Senin, 23 Desember 2013

Mengenal Al-Jilli, Sufi Misterius, Kaya Ilmu, dan Kreatif

Ia dikenal sebagai mistikus yang misterius tapi kaya ilmu. Beberapa karyanya dikabarkan sempat hilang

Dalam alam pemikiran Islam dikenal apa yang disebut “Insan Kamil”, alias manusia yang sempurna. Insan Kamil merupakan derajat spritual yang paling tinggi, yang menjadi dambaan setiap muslim. Bisa mencapai derajat sebagai Insan Kamil sangat berarti bagai seorang yang beriman, karena mereka benar-benar dapat merasakan makna sebagai manusia yang sesungguhnya.
Derajat sebagai Insan Kamil hanya dikenal dalam dunia tasawuf. Banyak cara atau metode untuk mencapai derajat tersebut yang dirumuskan oleh para sufi masyhur. Diantaranya, Al-Jilli, dalam kitabnya, Al-Insanul Kamil fi Makrifat al-Awakhir wa Awa’il. Ia menulis pendapatnya tentang Insan Kamil dengan cukup Mendetail – sehingga sering dikutip banyak penulis hingga kini.

Nama lengkapnya Abdul Karim ibnu Ibrahim ibnu Khalifah ibnu Ahmad ibnu Mahmud al-Jilli. Kapan ia lahir dan wafat, dimana ia lahir dan wafat, para sejarawan dan pengamat sufi berbeda pendapat. Al-Jilli memang sufi yang misterius, karena riwayat hidupnya juga sangat sulit dilacak. Menurut pengamat sufi Ignaz Goldziher, Al-Jilli lahir di sebuah desa dekat Bagdad yang bernama Al-Jil – yang kemudian dinisbatkan di belakang namanya.

Tetapi hal itu kemudian dibantah oleh Nicholson, pengamat sufi yang lain, dalam sebuah bukunya ia menulis, Al-Jilli bisa diartikan sebagai pertalian nasab, keturunan. Jil  atau Jilan menunjukkan bahwa Al-Jilli keturunan orang Jilan, sebuah daerah di wilayah Bagdad. Argumentasi ini sejalan dengan beberapa buku mengenai karya Al-Jilli yang menyebutkan bahwa ia masih keturunan Syekh Abdul Qadir Al Jilani, pendiri tarekat Qadiriyah.

Menurut Al-Jilli, garis nasabnya tersambung dari cucu perempuan Syekh Abdul Qadir Jailani. Tapi beberapa ulama dan pengamat sufi sepakat, Al-Jilli lahir pada bulan Muharram tahun 767 H di Baghdad, Irak. Namun mengenai wafatnya para ulama dan pengamat sufi – seperti At-Taftazani, AJ. Arberry maupun Umar Ridha Kahhalah – tidak sepakat.

Ibnu Arabi

Al-Jilli kecil dididik dengan penuh disiplin oleh ayahandanya. Menginjak masa remaja – ketika Bagdad dikuasai pasukan Mongol – ia dan keluarganya hijrah ke Zabid di Yaman. Disinilah ia belajar agama secara intensif, antara lain ia berguru kepada Syekh Syarafuddin Ismail ibnu Ibrahim Al-Jabarti (W. 806 H). belakangan ia juga belajar kepada seorang sufi besar di Hindukusy, India, pada 709 H, tapi tidak ada catatan berapa lama ia tinggal di India.

Ia hanya menceritakan beberapa pengalamannya, antara lain ketika berkenalan dengan tokoh-tokoh tarekat, terutama tarekat Naqsyabandiyah, Khistiyah, dan Syuhrawardiyah. Ia juga menceritakan persahabatannya dengan teman seperguruannya. Syihabuddin Ahmad Raddad (w. 821 H). perjalanannya ke Parsi (kini Iran) untuk bertemu dengan beberapa guru sufi di sana.

Pada akhir 799 H, ia menunaikan ibadah haji. Ketika itulah sempat berdiskusi dengan beberapa ulama. 4 tahun kemudian, tahun 803 H, ia berkunjung ke Kairo, sempat mampir Universitas Al-Azhar dan bertemu dengan beberapa ulama. Ia sempat juga berkunjung ke Gaza di Palestina dan bermukim disana selama dua tahun, tapi tak lama kemudian ia kembali ke Zabid, karena ingin mendalami pengetahuannya dengan berguru lagi kepada guru lamanya, Al-Jabarti. Di kota inilah ia wafat pada tahun 805 H / 1402 M.

Seperti halnya para sufi besar lainnya, ia juga menulis kitab tasawuf. Karya-karyanya tergolong berat, salah satunya adalah “Al-Insanul Kamil fi Makrifat Al-Awakhir wa Awail – yang telah disebut dimuka, sebuah kitab yang dianggap mendapat pengaruh pemikiran Ibnu Arabi. Kitab Lainnya, Arbaun Mautian, yang memuat perjalanan mistisnya, masih tersimpan di Perpustakaan Dar el-Misriyah, Kairo, Mesir.

Kitab lainnya, Bahr al-Hudus wa al-Qidam wal Maujud wa al-Adam, naskahnya tidak ditemukan, tapi disebutkan dalam kitab Maratib al-Wujud. Sementara kitab Akidah al-Akabir al-Muqtabasah min Ahzab wa Shalawat membahasa akidah para sufi. Kitab ini tersipan di perpustakaan Tripoli, Libya.

Tapi karya Master Piece nya tetap Al-Insanul Kamil, yang diterbitkan beberapa kali dan tersebar keseluruh dunia. Beberapa penerbit kesohor dengan bangga menerbitkannya, seperti Muktabah Shabih dan Musthafa al-Babi Al- Halabi, Kairo dan El-Fiqr, Bairut. Kitab yang terdiri dari dua jilid ini memuat 63 bab, 41 bab di jilid pertama, 22 bab di jilid kedua.

Saking menariknya, kitab yang menggelar gagasan Al-Jilli tentang Insan Kamil ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Titus Burkehardt, misalnya menerjemahkan ke dalam bahasa Prancis dengan judul De I’Home Universal, yang kemudian disalin lagi oleh Angela Culme Seymour dalam bahasa Inggris dengan judul Universal Man.

Akhlak Ideal

Syarah atau komentar tentang kitab ini ditulis oleh beberapa ulama dalam beberapa kitab. Diantaranya Mudhihat al-Hal fi Sa’d Masmu’at al-Dajjal, susunan Syekh Ahmad Muhammad ibnu Madani (w. 1071 H/1660 M), yang mengomentari bab 50-54, yang naskahnya tersimpan di Liberary on India Office, New Delhi. Syarah lainnya, Kayf Al-Bayan ‘an Asrar al-Adyan fi Kitab Al-Insanul Kamil oleh Abdul Ghani An-Nablusi (w. 1159 H) dan Syekh Ali ibnu Hijazi al- Bayumi (w. 1183 H).

Kitab karangan Al-Jilli lainnya, Al-Kahf wa ar-Raqim, memuat dua naskah. Naskah pertama Al-Kahf ar-Raqim al-Kasyif al-Asrar bi Ism Allah al-Rahman al-Rahim, naskah kedua, berjudul Al-Kahf wa Raqim fi Syarh Bimillah al-Rahman al-Rahim. Belakangan kitab ini dicetak ulang oleh Dar al-Ma’arif al-Nidzamiyah, Haiderabat, India, 1917 M. kitab ini merupakan tafsir kesufian terhadap makna Basmalah. Yang menarik ia berusaha menafsirkan surat Al-Fatihah, kata demi kata, kalimat demi kalimat.

Karya Al-Jilli lainnya yang berkaitan dengan tasawuf, antara lain, Maratib al-Wujud wa Haqiqat al-Kulli Maujud, yang menguraikan secara panjang lebar beberapa hal tentang peringkat “Wujud” dalam ajaran sufi, diterbitkan oleh Maktabah Al-Jundi, Kairo. Al-Jilli juga menulis syarah atas karya Ibnu Arabi, Ar-Risalah Al-Anwar, dalam sebuah kitab yang berjudul cukup panjang: Al-Isfar ‘an al-Risalah al-Anwar fi ma Yatajalla li Ahl al-Dzikir min Asrar li Syekh Al-Akbar.

Ada satu naskah lagi, Al-Sifah al-Nataij al-Asfar, ditemukan oleh Broclemann, seorang peneliti tasawuf, di Leipzig, Austria. Ada sebuah kitab Al-Jilli lainnya yang hilang, judulnya Al-Marqum al-Sirr al-Tauhid al-Mahjul wa Ma’lum, yang membahas rahasia kemahaesaan Allah SWT. Keberadaan naskah ini disebut dalam kitab Al-Kamalat al-Ilahiyah.

Ada 28 jilid dari 30 jilid kitab yang raib hingga kini. Ke-30  jilid itu termaktub dalam kitab  AL-Daqiqah al-Haqai, dua jilid yang masih bisa ditemukan itu adalah Kitab Al-Uqtah (jilid pertama) dan kitab Al-Alif (jilid kedua). Sampai kini naskah kedua jilid tersebut tersimpan di Dar el-Kutub al-Misriyah, Kairo.

Al-Jilli juga menulis sebuah kitab tentang Akhlak yang luhur yang seharusnya ditempuh  oleh seorang sufi, judulnya, Al-Ghunyah Arbab al-Sama fi Kasyf al-Ghina ‘an wajh al-Itsma, yang ia tulis pada 803 H di Kairo. Bukan hanya mngenai akhlak ideal seorang sufi, ia juga menulis kitab mengenai pengalaman-pengalaman sufistisnya. Dalam Al-Manadzir al-Ilahiyah. Kitab ini juga menguraikan dasar-dasar akidah yang wajib diyakini orang muslim, terutama yang menempuh jalan tarekat.

Itulah beberapa kitab yang dikarang oleh Al-Jilli. Produktivitas dan gagasannya masih bisa dibaca hingga sekarang. Kekayaan intelektualnya sungguh sangat mempesona publik tasawuf di seluruh jagat. Al-Jilli meninggal tahun 805 H / 1402 M.

http://www.sufiz.com/jejak-sufi/mengenal-al-jilli-sufi-misterius-kaya-ilmu-dan-kreatif.html

MAULANA SYEKH MUKHTAR RA

Begitu banyak tokoh islam yang kita kenal dan kita agung-agungkan selama ini, sangatlah rugi jika tokoh yang satu ini belum diletakkan pada posisi yang spesial di hati. Beliaulah Syekh Mukhtar Ra. yang lahir pada bulan Ramadlan, tepatnya malam Lailatul-Qadr tahun 1369 H. bertepatan dengan tanggal 13 Juli 1950 M. di sebuah negara yang dikenal dengan negri para nabi dan para wali serta kiblat kaum sufi, alias: Republik Arab Mesir.
Jikalau masa kenabian telah berakhir dan masa kewalian masih terus menjelma, maka beliaulah seorang wali Allah itu…

Jikalau Rasul telah tiada dan pewarisnya akan tetap ada, maka beliaulah pewaris handal itu…

Jiakalu Tuhan hanya ditakuti oleh mereka yang ulama’, maka beliaulah ulama’ terkemuka itu…

Jikalau zaman selalu membutuhkan imam, maka beliaulah imam zaman itu…

Jikalau umat selalu mengidamkan seorang penuntun dan penunjuk jalan, maka beliaulah tuntunan itu…

Jikalau Allah hanya memberikan yang terbaik kepada siapa yang Ia kehendaki dari hamba-hamba-Nya, maka beliaulah hamba pilihan itu…

Jikalau Allah mengutus setiap zaman seorang pembaharu, maka pada zaman ini beliaulah utusan itu…

Jikalau umat terpecah menjadi sekian golongan dan semua di neraka melainakn satu, maka beliaulah ketua golongan yang satu itu…

Jikalau kebenaran yang hakiki ada di tangan kaum sufi, maka beliaulah tuan kaum sufi itu…

Jikalau Tarekat Burhamiah adalah tarekat sufi terunggul sepanjang sejarah, maka beliaulah syekh tarekat itu…

Beliaulah Maulana Syekh Mukhtar Ra., sang mahaguru agung yang telah berhasil mencapai sukses di berbagai bidang, pertanian, peternakan, ekonomi, tekhnologi, peperangan, ketentaraan, politik dan lain sebagainya sehingga meraih berbagai gelar yang telah membuatnya menjadi milioner yang berjasa, baik bagi keluarga, agama, umat, bangsa, rakyat, masyarakat maupun dunia.

Sorga beliau bertempat di sebuah daerah bernama Markaz Badr, propinsi Buhairah di Mesir, yang mana daerah tersebut dulunya bernama Ardlushshahabah yang sangat kering dan panas, dan akhirnya kini oleh beliau menjadi taman sorga yang sangat subur dan penuh kehijauan. Tanah-tanah beliau luasnya melebihi lima ratusan hektar yang dikelola dengan sempurna dan dimanfaatkan untuk menyuburkan air, dan menghijaukan bumi serta memelihara berbagai jenis binatang, ikan, dan burung sehingga mendapat penghargaan tinggi dari mentri setempat ditambah dengan pelbagai penghargaan yang diraihnya dari luar negri setelah menunjukkan sebagian kebolehan yang beliau miliki. Beliau telah berkarir dengan baik di berbagai negara arab maupun luarnya, tak heran jika banyak yang berguru padanya, baik dalam bidang-bidang dunia maupun agama.

Sawah-sawah beliau begitu banyak, luas dan subur, setiap sawah diberi nama oleh beliau dengan nama-nama para Ahlul-bait dan Aulia’ sehingga kesemuanya dinamakan dengan Mazari’ul-Kiram (sawah-sawah milik orang-orang mulia).

Disamping keistimewaan-keistimewaan yang beliau miliki itu, beliau-pun sempat mengikuti kegiatan-kegiatan spiritual yang diadakan oleh kaum sufi setempat untuk pemantapan jiwa disamping raga dan demi kesuksesan di akhirat disamping kesuksesan di dunia. Pada awalnya beliau memasuki Tarekat Rifa’iah (didirikan oleh Syekh Ahmad al-Rifa’i Ra.) untuk bersuluk demi mencapai ridho-Nya, kemudian pindah ke Tarekat Ahmadiah (didirikan oleh Syekh Ahmad al-Badawi Ra.) dan akhirnya berguru pada seorang ulama’ dan wali Allah tertinggi pada waktu itu (setelah menemukannya), ialah Syekh Muhammad Utsman Abduh al-Burhani Ra. (Syekh Tarekat Burhamiah) asal Sudan.

Allah memang maha berkehendak… Ia telah menghendaki yang terbaik untuk hamba-Nya itu… Maulana Syekh Mukhtar Ra. telah dipilih oleh-Nya sebagai seorang wali yang telah sampai kepada maqam-maqam tertinggi, maqam Ihsan, maqam Hakikat, maqam Makrifat billah, maqam Wali Mursyid, maqam Imam Zaman, maqam Warits Muhammadi, maqam al-Gauts dan maqam Musyahadah Ilahiah. Siapapun diberikan maqam-maqam dan derajat-derajat itu oleh Allah Wwt. maka ia adalah Waliyyullah tertinggi pada zamannya.

Setelah Syekh Muhammad Utsman Abduh al-Burhani Ra. meninggal dunia pada tahun 1983 M., maka Maulana Syekh Mukhtar Ra. mulai duduk di atas kursi kemahaguruan, membimbing umat ke jalan yang benar, memimpin tarekat sufi terunggul itu, Tarekat Burhamiah Abna’ Syekh Muhammad Utsman Abduh al-Burhani, yang didirikan oleh salah seorang wali kutub bernama Syekh Ibrahim al-Dusqi Ra. yang meninggal dunia pada tahun 696 H. / 1296 M.

Dengan izin dan rahmat Allah, Maulana Syekh Mukhtar Ra. menjadi seorang ulama’ yang sangat berjasa besar bagi umat islam, dengan segala keahlian yang beliau miliki dalam bidang-bidang agama (Aqidah, Fiqh, Tasawuf, Tafsir, Hadits, Sejarah islam dan lain-lain) begitu juga dalam bidang-bidang dunia seperti kimia, fisika, kedokteran, matematika, bahasa, sastra dan lain sebagainya. Semua itu tentunya adalah pemberian percuma dari yang Maha Esa, dan tiada mustahil jika Ia menghendakinya. Hanya saja, Tawadlu’ dan Khafa’ beliau sungguh tak tertandingi !! karenanya, tidak semua orang mudah dan cepat mempercayai keistimewaan yang beliau punya !!

Murid-murid beliau hari demi hari semakin bertambah datang dari berbagai penjuru dunia (Malaysia, India, Saudi, Kuwait, Indonesia, Bosnia, Turki, Makdonia, Yogoslavia, Amerika, Syiria, Libiya, Oman dan lain sebagainya) hanya untuk berguru pada beliau dan bernaung di bawah naungan beliau dengan memasuki tarekat beliau dan bersuluk dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan.

Oleh karena ilmu dan hikmah yang beliau terima dari-Nya begitu luas, banyak dan tak terhingga, maka sebagian dari tanah-tanah milik beliau dimanfaatkan untuk membuat majlis ta’lim dan majlis zikir serta aula untuk mengadakan seminar-seminar bermanfaat yang dihadiri oleh lautan manusia (murid-murid setia beliau). Pada majlis-majlis itu bersinarlah hikmah-hikmah yang beliau miliki. Beliau aktif menyampaikan ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu yang sungguh memberikan futuhat bagi siapa saja yang mau menerimanya.

Ajaran-ajaran beliau (dari awal sampai akhir) tidak kontradiksi sedikitpun dengan ajaran-ajaran islam yang murni, walau sebagian besar dari ajaran-ajaran beliau bersifat baru dan belum pernah didengar sebelumnya, namun beliau mampu mendatangkan dalil-dalil yang kuat, ilmiah, logis dan naqli dari nash-nash yang sudah baku untuk membenarkan semua ajaran yang beliau bawa.

Memanglah beliau tidak pernah sempat duduk di bangku al-Azhar atau universitas islam lainnya, tapi dengan berbondong-bondongnya para ulama’ Azhar dan ulama’ manapun lainnya menuntut ilmu dari beliau, merupakan salah satu tanda bahwa ilmu-ilmu beliau begitu luas dan banyak, kealiman beliau bersifat laduni dan kewalian beliau belum pernah dijangkau oleh siapapun wali yang ada.

Lebih-lebih setelah menimbang dan memperhatikan bahwasanya negara Mesir adalah kiblat kaum sufi yang padanya berkembang banyak tarekat sufi dan mayoritas rakyatnya bertasawuf dan bertarekat, maka pemerintah Mesir telah menetapkan untuk mendirikan sebuah majlis formal yang bertanggung jawab mengkoordinir semua tarekat sufi yang ada dan berkembang di Mesir, sekaligus mengkoordinir kegiatan-kegiatan yang berlangsung serta segala aktivitas yang dilaksanakan oleh tarekat-tarekat sufi itu. Majlis tersebut dinamakan Majlis A’la Liththuruq Ashshufiyyah atau Majlis Shufi A’la (Majlis Sufi Tertinggi) yang diketuai oleh salah seorang ulama’ dan pembesar universitas al-Azhar sekaligus Syekh Tarekat Syennawiah: Syekh Hasan al-Syennawi. Majlis tersebut telah menetapkan bahwasanya Tarekat Burhamiah Abna’ Syekh Muhammad Utsman Abduh al-Burhani yang dipimpin oleh Maulana Syekh Mukhtar Ra. dan berkembang di Mesir dan di negara-negara lainnya adalah merupakan tarekat sufi yang telah terdaftar resmi dalam Majlis Sufi tersebut dan diakui membawa ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu yang benar dan tidak sesat. Lebih-lebih salah satu markaz tarekat ini terletak berdekatan dengan universitas al-Azhar Kairo (perguruan tinggi islam terbesar di dunia) dan juga berdekatan dengan maqam Imam al-Husain Ra. (cucu Rasulullah saw.).

Pada tanggal 4 April 2005 M. dilangsungkan acara muktamar sufi pertama sedunia yang dihadiri oleh Syekh Hasan al-Syennawi (ketua Majlis Sufi Tertinggi di Mesir), Prof.Dr.Ahmad Umar Hasyim (mantan rektor al-Azhar), Dr.Mahmud Asyur (wakil al-Azhar) dan banyak lagi ulama’-ulama’ Azhar lainnya ikut menghadiri muktamar sufi tersebut, acara tersebut juga dihadiri oleh banyak ulama’ dari luar negri seperti India, Malaysia, Indonesia, Kuwait, Saudi, Turkia dan lain-lain, sehingga muktamar sufi tersebut terkesan sangat besar karena dihadiri oleh ribuan bahkan jutaan manusia dari berbagai negara, berbagai tarekat sufi, berbagai organisasi maupun berbagai universitas islam khususnya al-Azhar. Yang lebih penting dari itu semua adalah: muktamar sufi tersebut berlangsung di markaz Tarekat Burhamiah Abna’ Syekh Muhammad Utsman Abduh al-Burhani, di propinsi al-Buhairah Mesir. Sehingga Maulana Syekh Mukhtar Ra. mendapatkan penghargaan istimewa dari Majlis Sufi Tertinggi Mesir karena bersedia meminjamkan aulanya untuk muktamar sufi tersebut dan besedia memberikan layanan terbaik kepada para ulama’ dan masyaikh yang hadir serta sanggup memberi makan siang yang lebih dari sederhana kepada seluruh hadirin yang jumlahnya berjuta-juta itu.

Syekh Hasan al-Syennawi sebagai ketua Majlis Sufi Tertinggi di Mesir senantiasa mendampingi Maulana Syekh Mukhtar Ra. dan bertanya pada beliau tentang banyak hal yang berkaitan dengan aqidah, hukum-hukum islam, maupun metode tasawuf dan suluk. Demikian pula para dosen, ulama’ dan tokoh-tokoh yang ada di Mesir maupun di luarnya, mayoritas dari mereka berguru pada Maulana Syekh Mukhtar Ra. padahal beliau sendiri tidak pernah duduk di bangku al-Azhar maupun bangku perguruan-perguruan islam lainnya !! Selanjutnya setelah melalui berbagai perjuangan mulia, beliau berhasil menjadikan tarekat beliau sebagai tarekat sufi terbesar dan terbanyak pengikutnya, baik di Mesir maupun di seluruh dunia.

Pada tanggal 10 Ramadlan 1426 H. di samping masjid Imam al-Husain Ra., Syekh Hasan al-Syennawi sempat memuji Maulana Syekh Mukhtar Ra. di hadapan banyak orang dengan perkataannya: “Saya berterima kasih kepada Syekh Mukhtar karena beliau adalah orang yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan dan pendidikan tasawuf di Mesir maupun di luarnya, disebabkan karena ilmunya yang sangat banyak, luas dan bermanfaat”.

Disamping berdakwah dengan lisan dan dakwah bil-hal, Maulana Syekh Mukhtar Ra. dalam menyebarkan ilmu-ilmunya juga telah menulis banyak makalah dan artikel yang dimuat dalam berbagai media masa di Mesir seperti majalah Attashawwuf al-Islami, surat kabar Shautul-Ummah, surat kabar al-Fajr, koran al-Ahram, koran al-Buhairah wal-Aqalim dan lain-lain.

Metode beliau dalam berdakwah sangat indah, beliau menggunakan metode tasawuf modern yang sesuai zaman dan mengkhitab hati dengan penuh ketajaman dan kebijaksanaan serta mampu merubah kemunkaran dengan tangan, hati maupun lisan.

Segala jenis ilmu yang beliau miliki adalah bersifat laduni, diterima secara langsung dari Allah Swt. dan itu tidaklah mustahil sebagaimana halnya para nabi dan para wali terdahulu dalam menerima ilmu-ilmu yang benar dan bermanfaat bagi umat.

Tarekat yang beliau pimpin adalah salah satu dari sejumlah tarekat sufi yang mu’tabar dalam islam karena tarekat beliau (Tarekat Burhamiah) digagas oleh seorang wali Allah yang tidak diragukan lagi yaitu Syekh Ibrahim al-Dusuqi Ra. yang lahir di Mesir pada tahun 653 H. / 1255 M. Beliau adalah salah seorang dari keempat wali kutub yang masyhur :

1- Syekh Ahmad al-Rifa’i Ra. (pendiri Tarekat Rifa’iah),

2- Syekh Abdul-Qadir al-Jailani Ra. (pendiri Tarekat Qadiriah),

3- Syekh Ahmad al-Badawi Ra. (pendiri Tarekat Ahmadiah), dan

4- Syekh Ibrahim al-Dusuqi Ra. (pendiri Tarekat Burhamiah).

Keterangan tersebut dapat dirujuk pada :

1. Kitab al-Ayatuzzahirah fi Manaqibil-Auliya’ wal-Aqthabil-Arba’ah oleh Syekh Mahmud al-Ghirbawi.

2. Kitab Qiladatul-Jawahir fi Zikril-Gautsirrifa’i wa Atba’ihil-Akabir oleh Syekh Abul-Huda al-Shayyadi al-Khalidi Ra.

3. Kitab Farhatul-Ahbab fi Akhbaril-Arba’atil-Aqthab oleh Syekh Abul-Huda al-Shayyadi al-Khalidi Ra.

4. dan lain-lain.

Syekh Ibrahim al-Dusuqi Ra. diakui kealiman dan kewaliannya oleh seluruh ulama’ dan auliya yang ada sejak zaman dahulu kala sampai kiamat tiba, keramat-keramat beliau amat banyak dan nyata, ilmu-ilmu beliau sangat luas bagaikan samudra. Kitab-kitab yang menerangkan biografi beliau antara lain :

1. Syaikhul-Islam al-Dusuqi Quthbusysyari’ah wal-Haqiqah oleh Syekh Rajab al-Thayyib al-Ja’fari.

2. Alamul-Aqthab al-Haqiqi Sidi Ibrahim al-Dusuqi oleh Syekh Abdurrazzaq al-Kanj.

3. Lisanutta’rif bihalil-Waliyyisysyarif oleh Syekh Jalaluddin al-Kurki Ra.

4. Abul-Ainain al-Dusuqi oleh Syekh Abdul-Al Kahil.

5. Jami’ Karamatil-Auliya’ oleh Syekh Yusuf al-Nabhani Ra.

6. al-Arif Billah Sidi Ibrahim al-Dusuqi oleh Syekh Sa’d al-Qadli.

7. Biharul-Wilayah al-Muhammadiah fi Manaqib A’lamishshufiah oleh Syekh Jodah al-Mahdi.

8. Nailul-Khairat al-Malmusah oleh Syekh Sa’id Abul-As’ad.

9. Aththabaqatul-Kubra oleh Syekh Abdul-Wahhab al-Sya’rani Ra.

10. Assayyid Ibrahim al-Dusuqi oleh Syekh Ahmad Izzuddin.

11. Sidi Ibrahim al-Dusuqi oleh Syekh Abduttawwab Abdul-Aziz.

12. dan lain-lain.

Setelah Syekh Ibrahim al-Dusuqi Ra. wafat pada tahun 696 H. / 1296 M. tarekat beliau dipimpin oleh adik beliau sendiri: Syekh Musa Abul-Imran Ra. kemudian diteruskan lagi oleh Syekh Ahmad Arabi al-Syarnubi Ra. kemudian Syekh Muhammad Utsman Abduh al-Burhani Ra. dan kini Tarekat Burhamiah diimami oleh Maulana Syekh Mukhtar Ra. Dengan demikian maka silsilah Tarekat Burhamiah Abna’ Syekh Muhammad Utsman Abduh al-Burhani dapat dirincikan sebagai berikut :

1. Rasulullah Saw.

2. Imam Abu Bakr al-Shiddiq Ra.

3. Imam Umar bin al-Khattab Ra.

4. Imam Utsman bin Affan Ra.

5. Imam Ali bin Abi Thalib Ra.

6. Siti Fathimah al-Zahra’ Ra.

7. Imam al-Hasan Ra.

8. Imam al-Husain Ra.

9. Siti Zainab Ra.

10. Imam Ali Zainal-Abidin Ra.

11. Syekh Ahmad al-Rifa’i Ra.

12. Syekh Abdul-Qadir al-Jailani Ra.

13. Syekh Ahmad al-Badawi Ra.

14. Syekh Abdussalam bin Basyisy Ra.

15. Syekh Abul-Hasan al-Syazuli Ra.

16. Syekh Abdul-Aziz Abul-Majd Ra.

17. Siti Fathimah al-Syazuliah Ra.

18. Syekh Ibrahim al-Dusuqi Ra.

19. Syekh Musa Abul-Imran Ra.

20. Syekh Ahmad Arabi al-Syarnubi Ra.

21. Syekh Muhammad Utsman Abduh al-Burhani Ra.

22. Maulana Syekh Mukhtar Ra.

Adapun metode suluk dan zikir dalam tarekat ini, sungguh merupakan metode tasawuf dan suluk yang luar biasa, cocok untuk siapa saja, maklum tarekat papan atas yang mengepalai semua tarekat sufi yang ada. Tarekat Burhamiah tidak diragukan lagi sebagai tarekat induk sebagaimana ketiga tarekat induk sebelumnya (Rifa’iah, Qadiriah dan Ahmadiah) yang menjadi gabungan antara semua tarekat terdahulu sampai kiamat tiba, semenjak zaman Rasul, Imam Abu Bakr dan Imam Ali, kemudian Imam al-Junaid, sampai munculnya Imam al-Mahdi.

Disamping kehadiran Burhamiah untuk membasmi kejahilan, kebathilan, kekotoran jiwa, kesesatan, kebejatan, kekejian, kemunkaran, kejahatan, kekolotan dan kebekuan maupun keterbelakangan, Burhamiah juga mampu membawa rohani kepada yang termulia, menaklukkan makhluk-makhluk halus yang menggoda, mengusir Iblis yang durjana, memuliakan prilaku dan tata krama, dan menyelamatkan dari dunia sampai akhir masa, dengan menyuguhkan wirid-wirid ampuhnya dan amalan-amalan dahsyatnya.

Seorang pelajar asal Malaysia bernama Muhammad Fadhil (kelahiran 1976) berguru pada seorang guru buta di Malaysia namun merupakan wali berkelas tinggi yang disegani umat pada masanya. Sebelum sang guru meninggal dunia, ia memberi wasiat kepada sang murid: “Pergilah kamu ke Mesir, di sana kamu akan menemukan Imam Zaman, dan berpuasalah selama 40 hari berturut-turut agar kamu berhasil menemukannya” !! Setelah tiba di Mesir dan berpuasa selama 40 hari, tepat pada hari ke-40 ia menjumpai salah seorang mursyid Tarekat Burhamiah bernama Syekh Shafwat di sebuah bis umum yang kemudian menujukinya kepada Maulana Syekh Mukhtar Ra. Setelah mendengarkan ilmu-ilmunya dan terpukau oleh kehebatannya, tanpa keraguan sedikitpun ia berkata: “Inilah Imam Zaman itu” !! Kini Syekh Muhamamd Fadhil menjadi mursyid utama dan khalifah terkemuka (Na’ib Am) Tarekat Burhamiah untuk negara kerajaan Malaysia.

Sebagai penutup, kami menyeru kepada segenap umat islam (laki maupun perempuan, tua maupun muda) untuk sama-sama mencari dan menyebarkan kebenaran yang hakiki di bawah naungan Maulana Syekh Mukhtar Ra. dan bersama menikmati indahnya agama islam, indahnya Qur’an, indahnya cinta Rasul dan cinta Ahlul-Bait, indahnya tasawuf dan tarekat, indahnya wirid, hizib, zikir dan selawat, indahnya ilmu dan amal, serta indahnya hidup dan mati. Segala keindahan, kenikmatan, ketentraman, kebahagiaan, ketenangan dan kebenaran akan kita raih di bawah naungan beliau.

http://archive.kaskus.co.id/thread/8116977/20

MANDI

 Macam-macam Mandi Wajib yaitu:1.       Junub2.       Haid3.       Nifas4.       Orang Islam yang meninggal dunia. Keempat hal ini telah disepakati semua ulama mazhab.Hambali: Menambah satu hal lagi, yaitu: Ketika orang kafir memeluk agama Islam. Syafi’i dan Imamiyah: Kalau orang kafir itu masuk Islam dalam keadaan junub, maka ia wajib mandi karena. junubnya, bukan Islamnya. Dari itu, kalau pada waktu masuk Islam ia tidak dalam keadaan junub, ia tidak diwajibkan mandi. Hanafi: la tidak diwajibkan mandi, baik junub maupun tidak (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Jilid I, hal. 207). Imamiyah: Menambah dua mandi lagi dari empat macam di atas, yaitu: Mandi istihadhah, dan mandi ketika menyentuh mayat. Mereka (Imamiyah) mewajibkan mandi bagi yang menyentuh mayat yang telah dingin, dan mayat tersebut belum dimandikan. Keterangan lebih rinci akan dijelaskan nanti. Dari keterangan di atas jelaslah bahwa jumlah mandi wajib itu sebanyak empat, menurut Hanafi dan Syafi’i; dan menurut Hambali dan Maliki ada lima; sedangkan menurut Imamiyah ada enam. Mandi Junub Junub mewajibkan mandi itu ada dua, yaitu:

Keluar mani, baik dalam keadaan tidur maupun bangun. Imamiyah dan Syafi’i: Kalau mani itu keluar maka ia wajib mandi, tak ada bedanya, baik keluar karena syahwat maupun tidak. Hanafi, Maliki dan Hambali: Tidak diwajibkan mandi kecuali kalau pada waktu keluarnya itu merasakan nikmat. Kalau mani itu keluar karena dipukul, dingin, atau karena sakit bukan karena syahwat, maka ia tidak diwajibkan mandi. Tapi kalau mani sudah terpisah dari suibi lelaki atau dari tulang dada wanita dan mani belum sampai pindah keluar (pada yang lain), maka ia tidak diwajibkan mandi, kecuali menurut Hambali. (Masalah) kalau orang yang tidur telah sadar (bangun), lalu ia melihat basah, tetapi ia tidak mengetahui apakah yang basah itu mani atau madzi. Hanafi: Wajib mandi. Syafi’i dan Imamiyah: Tidak wajib, karena suci meyakinkan, sedangkan hadas diragukan. Hambali: Kalau sebelum tidur ia telah memikirkan hal-hal yang nikmat (berpikir tentang yang porno-pent), maka ia tidak diwajibkan mandi, tapi kalau sebelum tidur tidak ada sebab (gejala) yang menimbulkan kenikmatan, maka ia diwajibkan mandi, karena basah yang tidak jelas itu.

Bertemunya dua kemaluan (bersetubuh), yaitu memasukkan ke­pala zakar atau sebagian dari hasyafah (kepala zakar) ke dalam faraj (kemaluan) atau anus, maka semua ulama mazhab sepakat dengan mewajibkan mandi, sekalipun belum keluar mani. Hanya mereka berbeda pendapat tentang beberapa syarat; apakah kalau tidak dimasukkan, yakni sekedar saling sentuhan antara dua ke­maluan itu, diwajibkan mandi atau tidak?
 Hanafi: Wajibnya mandi itu dengan beberapa syarat; yaitu:  Pertama, baliqh. Kalau yang baligh itu hanya yang disetubuhi, sedangkan yang menyetubuhi tidak, atau sebaliknya, maka yang mandi itu hanya yang baligh saja, dan kalau keduanya sama-sama kecil, maka keduanya tidak wajibkan mandi.  Kedua, harus tidak ada batas (aling-aling) yang dapat mencegah timbulnya kehangatan.  Ketiga, orang yang disetubuhi adalah orang yang masih hidup. Maka kalau memasukkan zakarnya kepada binatang atau kepada orang yang telah meninggal, maka ia tidak diwajibkan mandi. Imamiyah dan Syafi’i: Sekalipun kepala zakar itu tidak masuk atau sebagiannya saja juga belum masuk, maka ia sudah cukup diwajibkannya mandi, tak ada bedanya baik baligh maupun tidak, yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi ada balas (aling-aling) maupun tidak, baik terpaksa maupun karena suka, baik yang disetubuhi itu masih hidup maupun sudah meninggal, baik pada binatang maupun pada manusia. Hambali dan Maliki: Bagi yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi itu wajib mandi, kalau tidak ada batas (aling-aling) yang dapat mencegah kenikmatan, tak ada bedanya baik pada binatang maupun pada manusia, baik yang disetubuhi itu masih hidup maupun yang sudah meniggal. Kalau yang telah baligh, Maliki: Bagi yang menyetubuhi itu wajib mandi kalau ia telah mukallaf dan juga orang yang disetubu­hi. Bagi orang yang disetubuhi wajib mandi, kalau yang menyetu­buhi. Bagi orang yang disetubuhi wajib mandi, kalau yang menyetubuhinya sudah baligh, tapi kalau belum baligh atau masih kecil, maka ia tidak diwajibkan mandi kalau belum sampai keluar mani.  Hambali: Mensyaratkan bahwa lelaki yang menyetu­buhi itu umurnya tidak kurang dari sepuluh tahun, bagi wanita yang disetubuhi itu tidak kurang dari sembilan tahun. Sesuatu Yang Mewajibkan Mandi Junub Semua perbuatan yang mewajibkan wudhu pada dasarnya mewajibkan mandi junub, seperti shalat, thawaf, dan menyentuh Al-Qur’an, lebih dari itu yaitu berdiam di masjid.  Semua ulama mazhab sepakat bahwa bagi orang junub tidak boleh berdiam di masjid, hanya berbeda pendapat tentang boleh tidaknya kalau ia lewat di dalamnya, sebagaimana kalau ia masuk dari satu pintu ke pintu lainnya. Maliki dan Hanafi: tidak boleh kecuali karena sangat darurat (penting).  Syafi’i dan Hanafi: Boleh kalau hanya lewat saja, asal jangan berdiam. Imamiyah: Tidak boleh berdiam dan melewati kalau di Masjidil Haram dan Masjid Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam (Masjid Nabawi di Madinah), tetapi kalau selain dua masjid tersebut boleh melewatinya, tapi kalau berdiam, tetap tidak boleh di masjid mana saja, berdasarkan keterangan ayat 43 surat An-Nisa’: “(jangan pula) hampiri masjid sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja”. Maksud ayat tersebut di atas, dilarang mendekati masjid-masjid yang dijadikan tempat shalat, kecuali kalau ia hanya melewatinya saja. Ayat tersebut mengecualikan dua masjid, yaitu Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, karena ada dalil khusus yang menunjukkannya berbeda (pengecualian). Sedangkan membaca Al-Qur’an, Maliki: Bagi orang yang junub diharamkan membaca sesuatu yang dari Al-Qur’an, kecuali sebentar dengan maksud untuk memelihara (menjaga) dan menjadikannya sebagai dalil (bukti). Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Hambali. Hanafi: Bagi orang yang junub tidak boleh membacanya, kecuali kalau ia jadi guru mengaji Al-Qur’an yang menyampaikannya (men-talqin; mengajarnya) kata perkata. Syafi’i: Bahkan satu huruf pun bagi orang yang junub tetap di­haramkan, kecuali hanya untuk dzikir (mengingat), seperti menyebutnya pada waktu makan. Imamiyah: Bagi orang yang junub itu tidak diharamkan kecuali membaca Surat Al-Azaim yang empat walau hanya sebagiannya, yaitu: Iqra, Al Najm, Hamim Al Sajadah, dan Alif lam Mim Tanzil. Kalau selain empat di atas boleh membacanya, hanya tetap dimakruhkan kalau sampai lebih dari tujuh ayat, dan bila sampai lebih dari tujuh puluh ayat, maka sudah termasuk makruh mu’akkad. Imamiyah menambahkan bahwa pada waktu berpuasa pada bulan Ramadhan dan pada waktu menggantinya (mengqadha ‘nya), tidak sah puasa orang yang berpuasa itu kalau masuk waktu pagi dalam keadaan junub, baik sengaja maupun tidak. Sedangkan kalau ia tidur siang atau malarn, lalu masuk waktu pagi dalam keadaan “mimpi” (junub), maka tidak menjadikan puasanya batal. Dalam masalah ini,  Imamiyah berbeda dengan mazhab-mazhab yang lain. Hal-hal Yang Wajib Dalam Mandi Junub Dalam mandi junub diwajibkan apa yang diwajibkan dalam wudhu, baik dari segi ke muthlak-an air sucinya serta badan harus suci terlebih dahulu, juga tidak ada sesuatu yang dapat mencegah sampainya ke kulit, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab wudhu. Diwajibkan juga berniat, Kecuali Hanafi yang menolak niat ini. Alasannya: Hanafi tidak menganggap niat itu sebagai syarat sahnya mandi. Empat mazhab tidak mewajibkan dalam mandi junub itu dengan cara-cara khusus, hanya mereka mewajibkan untuk meratakan air ke seluruh badan. Mereka tidak menjelaskan apakah harus dari atas atau sebaliknya. Hanafi: Menambahkan ia harus berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidup lalu dihembuskan. Mereka (Hanafi): Sunnah bila pertama memulai dengan menyiram air dari kepala, tubuh sebelah kanan, kemudian tubuh sebelah kiri.  Syafi’i dan Maliki: Disunnah kan untuk memulai dari bagian atas badan sebelum pada bagian bawah, selain faraj (kemaluan). la (faraj) disunnahkan lebih dahulu dari semua anggota badan yang lain.  Hambali: Disunnahkan mendahulukan yang kanan dari yang kiri. Imamiyah: Membagi mandi junub ke dalam dua bagian, yaitu: Tertib dan Irtimas Tertib ialah orang yang mandi harus menyiramkan air pada tubuhnya dengan satu siraman. Maka dalam hal ini, ia wajib memulai dari atas, kemudian pada bagian tubuh yang kanan, lalu pada yang kiri. Bila hal itu tidak terlaksana, atau mendahulukan yang terakhir atau mengakhirkan yang seharusnya didahulukan, maka mandinya batal. Irtimas ialah menceburkan semua tubuhnya ke dalam air satu kali (menyelam). Maka kalau ada sebagian tubuh yang tidak tenggelam, itu tidak cukup (tidak sah) Imamiyah mengatakan bahwa semua jenis mandi tidak memadai sebagai pengganti dari wudhu, kecuali mandi junub. Karena mandi junub sudah termasuk wudhu di dalamnya. Empat mazhab: Tidak membedakan antara mandi junub dengan mandi-mandi lainnya, karena tidak cukupnya syarat-syarat yang ada dalam wudhu

http://riwayat5imammadzahb.wordpress.com/riwayat-5-imam-madzahb/bab-06-mandi/

MACAM-MACAM NIKAH YANG TIDAK SYAH MENURUT SYARI’AT

1. Nikah syighar
Adalah seorang laki-laki menikahkan anak perempuan, saudara perempuan atau budak perempuannya kepada seorang laki-laki dengan syarat laki-laki tersebut menikahkan anak perempuan, saudara perempuan atau budak perempuannya kepadanya, baik ketika adanya maskawin maupun tanpa maskawin dalam kedua pernikahan tersebut

Para ulama telah sepakat mengharamkan nikah syighar, hanya saja mereka bereda pendapat mengenai keabsahan nikah syighar. Jumhur ulama berpendapat nikah syighar tidak sah, berdasarkan dalil:

1. Hadits dari Jabir radiallahuanhu, dia berkata: “Rasulullah shallallahu alayhi wasalam melarang nikah syighar“(HR Muslim)

2. Hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radiallahuanhu, dia berkata “Rasulullah shallallahu alayhi wasalam melarang nikah syighar” Abu Hurairah radiallahuanhu berkata “Nikah syighar bekata kepada laki-laki lain, ‘Nikahkanlah aku dengan anak perempuanmu dan sebagai gantinya aku akan menikahkan kamu dengan anak perempuanku’ ” Atau dia mengatakan “Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu dan sebagai gantinya aku akan menikahkan kamu dengan saudara perempuanku“(HR Muslim, An Nasa’i, dan Ibnu Majah)

3. Hadits dari Al Araj, dia berkata : Al Abbas bin Abdullah bin Abbas pernah menikahkan Abdurrahman dengan anak perempuannya, dan sebaliknya Abdurrahman juga menikahkan Al Abbas dengan anak perempuannya. Dalam kedua pernikahan itu keduanya membayar maskawin. Setelah mendengar pernikahan ini, Mu’awiyah menulis surat kepada Marwandan menyuruhnya untuk menceraikan pernikahan itu. Dalam surat itu Mu’awiyah berkata, “ini mereupakan nikah syighar yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu alayhi wasalam” (HR Abu Dawud)

4. Sabda Nabi Shallallahu alayhi wasalam:

“Barang siapa mensyaratkan sesuatu yang tidak terdapat dalam kitab Allah (al-Qur’an), maka ia tidak sah, sekalipun ia mensyaratkan 100 syarat. Syarat dari Allah itu lebih haq dan lebih kuat“(HR Bukhari dan Muslim)

5. yang menyebabkan pernikahan ini tidak sah adanya persyaratan yang mengharuskan tukar menukar (anak atau saudara perempuan). Di dalam syighar terdapat suatu kekejian yang sangat besar, yaitu adanya pemaksaan terhadap perempuan untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Permasalahan ini menyimpulkan anjuran kepada para wali agar memperhatikan perasaan anak-anak perempuannya, karena perbuatan ini dapat menzalimi mereka. Disamping itu pernikahan ini juga menghalangi mereka dari kemungkinan mendapatkan mahar yang seyogyanya. Kasus seperti ini sering terjadi dikalangan orang-orang yang mempraktekkan model pernikahan seperti ini. Pernikahan syighar juga sering menimbulkan perselisihan dan persengketaan. Apa yang disebutkan diatas merupakan balasan dari Allh didunia bagi orang-orang yang tidak melaksanakan aturan-Nya.

2. Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah seorang laki-laki (perantara) yang menikahi seorang perempuan yang sudah dicerai oleh suaminya sebanyak tiga kali, (setelah menikahi) kemudian menceraikannya dengan tujuan agar suami yang pertama dapat menikahinya kembali.

Nikah ini (muhallil) termasuk dosa besar, yang dilarang oleh Allah. Orang yang menjadi perantara dan diperantarai dalam nikah muhallil dilaknat oleh Allah. Dalil yang melarang nikah muhallil:

1. Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata: “Rasulullah melaknat al-Muhallil (laki-laki yang menikahi perempuan dan menceraikannya) dan muhallalah(orang yang menyryu muhallil)“(HR Tirmidzi, an Nasa’i dan Ahmad).

Jumhur ulama seperti Mali, Syafi’i -dalam salah satu pendapatnya-, Ahmad, Al laits, at-Tsauri, Ibnu Mubarak dan ulama lainnya berpendapat nikah ini tidak sah. Umar bin Khaththab, Abdullah bin Umar dan Ustman bin Affan juga berpendpat demikian. (Lihat Al Bidayah Al Mujtahid2/120, Al Mughni 6/149)

a. Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab dia berkata “Tidaklah dilaporkan kepadaku mengeni seorang muhallil dan muhallalah melainkan aku akan merajam keduanya“(HR Abdurrazaq dan Sa’id bin Mansur).

b. Ibnu Umar pernah ditanya tentang seseorang yang menikahi wanita yang sudah dicerai sebanyak tiga kali oleh suaminya dengan tujuan agar suami pertama dapat menikahinya kembali. ibnu Umar menjawab : “perbuatan itu adalah zina“(HR Abdurrazaq).

3. Nikah Mut’ah
Adalah seorang lelaki yang menikahi seorang perempuan untuk waktu tertentu -sehari, dua hari atau lebih- dengan memberikan imbalan kepada pihak perempuan berupa harta atau lainnya.

Nikah mut’ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu alayhi wasalam kemudia dihapus oleh Allah melalaui sabda Nabi shallallahu alayhi wasalam dan beliau telah mengharamkan nikah mut’ah samapi hari kaiamat.

Terdapat perbedaan mengenai hadits-hadits yang menjelaskan tentang informasi waktu dihapuskannya nikah mut’ah.

Diantara hadits-hadits shahih yang menjelaskannya adalah:

1. Nikah mut’ah dihapus pada saat perang Khaibar

Diriwayatkand ari Ali bahwa dia pernah berkata kepada Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi shallallahu alayhi wasalam telah mengharamkan nikah mut’ah dan mengharamkan memakan daging keledai piaraan pada waktu perang khaibar ” (HR Bukhari dan Muslim).

Setelah itu Nabi shallallahu alayhi wasalam memberi keringanan lagi dengan membolehkan nikah mut’ah. hanya saja informasi tentang keringanan ini tidak sampai kepada Ali bin abi Thalib, sehingga dia melandaskan pendapatnya berdasarkan apa yang pernah dia dengar dari Rasulullah shallallahu alayhi wasalam tentang diharamkannya nikah mut’ah pada peristiwa khaibar.

2. Nikah Mut’ah dihapus pada tahun penaklukan kota Mekah.

Diriwayatkan dari Ar-Rabi’ bin Subrahbahwa ayahnya, Subrah pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu alayhi wasalam pada saat penaklukan kota Mekah. Dia berkata: “Kami tinggal diMekah selama lima belas hari, lalu Rasulullah shallallahu alayhi wasalam membolehkan kami menikah secara mut’ah. Kemudian aku menikah secara mut’ah dengan seorang gadis dan aku tidak keluar (berpisah dengannya) sampai Rasulullah shallallahu alayhi wasalam melarangnya“(HR Muslim).

dalam Riwayat lain disebutkan “….wanita-wanita yang kami nikahi secara mut’ah itu bersama kami slema tiga hari, kemudia Rasulullah memerintahkan kami agar mencerai mereka” (HR Muslim dan Baihaqi).

Dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi “Rasulullah memerintahkan kami menikah secara mut’ah pada tahun penaklukan kota Mekah ketiak kami memasuki kota Mekah dan kami tidak keluar dari kota Mekah sampai Nabi shallallahu alayhi wasalam melarangnya” (HR Muslim).

3. Nikah Muta’h dihapus pada tahun Authas

Diriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa’, dia berkata “Rasulullah memberi kelonggaran untuk nikah mut’ah selaam tiga hari pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Mekah) kemudia beliau melarangnya” (HR Muslim, Albaihaqi dan Ibnu Hibban).

Pernikahan tahun ini (Authas) adalah pengharaman secara permanen sampai hari kiamat.

CATATAN.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radiallahuanhu, dia berkata “kami pernah menikah secara mut’ah dengan segenggam kurma dan gandum pada masa Rasulullah dan Abu Bakar, hingga akhirnya Umar bin Khaththab melarangnya ketika terjadi kasus Amru bin Harits” (HR Muslim dan Abu Dawud).

Hadits ini ditafsirkan, bahwa orang yang melakukan nikah mut’ah pada zaman Abu Bakar mungkin karena berita mengenai pengharamannya tidak sampai kepada mereka. (lihat syarah Ma’ani Al Atsar 3/27 dan Syarah Muslim 3/555).

Lalu bagaimana dengan orang yang sudah terlanjur nikah mut’ah ? apa yang harus dilakukan ?

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa nikah mut’ah adalah tidak sah. Dengan demikian dia harus bercerai. Sebab Nabi shallallahu alayhi wasalam menyuruh orang yang melakukan nikah mut’ah untuk menceraikan isterinya, sebagaimana dengan hadits yang diriwayatkan oleh Subrah.

4. Nikah Sirri
Pernikahan yang tidak diketahui oleh siapapun dan tidak ada wali dari wanita. Pada hakiktnya ini adalah zina karena tidak memenuhi syarat sahnya nikah.

Al-qur’an dan hadits telah menunjukkan bahwa salah satu syarat sahnya nikah adalah adalah adanya wali. Pernikahan ini tidak sah dan harus dibatalkan.

Disalin dari kitab Shahih Fikih Sunnah Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim

http://abiyazid.wordpress.com/2007/07/02/macam-macam-nikah-yang-tidak-syah-menurut-syariat/

LUPA DAN RAGU DALAM SHALAT

  Para ulama dari seluruh mazhab sepakat bahwa orang yang meninggalkan salah satu kewajiban shalat dengan sengaja maka shalatnya menjadi batal. Dan kalau ia meninggalkannya karena lupa, ia harus menggantikannya dengan sujud sahwi, dengan cara-cara yang diterangkan berikut ini; Hanafi: sujud sahwi itu adalah dua kali sujud, membaca tasyahhud dan memberi salam, kemudian membaca shalawat atas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam, serta membaca doa. Letak sujud sahwi menurut mazhab ini adalah sesudah salam, dengan syarat waktunya masih luas. Apabila seseorang lupa sesuatu kewajiban shalat dalam shalat Shubuh misalnya, kemudian matahari terbit sebelum ia melakukan sujud sahwi maka manjadi gugurlah keharusannya melakukan sujud sahwi itu. Adapun sebab-sebab sujud sahwi itu adalah apabila orang meninggalkan kewajiban shalat, atau menambahkan rukun shalat seperti ruku’ dan sujud. Jika ia lupa berkali-kali, maka cukup baginya dua kali sujud saja, sebab mengulangi sujud sahwi itu tidak digariskan dalam mazhab mereka. Dan kalau seseorang lupa dalam sujud sahwi-nya, maka tidak ada sujud sahwi baginya. Demikian disebutkan dalam kitab Majma’ul Anhar, Jilid I, bab sujud sahwi Maliki: Sujud sahwi itu jumlahnya dua kali sujud, yang diakhiri dengan pembacaan tasyahhud tanpa doa dan shalawat atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam. Adapun letak sujud sahwi menurut mazhab Maliki harus diperhatikan, jika karena kekurangan saja atau karena kekurangan dan kelebihan bersamaan, maka letaknya adalah sebelum salam. Dan kalau karena kelebihan saja, maka letaknya sesudah salam. Juga harus diperhatikan sebab-sebab yang mengharuskan sujud sahwi itu. Jika kelupaan ilu dalam hal kekurangan dan yang ditinggalkan itu sunnah mustahabbah, maka harus dilakukah sujud sahwi. Dan jika yang ditinggalkan itu adalah salah satu dari kewajiban shalat, maka tidak dapat digantikan dengan sujud sahwi, tetapi harus dikerjakan kewajiban yang sama. Dan jika lupanya itu karena lebih mengerjakan sesuatu rukun shalat, misalnya menambah satu atau dua ruku’, atau menambah satu atau dua rakaat, maka itu boleh diganti dengan sujud sahwi. Hambali: Sujud sahwi boleh dilakukan sebelum dan sesudah salam. Jumlahnya dua kali sujud dengan diakhiri tasyahhud dan salam. Sebab dilakukannya sujud sahwi itu, menurut mazhab Hambali, ada­lah karena kelebihan, kekurangan atau keraguan. Yang dimaksud dengan kelebihan di sini adalah seperti kalau orang menambah qiyam (tegak) atau qu’ud (duduk). Orang yang duduk, padahal seharusnya ia berdiri, atau ia berdiri padahal seharusnya ia duduk, maka ia harus melakukan sujud sahwi. Adapun dalam hal kekurangan, maka ia mempunyai amliah (tata-cara) tersendiri dalam mazhab mereka. Yaitu, jika seseorang ingat bahwa ia telah lupa melakukan salah satu rukun atau kewajibkan shalat sebelum ia memulai pembacaan Al-F’atihah pada rakaat berikutnya maka ia harus mengulang apa yang ia lupakan tersebut dan kemudian melakukan sujud sahwi. Tetapi kalau ia tidak ingat hingga ia selesai membaca Al-Fatihah pada rakaat berikutnya, maka rakaat ini dianggap menggantikan rakaat sebelumnya yang digugurkan, kemudian sujud sahwi. Sebagai contoh: Seseorang lupa tidak ruku’ pada rakaat pertama dan setelah sujud baru diingatnya. Dalam kasus ini, ia harus ruku’ baru kemudian mengulang sujud. Tetapi jika ia baru ingat sesudah masuk ke rakaat kedua dan telah membaca Al-Fatihah, maka rakaat pertama tadi dianggap gugur, dan rakaat kedua ini menjadi rakaat pertama. Sedangkan keraguan yang mengharuskan sujud sahwi itu contohnya adalah sebagai berikut: Seseorang merasa ragu-ragu dalam meninggalkan ruku’ atau jumlah rakaat, maka dalam kasus ini, ia harus menetapkan atas dasar yang lebih meyakinkan dan kemudian melakukan apa yang diragukannya. Sesudah selesai shalat dengan sempurna, barulah ia melakukan sujud sahwi. Cukup dua kali sujud saja untuk semua kelupaan, walaupun yang menyebabkannya berbilang. Sebab menurut mereka, tidak ada sujud sahwi karena banyak lupa. Maksudnya, cukup satu sujud sahwi saja untuk lupa yang banyak. Syafi’i: Waktu sujud sahwi adalah sesudah tasyahhud dan Shalawat atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam dan sebelum salam. Adapun sifatnya adalah sama seperti mazhab-mazhab terdahulu. Sedangkan sebabnya adalah karena meninggalkan sunnah muakkadah, atau menambah sedikit perkataan, atau menambah bacaan Al-Fatihah karena lupa, atau karena mengikuti orang yang dalam shalatnya ada kekurangan, atau karena ragu-ragu dalam jumlah rakaat, atau meninggalkan bagian tertentu. Imamiyah: Dalam hal ini, Imamiyah telah membedakan antara hukum ragu-ragu dan hukum alpa itu. Mereka mengatakan: Keragu-raguan dalam af’al shalat tidaklah diperhatikan jika terjadi setelah selesai mengerjakan shalat, juga terhadap keraguan Makmum dalam jumlah rakaat dengan keyakinan Imam, dan keraguan Imam dengan keyakinan Makmum, itu semua dikembalikan kepada apa yang di-ingat oleh yang lain. Dan tidak pula diperhatikan keraguan yang baik, dan keraguan dalam salah satu af’al shalat setelah masuk ke­pada af’al lainnya yang berurutan dengannya. Apabila seseorang ragu-ragu dalam hal pembacaan Al-Fatihah, sedang ia sudah mulai membaca surat; atau ragu-ragu dalam hal pembacaan surat, sedang ia telah ruku’, atau ragu-ragu dalam ruku’ sedang ia telah sujud, maka dalam semua kasus ini ia harus meneruskan shalatnya dan tidak perlu memperhatikannya. Adapun jika ia ragu-ragu sebelum masuk af’al (perbuatan) berikutnya, maka wajib atasnya melakukan apa yang ia ragukan itu. Orang yang ragu-ragu, apakah sudah membaca surat Al-Fatihah atau belum, dan itu diingatnya sebelum ia memulai membaca surat, maka dalam hal ini ia harus membaca Al-Fatihah. Begitu juga kalau ia lupa membaca surat sebelum ruku’, maka ia harus membacanya. Sedangkan sujud sahwi itu dilakukan untuk semua kelebihan dan kekurangan selain dari membaca dengan suara keras (jahar) dikala seharusnya membaca pelan (ikhfat), atau membaca dengan pelan ketika seharusnya membaca dengan keras, maka keduanya ini tidak diharuskan sujud sahwi Begitulah juga rukun shalat, karena kele­bihan atau kekurangan dalam rukun itu membatalkan shalat, baik karena lupa maupun sengaja.  Adapun rukun shalat menurut mereka ada lima: Niat, takbiratul ihram, qiyam (berdiri), ruku’, kedua sujud dalam satu rakaat. Semua bagian shalat yang tinggal karena lupa, tidak wajib diperbaiki sesudah shalat kecuali sujud dan tasyahhud. Yang mana keduanya itu wajib di-qadha’ (diulang) dan dilaksanakan sesudah shalat dan kemudian melakukan sujud sahwi. Sifat sujud sahwi menurut mereka adalah dua kali sujud, dan dalam sujud itu mambaca: “Bismillahi wa Billahi, Allahuma Shalli ala Muhammadin wa Ali Muhammadin.” Kemudian membaca tasyahhud dan memberi salam. Sujud sahwi wajib dilakukan beberapa kali dengan beberapa sebab yang mengharuskannya. Dan bagi orang yang pelupa, tidak wajib melakukan sujud sahwi, begitu juga orang yang lupa dalam sujud sahwinya. Ragu Tentang Jumlah RakaatSyafi’i, Maliki dan Hambali: Apabila seseorang merasa ragu-ragu dalam jumlah rakaat yang dikerjakannya, ia tidak tahu sudah berapa rakaat yang dikerjakan, maka hendaklah ditetapkannya atas dasar yang lebih meyakinkan, yaitu yang jumlahnya paling sedikit, kemudian menyempurnakan shalat dengan sisa rakaat yang belum di­kerjakan. Hanafi: Jika keraguannya dalam shalat itu merupakan yang pertama kali dalam hidupnya, maka ia harus mengulangi shalat itu dari permulaan. Dan kalau sebelumnya ia pernah ragu-ragu dalam shalatnya, maka hendaklah direnungkannya sejenak, dan kemudian melakukan menurut persangkaannya yang lebih kuat. Jika masih tetap ragu-ragu, maka ia harus menetapkan atas jumlah yang lebih sedikit, karena yang demikian lebih meyakinkan. Imamiyah: Jika keragu-raguan itu timbul pada shalat-shalat yang jumlahnya dua rakaat, seperti shalat Shubuh, shalat Musafir, shalat Jum’at, shalat ‘Idain (dua hari raya), shalat Gerhana, atau pada sha­lat Maghrib, atau pada dua rakaat pertama pada shalat-shalat yang jumlahnya empat rakaat, yaitu Isya’, Dzuhur dan Ashar, maka shalatnya menjadi batal dan harus diulang dari permulaan. Namun kalau ke­ragu-raguan itu timbul pada dua rakaat terakhir pada shalat ruba’iyah (yang jumlahnya empat rakaat), maka hendaklah dikerjakan shalat ihtiyath setelah menyelesaikan shalat dan sebelum melakukan hal-hal lain. Contoh: Seseorang merasa ragu-ragu antara dua rakaat dan tiga rakaat, sesudah menyelesaikan dua sujud, maka ia harus menetapkan atas jumlah yang lebih banyak, dan menyempurnakan shalat, kemu­dian shalat ihtiyath dua rakaat sambil duduk, atau satu rakaat sambil berdiri. Jika ia ragu-ragu antara tiga rakaat dan empat rakaat, maka ia harus menetapkan empat rakaat, lalu ia sempurnakan shalatnya, kemudian mengerjakan shalat ihtiyaih satu rakaat sambil berdiri, atau dua rakaat sambil duduk. Jika ia ragu-ragu antara dua rakaat dan empat rakaat, maka hendaklah ditetapkannya empat rakaat, kemu­dian ia kerjakan shalat ihtiyath dua rakaat sambil berdiri. Dan jika ragu-ragu antara dua rakaat, tiga rakaat dan empat rakaat, maka hendaklah ditetapkannya empat rakaat, kemudian ia kerjakan shalat ihtiyath dua rakaat sambil berdiri dan dua rakaat sambil duduk.  Mereka memberi alasan untuk menjaga hakekat shalat dan menghindarkan penambahan dan pengurangan dalam shalat. Jelasnya adalah seperti yang disebutkan dalam contoh berikut: Orang yang merasa ragu-ragu antara tiga rakaat dan empat rakaat, lalu ia me-netapkannya empat rakaat, setelah itu ia mengerjakan satu rakaat terpisah setelah selesai shalat. Seandainya shalat yang sudah dikerjakannya itu sempurna, maka satu rakaat terpisah yang ia kerjakan tadi dianggap sebagai nafilah (shalat sunnah). Dan jika memang shalatnya kurang satu rakaat, maka rakaat terpisah tadi adalah sebagai pelengkapnya. Bagaimanapun, shalat ihtiyath dengan cara demikian ini hanya terdapat dalam mazhab Imamiyah. Tata cara shalat ihtiyath seperti yang dijelaskan di atas, pada mazhab Imamiyah hanya terbatas pada shalat-shalat fardhu saja terutama pada shalat Dzuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan untuk shalat-shalat sunnah, orang boleh memilih menetapkan antara yang lebih sedikit atau yang lebih banyak, kecuali bila merusak shalat, seperti kalau orang yang ragu-ragu apakah ia sudah mengerjakan shalat dua rakaat atau tiga rakaat, padahal diketahuinya bahwa shalat sunnah itu hanya dua rakaat, maka dalam hal ini ia harus menetapkan pada yang lebih sedikit. Memang, yang lebih utama adalah menetapkan pada bilangan yang lebih kecil secara mutlak pada shalat-shalat sunnah. Dan kalau ia merasa ragu-ragu dalam shalat ihtiyath, maka hendaklah ditetapkannya pada yang lebih banyak, kecuali kalau yang lebih banyak itii bisa membatalkan, maka dalam hal ini harus menetapkan pada jumlah rakaat yang lebih sedikit. Sebagian ulama Imamiyah mengatakan hendaknya dipilih antara menetapkan jumlah rakaat yang lebih sedikit dan yang lebih banyak