan, kekuatan, dan kesalehan dalam Islam - terutama dalam sekte Syiah agama
Zainab adalah anak ketiga dari Ali dan Fatimah. Sumber menunjukkan dia lahir di Madinah pada tahun ke-5 Hijrah (yaitu 626 M). Ada beberapa perdebatan tentang apakah ia lahir pada tanggal 5 Jumada al-awwal atau tanggal 1 Sha'aban dari Kalender Islam. Seperti dia dua kakak saudara Hassan dan Husain, Zaynab disebut oleh Nabi Muhammad [1]
Nama "Zainab" berarti "hiasan dari ayahnya". Tiga putri Ali yang sebenarnya bernama Zainab jadi kadang-kadang Zaynab kita prihatin dengan disebut sebagai "Zainab penatua" [2]
Fatimah meninggal ketika Zaynab berusia tujuh tahun. Ini peristiwa tragis pada usia dini dapat membantu untuk menjelaskan kedekatan khusus nya dengan saudara laki-lakinya Hasan dan Husain.
Ketika Zainab datang usia , dia menikah dengan sepupu pertamanya Abdullah bin Ja'far , keponakan Ali , dalam sebuah upacara sederhana . Meskipun suami Zainab adalah orang yang berarti , pasangan ini dikatakan telah menjalani kehidupan yang sederhana. Sebagian besar kekayaan mereka untuk amal dikhususkan [ 3 ] Abdullah kadang-kadang disebut " lautan kemurahan hati " atau " awan kemurahan hati " . [ Rujukan? ] .
Pernikahan Zainab tidak mengurangi keterikatan yang kuat pada keluarganya . Ali merasa kasih sayang yang besar untuk putrinya dan anak -in - hukum , begitu banyak sehingga di 37 AH ketika ia menjadi khalifah dan memindahkan ibukota dari Madinah ke Kufah , Zaynab dan Abdullah pindah bersamanya . Zaynab melahirkan empat anak - Ali , Aun , Muhammad , dan Abbas - . Dan satu putri , Umm Kultsum [ 3 ]
Beberapa sumber menyatakan bahwa Zaynab mengadakan sesi untuk membantu wanita lain mempelajari Alquran dan belajar lebih banyak tentang Islam . Menurut salah satu biografi nya , The Victory of Truth , dia mulai berlatih ini di Madinah dan kemudian berlanjut ketika ia pindah dengan ayahnya dan keluarga untuk Kufah .
Tanggal pasti dan tempat kematiannya tidak jelas tetapi kemungkinan bahwa dia meninggal pada tahun 62 AH sekitar enam bulan setelah dia kembali ke Medina . [ 9] ulang tahun kematiannya dikatakan baik 11 atau ke-21 Jumada al- Thani , tanggal 24 Safar , atau tanggal 16 Dzulhijjah . Beberapa menyarankan bahwa kuburnya dapat ditemukan dalam Masjid Sayyidah Zainab di Damaskus , Suriah . Atau, banyak Sunni percaya kuburnya dapat ditemukan dalam sebuah masjid yang berbeda ( yang juga berjudul " Sayyidah Zainab Masjid " ) yang terletak di Kairo . Fatimiyah / Dawoodi Bohra mendukung klaim bahwa Zaynab dimakamkan di Kairo . 52 Dai mereka , Mohammad Burhanuddin , membuat zarih ( struktur kandang seperti yang mengelilingi makam ) untuk kuil di Kairo . Fatimiyah dan beberapa orang lain percaya bahwa Makam Zaynab al- Kubra di Damaskus sebenarnya adalah situs pemakaman pada saudara perempuannya , Ummu Kultsum binti Ali , (mungkin disebabkan oleh kebingungan antara ' Sugra ' & ' Kubra ' ) . Ada [ 10 beberapa bukti sejarah menunjukkan Zainab tinggal di Kairo menjelang akhir hidupnya .


http://en.wikipedia.org/wiki/Zaynab_bint_Ali

Wanita Mulia yang Didoakan Panjang Umur Oleh Rasulullah SAW

Amah binti Khalid adalah putri Khalid bin Sa’id dengan isterinya Umainah binti Khalaf bin As’ad bin Amir Al-Khuzaiyah. Mereka termasuk generasi awal yang beriman kepada Nabi Muhammad saw.
       Amah binti Khalid di lahirkan di Habasyah (Ethiopia), tempat hijrah yang dianjurkan oleh Rasulullah saw, karena Raja Habasyah tidak pernah menzalimi siapapun. Sedangkan Rasulullah saw sangat prihatin melihat pada awal munculnya Islam di Mekah, hanya beberapa orang yang beriman kepada Nabi saw. Mereka mendapat siksaan dan penganiayaan dari masyarakat Quraisy Mekah dan hidup merekapun penuh penderitaan. Maka Nabi saw menganjurkan hijrah ke Habasyah, di tempat ini kaum muslimin bertetangga dengan orang Najasyi yang baik dan ramah.
      Ketika itu, orang mukmin yang hijrah ke Habasyah bisa dihitung di antaranya, yaitu Utsman bin Affan dan isterinya Ruqayyah binti Rasulullah saw, Khalid bin Sa’id dan isterinya Umainah (orang tua Amah binti Khalid).
      Sewaktu kecil Amah binti Khalid sangat menikmati kisah tentang Nabi Muhammad saw dari orang-orang di sekelilingnya. Suatu senja ayahnya Khalid bin Sa’id masuk ke kamar puterinya itu. Tak di sangka, gadis cilik itu sudah menunggu ayahnya untuk bercerita tentang kisah-kisah pejuang Islam.
      Sang ayah (Khalid bin Sa’id) lalu bercerita : “ Suatu malam, aku pergi tidur dan bermimpi. Rasanya, aku berdiri di tepi kobaran api besar. Tiba-tiba ayahku Sa’id bin Al-Ash, mendorongku ke arah api itu. Ia berniat melemparkan aku ke dalam api yang sedang berkobar-kobar itu. Aku sangat takut. Aku berteriak sekeras-kerasnya. Tiba-tiba Muhammad datang. Ia memegang pakaianku dan menjauhkan aku dari nyala api itu.”
     Pagi-pagi benar, aku bangun dan buru-buru menemui Abu Bakar Shiddiq, karena ia adalah orang yang paling ahli menafsirkan makna mimpi. Setelah mendengar tentang mimpiku, maka Abu Bakar berkata : “ Hai Khalid, Allah menghendaki kebaikan bagimu. Sekarang , Muhammad berada di dekatmu. Temuilah dia dan ikutilah perkataannya, karena dia akan menjauhkanmu dari api neraka. Sedang ayahmu Sa’id, akan jatuh ke dalam kobaran api neraka. Wahai Khalid, selamatkanlah dirimu dengan mengikuti Islam !.”
      Setelah mendapat nasehat itu, aku segera menemui Muhammad dan bersaksi di depan beliau bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah. Aku menjadi orang yang beriman, begitu pula dengan ibumu. Dengan demikian mimpiku terwujud.
      Amah binti Khalid mendengar cerita ayahnya dengan saksama. Pikirannya yang masih polos menangkap sesuatu yang ganjil dari kisah tersebut, dia bertanya :“Ayah,mengapa kakek tidak masuk Islam? ”
        Khalid bin Sa’id terdiam, pandangannya merunduk ke bawah. Air mata bening mulai memenuhi kedua pelupuk matanya. Dipandanginya anak kesayangannya itu, dan berkata : “ Putriku, kakekmu Said bin Al-Ash adalah salah seorang tokoh Quraisy. Kedudukannya sangat penting. Perkataannya didengar kaumnya. Ia dikenal dengan nama Abu Uhaihah yang cerdas. Sayang, setan menguasai jalan pikirannya. Ia berang ketika mendengar bahwa aku masuk Islam. Ia memintaku agar meninggalkan Muhammad. Tapi, aku menolak keras permintaan kakekmu itu dan tetap memeluk agama Allah. Karena itu, ia memukuliku.”
      Kakekmu melarang anak-anaknya(saudaraku) yang lain berbicara denganku. Jika salah seorang di antara mereka melanggar larangannya, tidak diberi makan dan minum. Kakekmu juga melarang ayah makan dan menetap di rumahnya. Ia berkata : “ Hai orang hina, pergilah dari rumahku ke manapun engkau inginkan. Demi Lata dan Uza, aku tidak akan memberimu makan lagi ! ”
      Amah binti Khalid, walaupun masih kecil sudah bisa merasakan penderitaan batin ayahnya. Namun ia masih penasaran. Sambil mendekap ayahnya, Amah binti Khalid berbisik : “ Lalu, kapan Ayah masuk Islam ?”
      Khalid bin Sa’id segera mendekap anaknya ke dadanya, dengan lembut ayahnya berkata : “ Aku termasuk orang-orang yang pertama kali diberi kenikmatan iman. Orang yang masuk Islam bersamaku adalah pamanmu Amr bin Sa’id. Tetapi pamanmu yang lain Aban bin Sa’id belum masuk Islam hingga sekarang.”
      Amah binti Khalid mencoba kembali bertanya kepada ayahnya tentang nasib kakeknya : “ Ayah, bagaimana dengan kakekku? Apakah Allah memberinya petunjuk untuk masuk Islam ataukah tetap berada dalam kekafiran ?”. Khalid bin Sa’id lalu berkata : “ Putriku sayang, kakekmu tetap berada dalam kekafiran dan kesombongan.”
      Setelah beberapa tahun mengungsi ke Habasyah, Amah binti Khalid bersama orang tuanya dan sebagian kaum Muhajirin yang lain mengikuti Rasulullah saw, menetap di Madinah dan mendapat perhatian dan asuhan dari Rasulullah saw. Mereka belajar Islam secara langsung kepada Rasulullah saw, termasuk Amah binti Khalid
Ketika Amah binti Khalid menginjak dewasa, dia dinikahi oleh Zubair bin Awwam, sahabat setia Rasulullah saw. Dari pernikahan itu, Amah binti Khalid mendapat dua anak lelaki, yaitu Umar dan Khalid. Mereka menjadi anak saleh dan meneruskan perjuangan Rasulullah saw, sehingga Amah binti Khalid kemudian mendapat nama panggilan “Ummu Khalid”.
       Amah binti Khalid ini menerima kehormatan agung di sisi Rasulullah saw, dan menjadi shahabiyah (sahabat perempuan) beliau saw. Rasulullah saw juga menghormati kedua orang tuanya Amah binti Khalid ini.
      Salah satu kisah bagaimana Rasulullah saw dekat dengan Amah binti Khalid, diriwayatkan Imam Bukhari : “ Beberapa pakaian yang di dalamnya terdapat pakaian bergaris-garis (dengan sutra atau wol) dibawa Rasulullah saw, Beliau bersabda : “ Menurut kalian, siapa yang paling layak kita beri pakaian ini ? ”. Orang-orang diam, kemudian Rasulullah saw bersabda : “ Bawa kemari ummu khalid (ibu Khalid).”
       Tidak berapa lama, Amah binti Khalid dibawa menghadap Rasulullah saw, kemudian beliau memakaikan pakaian tersebut kepada Amah binti Khalid, sambil berkata : “ Kenakan pakaian ini hingga lusuh.” Rasulullah bersabda seperti itu hingga dua kali. Itu artinya, Rasulullah saw mendoakan agar Amah binti Khalid panjang umur.
       Prestasi paling menonjol yang dicapai Amah binti Khalid adalah menulis Sirah Nabawiyah (Sejarah Nabi) dengan hadits-hadits yang baik. Ia pun menyimpan banyak hadits yang didengarnya dari ayahnya ketika berada di Habasyah. Amah binti Khalid pernah mengatakan : “ Ayahku adalah sahabat yang pertama kali menulis, “Bismillahirramanirrahim.”
Amah binti Khalid termasuk wanita mulia, karena meriwayatkan tujuh hadits Rasulullah saw, atau disebut ‘Ashhabus-sabah’
      Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Amah binti Khalid  di Habasyah dari ayahnya : “ Pada suatu malam, sebelum Muhammad diutus Allah menjadi Rasul-Nya, Khalid bin Sa’id tertidur, kemudian berkisah : Aku lihat, sepertinya Mekah diselimuti kegelapan hingga seseorang tidak dapat melihat telapak tangannya sendiri. Ketika itu, tiba-tiba ada cahaya keluar dari Zamzam, kemudian naik ke langit, lalu menyinari Ka”bah dan seluruh Mekah. Setelah itu, cahaya itu pindah ke Yatsrib (Medinah) dan menyinarinya hingga aku mampu melihat kurma yang belum matang. Aku bangun, lalu menceritakan mimpiku kepada saudaraku Amr bin Sa’id, yang memang orang cerdas. Ia berkata :  “ Saudaraku,  sesungguhnya urusan itu terjadi di Bani Abdul Muthalib. Tidakkah engkau lihat bahwa urusan tersebut keluar dari lubang nenek moyang mereka?”
       Setelah Muhammad bin Abdullah menjadi Rasul, ayah Amah menceritakan mimpinya itu kepada Rasulullah. Rasulullah kemudian bersabda : “ Hai Khalid, demi Allah, akulah cahaya tersebut. Akulah utusan Allah.”
       Amah binti Khalid adalah salah seorang putri sahabat yang karena keberkahan Rasulullah saw, berumur panjang. Dia hidup hampir 90 tahun. Tentang hadits mengenai doa Rasulullah saw (Shollallahu’alaihi was salam) kepada Amah binti Khalid, Imam Bukhari , berkata : “ Tidaklah ada wanita yang hidup lebih lama seperti dia.”


http://anangkatut.blogspot.com/2013/10/wanita-mulia-yang-didoakan-panjang-umur.html

Wanita Mulia dari Mesir yang Membuat Rasulullah Gembira dan Bahagia

  Berita tentang kedatangan seorang nabi di Jazirah Arab, pembawa ajaran agama dari langit yang baru telah tersebar sampai di kalangan rakyat Mesir. Berita itu diperkuat oleh kedatangan utusan Rasulullah saw, Hathib bin Abi Balta’ah yang menyampaikan surat kepada Muqauqis.
      Setelah membaca surat dari Rasulullah saw itu, dengan hati-hati dan penuh hormat Muqauqis menyimpan surat tersebut dalam sebuah kotak yang terbuat dari gading. Lalu ia minta agar Hathib bin Abi Balta’ah menjelaskan pribadi dan sifat-sifat Rasulullah saw, apa saja yang diperbuat dan bagaimana keadaan para pengikutnya. Ia mendengarkan penjelasan Hathib bin Abi Balta’ah dengan penuh perhatian.
      Setelah berpikir beberapa saat, Muqauqis berkata : “ Aku telah mengetahui bahwa seorang nabi akan datang. Menurut perkiraanku, dia akan muncul di Palestina sebab di sana banyak nabi bermunculan. Namun kenyataannya nabi terakhir itu muncul di negeri Arab.Jika aku memeluk agama Muhammad, orang-orang Qibti tidak akan menyetujuinya.”
     Tak lama kemudian ia memanggil sekretarisnya untuk menjawab surat Rasulullah saw. Bunyi surat itu : “Surat Tuan telah saya baca, dan saya memahami dan mengerti apa yang Tuan maksudkan. Sejak lama saya telah mengetahui akan datangnya seorang nabi yang saya perkirakan akan muncul di negeri Syam. Utusan Tuan kami hormati sebagaimana layaknya.Dan bersama ini saya kirimkan dua wanita yang punya kedudukan tinggi di Qibti. Selain itu juga saya kirimkan sejumlah pakaian dan ternak. Selamat Sejahtera bagi Tuan.”
     Selain itu secara lisan, Muqauqis berpesan kepada Hathib bin Abi Balta’ah agar apa yang telah mereka bicarakan tidak kedengaran oleh seorangpun di Qibti, katanya : “Saya tidak dapat memenuhi ajakan Muhammad untuk memeluk agama baru itu, karena rakyat Qibti sangat kuat berpegang pada agama leluhur, Mereka tentu tidak senang jika saya memeluk agama baru itu.”
     Maka pulanglah Hathib bin Abi Balta’ah ke Madinah bersama Maria dan Sirin serta seorang pembantu. Tak lama kemudian Rasulullah saw yang baru kembali dari Hudaibiyyah, menerima kedatangan Hathib bin Abi Balta’ah. Singkat cerita, Nabi saw kemudian menikahi Maria Al-Qibtiyah, sedangkan Sirin dinikahkan dengan Hasan bin Tsabit.
     Maria  Al-Qibtiyah lahir di desa Hifn, dekat kota kuno Anshina di sebelah timur sungai Nil. Di belakang namanya ada gelar Al-Qibtiyah, karena ia berasal dari suku Qibti, Mesir, yang beragama Kristen ortodoks. Ayahnya bernama Syam’un, asli Qibti, sedangkan ibunya berdarah Romawi beragama Nasrani. Ketika menginjak remaja, ia dan saudaranya Sirin, diambil oleh Muqauqis sebagai dayang-dayang.
     Berbeda dengan para istri Rasullah saw yang lain, Maria  Al-Qibtiyah adalah seorang sariyyah, yaitu istri yang sah menurut syariat tapi tidak berstatus resmi sebagai istri sepenuhnya. Oleh karena ia adalah “hadiah” dari Gubernur Mesir, Muqauqis. Jadi status sosialnya hamba sahaya, tapi secara syariat sah sebagai istri. Di masa silam, masyarakat Arab menyebut istri seperti itu sebagai ummul walad, ibu si anak.
     Kehadiran Maria  Al-Qibtiyah ternyata membuat para isteri Nabi tidak senang. Menurut mereka, Maria  Al-Qibtiyah tidak patut menjadi istri Nabi, karena ia keturunan budak (hamba sahaya). Namun hal itu langsung dijawab oleh Allah swt, sebagaimana firman-Nya dalam surah At-Tahrim ayat 1, : “ Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah Allah halalkan bagimu, demi menyenangkan istri-istrimu ?”. Ayat itu juga merupakan ajaran kesetaraan, bahwa Islam tidak membedakan status sosial, etnis dan jenis kelamin.
     Pernah suatu hari Maria  Al-Qibtiyah yang berada jauh dari masjid menemui Nabi Muhammad saw, lalu disuruh masuk ke rumah Hafshah, salah seorang istri Nabi yang sedang pergi ke rumah ayahnya Umar bin Khatthab.
     Ketika pulang Hafshah melihat tabir kamar tidurnya tertutup, dan di dalamnya Rasulullah sedang bersama Maria  Al-Qibtiyah. Melihat itu, Hafshah marah lalu menangis. Rasulullah membujuk Hafshah, dan minta agar Maria  Al-Qibtiyah meminta maaf kepada Hafshah, yang juga diminta  untuk merahasiakan kejadian tersebut.
     Namun, kejadian itu segera terdengar oleh istri-istri Nabi yang lain. Tentu saja Rasulullah marah dan bermaksud menceraikan Hafshah. Tapi Jibril menyarankan agar tetap mempertahankan Hafshah, karena dia adalah wanita yang teguh beriman. Maka Rasulullah pun mempertahankan Hafshah sebagai istrinya, terutama karena dia menyesali perbuatannya telah memberitahukan kejadian tersebut kepada para istri Nabi yang lain.
     Sebagai pendamping Rasulullah saw, Maria  Al-Qibtiyah adalah wanita yang tabah dan sabar. Betapa tidak, Maria  Al-Qibtiyah yang berparas  cantik jelita dan berperangai lemah lembut, harus menghadapi kehidupan yang keras di negeri asing tanpa seorangpun yang melindunginya, kecuali Allah swt dan Rasulullah saw.
     Pada tahun kedua bersama Rasulullah saw, Maria  Al-Qibtiyah mengandung (hamil). Dan untuk menghindari kecemburuan istri-istri yang lain, Rasulullah saw memindahkan Maria  Al-Qibtiyah ke sebuah rumah di dataran tinggi Madinah yang udaranya cukup segar. Dia ditemani oleh saudaranya Sirin hingga saat melahirkan, yaitu pada bulan Dzulhijjah Tahun ke 8 Hijriyah. Dan di bidani oleh istri Abu Rafi’.
     Ketika Maria  Al-Qibtiyah melahirkan, Rasulullah saw menunggu di ruang lain sambil shalat dan berdoa. Dan ketika istri Abu Rafi’ keluar dari kamar sambil memperlihatkan bayi itu kepada Rasulullah saw. Beliau gembira dan berterima kasih serta menyampaikan rasa hormatnya kepada bidan yang baik budi itu.
Rasulullah saw (shollallahu ‘alaihi wa salam) lalu mengangkat bayi lelaki tersebut dan memberinya nama Ibrahim (Nama datuk tertua bangsa Arab).
     Pada tahun ke 16 Hijriyah, Maria Al-Qibtiyah wafat, ketika itu Rasulullah saw, juga sudah lebih dahulu wafat. Yang menjadi khalifah pada waktu itu adalah Umar bin Khatthab. Istri Rasulullah saw ini Maria  Al-Qibtiyah di makamkan di Baqi’, Makkah.
     Maria  Al-Qibtiyah sebagai Ummul mu’minin (ibu orang-orang mukmin) telah  memberikan keberuntungan dan karunia istimewa dari Allah swt (subhanahu wa ta’ala) dengan melahirkan putra Rasulullah saw, yaitu Ibrahim.
Wa salamun ‘alal mursalin, Walhamdulillahi rabbil ‘alamin

http://anangkatut.blogspot.com/2013/10/wanita-mulia-dari-mesir-yang-membuat.html



Tuan Guru K.H.Muhammad Seman Bin Muhammad Saleh Al Banjari

Riwayat Hidup Singkat Pengamanah Mutlak Ilmu Makrifatullah
Tuan Guru Al 'Arifbillah Syekh KH. Muhammad Saman Al-Banjari Pengamanah mutlak Ilmu Ma'rifatullah Wa Ma'rifaturrasul penulis kitab "Awwaluddin" lahir di Astambul Martapura Kalimantan Selatan, pada tanggal 11 Maret 1919 dari seorang Ayah bernama Gusti Muhammad Saleh Bin Tuan Guru Matasin Bin Tuan Guru Muhammad Ali Binti Syafiah Binti Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dan seorang Ibu bernama Antung Sawiyah Bin Gusti Gantung Bin Pangeran Syaidullah.
     Dia adalah anak bungsu dari lima bersaudara yaitu: 1). Antung Jainur, 2). Gusti Mahrus, 3). Gusti Masran, 4). Gusti Salman dan 5). Gusti Masnun (Nama beliau diwaktu kecil). Kehidupan beliau diwaktu kecil berjalan lancar penuh kedamaian di bawah asuhan kedua orang tua beliau. Ketika berusia tujuh tahun ibu yang sangat ia cintai yang selama ini menjadi tempat mengadu dan bermanja dipanggil kehadirat Allah Rabbul Jalil. Maka selanjutnya ia diasuh oleh neneknya sampai usia 13tahun. Kemudian nenek kembali pula kehadirat-Nya. Selanjutnya diasuh oleh Paman beliau sampai dengan dewasa.
      Pada tahun 1944 di jaman penjajah Jepang menjadi laskar Jepang, Heiho. Sampai dengan tahun 1945 sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, bersama kawan-kawan melarikan diri dari Heiho setelah membunuh tujuh orang Jepang. Bersama dengan teman pada tahun 1947 bergabung dengan pasukan revolusi mempertahankan kemerdekaan yang ingin direbut kembali oleh penjajah Kolonial Belanda.Pada tahun 1950 menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dengan pangkat Sersan Mayor Batalyon 602 Kompi IV Lambung Mangkurat sebagai Komandan Pleton II, dan kemudian berhenti pada tahun 1953 dari Dinas Ketentaraan.
     Ditahun 1950 ini pula beliau memperoleh jodoh dan menikah dengan seorang wanita bernama Fatimah Binti Abdul Muthalib di Tarakan. Dari perkawinan ini melahirkan putra-putri sebanyak tujuh orang yaitu: 1). Norma, 2). Nosyehan, 3). Muhammad Syamsuri, 4). Muhammad Syamsiar, 5). Galuh Srikandi, 6). Rukiah, 7). Hendra Negara.
     Antara tahun 1953 sampai dengan tahun 1956 setelah berhenti dari Dinas Ketentaraan hidup beliau tidak menentu, melakukan berbagai macam pekerjaan untuk menghidupi keluarga (anak dan istri). Mencari penghidupan ke negeri tetangga seperti ke Tawau, Sabah, Malaysia, bahkan sampai ke Filipina.
     Kemudian atas kehendak Allah Rabbul Jalil pada tahun 1956, ia memperoleh limpahan ilmu secara ” LADUNI” , melalui Datuk Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Pertama ilmu yang diperoleh yaitu tujuh mata pelajaran pokok Ma'rifah yaitu:
1. Mengenal Diri, 2. Mematikan Diri Sebelum Mati, 3. Kesempurnaan La ilaaha illallah, 4. Dzikrullah, 5. Istinja 6. Junub, dan 7. Tanda-tanda Sakaratul maut. Sejak tahun 1957 ilmu yang diperoleh, mulai diajarkan kepada orang-orang sekitar tempat tinggal di Tarakan, dari rumah ke rumah seorang diri.
    Kemudian pada tahun 1960 dengan Rahmat dan Ridho Allah beliau kembali secara Laduni diperkenalkan pada Dzat-Nya yang bersifat Laisa Kamisylihi syai'un secara langsung tanpa melalui mahluk.
Maka mulai pada tahun 1960 ini ditambah satu mata pelajaran yaitu mengenal Dzat Allah Rabbul Jalil dan Ilmu ini dinamakan"Awwaluddin Ma'rifatullah Wa Ma'rifatur Rasul" hingga sampai sekarang ini.
    Dalam perkembangannya dari tahun ke tahun sampailah ia kenegeri tetangga Malaysia untuk mengajarkan ilmu yang ada pada diri beliau khususnya Tawau, Kota Kinbalu, dan sekitarnya di Sabah, bahkan sampai ke Brunai Darussalam sehingga sampai dengan sekarang ini murid-murid beliau ribuan jumlahnya. Selama kurun waktu 1980 sampai 1990-an ia bolak balik Tarakan-Samarinda untuk mengunjungi putra beliau yang berdomisili menetap di Samarinda, kesempatan ini ia gunakan untuk mengajarkan ilmu Ma'rifatullah Wa Ma'rifaturrasul kepada orang-orang muslim yang ikhlas mau belajar kepada beliau, sehingga lambat laun di Samarinda pun mulai banyak pula murid-murid beliau.
      Pada tahun 1995 beberapa murid yang menyadari perlunya sebuah organisasi untuk melaksanakan pengajian, berkumpul dan bersepakat membentuk Majelis Ta'lim Ma'rifatullah Wa Ma'rifaturrasul Cabang Samarinda.Sedangkan pusatnya di Tarakan. Sejak tahun 1997 dia menetap di Samarinda dan Pusat Majelis Ta'lim Ma'rifatullah Wa Ma'rifaturrasul dipindahkan ke Samarinda.
Tuan Guru Al 'Arifbillah Syekh K.H.Muhammad Seman Bin Muhammad Saleh Al Banjari telah berpulang ke Rahmatullah pada jam 22.00 wita, malam Selasa 21 Ramadhan 1434H  atau tanggal 30 Juli 2013M. Beliau wafat diusia 94 Tahun,di Kota Samarinda.

(“Semoga Rahmat dan KeRidhoan Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu tercurah kepada Kakeknda Tuan Guru Syekh K.H.Muhammad Seman Bin Muhammad Saleh Al Banjari, demi kemuliaan Bulan Suci Ramadhan tahun ini....Amiiin..Ya..Robbal ‘Alamiin”)


http://anangkatut.blogspot.com/2013_07_01_archive.html

Tangan Suci Rasulullah yang Mulia Membuatkan Hulu Kapak

Pada suatu hari seorang laki-laki menghadap Rasulullah SAW, dengan wajah pucat dan pakaian compang-camping ia ingin meminta sesuatu.
     Rasulullah SAW menerimanya dengan baik, dan menjawab : “Ya, ada sehelai kain. Sebagian aku pakai, sebagian lagi kami bentangkan untuk duduk. Juga ada bejana untuk minum.”
     Kemudian Rasulullah meminta seorang sahabat membawakan kain dan bejana tersebut. Dengan bergegas, salah seorang sahabat beranjak dari tempat duduknya lalu mengambilkan barang-barang yang dimaksud untuk dibawa ke hadapan Rasulullah. “Aku telah membeli kain dan bejana ini seharga satu dirham” : sabda beliau.
     Lalu Rasulullah SAW menawarkannya kepada para sahabat, dan bersabda : “Adakah para sahabat yang akan membelinya ? Barangkali ada yang akan menambah harganya satu dirham lagi ?.”
     Setelah berkali-kali Rasulullah menawarkan kepada para sahabat, akhirnya salah seorang sahabat membelinya. “Saya ambil barang-barang itu seharga dua dirham seperti tawaran Tuan, ya Rasulullah” : katanya.
     Rasulullah lalu memberikan kain dan bejana itu sembari menerima uang dua dirham. Segera setelah itu Beliau SAW menyerahkan uang dua dirham tersebut kepada tamunya, yaitu pengemis tadi. Seraya menasehatinya : “Gunakan satu dirham untuk membeli makanan keluargamu, sedangkan satu dirham lagi untuk membeli sebuah kapak. Setelah itu bawalah kapak itu kepadaku.”
     Sebelum pulang ke rumah, pengemis itu membeli makanan secukupnya dan sebuah kapak (dari besi tanpa hulu / tangkai untuk memegangnya). Kemudian setelah mengantar makanan dan minuman kepada keluarganya di rumah yang memang tengah kelaparan.
     Ia kemudian membungkus kapak (tanpa hulu) itu dan membawanya menghadap Rasulullah SAW. Saat itu Rasulullah masih duduk di majelis, dikelilingi para sahabat yang menyimak penjelasan beliau tentang agama.
    “Sudahkah engkau laksanakan perintahku ?” : tanya Rasulullah kepada pengemis yang tampak malu-malu berdiri di depan pintu. “Sudah, ya Rasulullah,” : jawab pengemis itu.
    “Masuklah kemari, bawa kapak yang telah engkau beli itu,” : ujar Rasulullah. Lalu pengemis itu berjalan mendekat, duduk di depan beliau, dan mengeluarkan kapak (tanpa hulu) dari kantung kulit, lalu menyerahkannya kepada Rasulullah SAW.
     Hari itu Rasulullah SAW tampak gembira melihat pengemis itu telah melaksanakan  perintah Beliau dengan taat. Sambil memegang kapak tersebut, beliau beranjak ke pojok ruangan mengambil sepotong kayu.
     Dengan sangat cekatan tangan Nabi yang suci memasang sepotong kayu itu pada kapak sebagai hulu / tangkainya. Maka siaplah sudah kapak itu untuk di gunakan. Masya Allah SWT...!!!
     Kemudian Rasulullah SAW bersabda pada pengemis itu : “Pergilah ke gurun, tebanglah kayu, kemudian jual kayu bakar itu ke pasar. Dan kemarilah 15 hari lagi.”
Dengan patuh pengemis itu menuruti perintah, lalu pamit pulang kepada Rasulullah SAW dan para sahabat yang hadir.
     Sesampainya di rumah pengemis tadi mempersiapkan perbekalan makanan dan minuman secukupnya untuk di bawa ke gurun. Dengan penuh semangat, iapun segera berangkat ke gurun, kemudian satu persatu ranting-ranting pohon yang telah kering ia potong dan kumpulkan.
     Setelah terkumpul cukup banyak, ia menjualnya ke pasar, lalu membawa hasil penjualan itu ke rumah.
     Setelah 15 hari mencari kayu bakar dan menjualnya ke pasar, ia kembali menghadap Rasulullah SAW, dengan membawa uang 10 dirham hasil dagang kayunya.
     Rasulullah SAW Nabi yang mulia ini, kemudian menasehatinya,: “Gunakan sebagian uang penghasilanmu itu untuk membiayai keluargamu. Belikan mereka makanan, minuman dan pakaian. Itu lebih baik daripada kamu meminta-minta. Sebab, di hari kiamat kelak Allah SWT akan memberikan tanda di wajah para pengemis.”
“Dan sesungguhnya mengemis tidak layak, kecuali bagi orang yang sangat miskin dan hina dina, atau mereka yang terbelit utang, atau mereka yang harus membayar diyat atau denda yang sangat besar karena membunuh.”
     Dari riwayat tersebut diatas banyak sekali hikmah yang dapat dipetik di antaranya, bagaimana sikap Nabi SAW sebagai seorang pemimpin yang di taati dengan menggunakan tangan suci beliau sendiri untuk membuatkan hulu / tangkai kapak untuk pengemis. Beliau tidak menyuruh sahabatnya untuk membuatkannya, sungguh begitu tawadhu sikap Rasulullah SAW yang memiliki akhlak mulia ini.
“Sesungguhnya Allah SWT mencintai hamba yang mempunyai pekerjaan. Barang siapa bersusah payah mencari rezeki untuk mereka yang menjadi tanggung jawabnya, ia ibarat seorang mujahid di jalan Allah, Yang Maha Mulia.” [HR. Ahmad]
*******
Sumber :

-Dikisahkan kembali dari sebuah hadits shahih riwayat Ibnu Majah

http://anangkatut.blogspot.com/2013/10/tangan-suci-rasulullah-yang-mulia.html

Syekh Sayyid Ali Shah

kata-kata bijak, “Saya fakir, sedangkan dia adalah raja.

Selain belajar pengetahuan yang luas, hingga menjadi syekh sufi yang suci, ia sangat dicintai oleh rakyat dan diperkirakan lebih dari 1 juta muridnya dari Afghanistan hingga ke ujung selatan India. Ia menerima [khirqah atau jubah sufi] dari Syaikhnya dengan sangat cepat setelah berbaiat, dan sekaligus menjadi wakilnya yang utama.

Dia adalah tokoh besar, dan dikagumi tokoh gerakan Pakistan, salah satunya Muhammad Iqbal, penyair besar itu Sebagai pengecap,

sebagian kalam dari Syaikh Sayid Ali Jamaat Shah Naqsybandi-Mujaddidi. RA

1.Jika Asma Allah diucapkan sekali saja dengan lisan, itu disebut dzikir (mengingat) lisan, namun jika Nama Allah diingat dengan hati, maka itu akan sebanding dengan dengan tiga puluh lima juta ucapan-ucapan (dzikir) lisan. Itulah dzikir hati. Ada 35 juta pembuluh darah dalam tubuh, dan semua yang terhubung ke jantung. Jika Nama Allah diucapkan bahkan sekali saja (dengan hati) maka semua yang mengalir mengucapkan juga.

2.Dalam sungai, perahu perjalanan di atas air dan semakin besar jumlah air, perahu akan lebih nyaman. Namun jika air masuk perahu, maka perahu akan terbalik. Jantung hati laksana perahu dan duka serta sakit hati air adalah dunia; kapal semua orang telah tenggelam kecuali bahwa Ahlullah -mereka yang melakukan dzikir- yang selalu tetap mengapung.

3.Allah Swt. telah menciptakan neraka untuk musuh-musuh Rasulullah Saw, dan surga diciptakan bagi mereka yang mencintainya. Orang-orang yang khawatir tentang apakah mereka akan pergi ke Surga atau Neraka setelah mati, harus bertanya pada diri sendiri apakah mereka pecinta Sang Kekasih Rasul Saw, atau justru jadi musuh-musuhnya.

4.“Kullu jadiidin ladzeezun”; Anda mungkin ingin meraih setiap hal baru dari dunia ini, tetapi, dalam hal Iman Anda, maka Anda harus tetap dengan Islam yang sama, yang asli, seperti yang dilakukan oleh pendahulu Anda.

5.Jika seseorang berbuat buruk (berdosa), maka Allah melarangnya dan karena itu imannya buruk. Dalam sebuah hadis ada tertulis, “Larilah dari penderita kusta seperti Anda lari dari singa; Nah, anda harus melindungi diri dari orang yang hatinya terkena keburukan “kusta”, jangan bermajlis dengan mereka.

6.Pikirkan sholat anda, seperti seseorang yang sedang sibuk melakukan pekerjaan. Orang yang sibuk bekerja namun hatinya selalu berpikir tentang sholat, sehingga kadang-kadang dia bertanya tentang waktu, kadang-kadang ia melihat jam tangannya, pada waktu lain ia melihat matahari (posisi), untuk memastikan bahwa dia tidak melewatkan waktu sholat (yang benar). Sampai fikiran tersebut tercapai, hingga sholat adalah ibadah dan kebiasaan yang sedang dilakukan. Semoga Allah Swt. memberikan kita tafakkur seperti itu!

7.Bila petani menggunakan bajak sepanjang hidupnya tetapi tidak menanam bibit, bisakah tanamannya tumbuh? Tentu saja tidak! Menggunakan bajak adalah puasa, salat, haji, dan menabur benih amal adalah zakat. Jika tidak memberikan zakat, semua ibadahnya, sia-sia.

http://wilayyahallah.blogspot.com/2011/11/syekh-sayyid-ali-shah.html

Ruqayyah Binti Rasulullah (Wafat 2 H)

Ruqayyah telah menikah dengan Utbah bin Abu lahab sebelum masa kenabian. Sebenarnya hat itu sangat tidak disukai oleh Khadijah.. Karena ia telah mengenal perilaku ibu Utbah, yaitu Umrnu jamil binti Harb, yang terkenal berperangai buruk dan jahat. ta khawatir putrinya akan memperoleh sifat-sifat buruk dari ibu mertuanya tersebut. Dan ketika Rasulullah . telah diangkat menjadi Nabi, maka Abu Lahablah, orang yang paling memusuhi Rasulullah . dan Islam. Abu Lahab telah banyak menghasut orang-orang Mekkah agar memusuhi Nabi . dan para sahabat . Begitu pufa istrinya, Ummu Jamil yang senantiasa berusaha mencelakakan Rasulullah . dan memfitnahnya. Atas perilaku Abu lahab dan permusuhannya yang keras terhadap Rasulullah ., maka Allah telah menurunkan wahyu-Nya, ‘Maka celakalah kedua tangan Abu lahab, (Al lahab: 1) Setelah ayat ini turun, maka Abu lahab berkata kepada kedua orang putranya, Utbah dan Utaibah, ‘Kepalaku tidak haial bagi kepalamu selama kamu tidak menceraikan Putri Muhammad.’ Atas perintah bapaknya itu, maka Utbah mericeraikan istrinya tanpa alasan. Setelah bercerai dengan Utbah, kemudian Ruqayyah dinikahkan oleh Rasulullah . dengan Utsman bin Affan.


Hati Ruqayyah pun berseri-seri dengan pernikahannya ini. Karena Utsman adalah seorang Muslim yang beriman teguh, berbudi luhur, tampan, kaya raya, dan dari golongan bangan Quraisy. Setelah pernikahan itu, penderitaan kaum muslimin bertambah berat, dengan tekanan dan penindasan dari kafirin Quraisy. Ketika semakin hari penderitaan kaum muslimin, termasuk keluarga Rasulutlah . bertambah berat, maka dengan berat hati Nabi . mengijinkan Utsman beserta keluarganya dan beberapa muslim lainnya untuk berhijrah ke negeri Habasyah. Ketika itu Rasulullah . bersabda, ‘Pergilah ke negeri Habasyah, karena di sana ada seorang raja yang terkenal baik budinya, tidak suka menganiaya siapapun, Di sana adalah bumi yang melindungi kebenaran. Pergilah kalian ke sana. Sehingga Allah akan membebaskan kalian dari penderitaan ini.’

Maka berangkatlah satu kafilah untuk berhijrah dengan diketuai oleh Utsman bin Affan. Rasulullah . bersabda tentang mereka, Mereka adalah orang yang pertama kali hijrah karena Allah setelah Nabi Luth as.’ Setibanya di Habasyah mereka memperoleh perlakuan yang sangat baik dari Raja Habasyah. Mereka hidup tenang dan tenteram, hingga datanglah berita bahwa keadaan kaum muslimin di Mekkah telah aman. Mendengar berita tersebut, disertai kerinduan kepada kampung halaman, maka Utsman memutuskan bahwa kafilah muslimin yang dipimpimnya itu akan kembali lagi ke kampung halamannya di Mekkah. Mereka pun kembali. Namun apa yang dijumpai adalah berbeda dengan apa yang mereka dengar ketika di Habasyah. Pada masa itu, mereka mendapati keadaan kaum muslimin yang mendapatkan penderitaan lebih parah lagi. Pembantaian dan penyiksaan atas kaum muslimin semakin meningkat. Sehingga rombongan ini tidak berani memasuki Mekkah pada siang hari. Ketika malam telah menyelimuti kota Mekkah, barulah mereka mengunjungi rumah masingmasing yang dirasa aman. Ruqayyah pun masuk ke rumahnya, melepas rindu terhadap orang tua dan saudara-saudaranya.

Namun ketika matanya beredar ke sekeliling rumah, ia tidak menjumpai satu sosok manusia yang sangat ia rindukan. la bertanya, ‘Mana ibu?….. mana ibu?….’ Saudara-saudaranya terdiam tidak menjawab. Maka Ruqayyah pun sadar, orang yang sangat berarti dalam hidupnya itu telah tiada. Ruqayyah menangis. Hatinya sangat bergetar, bumi pun rasanya berputar atas kepergiannya. Penderitaan hatinya, ternyata tidak berhenti sampai di situ. Tidak lama berselang, anak lelaki satu-satunya, yaitu Abdullah yang lahir ketika hijrah pertama, telah meninggal dunia pula. Padahal nama Abdullah adalah kunyah bagi Utsman ra., yaitu Abu Abdullah. Abdullah masih berusia dua tahun, ketika seekor ayam jantan mematuk mukanya sehingga mukanya bengkak, maka Allah mencabut nyawanya. Ruqayyah tidak mempunyai anak lagi setelah itu.

Dia hijrah ke Madinah setelah Rasulullah j. hijrah. Ketika Rasulullah . bersiap-siap untuk perang Badar, Ruqayyah jatuh sakit, sehingga Rasulullah . menyuruh Utsman bin Affan agar tetap tinggal di Madinah untuk merawatnya. Namun maut telah menjemput Ruqayyah ketika Rasulullah . masih berada di medan Badar pada bulan Ramadhan. Kemudian berita wafatnya ini dikabarkan oleh Zaid bin Haritsah ke Badar. Dan kemenangan kaum muslimin yang dibawa oleh Rasulullah . beserta pasukannya dari Badar, ketika masuk ke kota Madinah, telah disambut dengan berita penguburan Ruqayyah. Pada saat wafatnya Ruqayyah, Rasulullah . berkata, Bergabunglah dengan pendahulu kita, Utsman bin Maz’un.’

Para wanita menangisi kepergian Ruqayyah. Sehingga Umar bin Khattab. datang kepada para wanita itu dan memukuli mereka dengan cambuknya agar mereka tidak keterlaluan dalam menangisi jenazah Ruqayyah. Akan tetapi Rasulullah . menahan tangan Umar. dan berkata, ‘Biarkaniah mereka menangis, ya Umar. Tetapi hati-hatilah dengan bisikan syaitan. Yang datang dari hati dan mata adalah dari Allah dan merupakan rahmat. Yang datang dari tangan dan lidah adalah dari syaitan.’


–ooOoo–

Ruqoyyah dan Ummu Kultsum

Lahir dua orang putri dari rahim ibunya, Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza radhiallahu ‘anha. Menyandang nama Ruqayyah dan Ummu Kultsum radhiallahu ‘anhuma, di bawah ketenangan naungan seorang ayah yang mulia, Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil Muththalib Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebelum datang masa sang ayah diangkat sebagai nabi Allah, Ruqayyah disunting oleh seorang pemuda bernama ‘Utbah, putra Abu Lahab bin ‘Abdul Muththalib, sementara Ummu Kultsum menikah dengan saudara ‘Utbah, ‘Utaibah bin Abi Lahab. Namun, pernikahan itu tak berjalan lama. Berawal dengan diangkatnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi, menyusul kemudian turun Surat Al-Lahab yang berisi cercaan terhadap Abu Lahab, maka Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil, menjadi berang. Dia berkata kepada dua putranya, ‘Utbah dan ‘Utaibah yang menyunting putri-putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Haram jika kalian berdua tidak menceraikan kedua putri Muhammad!”

Kembalilah dua putri yang mulia ini dalam keteduhan naungan ayah bundanya, sebelum sempat dicampuri suaminya. Bahkan dengan itulah Allah selamatkan mereka berdua dari musuh-musuh-Nya. Ruqayyah dan Ummu Kultsum pun berislam bersama ibunda dan saudari-saudarinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ganti yang jauh lebih baik. Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu ‘anha disunting oleh seorang sahabat mulia, ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu.

Sebagaimana kaum muslimin yang lain, mereka berdua menghadapi gelombang ujian yang sedemikian dahsyat melalui tangan kaum musyrikin Mekkah dalam menggenggam keimanan. Hingga akhirnya, pada tahun kelima setelah nubuwah, Allah Subhanahu wa Ta’ala bukakan jalan untuk hijrah ke bumi Habasyah, menuju perlindungan seorang raja yang tidak pernah menzalimi siapa pun yang ada bersamanya. ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu membawa istrinya di atas keledai, meninggalkan Mekkah, bersama sepuluh orang sahabat yang lainnya, berjalan kaki menuju pantai. Di sana mereka menyewa sebuah perahu seharga setengah dinar.

Di bumi Habasyah, Ruqayyah radhiallahu ‘anha melahirkan seorang putra yang bernama ‘Abdullah. Akan tetapi, putra ‘Utsman ini tidak berusia panjang. Suatu ketika, ada seekor ayam jantan yang mematuk matanya hingga membengkak wajahnya. Dengan sebab musibah ini, ‘Abdullah meninggal dalam usia enam tahun.

Perjalanan mereka belum berakhir. Saat kaum muslimin meninggalkan negeri Makkah untuk hijrah ke Madinah, mereka berdua pun turut berhijrah ke negeri itu. Begitu pun Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha, berhijrah bersama keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selang berapa lama mereka tinggal di Madinah, bergema seruan perang Badr. Para sahabat bersiap untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Namun bersamaan dengan itu, Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu ‘anha diserang sakit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu untuk tetap tinggal menemani istrinya.

Ternyata itulah pertemuan mereka yang terakhir. Di antara malam-malam peristiwa Badr, Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu ‘anha kembali ke hadapan Rabbnya karena sakit yang dideritanya. ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu sendiri yang turun untuk meletakkan jasad istrinya di dalam kuburnya.

Saat diratakan tanah pekuburan Ruqayyah radhiallahu ‘anha, terdengar kabar gembira kegemilangan pasukan muslimin melibas kaum musyrikin yang diserukan oleh Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu. Kedukaan itu berlangsung bersama datangnya kemenangan, saat Ruqayyah bintu Muhammad radhiallahu ‘anha pergi untuk selama-lamanya pada tahun kedua setelah hijrah.

Sepeninggal Ruqayyah radhiallahu ‘anha, ‘Umar bin Al Khaththab radhiallahu ‘anhu menawarkan kepada ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu untuk menikah dengan putrinya, Hafshah bintu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma yang kehilangan suaminya di medan Badr. Namun saat itu ‘Utsman dengan halus menolak. Datanglah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan kekecewaannya.

Ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala memilihkan yang lebih baik dari itu semua. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang Hafshah radhiallahu ‘anha untuk dirinya, dan menikahkan ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu dengan putrinya, Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha. Tercatat peristiwa ini pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ketiga setelah hijrah.

Enam tahun berlalu. Ikatan kasih itu harus kembali terurai. Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha kembali ke hadapan Rabbnya pada tahun kesembilan setelah hijrah, tanpa meninggalkan seorang putra pun bagi suaminya. Jasadnya dimandikan oleh Asma’ bintu ‘Umais dan Shafiyah bintu ‘Abdil Muththalib radhiallahu ‘anhuma. Tampak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalati jenazah putrinya. Setelah itu, beliau duduk di sisi kubur putrinya. Sembari kedua mata beliau berlinang air mata, beliau bertanya, “Adakah seseorang yang tidak mendatangi istrinya semalam?” Abu Thalhah menjawab, “Saya.” Kata beliau, “Turunlah!”

Jasad Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha dibawa turun dalam tanah pekuburannya oleh ‘Ali bin Abi Thalib, Al-Fadhl bin Al-‘Abbas, Usamah bin Zaid serta Abu Thalhah Al-Anshari radhiallahu ‘anhu. Ruqayyah dan Ummu Kultsum, dua putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah meridhai keduanya…. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

(Sumber Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (hal. 1038, bacaan: • Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d 1839-1842, 1952-1953), • Fathul Ats-Tsiqat, karya Al-Imam Ibnu Hibban (2/105), • (8/36-38), • Siyar A’lamin Bari, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (7/188), • Tahdzibul Kamal, karya Nubala, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/250-253), • Al-Imam Al-Mizzi (19/448), Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran, dinukil dari asysyariah.com, kategori cerminan shalihah)


http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/01/ruqayyah-binti-rasulullah-wafat-2-h/

Prof. Dr. Syekh Muhammad Hassan Hitou

Direktur Pusat Studi Ilmu-ilmu
Keislaman Internasional, Cianjur.
Paduan Ilmu dan Kekayaan
Siang itu, Jum’at (30/09), suasana Puncak, Kabupaten Bogor, sangat cerah. Jalanan cukup lengang, tidak ada kemacetan berarti seperti yang biasa terjadi di akhir pekan. Hamparan hijau kebun teh sepanjang jalan yang kami lewati  menambah suasana teduh. Hari itu, kami akan menemui seorang ulama besar dari Syiria yang mendirikan pesantren mahasiswa di Cipanas, Cianjur Jawa Barat.
Sebelum sampai di tempat yang dituju, kami mampir di Masjid Al-Ihsan, Ciloto, Cipanas. Meski berstatus sebagai musafir, kami memutuskan untuk tetap menunaikan sholat Jum’at.
Di balik gerbang kampus yang sangat asri itu, nampak seseorang mengenakan jubah berwarna krem dan coklat, sepertinya sedang mengawasi beberapa tukang yang melakukan perbaikan bangunan. Melihat tamu datang, orang tesebut nampak tersenyum ramah. Itulah sosok Prof Dr, Syekh Muhammad Hassan Hitou.
Romongan kami dibagi dua. Saya dan Pak Pujo Kusharyadi (Dir. Marketing) diterima di kantor kampus. Sedangkan rombongan Ibu Ratna Handini (Komisaris MU) diterima oleh istri Syekh Hassan di rumahnya didampingi kedua putri beliau dan beberapa ustadzah.
Ruang tamu di kantor kampus tempat kami wawancara letaknya menghadap ke perbukitan. Suasana alami begitu terasa. Saat menemui kami, Syekh Hassan mengajak empat orang ustadz. Satu dari Indonesia, Ustadz Abdurrahman Naim, Sekretaris Pesantren dan tiga orang ustadz dari Damaskus, Syiria, yaitu Ustadz Sadi Arbas, Ustadz Mahir Sholuha dan Ustadz Anas Sarfawi.
Kagum dengan Indonesia
Berikut ringkasan wawancara Fahrurozi, Pimpinan Redaksi Media Ummat (MU) bersama Syekh Muhammad Hassan Hitou (SH):
MU: Kapan pertama kali Syekh berkunjung ke Indonesia..?.
SH: Saya pertama kali ke Indonesia sudah 15 tahun yang lalu, ya mungkin sudah 18 tahun yang lalu. Saya memiliki banyak teman di Indonesia sewaktu kami sama-sama belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
MU: Faktor apa yang mendorong tuan untuk mendirikan lembaga pendidikan dan dakwah di Indonesia?
SH: Pertama, Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Kedua, Karakteristik orang-orang Indonesia sangat baik, mereka ramah, lembut dan terbuka. Ketiga, ummat Islam Indonesia harus benar-benar memahami agamanya sesuai syariat tanpa harus belajar ke luar negeri.
MU: Bagaimana pendapat tuan tentang pondok-pondok yang ada di Indonesia, baik pesantren salaf maupun modern..?.
SH: Semua pesantren yang mengajarkan syariat Islam sesuai dengan paham ahlussunnah wal jamaah, kalau ajarannya tidak menyimpang dan benar-benar mengajak ummat kepada agama Allah dengan dakwah maupun pendidikan, maka kami sangat mendukung. Semuanya baik dan kami siap bekerjasama dengan semuanya. Kecuali kalau ada pesantren atau ajaran yang ingin menghancurkan tradisi keislaman Indonesia maka itu tidak dibenarkan. Kami tidak pernah punya maksud untuk menghilangkan tradisi atau budaya ummat Islam yang telah berlaku di Indonesia.
MU: Sudah berapa lembaga pendidikan yang tuan dirikan di Indonesia selain yang ada di Cianjur ini?
SH: saat ini sudah ada beberapa lembaga yang kami dirikan, di Sumatera, di Pinang Tua ada dua, di Pandeglang Banten. Di Cianjur ini, selain Kampus ini juga ada tiga pesantren. Mahad Al-Budr, Mahad Al-Barokah dan mahad Al-Yumn. Rencananya kami ingin mendirikan 100 pesantren atau lembaga pendidikan, baik mahad maupun jamiah (perkuliahan). Saya adalah pengajar (muallim) saya hanya ingin mengajarkan ilmu agama dan juga bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
MU: Tentu dalam melaksanakan program-program tersebut dibutuhkan biaya, kira-kira dari mana sumber pembiayaannya..?
SH: Sumber dananya dari saya pribadi serta murid-murid saya yang ada di Kuwait. Kami tidak meminta bantuan pemerintah apalagi partai politik. Ini adalah bentuk perjuangan atau jihad kami dengan harta atau diri kami untuk memajukan agama kami. Namun, kalau ada yang mau ikut membantu dana, maka kami siap menerimanya asalkan tidak disertai persyaratan macam-macam. Tapi murni membantu karena Allah.
MU: Bagaimana pendapat tuan tentang kebiasaan ummat Islam Indonesia yang senang menggelar majelis maulid, majelis dzikir dan majelis haul?.
SH: Majelis-majelis maulid dan dzikir tentu sangat baik dan itu sudah menjadi tradisi di berbagai negara, kamipun sudah terbiasa. Demikian juga, majelis haul selama diisi dengan pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, dzikir, pengajian dan berbagai hal-hal yang baik, kami rasa itu tidak ada masalah.
MU: Bagaimana tanggapan tuan dengan gerakan terorisme yang akhir-akhir ini muncul termasuk di Indonesia.?
SH: Gerakan terorisme bukanlah ajaran Islam, itu tidak ada kaitannya dengan syariat Islam. Itu adalah gerakan-gerakan perorangan atau kelompok tertentu yang tidak bisa diatas namakan Islam. Kami melalui Pusat tudi Keilmuan Islam Internasional di Jerman juga sudah menolak adanya gerakan-gerakan tersebut. Kita ingin mengajarkan pendidikan Islam yang benar dan akhlak yang baik serta dakwah yang santun. (Fahrurozi/MU)
Seperti Keluarga Sendiri
Bagi alumnus Al-Azhar dari Indonesia di era 70an, nama Syekh Muhammad Hassan Hitou tentu tidak asing lagi.Maklum, ketika belajar di Al- Azhar, Syekh Hassan sudah menjalin hubungan erat dengan mahasiswa dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Kamboja. Walaupun status beliau masih sebagai mahasiswa, namun, beliau telah mencoba memberikan bantuan, baik bimbingan maupun dana kepada saudara-saudaranya dari negara-negara tersebut .
Karena memiliki begitu banyak kawan dari Indonesia ketika kuliah di Al-Azhar, maka saat beliau datang ke Indonesia sekitar tahun 1980-an, Syekh Hassan sama sekali tidak merasa sebagai orang asing. Bahkan sebaliknya, beliau seperti sedang berada di tengah keluarga dan saudara sendiri. Kemanapun pergi, beliau mendapatkan sambutan hangat dari berbagai lapisan masyarakat.
Syekh Hassan juga telah bertemu dengan beberapa mentri dan pejabat lainnya. Beliau menjelaskan aktivitasnya di Indonesia. Dengan tujuan agar masyarakat Indonesia mengetahui bahwa semua aktivitas beliau dilakukan secara transparan dan terbuka, sehingga tidak ada perasaan apapun atau kecurigaan terhadap kegiatan beliau.
Sangat Produktif
Syekh Hassan Hitou lahir pada 10 Oktober 1843 di Damaskus. Beliau menyandang gelar PhD dari Universitar Al-Azhar Kairo Mesir (1973). Spesialisasinya adalah fiqh dan usul fiqh. Namun spesialisasi khususnya adalah ushul fiqh. Beliau kuliah di Fakultas Syariah. Tesisnya berjudul Imam As-Syairazi-Kehidupan dan asal-usulnya- Pemahaman tentang Usul Fiqh.
Kedalaman ilmunya membuat beliau diminta untuk mengajar di berbagai universitas. Beliau adalah dosen di beberapa Universitas di Kuwait dan Jerman, seperti Fakultas Syari’ah Universitas Kuwait (1981-1995), Fakultas Hukum Universitas Kuwait (1979-1981), Fakultas Pendidikan Dasar Universitas Muhammad Bin Saud (1975-1979).Dan Sekarang beliau bertugas sebagai direktur Pusat Ilmu-ilmu Keislaman Internasional  di Jerman yang saat ini telah dibuka cabangnya di Cianjur, Jawa Barat
Sebagai ilmuwan, Syekh Hassan Hitou telah menghasilkan banyak karya ilmiah. Diantara karyanya adalah:

Hadits Mursal Sebagai Dalil, Dampaknya Terhadap Fiqih Islam
Al Wajiz Fi Ushul Tasyri
Ringkasan Dasar Penentuan Hukum
Kesimpulan tentang Ushul Fiqh
Pembuka Tabir tentang Sunnah Doa Qunut pada Shalat Shubuh
Imam Abu Ishaq As Syairazi (Riwayat hidup dan asal usulnya)
Pemahaman Tentang Ushul Fiqh
Al Mankhul dari Komentar Ushul
Langkah Awal untuk Mengeluarkan Penilaian Dari Dasar Hukum
Al-Qowati dalam Ushul Fiqh
Ushul Fiqh dan Ketentuannya
Ijtihad dan Jenis Penggali Hukum
Tingkatan Penggali Hukum
Pengikut Imam syafi’i
Fiqih Puasa
Larangan tentang Hukum Menyusui
Mujizat Al Qur’an
Mereka yang Mengaku Sebagai ahli Fiqh
Akal dan Alam Ghoib
Agama dan Ilmu Pengetahuan
Sistem dalam Sejarah Definis Hadits
Sistem Para Perawi Hadits Dalam Kitab al Muwatho
Dalam Perjalanan dakwah
Kepedihan dan Harapan
Ensiklopedi Fiqih Imam Syafi’i dan perbandingan
Selain menulis kitab, beliau juga aktif dalam syiar Islam melalui radio, antara lain, tentang ushul fiqh Islam (disiarkan oleh Radio Kuwait dalam 153 seri) Mu’jizat al-Qur’an (83 seri), hukum puasa (30 seri), agama ilmu pengetahuan dan kehidupan (30 seri).

http://mediaummat.co.id/prof-dr-syekh-muhammad-hassan-hitou/

Ibnu Muqlah / Imam Khattatin” (pemimpin para Kaligrafer)

Nasib tragis Ibnu Muqlah yang dikenal sebagai “Imam Khattatin” (pemimpin para Kaligrafer)
Adalah Abu Ali al-Sadr Muhammad ibn al-Hasan ibn Abd Allah ibn Muqlah, yang lebih dikenal dengan Abu Ali atau Ibnu Muqlah, dilahirkan pada tahun 272 H/887 M. Ibnu Muqlah artinya “anak si biji mata” yang berarti anak kesayangan. Sedangkan Muqlah adalah gelar ayahnya. Ada yang meriwayatkan sebagai nama ibunya, yang apabila ayahnya (kakek Ibnu Muqlah) mempermainkannya, selalu memanggilnya dengan kata-kata: “Yaa muqlata abiha!” (“Wahai biji mata ayahnya!”).

      Ibnu Muqlah yang dikenal sebagai “Imam Khattatin” (pemimpin para Kaligrafer) dan saudaranya, Abu Abdillah mendapat bimbingan kaligrafi dari Al-Ahwal al-Muharrir, salah seorang murid Ibrahim al-Syajari yang paling masyhur, hingga keduanya menjadi kaligrafer sempurna yang paling menguasai bidangnya di Baghdad pada permulaan zaman tersebut.
     Kejeniusan Abu Ali Ibn Muqlah dan pengetahuan mendasarnya tentang geometri (ilmu ukur) membawa kemajuan penting satu-satunya di bidang kaligrafi Arab.  Keberhasilan Ibnu Muqlah adalah mengangkat khat gaya Naskhi, lihat contoh kaligrafi khat gaya Naskhi :
Gaya Naskhi menjadi gaya yang paling populer dipakai, setelah abad sebelumnya didominasi oleh khat gaya Kufi, contoh kaligrafi gaya Kufi :
Gaya lain yang ditekuninya Ibnu Muqlah adalah khat Tsulus, yang nantinya banyak berpengaruh pada karya Ibnu Bawab. Contoh kaligrafi khat gaya Tsulus :
Sumbangan Muqlah dalam kaligrafi bukan pada penemuan gaya baru tulisan, akan tetapi pada penerapan kaidah-kaidah yang sistematis untuk kaidah khat Naskhi yang berpangkal pada huruf alif.
      Sistem penulisan Ibnu Muqlah berpangkal pada tiga unsur kesatuan baku: titik (yang dibuat dari tarikan diagonal pena), huruf alif vertikal dan lingkaran.
Diciptakannya sebuah titik belah ketupat sebagai unit ukuran. Kemudian mendesain kembali bentuk-bentuk ukuran (geometrikal) tulisan sambil menentukan model dan ukuran menurut besarnya dengan memakai titik belah ketupat, standar alif dan standar lingkaran. Tiga poin inilah, yaitu titik belah ketupat, alif vertikal, dan lingkaran yang dikemukakan oleh Ibnu Muqlah sebagai rumus-rumus dasar pengukuran bagi penulisan setiap huruf.
      Prinsip-prinsip geometrikal ini mendobrak cara penulisan Arab sebelumnya yang cenderung nisbi. Metode penulisan baru ini disebut al-Khath al-Manshubi (kaligrafi yang tersandar). Meskipun kaidah-kaidah tersebut tidak sekaku awal perintisan Ibnu Muqlah, namun perkembangan kaligrafi selanjutnya banyak dipengaruhi oleh kepiawaiannya dalam memperindah tulisan.
      Buah karyanya yang dipercaya masih ada sampai sekarang hanyalah yang tersimpan utuh di Museum Irak, Baghdad. Tulisan yang terdiri dari sembilan halaman ini, yang disebut Naskhi dan Tsulus, ditilik dari cara dan gaya penulisannya dianggap benar-benar berasal dari tangan Ibnu Muqlah sendiri.
      Sumber lainnya menyebutkan bahwa di Andalusia ada sebuah mushaf al-Qur’an yang sangat masyhur, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Khalil al-Saquny bahwa di salah satu masjid dari sekian banyak masjid Sevilla didapat mushaf juz IV dengan huruf-huruf tulisan yang mirip dengan huruf-huruf Kufi.
     Dikuatkan oleh Abu al-Hasan ibn Tufail bahwa mushaf itu ditulis dengan menggunakan khat Ibnu Muqlah. Sumber tersebut berasal dari Majalah Ma’had al-Makhtutat al-‘Arabiyah juz awal, halaman 95, tahun 1377 H, dalam suatu ulasan tentang perpustakaan dan kitab-kitab di Spanyol Islam.
Pada mulanya Ibnu Muqlah mengabdi pada beberapa kantor pemerintahan, menyumbangkan kemahiran dari bakat yang dimilikinya sebagaimana yang dilakukan oleh para kaligrafer lainnya. Untuk pekerjaan tersebut  ia mendapat upah enam dinar sebulan.
     Karirnya mulai menanjak setelah ia mempunyai hubungan yang erat dengan Abu al-Hasan ibn Furat yang mengawalnya ke puncak prestasi yang meyakinkan, sehingga ia mulai populer dan banyak mendapat sorotan dari segenap kalangan.
     Bahkan, dalam suatu catatan disebutkan bahwa tulisan Ibnu Muqlah pernah digunakan dalam pembubuhan surat perdamaian (hadnah) antara kaum muslimin dengan bangsa Romawi, surat itu tetap dalam pegangan pemerintah Romawi, hingga Sultan Muhammad al-Fatih menaklukkan kota Konstantinopel, ibukota Romawi Timur.
      Ibnu Muqlah memulai karirnya sebagai pegawai pemungut pajak di provinsi Persia, sekaligus mengatur anggaran pengeluarannya. Hingga keadaannya berbalik ketika ia menjadi pejabat bawahan al-Imam al-Muqtadir Billah pada tahun 316H, yang membawanya sukses untuk menduduki posisi tertinggi di istana Baghdad.
     Berkat keuletan luar biasa dan prestasi yang tampak sangat menonjol, ia berhasil menaiki jenjang kedudukan perdana menteri (wazir) untuk tiga orang khalifah Abbasiyah, yakni khalifah al-Muqtadir (908-932 M), khalifah al-Qahir (932-934 M) dan khalifah al-Radhi (934-940 M).
     Akan tetapi nasib Ibnu Muqlah sangat malang, ia telah mendapat tekanan-tekanan berat akibat masalah-masalah kekhalifahan yang sedang bergolak dengan segala kekisruhannya; tatkala penindasan, korupsi dan intrik-intrik politik dari ambisi kekuasaan yang merajalela. Sistem kepemimpinan kekhalifahan pada waktu itu ternyata telah menyiksanya dengan beragam penganiayaan.
     Ibnu Muqlah diangkat menjadi pembantu (wazir) khalifah al-Radhi, namun ia juga mempunyai musuh yang menfitnahnya hingga ia ditangkap dan dipecat dari jabatannya.
       Ia berkali-kali masuk penjara, hartanya disita dan ia dibuang ke Persia, sampai suatu saat ia mesti membayar tebusan satu juta dirham.
      Hal itu mendorongnya mendekati Ibnu Raiq, Perdana Menteri di Baghdad, bawahan khalifah yang naif itu. Namun Ibnu Raiq tidak bisa menyembunyikan kedengkiannya, bahkan membusukkan namanya di hadapan khalifah al-Radhi. Maka Ibnu Muqlah mendapat hukuman lagi dengan mempertaruhkan tangan kanan dan kirinya.
     Akhirnya khalifah al-Radhi pun menyesal atas sikapnya sendiri dan menyuruh tabib istana untuk mengobati luka tangan Ibnu Muqlah yang sudah terpotong, hingga ia sembuh.
     Akan halnya dengan Ibnu Raiq begitu melihat sikap khalifah al-Radhi tersebut, ketika teringat akan permintaan Ibnu Muqlah untuk duduk di kursi kementeriannya, dan itu kelak akan menjadi saingannya. Maka dibuatlah tindakan yang lebih bengis melengkapi kekejaman sikap sebelumnya.
      Ibnu Raiq menjatuhkan hukuman potong lidah dan menjebloskan Ibnu Muqlah ke dalam penjara, hingga ia mendekam bertahun-tahun dengan segala duka derita yang tak terkirakan.
     Di dalam penjara itu Ibnu Muqlah menggoreskan pena dengan lengan tangannya yang terpotong dan dengan itu pun ia menulis, begitu pula ketika mengambil air wudhu.
    Ibnu Muqlah meninggal dunia tahun 328 H/940 M dan dimakamkan di istana sultan. Mendengar peristiwa itu, keluarganya menuntut agar jenazahnya dibongkar dan diserahkan kepada keluarga. Kemudian anaknya menguburkan di rumahnya sendiri. Dari rumah anaknya, istrinya yang dikenal dengan nama Dinariyah menggalinya kembali dan menguburkan di rumahnya di Istana Umm Habib Baghdad.



http://anangkatut.blogspot.com/2013/08/nasib-tragis-ibnu-muqlah-yang-dikenal.html

Ma’ruf Al-Kharqi, Sufi yang Bertamu di Arasy

Ia mabuk cinta akan Dzat Ilahi. Konon, Allah mengkuinya sebagai manusia yang mabuk cinta kepada-Nya. Kebesarannya diakui berbagai golongan.

Nama sufi ini tidak terlalu populer, meski sama-sama berasal dari Irak, namanya tak sepopuleh Syekh Abdul Qadir Jailani, Manshur Al-Hallaj, atau Junaid Al-Baghdadi. Dialah Ma’ruf Al-Kharqi, salah seorang sufi penggagas paham cinta dalam dunia Tasawuf yang jiwanya selalu diselimuti rasa rindu yang luar biasa kepada sang Khalik. Tak salah jika ia menjadi panutan generasi sufi sesudahnya. Banyak sufi besar seperti Sarry Al-Saqaty, yang terpengaruh gagasan-gagasannya. Ia juga diangap sebagai salah seorang sufi penerus Rabi’ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.

Nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma’ruf bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan Khalifah Harun Al-Rasyid dinasti Abbasiyah. tak seorangpun menemukan tanggal lahirnya. Perhatikan komentar Sarry As-Saqaty, salah seorang muridnya. “Aku pernah bermimpi melihat Al-Kharqi bertamu di Arasy, waktu itu Allah bertanya kepada Malaikat, siapakah dia? Malaikat menjawab, “Engkau lebih mengetahui wahai Allah,” maka Allah SWT berfirman, dia adalah Ma’ruf Al-Kharqi, yang sedang mabuk cinta kepadaku.”

Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya, orang tua Ma’ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga,” tapi, Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa.

Mendengar jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.

Karena tak seorang pun mengetahui kemana ia pergi, orang tua Ma’ruf berkata, “Asalkan ia mau pulang, agama apapun yang dianutnya akan kami anut pula.” Ternyata Ma’ruf menghadap Ali bin Musa bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.

Tak beberapa lama, Ma’ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. “Siapakah itu” tanya orang tuanya. “Ma’ruf,” jawabnya. “agama apa yang engkau anut?” tanya orang tuanya. “Agama Muhammad, Rasulullah,” jawab Ma’ruf. Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun memeluk Islam.

Cinta Ilahiah

Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud A-Tsani, ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.

Menurut Ma’ruf, rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar, melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran taawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma’ruf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma’ruf Al-Kharqi yang pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah yang mendifinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.

Masih menurut Ma’ruf, seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan – yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.

Gambaran tentang Ma’ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, “Kulihat ada goresan bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?” Ma’ruf pun menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.”

Tapi Manshur terus mendesak. “Demi Allah, jelaskan kepadaku,” maka Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka’bah. Doaku itu terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan mukaku terbentur sehingga wajahku lukan.”

Pada suatu hari Ma’ruf berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma’ruf mendesak agar gurunya berdoa kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal. Maka Ma’ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia berdoa, “Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti.” Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. “Tunggulah sebentar, kalian akan mengetahui rahasianya,” ujar Ma’ruf.

Beberapa saat kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma’ruf, mereka segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma’ruf dan bertobat. Lalu kata Syekh Ma’ruf kepada muridnya, “Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun pun juga.”

Ma’ruf mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur melihat Ma’ruf sedang makan Roti, bergantian dengan seekor Anjing. Menyaksikan itu pamannya berseru, “Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor Anjing?” maka sahut sang kemenakan, “Justru karena punya rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin.” Kemudian ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma’ruf. Lalu katanya kepada sang paman, “Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada dirinya.” Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa.

Suatu hari beberapa orang syiah mendombrak pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang Ma’ruf hingga tulang rusuknya patah. Ma’ruf tergelatak dengan luka cukup parah, melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, “Sampaikan wasiatmu yang terakhir,” maka Ma’ruf pun berwasiat. “Apabila aku mati, lepaskanlah pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin mneinggalkan dunia ini dalam keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku.”

Sarri as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat ma’ruf tengah memunguti biji-biji kurma.

“Apa yang sedang engkau lakukan?” tanyaku.

Ia menjawab, “Aku melihat seorang anak menangis. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis?” ia menjawab. “Aku adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu. Anak-anak yang lain memdapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka juga dapat kacang, sedangkan aku tidak,” lalu akupun memunguti biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama anak-anak lain.”

“Biarkan aku yang mengurusnya,” kataku.

Akupun membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan sejak saat itu, akupun berubah.

Suatu hari Ma’ruf batal wudu. Ia pun segera bertayammum.

Orang-orang yang melihatnya bertanya, “Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?”

Ma’ruf menjawab, “Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu.”

Ketika Ma’ruf wafat, banyak orang dari berbagai golongan datang bertakziyah, Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para sahabatnya membaca wasiat almarhum: “Jika ada kaum yang dapat mengangkat peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka.” Kemudian orang Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.

http://wilayyahallah.blogspot.com/2012/10/maruf-al-kharqi-sufi-yang-bertamu-di.html