Selasa, 15 Oktober 2013

Al Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf

Beliau adalah Al-Habib Ja’far bin Syaikhan bin Ali bin Hasyim bin Syeikh bin Muhammad bin Hasyim Assegaf. Beliau dilahirkan di kota Ghurfah, Hadramaut pada tahun 1298 H. Sebagaimana kebanyakan para Salaf Bani Alawi, semenjak kecil beliau mendapat pendidikan langsung dari ayahnya, Al-Habib Syaikhan bin Ali Assegaf. Selain beliau menuntut ilmu kepada ayahnya, beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama besar di Hadramaut, diantaranya :

Al-Habib Idrus bin Umar Alhabsyi (pengarang ‘Iqdul Yawaaqit)

Al-Imam Al-Qutub Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi

Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Alatas

Beberapa tahun kemudian, berangkatlah beliau ke kota Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Semangat beliau untuk menuntut ilmu seakan tak pernah pupus. Kesempatan beliau berada di kota Makkah tak beliau sia-siakan. Kesempatan itu beliau pergunakan untuk menuntut ilmu dari para ulama yang ada disana, diantaranya :

Al-Habib Husin bin Muhammad Alhabsyi

Al-Habib Muhammad bin Salim As-Sirry

Setelah dari kota Makkah Al-Mukarramah, kembalilah beliau ke kota kelahirannya, Ghurfah. Disana beliau kemudian diangkat menjadi imam masjid jami Ghurfah. Beliau tinggal di kota tersebut selama 8 tahun. Setelah itu beliau pindah ke kota Tarim. Disana beliau dipercaya mengajar di Rubath Tarim, sebuah sekolah yang banyak sekali mencetak ulama-ulama besar. Di kota Tarim beliau tinggal selama 2 tahun. Kemudian setelah itu, beliau berhijrah ke Indonesia dan tinggal di kota Bondowoso. Tak lama kemudian, beliau lalu pindah ke kota Pasuruan dan menetap disana.

Di kota Pasuruan, beliau berdakwah mengibarkan bendera Laa ilaaha illallah. Beliau membuka majlis taklim dan mengajak masyarakat kepada agama Allah. Pribadinya yang arif menyebabkan beliau menjadi tempat bermusyawarah, mencari perlindungan dan pengayom masyarakat. Beliau selalu memberikan nasihat-nasihat agama dan petunjuk ke arah yang benar. Akhlak beliau mencontoh para pendahulunya yang penuh dengan sifat tawadhu, sabar, dan ramah. Tidaklah itu semua kecuali mengambil daripada akhlak-akhlak Rasulullah SAW.

Jika beliau menerima tamunya, beliau sendirilah yang menuangkan minuman buat si tamu dan beliau menolak jika ada orang lain yang hendak menggantikannya. Melihat kedalaman ilmu beliau terutama dalam ilmu tafsir dan disertai dengan keagungan akhlak beliau, Al-Habib Muhammad bin Ahmad Almuhdhor pernah mengatakan bahwa beliau adalah Al-Qur’an yang berjalan. Begitulah keadaan beliau yang menjadi figur bagi keluarga dan masyarakatnya.

Kehidupan berputar terus dan beliau selalu mengisinya dengan kebaikan. Sampai pada suatu saat dimana Allah hendak memanggilnya. Berpulanglah beliau menuju mardhotillah pada hari Senin, tanggal 14 Jumadil Akhir 1374 H. Jasad beliau lalu disemayamkan di samping masjid jami Pasuruan.

Begitulah kehidupan beliau sebagai profil manusia yang penuh dengan kebaikan dan kemuliaan. Meskipun beliau telah berpulang, ruh kehidupan beliau senantiasa menghidupkan kalbu-kalbu para pengenangnya…mengisi sisi-sisi kehidupan para pecintanya…

Radhiyallahu anhu wa ardhah…

[Disarikan dari Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Muhammad Syamsu Assegaf dan dari berbagai sumber lainnya]


AL HABIB JA’FAR BIN AHMAD ALAYDRUS

Kelahiran Purwakarta
Ayah Habib Ali, Habib Ja'far bin Ahmad Alaydrus, datang ke Singapura dari Purwarkarta dan menetap di Negeri Singa itu selama beberapa tahun pada dekade tahun 1930-an dan tinggal di Lorong 30 Geylang. Habib Ja'far kembali ke Hadhramaut pada tahun 1938. la wafat pada tahun 1976 di kota Tarim. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Zanbal, berdekatan dengan makam datuknya, Habib Abdullah Alaydrus.
Berdasarkan kisah yang disampaikan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah, ketika ayah Habib Ali ini masih dalam kandungan ibunya, kakeknya, Habib Abdul Qadir bin Salim, berkata kepada istrinya, Hababah Aisyah Assegaf, jika putranya Ahmad dikaruniai anak laki-laki, akan ia namai "Salim", mengikut nama orangtua Habib Abdul Qadir sendiri. Namun istrinya, Hababah Aisyah, tidak setuju dengan usulan itu dan ia ingin menamainya Ja'far, mengikuti nama datuk sang istri, Habib Ja'far bin Ahmad bin Ali bin Abdullah Assegaf. Mendengar usulan sang istri, Habib Abdul Qadir mengatakan, ia bersedia menamainya "Ja'far" sekiranya tampak nyata kelebihan yang ada pada diri anak itu kelak. "Baik, kamu akan lihat kelebihannya, giginya akan tumbuh sebelum waktunya," kata. Hababah Aisyah saat itu. Habib Abdul Qadir menimpali kembali, "Kalau memang demikian, aku akan sembelih tujuh ekor kambing." Pada saatnya, benar saja, yang terlahir adalah seorang anak laki-laki. Dan tiba hari ketujuh, hari untuk menyelenggarakan aqiqah sekaligus untuk memberikan nama pada sang anak, nyatalah apa yang dikatakan Hababah Aisyah. Gigi si cucu mulai terlihat. Maka, sang cucu pun dinamai "Ja'far".
Habib Ja'far kemudian tumbuh dewasa dalam lingkungan keluarga yang shalih dan 'alim. la juga kemudian dikenal sebagai seorang alim pada masanya. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah termasuk yang ber-istifadah (mengambil faidah ilmu) darinya. Di antara karyanya, Habib Ja'far meninggalkan sebuah diwan (kumpulan qashidah) yang kini telah dicetak oleh penerbit Darul Ushul, Yaman. Habib Ja'far bin Ahmad mempunyai 10 putra, yakni Abdullah, Abdul Qadir, Ali, Salim, ldrus, Thaha, Ahmad, Abubakar, Thahir, dan Alwi, serta beberapa putri. Diantara putri Habib Ja'far yang masih hidup pada saat ini adalah adik Habib Ali yang bernama Syarifah Gamar. Mungkin tak banyak orang yang tahu bahwa Habib Ali Batu Pahat ini kelahiran Nusantara tepatnya di Purwakarta, Jawa Barat, pada tahun 1919. Sebagian keluarganya saat ini juga masih berada di sana.
Tahun 1926, yaitu saat berumur tujuh tahun, ia tiba di Singapura. Tapi hanya sebentar, lalu ia kembali lagi ke Indonesia. Tahun 1929, untuk kedua kalinya ia datang ke Singapura dan kemudian menetap di sana hingga tahun 1942. Di Singapura, ia tinggal bersama ayah dan kakaknya, Habib Abdul Qadir bin Ja'far Alaydrus, di sebuah rumah di Arab Street. Ketika itu sang kakak baru datang dari Hadhramaut. Berdasarkan cerita yang
pernah disampaikan Habib Ali sendiri, kedatangan sang kakak mendapat sambutan yang amat hangat dari penduduk Singapura pada saat itu. Habib Abdul Qadir sendiri wafat di Purwakarta dan dimakamkan di sana.
Tahun 1942, Habib Ali hijrah ke Batu Pahat, Johor, Malaysia. Semasa hidupnya di negeri rantaunya yang baru ini, Habib Ali menjadi tempat mengadu berbagai permasalahan banyak orang.

Tempat Ziarah para Ulama
Semasa hidupnya, Habib Ali menjadi tempat mengadu berbagai permasalahan banyak orang. Mereka yang berasal dari Nusantara dan negara-negara Arab, apabila berkunjung ke Malaysia, akan meluangkan waktu untuk mengunjunginya, demi mendapatkan mutiara nasihat dan keberkahan dari sosok yang jiwa dan raganya ini senantiasa bergantung kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Di antara petuah yang pernah ia sampaikan, "Allah SWT adalah Sang Khaliq. Manusia hanyalah makhluk. Maka, manusia harus mematuhi apa pun perintah Sang Maha Pencipta. Bukan Sang Maha Pencipta yang mematuhi perintah manusia." Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, bila berkunjung ke Malaysia, pun kerap menziarahi Habib Ali di Batu Pahat. Pada perjumpaan terakhirnya dengan Habib Ali,
Al-Maliki mengatakan, ia meyakini bahwa Habib Ali adalah seorang yang diberi anugerah besar dari sisi Allah di negeri rantaunya ini. Sebelum pulang, Sayyid Muhammad Al-Maliki pun mengarang sebuah qashidah untuknya yang menggambarkan sifat-sifat mulia Habib Ali bin Ja'far Alaydrus.
Pernah suatu kali Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki rahimahullah berkunjung pada beliau, sepanjang jalan Sayyid Muhammad berbicara tentang rindunya pada Rasulullah saw, maka ketika sampai di kediaman beliau, maka semua tamu tidak diperkenankan masuk, kecuali Sayyid Muhammad Al Maliki, mereka masuk berdua cukup lama, lalu keluarlah Sayyid Muhammad Al Maliki dengan airmata yang bercucuran.., seraya berkata : "hajat saya sudah terkabul… terkabul.., sambil menutup wajah beliau dengan linangan air mata."
Diantara Ulama yang pernah mengunjungi dan bersilaturrahmi kepada beliau antara lain, Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Semith dari Madinah, Al-Habib Salim bin Abdullah Asy-Syatiri (Hadhramaut), Al-Habib Umar bin Hafidh (Hadhramaut), Al Habib Anis bin Alwi Al Habsyi dari Solo dan tokoh habaib dan ulama lainnya.
Tenggelamnya sebuah Bintang
Pada hari Kamis, 13 Mei 2010/28 Jumadil Ula 1431 H, sore menjelang maghrib, atau tepat 40 hari setelah Habib Abdul Qadir wafat sekitar pukul 17.10 atau 17.15 petang waktu setempat Al-Habib Ali wafat. Syed Ibrahim dan Syed Ja'far, keduanya cucu Habib Ali, dari putranya yang bemama Syed Husein, disampingnya ketika itu. Hari wafatnya ini menjelang lima hari sebelum haul ayahandanya, Habib Ja'far bin Ahmad, yaitu pada 3 Jumadil Akhirah.
Dari saat Habib Ali wafat waktu dimandikan keesokan harinya, jenazahnya tak putus-putus dikunjungi ribuan manusia dari segala penjuru dan lapisan masyarakat, terutama dari Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Di antara yang hadir menyampaikan ta'ziyahnya pada saat itu adalah Syed Hamid bin Ja'far Al-Bar, mantan menteri luar negeri dan menteri dalam negeri Malaysia. Begitu juga bacaan Al-Quran, Yaasin, dan tahlil tak putus-putusnya dibacakan hingga jenazahnya usai dimandikan oleh keluarga sekitar pukul 09.30, Jum'at pagi.
Karena begitu banyaknya penta'ziyah yang datang untuk dapat menghadiri prosesi shalat Jenazah, akhirnya jenazah Habib Ali dishalatkan sebanyak dua kali. Pertama, sebagaimana wasiatnya, dishalatkan di dalam rumah, yang diimami oleh Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Alaydrus, dan kedua di luar rumah, dengan imam Habib Hasan bin Muhammad bin Salim Al- Attas. Jenazahnya kemudian dimakamkan
sebelum shalat Jum'at, 29 Jumadil Ula 1431 H/14 Mei 2010, di Tanah Pekuburan Islam Bukit Cermai, Batu Pahat, Johor, Malaysia. Habib Umar bin Hamid AI-Jilani dari Makkah yang membacakan talqin pada saat itu. Habib Ali bin Ja'far Alaydrus meninggalkan seorang putri bernama Syarifah Khadijah dan tiga orang putra, yaitu Syed Muhammad, Syed Umar, dan Syed Husein.Semoga ketabahan dan ketawakalan mengiringi hati keluarga dan para pecintanya atas kepergian sosok yang amat mereka cintai dan muliakan ini.
Ulama adalah pewaris para nabi. Kepada para pewarisnya itu, Nabi SAW tidak mewariskan harta, tetapi beliau mewariskan ilmu kepada mereka, yang nilainya melebihi bilangan harta, seberapa pun besarnya. Siapa yang mengambil ilmu mereka, dia telah mengambil harta yang amat bernilai. Oleh karenanya, wafatnya seorang ulama adalah musibah yang sulit tergantikan dan satu kelemahan yang susah ditutupi. Wafatnya seorang ulama ibarat sirnanya sebuah bintang di antara gugusan bintang- bintang lainnya. Rasulullah SAW
mengatakan, "Sesungguhnya wafatnya satu kabilah lebih ringan musibahnya dibandingkan atas wafatnya seorang yang alim." (HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibn Majah, dan Al-Bayhaqi).
Kini Habib Ali telah tiada. Dengan segala kemuliaannya, ia telah berada di sisi Sang Khaliq. Tinggal kita semua yang saat ini telah ditinggalkannya. Kita yang masih banyak bergelimang dengan dosa. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah di atas jalan hidup kita, mengampuni kita atas dosa-dosa kita, dan mengumpulkan kita kelak di surga-Nya bersama orang- orang yang kita cintai.

Diposkan oleh Ahmad Irfani


AL HABIB HUSIN BIN AHMAD BARAQBAH

Nasab Al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah

Nasab beliau ra : Husin bin Ahmad bin Abdurrahman bin Ahmad bin Abdurrahman bin Umar bin Abdurrahman bin Umar Baraqbah bin Ahmad al-Aksah bin Muhammad bin Abdullah Ba’alawi bin Alwi al-Ghuyyur bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa al-Rumi bin Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein al-Syahid bin Ali bin Abi Thalib binti Sayyidatina Fathimah al-Batul binti Muhammad SAW.


Asal-usul Gelar Baraqbah

Bermula gelar Baraqbah dinisbahkan kepada keturunan waliyullah Umar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Mengenai gelar ini tidak didapat keterangan yang jelas, apakah beliau mempunyai Pundak yang kuat, yang dalam bahasa Arab disebut  “Raqbah” atau berhubungan dengan suatu tempat yang terdapat sumur dan pohon kurma dekat kota Tarim yang disebut “Baraqbah”.

Shohibul Manaqib al-Habib Husin adalah putra dari al-Habib Ahmad cucu dari al-Habib Abdurrahman yang wafat pada tahun 1070 hijriyah di negeri Zaila’. Al-Habib Abdurrahman yang merupakan putra dari al-Habib Ahmad cucu dari al-Habib Abdurrahman yang wafat pada tahun 913 hijriyah. Al-Habib Abdurrahman ini putra dari al-Habib Umar Baraqbah penyandang gelar  Baraqbah. Al-Habib Umar Baraqbah putra dari al-Habib Ahmad al-Aksah yang wafat pada tahun 814 hijriyah yang merupakan cucu dari al-Habib Muhammad yang bergelar al-Majdub yang terkenal keluasan ilmu dan kewaliannya. Al-Habib Muhammad al-Majdub ini putra dari Sayyiduna as-Syaikh Abdullah Ba’alawi pewaris Masjid  Ba’alawi  kota Tarim – Hadramaut.

Kehidupannya

Habib Husin bin Ahmad bin Abdurrahman bin Ahmad bin Abdurrahman bin Umar bin Abdurrahman bin Umar Baraqbah lahir pada akhir abad 11 Hijriyah (17 Masehi) atau sekitar tahun 1095 H (1683 M) di Tarim, sebuah kota kecil di Negeri Hadramaut yang merupakan kota asal seluruh Bani Alawi yang diberkahi yang merupakan tempat bermunculannya para wali. Pada masa kelahirannya merupakan zaman keemasan dimana saat itu hidup para ulama semisal Al Imam Alqathub Alhabib Abdullah bin Alwi Alhaddad.

Ketika habib Husin bin Ahmad Baraqbah lahir, beliau dibawa oleh ayahnya kehadapan sohibur ratib, quthbil irysad wal bilad : al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad untuk tabarrukan, sebagaimana kebiasaan penduduk Kota Tarim membawa anak mereka yang baru lahir kepada / kehadapan orang alim.

Beliau tumbuh dalam asuhan ayahnya dan dididik dalam lingkungan para ahli ilmu. Waktunya dihabiskan dengan menuntu ilmu pengetahuan agama, mendalami ilmu fiqh madzhab Syafi’i dan menghafal al-Qur’an. Guru utamanya adalah orang tuanya sendiri.

Di masa kecilnya beliau hidup di lingkungan para wali Allah dan para faqih seperti al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Masyhur, al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, al-Habib Abdullah bin Ahmad Bilfaqih, al-Habib Ahmad bin Umar al-Hinduan, al-Habib Zainal Abidin bin Musthafa al-Aydrus, al-Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi, Syeikh  Muhammad bin Abdullah Bajamal, Syeikh Ahmad bin Abdullah Basyarahil, Syeikh Salim bin Umar Bafadhal, dan lainnya.

Pada saat beranjak dewasa beliau sering hadir pada majlis-majlis ilmu yang ada di  Tarim, khususnya majlis ilmu yang diasuh oleh al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad. Selain di Tarim, beliau juga menuntut ilmu di kota-kota lain, seperti : Siwun, Sibam, Taris, Zilak, Sihr dan lainnya.

Akhlaq al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah

Akhlaq beliau adalah sebagaimana akhlaq kakeknya al-Habib Abdullah Ba’alawi bin Alwi al-Ghuyyur bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang memiliki sifat-sifat zuhud, wara’, hafal al-Qur’an, alim, banyak beribadah, semangat dalam mengerjakan amal kebajikan, berkhidmat untuk lingkungannya, selalu disibukkan oleh dzikir kepada Allah SWT, dermawan, tawadhu dalam berbicara, bertindak maupun berpakaian, sehingga beliau tidak terlihat lebih menonjol dari yang lainnya. Jika beliau berkumpul bersama-sama para sahabat dan guru-gurunya, orang tidak mengetahui kalau beliau adalah seorang yang mempunyai kemuliaan yang tinggi, beliau melebur menjadi satu dengan kumpulan jamaah tersebut.

Hijrahnya ke Jambi

Pada sekitar tahun 1120 hijriyah (1710 masehi) al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah meninggalkan Kota Tarim dan melakukan perjalanan menuju India bersama saudaranya  bernama al-Habib Zein bin Ahmad Baraqbah. Di India mereka berdua berdakwah di beberapa kota seperti Ahmad Abad, Surat, Baijavur dan lain-lain, selanjutnya menetap untuk beberapa waktu di india.

Setelah sekian lama di India, al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah melanjutkan perjalanannya menuju ke Indonesia, sementara saudaranya al-Habib Zein bin Ahmad Baraqbah menetap di India.

Rute perjalanan habib Husin bin Ahmad Baraqbah dari India menuju Kolombo terus ke Aceh. Al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah tiba pertama kali menjejakkan kakinya di tanah Aceh dimana kerajaan Aceh saat itu dipimpin oleh Syarif Ibrahim Jamaluddin dengan gelar Sultan Perkasa Alam. Selanjutnya beliau melanjutkan perjalanannya ke Kota Palembang Darussalam. Latar belakang masuknya habib Husin bin Ahmad Baraqbah ke Palembang disebabkan antara lain : pada masa itu para habaib mendapatkan tempat yang khusus di kesultanan Palembang Darussalam dan juga di kota tersebut terdapat perkampungan alawiyyin.

Al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah tiba di kota Palembang Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1118-1124 hijriyah / 1706-1714 masehi). Al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah tinggal di Kota Palembang dan menikah dengan anak pembesar kesultanan Palembang Darussalam. Hal ini dapat dimaklumi dan juga dibuktikan dengan diberi gelarnya cucu beliau yaitu al-Habib Qasim bin Ali bin Husin Baraqbah sebagai Pangeran oleh Sultan Mahmud Badaruddin I  Jayo Wikromo.

Disekitar medio 1138 Hijriyah al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah memasuki Kota Jambi dan menyebarkan agama Islam selama lebih kurang 35 tahun.

Kepindahan al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah diperkirakan selain untuk tujuan da’wah, juga mempunyai latar belakang lain yaitu agar anak cucu keluarga Baraqbah dapat berkembang biak di Nusantara ini. Ini terbukti dengan keberadaan anak keturunannya yang tersebar di hampir seluruh daerah di Indonesia, Singapura dan Malaysia.

Penyebaran Keluarga Baraqbah

Bila mengkaji lebih lanjut tentang keturunan Baraqbah di dunia ini, akan didapati bahwa keturunan Baraqbah yang terbanyak jumlahnya hanya di Indonesia saja dibandingkan dengan negeri-negeri lainnya, sehingga di nengeri-negeri lain seperti Tarim-Hadramaut dan Surat-India sangat sedikit dan nyaris tidak ditemukan lagi. Mungkin kita bertanya mengapa hal ini bisa terjadi?

Perpindahan al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah ke Indonesia khususnya Jambi merupakan salah satu anugerah yang amat besar, mengapa demikian? Setelah menelusuri silsilah beliau baik ke atas (ayah dan kakeknya) maupun ke bawah (anak cucunya), didapati mulai dari waliyullah Umar bin Ahmad al-Aksah bin Muhammad bin Abdullah Ba’alawi bin Alwi al-Ghuyyur bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam, anak cucu beliau (Habib Umar Baraqbah) banyak memiliki tanda    ( ض )   yang dalam ilmu nasab berarti tidak mempunyai keturunan. Hal itu terus berlanjut kepada ayah al-Habib Husin yaitu al-Habib Ahmad bin Abdurraham Baraqbah yang memiliki 5 (lima) anak lelaki, yaitu :




1.            Zen        berada di Surat-India      (tidak mempunyai keturunan)
2.            Umar     berada di Tarim-Hadramaut        (tidak mempunyai keturunan)
3.            Alwi       berada di Tarim-Hadramaut        (tidak mempunyai keturunan)
4.            Abdurrahman    berada di Tarim-Hadramaut        (tidak mempunyai keturunan)
5.            Husin     berada di Jambi-Indonesia           (keturunannya tersebar di seluruh nusantara)

Kepindahan anak cucu al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah dimulai pada pertengahan abad ke 18. Pada tahun itu telah bermunculan kerajaan-kerajaan bercorak maritim yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia, seperti Samudera Pasai, Indragiri, Jambi, Demak, Palembang, Banten, Cirebon, Gowa, Banjar, Ternate. Hubungan perdagangan antara Jambi sebagai penghasil lada terbesar di Sumatera Timur dengan kerajaan-kerajaan lainnya, memudahkan persebaran anak keturunan dari al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah ke seluruh antero nusantara.

Di Kota Jambi sendiri, al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah menyebarkan da’wahnya mengajak ummat ke jalan Allah SWT bil hikmah wal mau’izhotil hasanah. Dikarenakan keberadaan beliau sebagai orang yang pertama kali masuk Kota Jambi dari kalangan ahlil bait, maka di tangan beliulah tanggung jawab da’wah kepada ummat disampaikan dengan kesabaran dan kegigihan hingga beliau mendapat tempat dan simpati dikalangan ummat baik masyarakat kecil, menengah maupun penguasanya.

Hidup pada masa itu seorang saudagar kaya keturunan Cina yang tinggal ditengah keluarga istana yang mempunyai anak gadis dari perkawinannya dengan putri kesultanan Jambi. Nama saudagar tersebut yang sekaligus mantu kerajaan Jambi adalah Datuk Sintai. Tergerak di hati Datuk Sintai untuk mengambil mantu al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah untuk dikawinkan dengan putrinya bernama Nyai Resik.  Diriwayatkan bahwa selain Nyai Resik, al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah juga menikah dengan 3 (tiga) istri di tempat yang terpisah yang masing-masing mempunyai anak dari perkawinan tersebut.

Al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah mempunyai 13 (tiga belas) anak laki-laki dan 3 (tiga) anak perempuan.

13 (tiga belas) anak laki-laki al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah adalah :





1.            Zubair   wafat pada tahun 1232 hijriyah di kota Surabaya keturunannya tersebar di Surabaya
2.            Muhammad       wafat pada tahun 1204 hijriyah di kota Jambi keturunannya tersebar di Jambi
3.            Abdurrahman    keturunannya tersebar di Jambi dan Trengganu
4.            Hamid   wafat di kota Jambi keturunannya tersebar di Jambi
5.            Qasim   wafat di kota Jambi keturunannya tersebar di Jambi dan Pontianak
6.            Ahmad wafat di kota Kutai keturunannya tersebar di Kutai, Cirebon dan Pekalongan
7.            Hamzah                wafat di kota Pontianak keturunannya tersebar di Pontianak, Kubu
8.            Sya’ban                wafat di Siak keturunannya tersebar di Siak, Riau
9.            Abdullah              wafat di Palembang keturunannya tersebar di Palembang, Jambi
10.          Hasan    tidak mempunyai keturunan
11.          Kholid   wafat di kota Jambi keturunannya tersebar di Indragiri
12.          Ali           wafat di kota Palembang keturunannya tersebar di Palembang, Surabaya, Lampung, Madura, Banjar dan Makasar
13.          Hasyim wafat pada tahun 1206 hijriyah.

3 (tiga) anak perempuan al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah adalah :
Aisyah
Alwiyah
Ruqayyah

Wafat al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah

Al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah pulang ke rahmatullah pada tahun 1173 Hijriyah/1760 Masehi, ditempat beliau berda’wah yang hidup bersama keluarga yaitu di Kota Jambi tercinta. Beliau di maqamkan di pemaqaman Tambak Kelurahan Tahtul Yaman Kecamatan Pelayangan Seberang Kota Jambi. Maqam beliau ini dikenal sebagai maqam Keramat Tambak. Jazahullah ‘anil muslimin khairon. Semoga Allah turunkan pada maqam beliau rahmat, berkah dan futuhat yang dapat memberikan pada lingkungan sekitarnya terlebih penziarahnya berupa asror, berkah, ijabah wa qobul hajat.

Rangkuman dari seminar sehari yang dilaksanakan oleh Rabithah Alawiyyah Cabang Jambi pada tanggal 25 April 2009.


http://zulfanioey.blogspot.com/2012/09/al-habib-husin-bin-ahmad-baraqbah.html

Al Habib Husein bin Muhammad Al Qadri

Mengenai Habib Husein al-Qadri, tidak terlalu sukar membuat penyelidikan kerana memang terdapat beberapa manuskrip yang khusus membicarakan biografinya. Walau bagaimana pun semua manuskrip yang telah dijumpai tidak jelas nama pengarangnya, yang disebut hanya nama penyalin. Semua manuskrip dalam bentuk tulisan Melayu/Jawi. Nama lengkapnya, As-Saiyid/as-Syarif Husein bin al-Habib Ahmad/Muhammad bin al-Habib Husein bin al-Habib Muhammad al-Qadri, Jamalul Lail, Ba `Alawi, sampai nasabnya kepada Nabi Muhammad s.a.w. Sampai ke atas adalah melalui perkahwinan Saidatina Fatimah dengan Saidina Ali k.w. Nama gelarannya ialah Tuan Besar Mempawah. Lahir di Tarim, Yaman pada tahun 1120 H/1708 M. Wafat di Sebukit Rama Mempawah, 1184 H/ 1771M. ketika berusia 64 tahun. Dalam usia yang masih muda beliau meninggalkan negeri kelahirannya untuk menuntut ilmu pengetahuan bersama beberapa orang sahabatnya.

PENDIDIKAN, PENGEMBARAAN DAN SAHABAT

Mengembara ke negeri Kulaindi dan tinggal di negeri itu selama empat tahun. Di Kulaindi beliau mempelajari kitab kepada seorang ulama besar bernama Sayid Muhammad bin Shahib. Dalam waktu yang sama beliau juga belajar di Kalikut. Jadi sebentar beliau tinggal di Kulaindi dan sebentar tinggal di Kalikut. Habib Husein al-Qadri termasuk dalam empat sahabat. Mereka ialah, Saiyid Abu Bakar al-`Aidrus, menetap di Aceh dan wafat di sana. Digelar sebagai Tuan Besar Aceh. Kedua, Saiyid Umar as-Sagaf, tinggal di Siak dan mengajar Islam di Siak, juga wafat di Siak. Digelar sebagai Tuan Besar Siak. Ketiga, Saiyid Muhammad bin Ahmad al-Qudsi yang tinggal di Terengganu dan mengajar Islam di Terengganu. Digelar sebagai Datuk Marang. Keempat, Saiyid Husein bin Ahmad al-Qadri (yang diriwayatkan ini)

Maka Habib Husein pun berangkatlah dari negeri Kulaindi menuju Aceh. Di Aceh beliau tinggal selama satu tahun, menyebar agama Islam dan mengajar kitab. Selanjutnya perjalanan diteruskan ke Siak, Betawi dan Semarang. Saiyid Husein tinggal di Betawi selama tujuh bulan dan di Semarang selama dua tahun. Sewaktu di Semarang beliau mendapat sahabat baru, bernama Syeikh Salim bin Hambal. Pada suatu malam tatkala ia hendak makan, dinantinya Syeikh Salim Hambal itu tiada juga datang. Tiba-tiba ia bertemu Syeikh Salim Hambal di bawah sebuah perahu dalam lumpur. Habib Husein pun berteriak sampai empat kali memanggil Syeikh Salim Hambal. Syeikh Salim Hambal datang menemui Habib Husein berlumuran lumpur. Setelah itu bertanyalah Habib Husein, “Apakah yang kamu perbuat di situ?” Jawabnya: “Hamba sedang membaiki perahu.” Habib Husein bertanya pula, “Mengapa membaikinya malam hari begini?” Maka sahutnya, “Kerana siang hari, air penuh dan pada malam hari air kurang.” Kata Habib Husein lagi, “Jadi beginilah rupanya orang mencari dunia.” Jawabnya, “Ya, beginilah halnya.” Kata Habib Husein pula, “Jika demikian sukarnya orang mencari atau menuntut dunia, aku haramkan pada malam ini juga akan menuntut dunia kerana aku meninggalkan tanah Arab sebab aku hendak mencari yang lebih baik daripada nikmat akhirat.”

Habib Husein kembali ke rumah dengan menangis dan tidak mahu makan. Keesokan harinya wang yang pernah diberi oleh Syeikh Salim Hambal kepadanya semuanya dikembalikannya. Syeikh Salim Hambal berasa hairan, lalu diberinya nasihat supaya Habib Husein suka menerima pemberian dan pertolongan modal daripadanya. Namun Habib Husein tiada juga mahu menerimanya. Oleh sebab Habib Husein masih tetap dengan pendiriannya, yang tidak menghendaki harta dunia, Syeikh Salim Hambal terpaksa mengalah. Syeikh Salim Hambal bersedia mengikuti pelayaran Habib Husein ke negeri Matan.

Setelah di Matan, Habib Husein dan Syeikh Salim Hambal menemui seorang berketurunan saiyid juga, namanya Saiyid Hasyim al-Yahya, digelar orang sebagai Tuan Janggut Merah. Perwatakan Saiyid Hasyim/ Tuan Janggut Merah itu diriwayatkan adalah seorang yang hebat, gagah dan berani. Apabila Saiyid Hasyim berjalan senantiasa bertongkat dan jarang sekali tongkatnya itu ditinggalkannya. Tongkatnya itu terbuat daripada besi dan berat. Sebab Saiyid Hasyim itu memakai tongkat demikian itu kerana ia tidak boleh sekali-kali melihat gambaran berbentuk manusia atau binatang, sama ada di perahu atau di rumah atau pada segala perkakas, sekiranya beliau terpandang atau terlihat apa saja dalam bentuk gambar maka dipalu dan ditumbuknya dengan tongkat besi itu.

KEDUDUKAN DI MATAN

Setelah beberapa lama Habib Husein dan Syeikh Salim Hambal berada di Matan, pada suatu hari Sultan Matan menjemput kedua-duanya dalam satu jamuan makan kerana akan mengambil berkat kealiman Habib Husein itu. Selain kedua-duanya juga dijemput para pangeran, sekalian Menteri negeri Matan, termasuk juga Saiyid Hasyim al-Yahya. Setelah jemputan hadir semuanya, maka dikeluarkanlah tempat sirih adat istiadat kerajaan lalu dibawa ke hadapan Saiyid Hasyim. Saiyid Hasyim al-Yahya melihat tempat sirih yang di dalamnya terdapat satu kacip besi buatan Bali. Pada kacip itu terdapat ukiran kepala ular. Saiyid Hasyim al-Yahya sangat marah. Diambilnya kacip itu lalu dipatah-patah dan ditumbuk-tumbuknya dengan tongkatnya. Kejadian itu berlaku di hadapan Sultan Matan dan para pembesarnya. Sultan Matan pun muram mukanya, baginda bersama menteri-menterinya hanya tunduk dan terdiam saja. Peristiwa itu mendapat perhatian Habib Husein al-Qadri. Kacip yang berkecai itu diambilnya, dipicit-picit dan diusap-usap dengan air liurnya. Dengan kuasa Allah jua kacip itu pulih seperti sediakala. Setelah dilihat oleh Sultan Matan, sekalian pembesar kerajaan Matan dan Saiyid Hasyim al-Yahya sendiri akan peristiwa itu, sekaliannya gementar, segan, berasa takut kepada Habib Husein al-Qadri yang dikatakan mempunyai karamah itu.

Beberapa hari setelah peristiwa di majlis jamuan makan itu, Sultan Matan serta sekalian pembesarnya mengadakan mesyuarat. Keputusan mesyuarat bahawa Habib Husein dijadikan guru dalam negeri Matan. Sekalian hukum yang tertakluk kepada syariat Nabi Muhammad s.a.w. terpulanglah kepada keputusan Habib Husein al-Qadri. Selain itu Sultan Matan mencarikan isteri untuk Habib Husein. Beliau dikahwinkan dengan Nyai Tua. Daripada perkahwinan itulah mereka memperoleh anak bernama Syarif Abdur Rahman al-Qadri yang kemudian dikenali sebagai Sultan Kerajaan Pontianak yang pertama. Semenjak itu Habib Husein al-Qadri dikasihi, dihormati dan dipelihara oleh Sultan Matan. Setelah sampai kira-kira dalam dua hingga tiga tahun diam di negeri Matan, datanglah suruhan Raja Mempawah dengan membawa sepucuk surat dan dua buah perahu akan menjemput Habib Husein untuk dibawa pindah ke Mempawah. Tetapi pada ketika itu Habib Husein masih suka tinggal di negeri Matan. Beliau belum bersedia pindah ke Mempawah. Kembalilah suruhan itu ke Mempawah. Yang menjadi Raja Mempawah ketika itu ialah Upu Daeng Menambon, digelar orang dengan Pangeran Tua. Pusat pemerintahannya berkedudukan di Sebukit Rama.

HABIB HUSEIN PINDAH KE MEMPAWAH

Negeri Matan dikunjungi pelaut-pelaut yang datang dari jauh dan dekat. Di antara ahli-ahli pelayaran, pelaut-pelaut yang ulung, yang datang dari negeri Bugis-Makasar ramai pula yang datang dari negeri-negeri lainnya. Salah seorang yang berasal dari Siantan, Nakhoda Muda Ahmad kerap berulang alik ke Matan. Terjadi fitnah bahawa dia dituduh melakukan perbuatan maksiat, yang kurang patut, dengan seorang perempuan. Sultan Matan sangat murka, baginda hendak membunuh Nakhoda Muda Ahmad itu. Persoalan itu diserahkan kepada Habib Husein untuk memutuskan hukumannya. Diputuskan oleh Habib Husein dengan hukum syariah bahawa Nakhoda Muda Ahmad lepas daripada hukuman bunuh. Hukuman yang dikenakan kepadanya hanyalah disuruh oleh Habib Husein bertaubat meminta ampun kepada Allah serta membawa sedikit wang denda supaya diserahkan kepada Sultan Matan. Sultan Matan menerima keputusan Habib Husein. Nakhoda Muda Ahmad pun berangkat serta disuruh hantar oleh Sultan Matan dengan dua buah sampan yang berisi segala perbekalan makanan. Setelah sampai di Kuala, Nakhoda Muda Ahmad diamuk oleh orang yang menghantar kerana diperintah oleh Sultan Matan. Nakhoda Muda Ahmad dibunuh secara zalim di Muara Kayang. Peristiwa itu akhirnya diketahui juga oleh Habib Husein al-Qadri. Kerana peristiwa itulah Habib Husein al-Qadri mengirim surat kepada Upu Daeng Menambon di Mempawah yang menyatakan bahawa beliau bersedia pindah ke Mempawah.

Tarikh Habib Husein al-Qadri pindah dari Matan ke Mempawah, tinggal di Kampung Galah Hirang ialah pada 8 Muharam 1160 H/20 Januari 1747 M. Setelah Habib Husein al-Qadri tinggal di tempat itu ramailah orang datang dari pelbagai penjuru, termasuk dari Sintang dan Sanggau, yang menggunakan perahu dinamakan `bandung’ menurut istilah khas bahasa Kalimantan Barat. Selain kepentingan perniagaan mereka menyempatkan diri mengambil berkat daripada Habib Husein al-Qadri, seorang ulama besar, Wali Allah yang banyak karamah. Beliau disegani kerana selain seorang ulama besar beliau adalah keturunan Nabi Muhammad s.a.w. Dalam tempoh yang singkat negeri tempat Habib Husein itu menjadi satu negeri yang berkembang pesat sehingga lebih ramai dari pusat kerajaan Mempawah, tempat tinggal Upu Daeng Menambon/Pangeran Tua di Sebukit Rama. Manakala Upu Daeng Menambon mangkat puteranya bernama Gusti Jamiril menjadi anak angkat Habib Husein al-Qadri. Dibawanya tinggal bersama di Galah Hirang/Mempawah lalu ditabalkannya sebagai pengganti orang tuanya dalam tahun 1166 H/1752 M. Setelah ditabalkan digelar dengan Penembahan Adiwijaya Kesuma.

Akan kemasyhuran nama Habib Husein al-Qadri/Tuan Besar Mempawah itu tersebar luas hingga hampir semua tempat di Asia Tenggara. Pada satu ketika Sultan Palembang mengutus Saiyid Alwi bin Muhammad bin Syihab dengan dua buah perahu untuk menjemput Habib Husein al-Qadri/Tuan Besar Mempawah datang ke negeri Palembang kerana Sultan Palembang itu ingin sekali hendak bertemu dengan beliau. Habib Husein al-Qadri/Tuan Besar Mempawah tidak bersedia pergi ke Palembang dengan alasan beliau sudah tua.

WAFAT

Dalam semua versi manuskrip Hikayat Habib Husein al-Qadri dan sejarah lainnya ada dicatatkan, beliau wafat pada pukul 2.00 petang, 2 Zulhijjah 1184 H/19 Mar 1771 dalam usia 64 tahun. Wasiat lisannya ketika akan wafat bahawa yang layak menjadi Mufti Mempawah ialah ulama yang berasal dari Patani tinggal di Kampung Tanjung Mempawah, bernama Syeikh Ali bin Faqih al-Fathani.

Diposkan oleh Majlis Arrahman

http://alhabaib.blogspot.com/search/label/Habaib?updated-max=2011-02-12T10:35:00-08:00&max-results=20&start=30&by-date=false

Al Habib Husein bin Hud Bin Yahya

Aroma Kota Nabi di Kota Wali
Jika kita menamai sesuatu dengan yang mengandung keberkahan,
yang dinamai itu juga mendapat keberkahan.

Sejak awal abad keenam belas, kota Cirebon memang dikenal sebagai salah satu basis penyebaran agama Islam di wilayah Jawa Barat. Sunan Gunung Jati, salah satu tokoh Walisanga, bermukim di kota ini. Tidak mengherankan jika daerah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah ini kaya akan khazanah keislaman. Mulai dari situs-situs peninggalan Kesultanan Cirebon, karya-karya sastra, sampai pesantren-pesantren tradisional.

Sunan Gunung Jati hanyalah satu di antara begitu banyak tokoh wali yang dilahirkan di Kota Udang ini. Di kompleks makam Sunan Gunung Jati, begitu banyak makam lain yang juga merupakan makam para kekasih Allah. Belum lagi pada kompleks-kompleks makam lainnya. Karenanya, Cirebon sering disebut  “Kota Wali”.

Memasuki Cirebon dari arah Bandung atau Majalengka, misalnya, kita akan disambut pemandangan berupa tajug-tajug (mushalla) yang indah dan pesantren-pesantren besar. Salah satunya adalah Pesantren Babakan, Ciwaringin.

Babakan sendiri sebenarnya adalah nama sebuah desa yang terletak di perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Majalengka. Namanya kemudian identik dengan pesantren, karena di desa itu berdiri kurang lebih 30 pondok pesantren denga ribuan santri.

Di kawasan sekitar Pesantren Babakan Ciwaringin inilah figur kita kali ini, Habib Husen bin Hud Bin Yahya, lahir dan dibesarkan. Ayahnya, Habib Hud bin Muhammad Bin Yahya, adalah salah satu tokoh sepuh habaib kota Cirebon saat ini.
Habib Husen adalah putra keempat dari tujuh bersaudara pasangan Habib Hud dan Hj. Himayah Masduki. Ibunda Habib Husen adalah putri K.H. Masduki Ali, salah seorang tokoh ulama Pesantren Ciwaringin Cirebon di masa lalu.

Masa kecil Habib Husein dihabiskan di sekitar pesantren yang diasuh ayahnya, sepeninggal kakeknya, Kiai Masduki. Setelah menyelesaikan pendidikan di madrasah tsanawiyah dan aliyah di lingkungan Pesantren Babakan Ciwaringin, ia sempat pula mengenyam pendidikan di sejumlah pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Setelah lama menimba ilmu dari pesantren ke pesantren, tahun 2001 Habib Husen pergi ke negeri leluhurnya, Hadhramaut, untuk semakin menambah wawasan keilmu¬annya. Di sana, ia masuk Rubath Tarim, yang saat itu masih diasuh oleh Habib Hasan bin Abdullah Asy-Syathiri, dan adiknya, Habib Salim Asy-Syathiri.

“Pertama kali datang ke Hadhramaut, saya mendekati Habib Hasan sambil membawa segelas air untuk minta didoai. Dengan doa beliau, saya berharap bisa betah tinggal di Hadhramaut dan mendapat keberkahan selama mengikuti pelajaran di kota itu.

Setelah pamit berpisah dari Habib Hasan, air itu saya minum. Sisanya akan saya simpan. Tapi tiba-tiba kawan-kawan saya ‘menyerbu’, akhirnya air itu habis diminum kawan-kawan saya,” kisah Habib Husen mengenang masa-masa awal ia tiba di Hadhramaut.

Banyak kenangan yang diperolehnya saat menimba ilmu di bawah asuhan para ulama Hadhramaut. Kesempatan selama berada di sana benar-benar tak disia-siakannya. Selain duduk bersama para ulama untuk menimba ilmu dari mereka, ia juga kerap mendatangi mereka untuk meminta ijazah, baik sanad maupun awrad.

Sewaktu di Hadhramaut, selain ijazah dari gurunya sendiri di Rubath Tarim, yaitu Habib Hasan dan Habib Salim, ia juga mendapatkan ijazah dari Habib Abdullah Bin Syihab dan Habib Umar Bin Hafidz.

Dua tahun setelah tinggal di Hadhramaut, Habib Husen berniat untuk pergi menunaikan ibadah haji. Saat itu, ia berangkat dari Hadhramaut. Ada kejadian aneh yang ia rasakan pada waktu itu. Di depan Ka’bah, saat ia tengah berthawaf, seseorang mendekatinya dan tiba-tiba memeluk erat dirinya. Ia pasrah saja.

Sesaat setelah dipeluk, ia heran, orang itu tak lagi terlihat, tenggelam di lautan massa yang ada di sekitar Ka’bah.

Setelah itu, ia mendapati di kantungnya ada uang 100 riyal. “Mungkin orang yang tadi itu yang memberikan, tapi kenapa ya dia memberikan uang itu?” tanyanya dalam hati ketika ia mengisahkan kejadian itu.

Sesaat kemudian, ia teringat, beberapa waktu sebelumnya, ia baru saja memberi uang 10 riyal untuk seorang musafir yang berasal dari Indonesia. Ia pun teringat bunyi sebuah hadits Nabi yang bermakna bahwa siapa berbuat kebajikan, Allah SWT akan membalasnya sepuluh kali lipat.

“Allah SWT memang tak pernah mengingkari janji-Nya,” gumamnya kemudian.

Jubah Habib Salim
Di Hadhramaut, walaupun tak jarang yang dibaca adalah kitab-kitab permulaan seperti kitab Safinah an-Najah, karena mereka (para ulama Tarim) hadir dan duduk di sebuah majelis ilmu bukan hanya untuk ilmu semata-mata, tapi juga untuk ibadah dan menjalankan perintah Allah, terasa sekali keberkahannya.

“Inilah keistimewaan ulama-ulama Hadhramaut, berilmu, beramal, dan tawadhu’. Berbeda dengan sebagian orang yang jika sudah dianggap ustadz tidak mau lagi mendengar kata-kata orang lain,” kata Habib Husein membandingkan.

Setelah beberapa tahun lamanya tinggal di Hadhramaut, Habib Husein berencana untuk pulang ke kampung kelahirannya. Karenanya, ia pun hendak mendatangi Habib Salim. Untuk berpamitan maksudnya.

Habib Salim mengizinkannya pulang dan bahkan memberikannya banyak ijazah, sanad, dan wirid. Selain itu, Habib Salim juga memberinya sebuah jubah. Habib Salim menyuruhnya untuk mencoba mengenakannya terlebih dulu.

Setelah dicoba, ia merasa sangat terkesan. Sebab, sebelum diserahkan kepadanya, jubah itu dilipat Habib Salim sendiri. Rupanya Habib Salim ingin sambil mengajarinya melipat jubah. “Begini cara melipat jubah,” ujar Habib Salim kala itu.

Ia benar-benar merasa terkesan dengan apa yang dilakukan gurunya itu. Baginya, itu adalah pelajaran yang sangat bermakna. Pelajaran tentang bagaimana seseorang harus mempunyai semangat untuk idkhalussurur (menyenangkan hati orang lain) dan juga pelajaran untuk bersikap tawadhu’.

Siapa yang tidak senang? Sudah dikasih hadiah, diberi penghormatan pula seperti itu oleh orang sebesar Habib Salim? Begitu pula tentang ketawadhu’an Habib Salim yang ia saksikan langsung. Padahal, saat itu ada khadamnya dan orang-orang lain yang sewaktu-waktu selalu siap menerima perintah Habib Salim.

Madinah Ar-Rasul
Setelah pulang dari Hadhramaut, semangatnya dalam mencari ilmu masih terus terjaga. Ia sempat kuliah dan tahun ini ia baru saja menggondol gelar sarjana.

Ayah dua putra, M. Mahdi dan M. Nagib, ini kini mulai aktif mengajar dan berdakwah.

Saat ini ia mengajar di Pesantren Miftahul Muta’allimin (putra) dan Raudlatul Banat (putri), Babakan Ciwaringin, Cirebon. Ia juga aktif mengasuh majelis ta’lim di beberapa tempat lainnya. Dan aktivitas utamanya adalah menjadi pengasuh dalam Majelis Ta’lim wal Maulid Madinah Ar-Rasul, yang ia dirikan pada tahun 2007.

Madinah Ar-Rasul bermakna Kota Sang Rasul. Nama ini pertama kali ia dapat ketika masih belajar di Ribath Tarim. Saat ia membaca sebuah kitab sirah Nabawiyah, matanya tertuju pada sebuah kalimat yang di dalamnya ada kata-kata “madinatur rasul”.

“Nama ini bagus juga kalau suatu saat saya mendirikan dan membina sebuah majelis,” pikirnya saat itu kala ia berkisah. Dan kini, harapannya itu menjadi kenyataan.

Nama itu dipilih Habib Husein dengan harapan bahwa majelisnya ini akan semakin membumikan ajaran syari’at Rasulullah SAW di bumi Cirebon.

Sebagai sebuah organisasi, Madinah Ar-Rasul tentu mempunyai visi. Dan misinya itu adalah mencerdaskan umat, menjaga amalan para salaf, dan menguatkan ukhuwah Islamiyah.

“Karena, dengan adanya perkumpulan seperti ini, kita dapat saling mengenal, saling mengunjungi, dan bekerja sama,” kata Habib Husen lebih lanjut.

Beberapa waktu silam, ketika Habib Salim datang, ia menyampaikan ke Habib Salim bahwa ia mendirikan majelis dan menamakannya dengan nama itu.

Habib Salim pun mengatakan, “Jika kita menamai sesuatu dengan yang mengandung keberkahan, yang dinamai itu juga mendapat keberkahan.”

Pada awalnya, Madinah Ar-Rasul hanya diikuti oleh masyarakat sekitar. Namun, seiring berjalannya waktu, majelisnya itu kini telah berkembang ke beberapa daerah, bahkan hingga ke luar Kabupaten Cirebon. Ya, Madinah Ar-Rasul sudah mempunyai beberapa cabang.

Selain ia sendiri, ia juga mengajak saudara-saudaranya, seperti kakaknya, Habib Abubakar, yang pernah di Mesir dan Darul Musthafa Tarim, dan adiknya, Habib Muhammad, yang lulusan Universitas Al-Ahqaf, Hadhramaut. Rekan-rekannya, baik yang dari Ribath Tarim maupun Darul Musthafa Tarim, juga kerap mengisi acara di majelisnya tersebut. Dan tak lupa, para kiai Cirebon dan sekitarnya juga ia ajak turut serta.
Jaminan Penuntut Ilmu
Selama alKisah berbincang dengan Habib Husein, ia banyak bertutur tentang keistimewaan menuntut ilmu. Di antara yang disampaikannya, “Allah SWT saja berkata kepada Nabi-Nya, ‘Katakanlah (wahai Muhammad): Ya Allah, tambahkanlah untukku ilmu.’

Lihat saja, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya supaya meminta tambahnya ilmu. Ini merupakan bukti bahwa ilmu adalah perkara yang paling mulia.

Bukan itu saja, bahkan, dengan mencari ilmu, kita akan mendapat jaminan khusus dari Allah tentang rizqi, sebagaimana dalam atsar disebutkan, ‘Sesungguhnya Allah menjamin rizqi para pencari ilmu.’

Mengenai hal ini, shahiburratib, Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, mengatakan, ‘Ini adalah tanggungan yang khusus bagi pencari ilmu, sehingga pencari ilmu akan mendapat kemudahan dan dipercepat untuk memperoleh rizqi dan kekayaan.’

Mencari ilmu juga dapat mencegah matinya hati. Karena, sebagaimana badan memerlukan makanan, demikian juga hati dan ruh kita. Contohnya, orang yang dicegah dari makan, minum, dan berobat, tentunya ia akan mati. Begitu juga hati kita, bila dicegah dari hikmah dan ilmu, cobalah tiga hari saja, ia pun akan mati. Karena makanan hati adalah hikmah dan ilmu.

Dengan alasan itu saya mengatakan kepada jamaah, ‘Kalau kita ingin sukses dunia-akhirat, rutinlah mengikuti majelis-majelis ilmu. Di samping jangan lupa dengan kewajiban-kewajiban yang harus dinomorsatukan, seperti shalat, puasa, dan seterusnya.’

Jadi, sangat keliru, jika ingin sukses dunia-akhirat, kita tidak menjaga kewajiban-kewajiban yang Allah tentukan untuk kita dalam urusan agama.

Perlu pula diingat, sukses itu bukan hanya dari segi yang zhahir di dunia. Lebih dari itu, kita harus sukses di akhirat. Jadi, belum pasti orang yang punya kedudukan dan kekayaan di dunia, bahkan orang alim sekalipun, menjadi orang sukses di akhirat. Karena orang alim pun bisa celaka, seperti dikatakan dalam kitab Az-Zubad, ‘Orang yang alim yang tidak mengamalkan ilmunya akan disiksa sebelum para penyembah berhala’.”

Jadi, dengan hadir dalam kegiatan-kegiatan ta’lim dan dzikir, seperti salah satunya yang diadakan oleh Madinah Ar-Rasul, insya Allah kita akan sukses dunia-akhirat.

Ismail Yahya
Diposkan oleh Majlis Arrahman


Al Habib Husein bin Hadi Al-Hamid

Waliyullah Yang Berumur Panjang

Habib Husein termasuk seorang Waliyullah yang berumur panjang dan jauh dari penyakit-penyakit. Selian itu, ia sampai akhir hayatnya tidak pernah absen shalat Subuh berjamaah

Di Desa Brani Kulon, Kraksan, Probolinggo (Jawa Timur), ada seorang Habib yang berumur panjang, ia wafat dalam usia 124 tahun. Ketika ditanya, kenapa ia tidak punya penyakit?
”Di hati saya, tidak mempunyai sedikit pun rasa iri dan dengki terhadap pemberian orang lain,” demikian kata Habib Husein bin Hadi bin Salim Al-Hamid.
Selain itu, kunci dari Habib Husein berumur panjang adalah tidak lain karena ia secara istiqamah shalat Subuh berjemaah di Masjid dan gemar melakukan jalan kaki sekitar satu jam. Habib Husein berjalan kaki tiap sambil berdakwah, setiap tempat yang beliau lalui selalu ia mendatangkan rahmah. Ia berjalan kaki dari rumahnya yang ada di Brani keliling kampung atau ke pasar. Dengan berjalan kaki tiap pagi, seluruh peredaran darah dalam tubuh jadi lancar. Udara segar yang dihirup membuat kesegaran tubuh tetap prima, itulah salah satu keistimewaan waktu dari shalat Subuh.
Habib Husein sendiri lahir di Hadramaut, Yaman Selatan pada tahun 1862 M dari pasangan Habib Hadi bin Salim Al-Hamid dan Ummu Hani. Dari kecil, Habib Husein dididik langsung oleh kedua orang tuanya itu. Patut diketahui, Habib Hadi bin Salim Al-Hamid, ayahanda Habib Husein, dikenal sebagai salah seorang wali yang kesohor di Hadramaut. Habib Husein dibesarkan sampai umur 86 tahun di Hadramaut.
Bagi orang sekarang, usia 86 tahun itu sudah memasuki usia senja, kakek-kakek di mana orang sudah mulai kehilangan kekuatan dan gairahnya. Namun bagi Habib Husein, usia seperti itu tergolong muda. Kekuatannya tak jauh berbeda dengan usia pemuda saat ini. Itulah salah satu kekuatan Habib Husein.
Di usia 86 tahun atau tepatnya 1929 M, ia masih senang mengembara ke berbagai negeri. Termasuk ke Hujarat dengan menggunakan kapal laut bersama saudagar-saudagar Arab yang berdagang melanglang buana ke berbagai negeri. Sejak itu ia Habib Husein meninggalkan Yaman dan tidak pernah kembali lagi ke sana.
Sekitar 2 tahun, Habib Husein tinggal di Gujarat. Selama di Gujarat, ia berguru pada ulama setempat dan berdagang. Setelah itu, ia kembali mengembara ke Indonesia dengan menggunakan kapal saudagar yang menuju Batavia. Tak berapa lama kemudian, ia mengembara lagi ke berbagai daerah dan akhirnya ia sampai ke kota Pekalongan. Di kota ini, Habib Husein kemudian berguru pada seorang wali besar, yakni Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas hingga beberapa tahun lamanya.
Kepada auliya’ yang sangat terkenal di Kota Pekalongan itu, Habib Husein selain berguru ilmu lahir, ia juga mendalami ilmu batin. Sebagai tanda bahwa Habib Husein telah mencapai maqam kewalian yang mumpuni, ia kemudian dihadiahi sebuah sorban (kain putih) dan kopiah putih dari Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alattas.
Atas pesan Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alattas (Pekalongan), Habib Husein kemudian mengasah ilmu kepada Habib Muhammad bin Muhammad Al- Muhdhor, yang tidak lain adalah guru dari Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alatas. Selama menjadi murid Habib Muhammad, Habib Husein senantiasa menadapat perintah untuk berdakwah ke berbagai daerah.
Salah satu tugasnya yang terakhir dari gurunya itu, Habib Husein diperintahkan untuk menyebarkan dakwah ke Brani Kulon, Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Ia masuk ke desa yang terpencil itu sekitar tahun 1939. Saat itu kondisi desa Brani masih berupa hutan belantara dan sarang penyamun. Tampaknya, Habib Husein memang sengaja ditugasi untuk membrantas para penyamun untuk kembali ke jalan Allah SWT.
Setelah Habib Husein tinggal di Brani Kulon, ia langsung membuka dakwah dan dakwahnya itu diterima secara luas ke seluruh pelosok Kab Probolinggo. Tak mudah seperti dibayangkan, Habib Husein tidak langsung menempati rumah mewah di Brani. Ia harus membabat alas terlebih dahulu, bahkan ia hidup menumpang pada salah satu penduduk setempat.
Kendati hanya hidup menumpang, ia tetap gigih berdakwah dalam rangka menyebarkan ajaran Islam. Kendati tempat tinggalnya menumpang, tetapi penyebaran Islam tak pernah berhenti hingga kemudian ia berhasil mendirikan pesantren kecil. Di desa itu pula ia mengakhiri masa lajangnya.
Dalam sebuah perjalanan bersama para habaib dari berziarah ke Makam Habib Husein bin Abdullah Alaydrus (Kramat Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara). Habib Husein di dalam kereta api pernah dipaksa untuk menyediakan tempat duduknya oleh seorang pemuda kumal dan hanya memakai kaos oblong. Melihat seorang pemuda yang berdiri di depannya, Habib Husein kemudian berdiri sembari menyerahkan tempat duduknya kepada pemuda asing itu. Setelah berdialog beberapa saat dan Habib Husein memberi bekal uang yang tersisa pada pemuda tersebut. Tak berapa lama, tiba-tiba pemuda asing itu menghilang begitu saja. Ketika teman-teman Habib Husein mendapatinya sendirian, dan menanyakan tentang keberadaan pemuda asing tadi, Habib Husein berkata,”Dia itu sebenarnya adalah Nabiyallah Khiddir Alaihi Salam.”
Amaliah Habib Husein tidak saja menyeimbangkan ibadah dengan Allah SWT (hablumminnallah), ia juga menjalin hubungan yang erat dengan Umat (hablumminannas). Sering Habib Husein berjalan-jalan ke pasar dan melihat pedagang yang barang dagangannya tidak habis terjual atau malah tidak terjual sama sekali. Habib Husein tak segan-segan memborong barang dagangan dari pedagang yang ada di pasar agar si pedagang itu tidak menderita kerugian, atau minimal sang pedagang mendapat keuntungan. Tak pelak dengan keseimbangan amaliah itu, dakwahnya diterima dengan baik oleh masyarakat luas.
Tak hanya itu, dalam soal keilmuan, para santri PP Aswaja Brani Kulon sangat mempercayai kalau Habib Husein itu adalah titisan dari Syeikh Abdul Qadir Jaelani. Ikhwalnya ia mendapat julukan Titisan Syeikh Abdul Qadir Jaelani, adalah ketika Habib Ahmad, salah seorang sahabatnya pernah bermunajat kepada Allah agar bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Jaelani. Dalam mimpinya, ia dipertemukan dengan Syeikh Abdul Qadir Jaelani yang bersorban putih, dan ketika didekati ternyata wajah itu adalah wajah Habib Husein bin Hadi Al-Hamid.
Sebagaimana banyak diketahui, Habib Husein kerap dikunjungi oleh para Habaib pada jamannya seperti salah seorang habib yang dikenal sebagai salah satu pejuang RI yakni Habib Soleh Tanggul (Jember). Habib Husein juga mempunyai kedekatan khusus dengan Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih (Darul Hadits, Malang) dan lain-lain. Bahkan anak cucu keturunan dari Habib Husein banyak yang masuk pesantren Darul Hadits, seperti Habib Muhammad Shodiq (anak), Habib Abdul Qadir (cucu), Habib Salim (cucu). Sekarang pesantren peninggalan Habib Husein di asuh oleh Abdul Qadir bin Muh Shadiq bin Husein Al-Hamid.
Habib Husein wafat hari Jum’at Legi, 11 Safar 1406 H/25 Januari 1986. Jenazahnya kemudian di makamkan di sebelah utara Masjid Al Mubarok, komplek Pondok Pesantren Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Desa Brani Kulon, Kecamatan Maron, Probolinggo, Jawa Timur.

disarikan dari Manakib Habib Husein yang disusun oleh Habib Abdul Qadir bin Muhammad Shodiq bin Husein bin Al-Hamid.

http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-husein-bin-hadi-al-hamid/

Al Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus (Luar Batang)

dilahirkan di Yaman Selatan, tepatnya di daerah Hadhramaut, tiga abad yang silam. Ia dilahirkan sebagai anak yatim, yang dibesarkan oleh seorang ibu dimana sehari-harinya hidup dari hasil memintal benang pada perusahaan tenun tradisional. Husein kecil sungguh hidup dalam kesederhanaan.

Setelah memasuki usia belia, sang ibu menitipkan Habib Husein pada seorang “Alim Shufi”. Disanalah ia menerima tempaan pembelajaran thariqah. Di tengah-tengah kehidupan di antara murid-murid yang lain, tampak Habib Husein memiliki perilaku dan sifat-sifat yang lebih dari teman-temannya.

Kini, Al Habib Husein telah menginjak usia dewasa. Setiap ahli thariqah senantiasa memiliki panggilan untuk melakukan hijrah, dalam rangka mensiarkan islam ke belahan bumi Allah. Untuk melaksanakan keinginan tersebut Habib Husein tidak kekurangan akal, ia bergegas menghampiri para kafilah dan musafir yang sedang melakukan jual-beli di pasar pada setiap hari Jum’at.

Setelah dipastikan mendapatkan tumpangan dari salah seorang kafilah yang hendak bertolak ke India, maka Habib Husein segera menghampiri ibunya untuk meminta ijin.

Walau dengan berat hati, seorang ibu harus melepaskan dan merelakan kepergian puteranya. Habib Husein mencoba membesarkan hati ibunya sambil berkata : “janganlah takut dan berkecil hati, apapun akan ku hadapi, senantiasa bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya ia bersama kita.” Akhirnya berangkatlah Al Habib Husein menuju daratan India.

Sampailah Al Habib Husein di sebuah kota bernama “Surati” atau lebih dikenal kota Gujarat, sedangkan penduduknya beragama Budha. Mulailah Habib Husein mensi’arkan Islam dikota tersebut dan kota-kota sekitarnya.

Kedatangan Habib Husein di kota tersebut membawa Rahmatan Lil-Alamin. Karena daerah yang asalnya kering dan tandus, kemudian dengan kebesaran Allah maka berubah menjadi daerah yang subur. Agama Islam pun tumbuh berkembang.

Hingga kini belum ditemukan sumber yang pasti berapa lama Habib Husein bermukim di India. Tidak lama kemudian ia melanjutkan misi hijrahnya menuju wilayah Asia Tenggara, hingga sampai di pulau Jawa, dan menetap di kota Batavia, sebutan kota Jakarta tempo dulu.

Batavia adalah pusat pemerintahan Belanda, dan pelabuhannya adalah Sunda Kelapa. Maka tidak heran kalau pelabuhan itu dikenal sebagai pelabuhan yang teramai dan terbesar di jamannya. Pada tahun 1736 M datanglah Al-Habib Husein bersama para pedagang dari Gujarat di pelabuhan Sunda Kelapa.

Disinilah tempat persinggahan terakhir dalam mensyiarkan Islam. Beliau mendirikan Surau sebagai pusat pengembangan ajaran Islam. Ia banyak di kunjungi bukan saja dari daerah sekitarnya, melainkan juga datang dari berbagai daerah untuk belajar Islam atau banyak juga yang datang untuk di do’akan.

Pesatnya pertumbuhan dan minat orang yang datang untuk belajar agama Islam ke Habib Husein mengundang kesinisan dari pemerintah VOC, yang di pandang akan menggangu ketertiban dan keamanan. Akhirnya Habib Husein beserta beberapa pengikut utamanya di jatuhi hukuman, dan ditahan di penjara Glodok.

Istilah karomah secara estimologi dalam bahasa arab berarti mulia, sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (terbitan balai pustaka, Jakarta 1995, hal 483) menyebutkan karomah dengan keramat, diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam ajaran Islam karomah di maksudkan sebagai khariqun lil adat yang berarti kejadian luar biasa pada seseorang wali Allah. Karomah merupakan tanda-tanda kebenaran sikap dan tingkah laku seseorang, yang merupakan anugrah Allah karena ketakwaannya, berikut ini terdapat beberapa karomah yang dimiliki oleh Al Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus atau yang kita kenal Habib Luar Batang, seorang wali Allah yang lahir di Jasirah Arab dan telah ditakdirkan wafat di Pulau Jawa, tepatnya di Jakarta Utara.

1. Menjadi mesin pemintal

Di masa belia, ditanah kelahirannya yaitu di daerah Hadhramaut – Yaman Selatan, Habib Husein berguru pada seorang Alim Shufi. Di hari-hari libur ia pulang untuk menyambang ibunya.

Pada suatu malam ketika ia berada di rumahnya, ibu Habib Husein meminta tolong agar ia bersedia membantu mengerjakan pintalan benang yang ada di gudang. Habib Husein segera menyanggupi, dan ia segera ke gudang untuk mengerjakan apa yang di perintahkan oleh ibunya. Makan malam juga telah disediakan. Menjelang pagi hari, ibu Husein membuka pintu gudang. Ia sangat heran karena makanan yang disediakan masih utuh belum dimakan husein. Selanjutnya ia sangat kaget melihat hasil pintalan benang begitu banyaknya. Si ibu tercengang melihat kejadian ini. Dalam benaknya terpikir bagaimana mungkin hasil pemintalan benang yang seharusnya dikerjakan dalam beberapa hari, malah hanya dikerjakan kurang dari semalam, padahal Habib Husein dijumpai dalam keadaan tidur pulas disudut gudang.

Kejadian ini oleh ibunya diceritakan kepada guru thariqah yang membimbing Habib Husein. Mendengar cerita itu maka ia bertakbir sambil berucap : “ sungguh Allah berkehendak pada anakmu, untuk di perolehnya derajat yang besar disisi-Nya, hendaklah ibu berbesar hati dan jangan bertindak keras kepadanya, rahasiakanlah segala sesuatu yang terjadi pada anakmu.”

2. Menyuburkan Kota Gujarat

Hijrah pertama yang di singgahi oleh Habib Husein adalah di daratan India, tepatnya di kota Surati atau lebih dikenal Gujarat. Kehidupan kota tersebut bagaikan kota mati karena dilanda kekeringan dan wabah kolera.

Kedatangan Habib Husein di kota tersebut di sambut oleh ketua adat setempat, kemudian ia dibawa kepada kepala wilayah serta beberapa penasehat para normal, dan Habib Husein di perkenalkan sebagai titisan Dewa yang dapat menyelamatkan negeri itu dari bencana.

Habib Husein menyangupi bahwa dengan pertolongan Allah, ia akan merubah negeri ini menjadi sebuah negeri yang subur, asal dengan syarat mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan menerima Islam sebagai agamanya. Syarat tersebut juga mereka sanggupi dan berbondong-bondong warga di kota itu belajar agama Islam.

Akhirnya mereka di perintahkan untuk membangun sumur dan sebuah kolam. Setelah pembangunan keduanya di selesaikan, maka dengan kekuasaan Allah turun hujan yang sangat lebat, membasahi seluruh daratan yang tandus. Sejak itu pula tanah yang kering berubah menjadi subur. Sedangkan warga yang terserang wabah penyakit dapat sembuh, dengan cara mandi di kolam buatan tersebut. Dengan demikian kota yang dahulunya mati, kini secara berangsur-angsur kehidupan masyarakatnya menjadi sejahtera.

3. Mengislamkan tawanan

Setelah tatanan kehidupan masyarakat Gujarat berubah dari kehidupan yang kekeringan dan hidup miskin menjadi subur serta masyarakatnya hidup sejahtera, maka Habib Husein melanjutkan hijrahnya ke daratan Asia Tenggara untuk tetap mensiarkan Islam. Beliau menuju pulau Jawa, dan akhirnya menetap di Batavia. Pada masa itu hidup dalam jajahan pemerintahan VOC Belanda.

Pada suatu malam Habib Husein dikejutkan oleh kedatangan seorang yang berlari padanya karena di kejar oleh tentara VOC. Dengan pakaian basah kuyub ia meminta perlindungan karena akan dikenakan hukuman mati. Ia adalah tawanan dari sebuah kapal dagang Tionghoa.

Keesokan harinya datanglah pasukan tentara berkuda VOC ke rumah Habib Husein untuk menangkap tawanan yang dikejarnya. Beliau tetap melindungi tawanan tersebut, sambil berkata : “Aku akan melindungi tawanan ini dan aku adalah jaminannya.”

Rupanya ucapan tersebut sangat di dengar oleh pasukan VOC. Semua menundukkan kepala dan akhirnya pergi, sedangkan tawanan Tionghoa itu sangat berterima kasih, sehingga akhirnya ia memeluk Islam.

4. Menjadi Imam di Penjara

Dalam masa sekejab telah banyak orang yang datang untuk belajar agama Islam. Rumah Habib Husein banyak dikunjungi para muridnya dan masyarakat luas. Hilir mudiknya umat yang datang membuat penguasa VOC menjadi khawatir akan menggangu keamanan. Akhirnya Habib Husein beserta beberapa pengikut utamanya ditangkap dan di masukan ke penjara Glodok. Bangunan penjara itu juga dikenal dengan sebutan “Seksi Dua.”

Rupanya dalam tahanan Habib Husein ditempatkan dalam kamar terpisah dan ruangan yang sempit, sedangkan pengikutnya ditempatkan di ruangan yang besar bersama tahanan yang lain.

Polisi penjara dibuat terheran-heran karena ditengah malam melihat Habib Husein menjadi imam di ruangan yang besar, memimpin shalat bersama-sama para pengikutnya. Hingga menjelang subuh masyarakat di luar pun ikut bermakmum. Akan tetapi anehnya dalam waktu yang bersamaan pula polisi penjara tersebut melihat Habib Husein tidur nyenyak di kamar ruangan yang sempit itu, dalam keadaan tetap terkunci.

Kejadian tersebut berkembang menjadi buah bibir dikalangan pemerintahan VOC. Dengan segala pertimbangan akhirnya pemerintah Belanda meminta maaf atas penahanan tersebut, Habib Husein beserta semua pengikutnya dibebaskan dari tahanan.

5. Si Sinyo menjadi Gubernur

Pada suatu hari Habib Husein dengan ditemani oleh seorang mualaf Tionghoa yang telah berubah nama Abdul Kadir duduk berteduh di daerah Gambir. Disaat mereka beristirahat lewatlah seorang Sinyo (anak Belanda) dan mendekat ke Habib Husein. Dengan seketika Habib Husein menghentakan tangannya ke dada anak Belanda tersebut. Si Sinyo kaget dan berlari ke arah pembantunya.

Dengan cepat Habib Husein meminta temannya untuk menghampiri pembantu anak Belanda tersebut, untuk menyampaikan pesan agar disampaikan kepada majikannya, bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang pembesar di negeri ini.

Seiring berjalannya waktu, anak Belanda itu melanjutkan sekolah tinggi di negeri Belanda. Kemudian setelah lulus ia di percaya di angkat menjadi Gubernur Batavia.

6. Cara Berkirim Uang

Gubernur Batavia yang pada masa kecilnya telah diramal oleh Habib Husein bahwa kelak akan menjadi orang besar di negeri ini, ternyata memang benar adanya. Rupanya Gubernur muda itu menerima wasiat dari ayahnya yang baru saja meninggal dunia. Di wasiatkan kalau memang apa yang dikatakan Habib Husein menjadi kenyataan diminta agar ia membalas budi dan jangan melupakan jasa Habib Husein.

Akhirnya Gubernur Batavia menghadiahkan beberapa karung uang kepada Habib Husein. Uang itu diterimanya, tetapi dibuangnya ke laut. Demikian pula setiap pemberian uang berikutnya, Habib Husein selalu menerimanya, tetapi juga dibuangnya ke laut. Gubernur yang memberi uang menjadi penasaran dan akhirnya bertanya mengapa uang pemberiannya selalu di buang ke laut. Dijawabnya oleh Habib Husein bahwa uang tersebut dikirimkan untuk ibunya ke Yaman.

Gubernur itu dibuatnya penasaran, akhirnya diperintahkan penyelam untuk mencari karung uang yang di buang ke laut, walhasil tak satu keeping uang pun diketemukan. Selanjutnya Gubernur Batavia tetap berupaya untuk membuktikan kebenaran kejadian ganjil tersebut, maka ia mengutus seorang ajudan ke negeri Yaman untuk bertemu dan menanyakan kepada ibu Habib Husein.

Sekembalinya dari Yaman, ajudan Gubernur tersebut melaporkan bahwa benar adanya. Ibu Habib Husein telah menerima sejumlah uang yang di buang ke laut tersebut pada hari dan tanggal yang sama.
7. Kampung Luar Batang
Gubernur Batavia sangat penuh perhatian kepada Habib Husein. Ia menanyakan apa keinginan Habib Husein. Jawabnya : “Saya tidak mengharapkan apapun dari tuan.” Akan tetapi Gubernur itu sangat bijak, dihadiahkanlah sebidang tanah di kampung baru, sebagai tempat tinggal dan peristirahatan yang terakhir.

Habib Husein telah di panggil dalam usia muda, ketika berumur kurang lebih 30-40 tahun. Meninggal pada hari kamis tanggal 17 Ramadhan 1169 atau bertepatan tanggal 27 Juni 1756 M. sesuai dengan peraturan pada masa itu bahwa setiap orang asing harus di kuburkan di pemakaman khusus yang terletak di Tanah Abang.

Sebagai mana layaknya, jenasah Habib Husein di usung dengan kurung batang (keranda). Ternyata sesampainya di pekuburan jenasa Habib Husein tidak ada dalam kurung batang. Anehnya jenasah Habib Husein kembali berada di tempat tinggal semula. Dalam bahasa lain jenasah Habib Husein keluar dari kurung batang, pengantar jenasah mencoba kembali mengusung jenasah Habib Husein ke pekuburan yang dimaksud, namun demikian jenasah Habib Husein tetap saja keluar dan kembali ke tempat tinggal semula.

Akhirnya para pengantar jenasah memahami dan bersepakat untuk memakamkan jenasa Habib Husein di tempat yang merupakan tempat rumah tinggalnya sendiri. Kemudian orang menyebutnya “Kampung Baru Luar Batang” dan kini dikenal sebagai “Kampung Luar Batang.”

Catatan :

Pengalaman masa lampau, tersiar khabar bahwa Al-Habib Husein membuang sejumlah uang ke laut di daerah “Pasar Ikan”. Tidak henti-hentinya para pengunjung menyelami tempat itu. Dengan bukti nyata, mereka mendapatkannya, sedangkan pada waktu itu, untuk dapat bekerja masih sukar di peroleh. Satu-satunya mata pencaharian yang mudah dikerjakan ialah, menyelam di laut. Dengan demikian, bangkitlah keramaian dikawasan kota tersebut, sehingga timbullah istilah “Mencari Duit ke Kota”

Penutup

1. Perayaan-perayaan tahunan di Makam Keramat Luar Batang.

a. Perayaan/peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, pada minggu terakhir di bulan Rabi’ul Awwal.

b. Perayaan/peringatan haulnya Al-Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus Keramat Luar Batang pada minggu terakhir di bulan Syawal.

c. Perayaan “akhir ziarah” pada bulan Sya’ban, yaitu pada 3 (tiga) hari atau 7 (tujuh) hari menjelang bulan suci Ramadhan.

2. Sumber Riwayat ini di peroleh dari :

Nara Sumber, sesepuh keluarga Al-Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus ialah Almarhumah Syarifah Muznah binti Husein Alaydus, kakak kandung Al-Habib Abu Bakar bin Husein Alaydrus, diceritakan kembali oleh penulis, semoga Allah SWT memberikan rahmat dan Maghfirah-Nya….Amiin.

Diposkan oleh Majlis Arrahman



Al Habib Husein bin Abu Bakar Alhabsyi

Habib yang Pejuang

Nama Habib Husein bin Abu Bakar Alhabsyi cukup dikenal bukan hanya di Jawa Timur, tapi juga di Nusantara. Putra kelahiran Surabaya 21 April 1921 ini, dikenal sebagai tokoh yang sangat vokal dalam membela Islam. Lebih-lebih pada masa Orde Baru, ustadz yang pernah menduduki kepengurusan teras Masyumi bersama Dr Mohamad Natsir ini, tidak jarang harus berhadapan dengan penguasa di zaman itu.

Untuk pendiriannya yang tegas dalam membela kepentingan umat Islam ini, ustadz yang selalu berpenampilan bersih harus beberapa kali masuk penjara. Tapi, itu semua dihadapinya dengan kesabaran, tabah, dan ruh tawakal yang luar biasa.

Pengetahuannya tentang Islam telah dimulai sejak kecil melalui pendidikan dasar di madrasah Al-Khoriyah di Surabaya. Pada usia 10 tahun ia sudah aktif mengikuti pengajian rutin yang membahas masalah-masalah fikih, tauhid, dan berbagai kitab lainnya. Berkat ketekunannya itu, sejak usia 12 tahun, Ustadz Husein sudah mampu menguasai dan membaca kitab-kitab dalam bahasa Arab.

Setelah lulus, ia kemudian mengajar di madrasah Al-Khoriyah tempat ia digembleng, bersama kakaknya Ustadz Ali. Kedua bersaudara ini kemudian khijrah ke Penang, Malaysia. Haus untuk mendapatkan ilmua, ustadz Husein pernah berguru pada Habib Abdul Kadir Bafagih (ulama besar dan ahli hadis), Syekh Mohammad Roba Hassuna (seorang ulama dari Palestina yang juga mengajar di madrasah Al-Khairiyah, Habib Alwi bin Tahir Alhadad (ulama dan mufti Johor Malaysia), Sayid Muhammad Muntasir Al-Kattani (dari dari Maroko).

Sepulang dari Malaysia, Ustadz Husein mulai aktivitas dakwah dan banyak berkecimpung dalam dunia politik. Dalam menapaki jenjang karirnya di dunia politik ini, ia sempat menduduki kepengurusan teras Masyumi.

Di sela kegiatannya yang padat, Ustad Husein masih sempat mengadakan safari dakwah, menyisir daerah-daerah terpencil kaum Muslimin seperti Sorong, pedalaman Maluku, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Karena ketegasannya dalam memperjuangkan cita-cita umat Islam, tidak jarang ia harus berhadapan dengan pihak penguasa dan beberapa kali dijebloskan ke penjara.

Pada tahun 1960-an, Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Setelah tidak lagi aktif dalam partai politik, Ustadz Husein berpendapat bahwa perjuangan Islam lebih afdol melalui pendidikan agama, bukan politik praktis. Dalam pikirannya terbersit keinginan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam.

Menurut Habib Muhammad Alhabsyi, muridnya, sikap Ustadz Husein yang anti ‘Barat’ dan ‘sekularisme’ mendorongnya untuk menerapkan sitstem pendidikan dan peraturan yang sangat ketat bagi para santri.

Pada tahun 1971 Ustadz Husein mendidikan Pondok Pesantren (Ponpes) di Bondowoso, Jawa Timur. Dari Bondowoso kemudian hijrah dan mendirikan YAPI Bangil. Karena perkembangannya yang pesat, ia kemudian membangun Pesentren Putra di Kenep-Beji, Pesantren Putri dan TK di Bangil.

Enam tahun kemudian, berdirilah Pesantren Al-Ma’hadul Islami di desa Gunung Sari (Kenep), sekitar 40 km dari kota Surabaya — antara Bangil – Pandaan — di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Pesantren ini dikelola Yayasan Pesantren Islam (YAPI), didirikan 21 Juni 1976 oleh Ustadz Husein Bin Abu Bakar. Di dekatnya, terdapat sebuah pesantren khusus untuk putri yang juga dikelola YAPI. Selama 18 tahun kedua pesantren ini telah mencetak lebih seribu santri putra dan putri.

Menurut Muhammad Alhabsyi yang kini mengelola pesantren itu, hampir seluruh waktu, tenaga, dan pikiran gurunya ini tercurah untuk kemajuan para santri. Selain mengawasi segala kegiatan di pesantren, ia juga terjun langsung mengajar para santri dalam berbagai disiplin ilmu, antara lain bahasa Arab, fikih, dan tafsir.

Ia mengembangkan metode yang berbeda dalam mengajarkan santrinya. Para santri diajak berdialog sebelum ilmu diajarkan.

Ustadz Husein baik dalam pengajaran maupun dalam ceramah-ceramahnya selalu menekankan pentingnya persatuan dan persaudaraan umat. Ia juga menekankan toleransi antar mazhab, memberikan kebebasan berfikir, sehingga mereka tidak mudah dikotak-kotakkan oleh faham/aliran yang sempit.

Dengan aplikasi gagasan-gagasannya itu, ujar Muhammad mengenai gurunya ini, ia telah mampu menciptakan era baru dalam pemikiran kaum muslimin yang lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan Islam di atas kepentingan-kepentingan mazhab dan golongan. Hal ini terbukti sebagaimana buah hasil didikannya pada santri-santrtinya yanbg kini tersebar di berbagai belahan Nusantara.

Para santrinya kini tampil sebagai tokoh masyarakat di daerahnya masing-masing. Selain itu, diantara alumni pewsantren YAPI ini dengan mudah dapat melanjutkan pendidikan ke Mesir, Pakistan, Qatar, Arab Saudi, dan negara-negara Timur Tengah lainnya.

Setelah puluhan tahun tanpa mengenal lelah mengabdikan diri pada Islam dalam dunia pendidikan dan dakwah, pada hari Jumat 3 Syaban bertepatan 14 Januari 1994, ustadz Husein menghadap Ilahi dalam usia 73 tahun di kediamannya di Bangil. Ribuan para pentakziah larut dalam duka dengan khusuk kturut mengiringi jenazahnya dari rumah duka ke Masjid Jamik Bangil untuk dishalatkan. Ia dimakamkan di belakang Masjid Tsaqalain yang terletak di kompleks Pesantren Putra Al-Ma’hadul Islami YAPI, Desa Gnung Sari (Kenep), Pasuruan.

Jumat, 28 Mei 2004 © 2006 Hak Cipta oleh Republika Online

http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-husein-bin-abu-bakar-alhabsyi/

Al Habib Husein Bin Abdurrahman Assaqqaf

Sesepuh Keluarga Bahsin dan Musawa Assaqqaf

Habib Husein adalah salah satu wali agung yang tinggal di kota Tarim. Anak cucu Habib Husein inilah yang di kemudian hari dikenal dengan keluarga Al-Bahsin Assaqqaf dan Al-Musawa Assaqqaf

Habib Husein dilahirkan dan dibesarkan di kota Tarim. Ia menghafal Al-Qur’an sejak kecil, itu semua berkat bimbingan sang ayah, Habib Abdurrahman bin Muhammad Ass-Saqqaf, seorang wali besar yang berjuluk Al-Muqaddam Ats-Tsani Lis Saadaati Ba’alwi (Al-Muqaddam yang kedua setelah Al-Faqih Al-Muqaddam). Habib Husein juga berguru pada kakak-kakaknya, seperti Habib Muhammad, Ahmad Abubakar dan Umar Muhdhor.

Generasi ke-23 dari Rasulullah SAW ini dikenal rajin menuntut ilmu syariat dan lebih mengutamakan ilmu tasawuf. Ia sangat taat dan gemar melakukan amal-amal kebajikan sampai mendapat derajat kewalian yang tinggi. Hidupnya lebih banyak menutup diri, ia tidak ingin mengeluarkan dirinya dan kelebihannya kepada orang lain. Selain itu, ia dikenal sebagai pribadi yang lemah lembut, bahkan lebih lembut dari angin yang berhembus.

Ia lebih senang bergaul erat dengan para fakir miskin dan kaum ulama yang mengamalkan ilmu-ilmunya. Ia tidak senang bergaul erat dengan kaum penguasa dan orang-orang besar, meskipun demikian syafaat ia selalu diterima baik di kalangan awam maupun kalangan khusus.

Anak cucu Habib Husein inilah yang di kemudian hari dikenal dengan keluarga Al-Bahsin Assaqqaf dan Al-Musawa Assaqqaf. Perlu diketahui bahwa panggilan atau julukan keluarga Al-Musawa digunakan untuk menyebut sejumlah keluarga yang tersebar di seluruh pelosok bumi. Sedangkan keluarga Musawa tanpa diawali huruf Alif dan Lam termasuk dari anak cucu Shahib Mirbath, mereka ada dua keluarga yakni keluarga Musawa dan Musawa Assaqqaf.

Keluarga Musawa Assaqqaf adalah keluarga Abubakar As-Sakran, kakek penghimpun mereka adalah Sayid Ahmad Al-Musawa ibnu Muhammad ibnu Ahmad Abubakar As-Sakran. Adapun keluarga Musawa yang ada di Hiridz, Wa’lan, Ribath dan Dzaihan bermukim di sekitar Tihamah Yaman dan Zubaid. Mereka adalah anak cucu Nabi dari keturunan Hasan dan Husain. Ada pun kakek penghimpun mereka adalah Sayid Al-Musawa ibnu Thohir ibnu Al-‘Athifah ibnu Al-Musawa ibnu Yahya ibnu Zakariah ibnu Hasan ibnu Dzarwah ibnu Yahya ibnu Daud Abdurrahman ibnu Abdillah ibnu Sulaiman ibnu Ubaidillah ibnu Musa Al-Juun ibnu Abdillah Al-Mahedz ibnu Hasan ibnu Mutsanna ibnu Al-Hasan As-Sibth Al-Imam Ali ibnu Abi Thalib.

Dari mereka bercabang keluarga Al-Anbari, diantaranya adalah Sayid Thohir ibnu Ahmad Al-Musawa ibnu Yahya ibnu Al-Qadhi Abdullah ibnu Al-Anbari ibnu Yahya Al-Musawa dan seterusnya sampai nasab Husein bin Abdurrahman Assaqqaf. Di Kota Madinah ada juga dari keluarga Al-Musawa, yang mereka pindahan dari Yanbu’ ke Madinah lebih dari 50 tahun yang lalu. Kakek mereka adalah Muhammad ibnu ‘Iwadhillah ibnu Abdul Mu’thi ibnu Faris Al-Musawa, diantara mereka adalah seorang pemuda Ahmad Al-Musawa. Guru mereka adalah Rajaallah ibnu Faris Al-Musawa.

Dari berbagai penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan, keluarga Assaqqaf merupakan keluarga terbesar dalam jajaran Ba’alwi. Tidak sedikit anak cucu Assaqqaf. Tidak sedikit anak cucu Assaqaf yang menyandang gelar lain sebagai ganti dari keluarga Assaqqaf, misalnya kleuarga Alaidrus, Syihabuddin, Asy Syeikh Abubakar ibnu Salim, Alatas, Al-Hadi, Al-Baiti, Al-Zahir, Ba’aqil dan keluarga-keluarga lain yang kesemuanya itu menurun dari keluarga Assaqqaf.

Sebagaimana ayahnya, yakni Habib Abdurrahman bin Muhammad Ass-Saqqaf, Habib Husein bin Abdurrahman Ass-Saqqaf juga memakmurkan dua majelis dzikir di Masjid Assaqqaf dalam setiap minggunya, yakni pada malam Senin dan malam Kamis selepas shalat Isya’. Kedua majelis dzikir itu memang biasa mengumandangkan bait-bait puisi kaum sufi dengan iringan terbang dan seruling. Bahkan sepeninggalnya, tradisi itu dipimpin oleh salah satu putra Habib Husein, yakni Habib Ahmad bin Husein Alaydrus. Habib Ahmad ibnu Husein bahkan sering mendatangkan para pembaca puisi dari Mesir dan dari belahan negeri mana pun untuk menyemarakan suasana majelis dzikir.

Setiap diadakan majelis dzikir selalu diikuti oleh suara seruling, jumlah peniup seruling ada tujuh orang. Para pembaca puisi dan peniup seruling dari Mesir itu kemudian menetap di kota Tarim. Mereka menurunkan anak cucu yang juga meneruskan tradisi (pekerjaan) dari kakek-kakek mereka secara turun temurun, yakni tampil di majelis dzikir dua kali dalam seminggu dan sudah berlangsung hampir 600 tahun lebih.Habib Husein selalu mengamalkan amal-amal kebajikan dan ketaqwaan sampai akhir hayatnya. Ia wafat di kota Tarim pada tahun 892 H dan dimakamkan di pekuburan Zanbal, Tarim.

Dikutip dari : http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com
Diposkan oleh Majlis Arrahman