Macam-macam Mandi
Wajib yaitu:1. Junub2. Haid3. Nifas4. Orang Islam yang meninggal dunia.
Keempat hal ini telah disepakati semua ulama mazhab.Hambali: Menambah satu hal
lagi, yaitu: Ketika orang kafir memeluk agama Islam. Syafi’i dan Imamiyah:
Kalau orang kafir itu masuk Islam dalam keadaan junub, maka ia wajib mandi
karena. junubnya, bukan Islamnya. Dari itu, kalau pada waktu masuk Islam ia
tidak dalam keadaan junub, ia tidak diwajibkan mandi. Hanafi: la tidak
diwajibkan mandi, baik junub maupun tidak (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Jilid I,
hal. 207). Imamiyah: Menambah dua mandi lagi dari empat macam di atas, yaitu:
Mandi istihadhah, dan mandi ketika menyentuh mayat. Mereka (Imamiyah)
mewajibkan mandi bagi yang menyentuh mayat yang telah dingin, dan mayat
tersebut belum dimandikan. Keterangan lebih rinci akan dijelaskan nanti. Dari
keterangan di atas jelaslah bahwa jumlah mandi wajib itu sebanyak empat,
menurut Hanafi dan Syafi’i; dan menurut Hambali dan Maliki ada lima; sedangkan
menurut Imamiyah ada enam. Mandi Junub Junub mewajibkan mandi itu ada dua,
yaitu:
Keluar mani, baik dalam keadaan tidur maupun bangun.
Imamiyah dan Syafi’i: Kalau mani itu keluar maka ia wajib mandi, tak ada
bedanya, baik keluar karena syahwat maupun tidak. Hanafi, Maliki dan Hambali:
Tidak diwajibkan mandi kecuali kalau pada waktu keluarnya itu merasakan nikmat.
Kalau mani itu keluar karena dipukul, dingin, atau karena sakit bukan karena
syahwat, maka ia tidak diwajibkan mandi. Tapi kalau mani sudah terpisah dari
suibi lelaki atau dari tulang dada wanita dan mani belum sampai pindah keluar
(pada yang lain), maka ia tidak diwajibkan mandi, kecuali menurut Hambali.
(Masalah) kalau orang yang tidur telah sadar (bangun), lalu ia melihat basah,
tetapi ia tidak mengetahui apakah yang basah itu mani atau madzi. Hanafi: Wajib
mandi. Syafi’i dan Imamiyah: Tidak wajib, karena suci meyakinkan, sedangkan
hadas diragukan. Hambali: Kalau sebelum tidur ia telah memikirkan hal-hal yang
nikmat (berpikir tentang yang porno-pent), maka ia tidak diwajibkan mandi, tapi
kalau sebelum tidur tidak ada sebab (gejala) yang menimbulkan kenikmatan, maka
ia diwajibkan mandi, karena basah yang tidak jelas itu.
Bertemunya dua kemaluan (bersetubuh), yaitu memasukkan
kepala zakar atau sebagian dari hasyafah (kepala zakar) ke dalam faraj
(kemaluan) atau anus, maka semua ulama mazhab sepakat dengan mewajibkan mandi,
sekalipun belum keluar mani. Hanya mereka berbeda pendapat tentang beberapa
syarat; apakah kalau tidak dimasukkan, yakni sekedar saling sentuhan antara dua
kemaluan itu, diwajibkan mandi atau tidak?
Hanafi: Wajibnya
mandi itu dengan beberapa syarat; yaitu:
Pertama, baliqh. Kalau yang baligh itu hanya yang disetubuhi, sedangkan
yang menyetubuhi tidak, atau sebaliknya, maka yang mandi itu hanya yang baligh
saja, dan kalau keduanya sama-sama kecil, maka keduanya tidak wajibkan
mandi. Kedua, harus tidak ada batas
(aling-aling) yang dapat mencegah timbulnya kehangatan. Ketiga, orang yang disetubuhi adalah orang
yang masih hidup. Maka kalau memasukkan zakarnya kepada binatang atau kepada
orang yang telah meninggal, maka ia tidak diwajibkan mandi. Imamiyah dan
Syafi’i: Sekalipun kepala zakar itu tidak masuk atau sebagiannya saja juga
belum masuk, maka ia sudah cukup diwajibkannya mandi, tak ada bedanya baik
baligh maupun tidak, yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi ada balas
(aling-aling) maupun tidak, baik terpaksa maupun karena suka, baik yang
disetubuhi itu masih hidup maupun sudah meninggal, baik pada binatang maupun
pada manusia. Hambali dan Maliki: Bagi yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi
itu wajib mandi, kalau tidak ada batas (aling-aling) yang dapat mencegah
kenikmatan, tak ada bedanya baik pada binatang maupun pada manusia, baik yang
disetubuhi itu masih hidup maupun yang sudah meniggal. Kalau yang telah baligh,
Maliki: Bagi yang menyetubuhi itu wajib mandi kalau ia telah mukallaf dan juga
orang yang disetubuhi. Bagi orang yang disetubuhi wajib mandi, kalau yang
menyetubuhi. Bagi orang yang disetubuhi wajib mandi, kalau yang menyetubuhinya
sudah baligh, tapi kalau belum baligh atau masih kecil, maka ia tidak
diwajibkan mandi kalau belum sampai keluar mani. Hambali: Mensyaratkan bahwa lelaki yang
menyetubuhi itu umurnya tidak kurang dari sepuluh tahun, bagi wanita yang
disetubuhi itu tidak kurang dari sembilan tahun. Sesuatu Yang Mewajibkan Mandi
Junub Semua perbuatan yang mewajibkan wudhu pada dasarnya mewajibkan mandi
junub, seperti shalat, thawaf, dan menyentuh Al-Qur’an, lebih dari itu yaitu
berdiam di masjid. Semua ulama mazhab
sepakat bahwa bagi orang junub tidak boleh berdiam di masjid, hanya berbeda
pendapat tentang boleh tidaknya kalau ia lewat di dalamnya, sebagaimana kalau
ia masuk dari satu pintu ke pintu lainnya. Maliki dan Hanafi: tidak boleh
kecuali karena sangat darurat (penting).
Syafi’i dan Hanafi: Boleh kalau hanya lewat saja, asal jangan berdiam.
Imamiyah: Tidak boleh berdiam dan melewati kalau di Masjidil Haram dan Masjid
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam (Masjid Nabawi di Madinah),
tetapi kalau selain dua masjid tersebut boleh melewatinya, tapi kalau berdiam,
tetap tidak boleh di masjid mana saja, berdasarkan keterangan ayat 43 surat
An-Nisa’: “(jangan pula) hampiri masjid sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja”. Maksud ayat tersebut di atas, dilarang
mendekati masjid-masjid yang dijadikan tempat shalat, kecuali kalau ia hanya
melewatinya saja. Ayat tersebut mengecualikan dua masjid, yaitu Masjidil Haram
dan Masjid Nabawi, karena ada dalil khusus yang menunjukkannya berbeda
(pengecualian). Sedangkan membaca Al-Qur’an, Maliki: Bagi orang yang junub
diharamkan membaca sesuatu yang dari Al-Qur’an, kecuali sebentar dengan maksud
untuk memelihara (menjaga) dan menjadikannya sebagai dalil (bukti). Pendapat
ini hampir sama dengan pendapat Hambali. Hanafi: Bagi orang yang junub tidak
boleh membacanya, kecuali kalau ia jadi guru mengaji Al-Qur’an yang
menyampaikannya (men-talqin; mengajarnya) kata perkata. Syafi’i: Bahkan satu
huruf pun bagi orang yang junub tetap diharamkan, kecuali hanya untuk dzikir
(mengingat), seperti menyebutnya pada waktu makan. Imamiyah: Bagi orang yang
junub itu tidak diharamkan kecuali membaca Surat Al-Azaim yang empat walau
hanya sebagiannya, yaitu: Iqra, Al Najm, Hamim Al Sajadah, dan Alif lam Mim
Tanzil. Kalau selain empat di atas boleh membacanya, hanya tetap dimakruhkan
kalau sampai lebih dari tujuh ayat, dan bila sampai lebih dari tujuh puluh
ayat, maka sudah termasuk makruh mu’akkad. Imamiyah menambahkan bahwa pada
waktu berpuasa pada bulan Ramadhan dan pada waktu menggantinya (mengqadha
‘nya), tidak sah puasa orang yang berpuasa itu kalau masuk waktu pagi dalam
keadaan junub, baik sengaja maupun tidak. Sedangkan kalau ia tidur siang atau
malarn, lalu masuk waktu pagi dalam keadaan “mimpi” (junub), maka tidak
menjadikan puasanya batal. Dalam masalah ini,
Imamiyah berbeda dengan mazhab-mazhab yang lain. Hal-hal Yang Wajib
Dalam Mandi Junub Dalam mandi junub diwajibkan apa yang diwajibkan dalam wudhu,
baik dari segi ke muthlak-an air sucinya serta badan harus suci terlebih
dahulu, juga tidak ada sesuatu yang dapat mencegah sampainya ke kulit,
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab wudhu. Diwajibkan juga berniat,
Kecuali Hanafi yang menolak niat ini. Alasannya: Hanafi tidak menganggap niat
itu sebagai syarat sahnya mandi. Empat mazhab tidak mewajibkan dalam mandi
junub itu dengan cara-cara khusus, hanya mereka mewajibkan untuk meratakan air
ke seluruh badan. Mereka tidak menjelaskan apakah harus dari atas atau
sebaliknya. Hanafi: Menambahkan ia harus berkumur-kumur dan menghirup air ke
dalam hidup lalu dihembuskan. Mereka (Hanafi): Sunnah bila pertama memulai
dengan menyiram air dari kepala, tubuh sebelah kanan, kemudian tubuh sebelah
kiri. Syafi’i dan Maliki: Disunnah kan
untuk memulai dari bagian atas badan sebelum pada bagian bawah, selain faraj
(kemaluan). la (faraj) disunnahkan lebih dahulu dari semua anggota badan yang
lain. Hambali: Disunnahkan mendahulukan
yang kanan dari yang kiri. Imamiyah: Membagi mandi junub ke dalam dua bagian,
yaitu: Tertib dan Irtimas Tertib ialah orang yang mandi harus menyiramkan air
pada tubuhnya dengan satu siraman. Maka dalam hal ini, ia wajib memulai dari
atas, kemudian pada bagian tubuh yang kanan, lalu pada yang kiri. Bila hal itu
tidak terlaksana, atau mendahulukan yang terakhir atau mengakhirkan yang
seharusnya didahulukan, maka mandinya batal. Irtimas ialah menceburkan semua
tubuhnya ke dalam air satu kali (menyelam). Maka kalau ada sebagian tubuh yang
tidak tenggelam, itu tidak cukup (tidak sah) Imamiyah mengatakan bahwa semua
jenis mandi tidak memadai sebagai pengganti dari wudhu, kecuali mandi junub.
Karena mandi junub sudah termasuk wudhu di dalamnya. Empat mazhab: Tidak
membedakan antara mandi junub dengan mandi-mandi lainnya, karena tidak cukupnya
syarat-syarat yang ada dalam wudhu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar