Para ulama dari
seluruh mazhab sepakat bahwa orang yang meninggalkan salah satu kewajiban
shalat dengan sengaja maka shalatnya menjadi batal. Dan kalau ia
meninggalkannya karena lupa, ia harus menggantikannya dengan sujud sahwi,
dengan cara-cara yang diterangkan berikut ini; Hanafi: sujud sahwi itu adalah
dua kali sujud, membaca tasyahhud dan memberi salam, kemudian membaca shalawat
atas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam, serta membaca doa.
Letak sujud sahwi menurut mazhab ini adalah sesudah salam, dengan syarat
waktunya masih luas. Apabila seseorang lupa sesuatu kewajiban shalat dalam
shalat Shubuh misalnya, kemudian matahari terbit sebelum ia melakukan sujud
sahwi maka manjadi gugurlah keharusannya melakukan sujud sahwi itu. Adapun sebab-sebab
sujud sahwi itu adalah apabila orang meninggalkan kewajiban shalat, atau
menambahkan rukun shalat seperti ruku’ dan sujud. Jika ia lupa berkali-kali,
maka cukup baginya dua kali sujud saja, sebab mengulangi sujud sahwi itu tidak
digariskan dalam mazhab mereka. Dan kalau seseorang lupa dalam sujud sahwi-nya,
maka tidak ada sujud sahwi baginya. Demikian disebutkan dalam kitab Majma’ul
Anhar, Jilid I, bab sujud sahwi Maliki: Sujud sahwi itu jumlahnya dua kali
sujud, yang diakhiri dengan pembacaan tasyahhud tanpa doa dan shalawat atas
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam. Adapun letak sujud sahwi menurut
mazhab Maliki harus diperhatikan, jika karena kekurangan saja atau karena
kekurangan dan kelebihan bersamaan, maka letaknya adalah sebelum salam. Dan
kalau karena kelebihan saja, maka letaknya sesudah salam. Juga harus
diperhatikan sebab-sebab yang mengharuskan sujud sahwi itu. Jika kelupaan ilu
dalam hal kekurangan dan yang ditinggalkan itu sunnah mustahabbah, maka harus
dilakukah sujud sahwi. Dan jika yang ditinggalkan itu adalah salah satu dari
kewajiban shalat, maka tidak dapat digantikan dengan sujud sahwi, tetapi harus
dikerjakan kewajiban yang sama. Dan jika lupanya itu karena lebih mengerjakan
sesuatu rukun shalat, misalnya menambah satu atau dua ruku’, atau menambah satu
atau dua rakaat, maka itu boleh diganti dengan sujud sahwi. Hambali: Sujud
sahwi boleh dilakukan sebelum dan sesudah salam. Jumlahnya dua kali sujud
dengan diakhiri tasyahhud dan salam. Sebab dilakukannya sujud sahwi itu, menurut
mazhab Hambali, adalah karena kelebihan, kekurangan atau keraguan. Yang
dimaksud dengan kelebihan di sini adalah seperti kalau orang menambah qiyam
(tegak) atau qu’ud (duduk). Orang yang duduk, padahal seharusnya ia berdiri,
atau ia berdiri padahal seharusnya ia duduk, maka ia harus melakukan sujud
sahwi. Adapun dalam hal kekurangan, maka ia mempunyai amliah (tata-cara)
tersendiri dalam mazhab mereka. Yaitu, jika seseorang ingat bahwa ia telah lupa
melakukan salah satu rukun atau kewajibkan shalat sebelum ia memulai pembacaan
Al-F’atihah pada rakaat berikutnya maka ia harus mengulang apa yang ia lupakan
tersebut dan kemudian melakukan sujud sahwi. Tetapi kalau ia tidak ingat hingga
ia selesai membaca Al-Fatihah pada rakaat berikutnya, maka rakaat ini dianggap
menggantikan rakaat sebelumnya yang digugurkan, kemudian sujud sahwi. Sebagai
contoh: Seseorang lupa tidak ruku’ pada rakaat pertama dan setelah sujud baru
diingatnya. Dalam kasus ini, ia harus ruku’ baru kemudian mengulang sujud.
Tetapi jika ia baru ingat sesudah masuk ke rakaat kedua dan telah membaca
Al-Fatihah, maka rakaat pertama tadi dianggap gugur, dan rakaat kedua ini
menjadi rakaat pertama. Sedangkan keraguan yang mengharuskan sujud sahwi itu
contohnya adalah sebagai berikut: Seseorang merasa ragu-ragu dalam meninggalkan
ruku’ atau jumlah rakaat, maka dalam kasus ini, ia harus menetapkan atas dasar
yang lebih meyakinkan dan kemudian melakukan apa yang diragukannya. Sesudah
selesai shalat dengan sempurna, barulah ia melakukan sujud sahwi. Cukup dua
kali sujud saja untuk semua kelupaan, walaupun yang menyebabkannya berbilang.
Sebab menurut mereka, tidak ada sujud sahwi karena banyak lupa. Maksudnya,
cukup satu sujud sahwi saja untuk lupa yang banyak. Syafi’i: Waktu sujud sahwi
adalah sesudah tasyahhud dan Shalawat atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi
wa Sallam dan sebelum salam. Adapun sifatnya adalah sama seperti mazhab-mazhab
terdahulu. Sedangkan sebabnya adalah karena meninggalkan sunnah muakkadah, atau
menambah sedikit perkataan, atau menambah bacaan Al-Fatihah karena lupa, atau
karena mengikuti orang yang dalam shalatnya ada kekurangan, atau karena
ragu-ragu dalam jumlah rakaat, atau meninggalkan bagian tertentu. Imamiyah:
Dalam hal ini, Imamiyah telah membedakan antara hukum ragu-ragu dan hukum alpa
itu. Mereka mengatakan: Keragu-raguan dalam af’al shalat tidaklah diperhatikan
jika terjadi setelah selesai mengerjakan shalat, juga terhadap keraguan Makmum
dalam jumlah rakaat dengan keyakinan Imam, dan keraguan Imam dengan keyakinan
Makmum, itu semua dikembalikan kepada apa yang di-ingat oleh yang lain. Dan
tidak pula diperhatikan keraguan yang baik, dan keraguan dalam salah satu af’al
shalat setelah masuk kepada af’al lainnya yang berurutan dengannya. Apabila
seseorang ragu-ragu dalam hal pembacaan Al-Fatihah, sedang ia sudah mulai
membaca surat; atau ragu-ragu dalam hal pembacaan surat, sedang ia telah ruku’,
atau ragu-ragu dalam ruku’ sedang ia telah sujud, maka dalam semua kasus ini ia
harus meneruskan shalatnya dan tidak perlu memperhatikannya. Adapun jika ia
ragu-ragu sebelum masuk af’al (perbuatan) berikutnya, maka wajib atasnya
melakukan apa yang ia ragukan itu. Orang yang ragu-ragu, apakah sudah membaca
surat Al-Fatihah atau belum, dan itu diingatnya sebelum ia memulai membaca surat,
maka dalam hal ini ia harus membaca Al-Fatihah. Begitu juga kalau ia lupa
membaca surat sebelum ruku’, maka ia harus membacanya. Sedangkan sujud sahwi
itu dilakukan untuk semua kelebihan dan kekurangan selain dari membaca dengan
suara keras (jahar) dikala seharusnya membaca pelan (ikhfat), atau membaca
dengan pelan ketika seharusnya membaca dengan keras, maka keduanya ini tidak
diharuskan sujud sahwi Begitulah juga rukun shalat, karena kelebihan atau
kekurangan dalam rukun itu membatalkan shalat, baik karena lupa maupun
sengaja. Adapun rukun shalat menurut
mereka ada lima: Niat, takbiratul ihram, qiyam (berdiri), ruku’, kedua sujud
dalam satu rakaat. Semua bagian shalat yang tinggal karena lupa, tidak wajib
diperbaiki sesudah shalat kecuali sujud dan tasyahhud. Yang mana keduanya itu
wajib di-qadha’ (diulang) dan dilaksanakan sesudah shalat dan kemudian
melakukan sujud sahwi. Sifat sujud sahwi menurut mereka adalah dua kali sujud,
dan dalam sujud itu mambaca: “Bismillahi wa Billahi, Allahuma Shalli ala Muhammadin
wa Ali Muhammadin.” Kemudian membaca tasyahhud dan memberi salam. Sujud sahwi
wajib dilakukan beberapa kali dengan beberapa sebab yang mengharuskannya. Dan
bagi orang yang pelupa, tidak wajib melakukan sujud sahwi, begitu juga orang
yang lupa dalam sujud sahwinya. Ragu Tentang Jumlah RakaatSyafi’i, Maliki dan
Hambali: Apabila seseorang merasa ragu-ragu dalam jumlah rakaat yang
dikerjakannya, ia tidak tahu sudah berapa rakaat yang dikerjakan, maka
hendaklah ditetapkannya atas dasar yang lebih meyakinkan, yaitu yang jumlahnya
paling sedikit, kemudian menyempurnakan shalat dengan sisa rakaat yang belum
dikerjakan. Hanafi: Jika keraguannya dalam shalat itu merupakan yang pertama
kali dalam hidupnya, maka ia harus mengulangi shalat itu dari permulaan. Dan
kalau sebelumnya ia pernah ragu-ragu dalam shalatnya, maka hendaklah
direnungkannya sejenak, dan kemudian melakukan menurut persangkaannya yang
lebih kuat. Jika masih tetap ragu-ragu, maka ia harus menetapkan atas jumlah
yang lebih sedikit, karena yang demikian lebih meyakinkan. Imamiyah: Jika
keragu-raguan itu timbul pada shalat-shalat yang jumlahnya dua rakaat, seperti
shalat Shubuh, shalat Musafir, shalat Jum’at, shalat ‘Idain (dua hari raya),
shalat Gerhana, atau pada shalat Maghrib, atau pada dua rakaat pertama pada
shalat-shalat yang jumlahnya empat rakaat, yaitu Isya’, Dzuhur dan Ashar, maka
shalatnya menjadi batal dan harus diulang dari permulaan. Namun kalau
keragu-raguan itu timbul pada dua rakaat terakhir pada shalat ruba’iyah (yang
jumlahnya empat rakaat), maka hendaklah dikerjakan shalat ihtiyath setelah
menyelesaikan shalat dan sebelum melakukan hal-hal lain. Contoh: Seseorang
merasa ragu-ragu antara dua rakaat dan tiga rakaat, sesudah menyelesaikan dua
sujud, maka ia harus menetapkan atas jumlah yang lebih banyak, dan
menyempurnakan shalat, kemudian shalat ihtiyath dua rakaat sambil duduk, atau
satu rakaat sambil berdiri. Jika ia ragu-ragu antara tiga rakaat dan empat
rakaat, maka ia harus menetapkan empat rakaat, lalu ia sempurnakan shalatnya,
kemudian mengerjakan shalat ihtiyaih satu rakaat sambil berdiri, atau dua
rakaat sambil duduk. Jika ia ragu-ragu antara dua rakaat dan empat rakaat, maka
hendaklah ditetapkannya empat rakaat, kemudian ia kerjakan shalat ihtiyath dua
rakaat sambil berdiri. Dan jika ragu-ragu antara dua rakaat, tiga rakaat dan
empat rakaat, maka hendaklah ditetapkannya empat rakaat, kemudian ia kerjakan
shalat ihtiyath dua rakaat sambil berdiri dan dua rakaat sambil duduk. Mereka memberi alasan untuk menjaga hakekat shalat
dan menghindarkan penambahan dan pengurangan dalam shalat. Jelasnya adalah
seperti yang disebutkan dalam contoh berikut: Orang yang merasa ragu-ragu
antara tiga rakaat dan empat rakaat, lalu ia me-netapkannya empat rakaat,
setelah itu ia mengerjakan satu rakaat terpisah setelah selesai shalat.
Seandainya shalat yang sudah dikerjakannya itu sempurna, maka satu rakaat
terpisah yang ia kerjakan tadi dianggap sebagai nafilah (shalat sunnah). Dan
jika memang shalatnya kurang satu rakaat, maka rakaat terpisah tadi adalah
sebagai pelengkapnya. Bagaimanapun, shalat ihtiyath dengan cara demikian ini
hanya terdapat dalam mazhab Imamiyah. Tata cara shalat ihtiyath seperti yang
dijelaskan di atas, pada mazhab Imamiyah hanya terbatas pada shalat-shalat
fardhu saja terutama pada shalat Dzuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan untuk
shalat-shalat sunnah, orang boleh memilih menetapkan antara yang lebih sedikit
atau yang lebih banyak, kecuali bila merusak shalat, seperti kalau orang yang
ragu-ragu apakah ia sudah mengerjakan shalat dua rakaat atau tiga rakaat,
padahal diketahuinya bahwa shalat sunnah itu hanya dua rakaat, maka dalam hal
ini ia harus menetapkan pada yang lebih sedikit. Memang, yang lebih utama
adalah menetapkan pada bilangan yang lebih kecil secara mutlak pada
shalat-shalat sunnah. Dan kalau ia merasa ragu-ragu dalam shalat ihtiyath, maka
hendaklah ditetapkannya pada yang lebih banyak, kecuali kalau yang lebih banyak
itii bisa membatalkan, maka dalam hal ini harus menetapkan pada jumlah rakaat
yang lebih sedikit. Sebagian ulama Imamiyah mengatakan hendaknya dipilih antara
menetapkan jumlah rakaat yang lebih sedikit dan yang lebih banyak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar