Aroma Kota Nabi di Kota Wali
Jika kita menamai sesuatu dengan yang mengandung keberkahan,
yang dinamai itu juga mendapat keberkahan.
Sejak awal abad keenam belas, kota Cirebon memang dikenal
sebagai salah satu basis penyebaran agama Islam di wilayah Jawa Barat. Sunan
Gunung Jati, salah satu tokoh Walisanga, bermukim di kota ini. Tidak
mengherankan jika daerah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah
ini kaya akan khazanah keislaman. Mulai dari situs-situs peninggalan Kesultanan
Cirebon, karya-karya sastra, sampai pesantren-pesantren tradisional.
Sunan Gunung Jati hanyalah satu di antara begitu banyak
tokoh wali yang dilahirkan di Kota Udang ini. Di kompleks makam Sunan Gunung
Jati, begitu banyak makam lain yang juga merupakan makam para kekasih Allah.
Belum lagi pada kompleks-kompleks makam lainnya. Karenanya, Cirebon sering
disebut “Kota Wali”.
Memasuki Cirebon dari arah Bandung atau Majalengka,
misalnya, kita akan disambut pemandangan berupa tajug-tajug (mushalla) yang
indah dan pesantren-pesantren besar. Salah satunya adalah Pesantren Babakan,
Ciwaringin.
Babakan sendiri sebenarnya adalah nama sebuah desa yang
terletak di perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Majalengka. Namanya kemudian
identik dengan pesantren, karena di desa itu berdiri kurang lebih 30 pondok
pesantren denga ribuan santri.
Di kawasan sekitar Pesantren Babakan Ciwaringin inilah figur
kita kali ini, Habib Husen bin Hud Bin Yahya, lahir dan dibesarkan. Ayahnya,
Habib Hud bin Muhammad Bin Yahya, adalah salah satu tokoh sepuh habaib kota
Cirebon saat ini.
Habib Husen adalah putra keempat dari tujuh bersaudara
pasangan Habib Hud dan Hj. Himayah Masduki. Ibunda Habib Husen adalah putri
K.H. Masduki Ali, salah seorang tokoh ulama Pesantren Ciwaringin Cirebon di
masa lalu.
Masa kecil Habib Husein dihabiskan di sekitar pesantren yang
diasuh ayahnya, sepeninggal kakeknya, Kiai Masduki. Setelah menyelesaikan
pendidikan di madrasah tsanawiyah dan aliyah di lingkungan Pesantren Babakan
Ciwaringin, ia sempat pula mengenyam pendidikan di sejumlah pesantren di Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
Setelah lama menimba ilmu dari pesantren ke pesantren, tahun
2001 Habib Husen pergi ke negeri leluhurnya, Hadhramaut, untuk semakin menambah
wawasan keilmu¬annya. Di sana, ia masuk Rubath Tarim, yang saat itu masih
diasuh oleh Habib Hasan bin Abdullah Asy-Syathiri, dan adiknya, Habib Salim
Asy-Syathiri.
“Pertama kali datang ke Hadhramaut, saya mendekati Habib
Hasan sambil membawa segelas air untuk minta didoai. Dengan doa beliau, saya
berharap bisa betah tinggal di Hadhramaut dan mendapat keberkahan selama
mengikuti pelajaran di kota itu.
Setelah pamit berpisah dari Habib Hasan, air itu saya minum.
Sisanya akan saya simpan. Tapi tiba-tiba kawan-kawan saya ‘menyerbu’, akhirnya
air itu habis diminum kawan-kawan saya,” kisah Habib Husen mengenang masa-masa
awal ia tiba di Hadhramaut.
Banyak kenangan yang diperolehnya saat menimba ilmu di bawah
asuhan para ulama Hadhramaut. Kesempatan selama berada di sana benar-benar tak
disia-siakannya. Selain duduk bersama para ulama untuk menimba ilmu dari
mereka, ia juga kerap mendatangi mereka untuk meminta ijazah, baik sanad maupun
awrad.
Sewaktu di Hadhramaut, selain ijazah dari gurunya sendiri di
Rubath Tarim, yaitu Habib Hasan dan Habib Salim, ia juga mendapatkan ijazah
dari Habib Abdullah Bin Syihab dan Habib Umar Bin Hafidz.
Dua tahun setelah tinggal di Hadhramaut, Habib Husen berniat
untuk pergi menunaikan ibadah haji. Saat itu, ia berangkat dari Hadhramaut. Ada
kejadian aneh yang ia rasakan pada waktu itu. Di depan Ka’bah, saat ia tengah
berthawaf, seseorang mendekatinya dan tiba-tiba memeluk erat dirinya. Ia pasrah
saja.
Sesaat setelah dipeluk, ia heran, orang itu tak lagi
terlihat, tenggelam di lautan massa yang ada di sekitar Ka’bah.
Setelah itu, ia mendapati di kantungnya ada uang 100 riyal.
“Mungkin orang yang tadi itu yang memberikan, tapi kenapa ya dia memberikan
uang itu?” tanyanya dalam hati ketika ia mengisahkan kejadian itu.
Sesaat kemudian, ia teringat, beberapa waktu sebelumnya, ia
baru saja memberi uang 10 riyal untuk seorang musafir yang berasal dari
Indonesia. Ia pun teringat bunyi sebuah hadits Nabi yang bermakna bahwa siapa
berbuat kebajikan, Allah SWT akan membalasnya sepuluh kali lipat.
“Allah SWT memang tak pernah mengingkari janji-Nya,”
gumamnya kemudian.
Jubah Habib Salim
Di Hadhramaut, walaupun tak jarang yang dibaca adalah
kitab-kitab permulaan seperti kitab Safinah an-Najah, karena mereka (para ulama
Tarim) hadir dan duduk di sebuah majelis ilmu bukan hanya untuk ilmu
semata-mata, tapi juga untuk ibadah dan menjalankan perintah Allah, terasa
sekali keberkahannya.
“Inilah keistimewaan ulama-ulama Hadhramaut, berilmu, beramal,
dan tawadhu’. Berbeda dengan sebagian orang yang jika sudah dianggap ustadz
tidak mau lagi mendengar kata-kata orang lain,” kata Habib Husein
membandingkan.
Setelah beberapa tahun lamanya tinggal di Hadhramaut, Habib
Husein berencana untuk pulang ke kampung kelahirannya. Karenanya, ia pun hendak
mendatangi Habib Salim. Untuk berpamitan maksudnya.
Habib Salim mengizinkannya pulang dan bahkan memberikannya
banyak ijazah, sanad, dan wirid. Selain itu, Habib Salim juga memberinya sebuah
jubah. Habib Salim menyuruhnya untuk mencoba mengenakannya terlebih dulu.
Setelah dicoba, ia merasa sangat terkesan. Sebab, sebelum
diserahkan kepadanya, jubah itu dilipat Habib Salim sendiri. Rupanya Habib
Salim ingin sambil mengajarinya melipat jubah. “Begini cara melipat jubah,”
ujar Habib Salim kala itu.
Ia benar-benar merasa terkesan dengan apa yang dilakukan
gurunya itu. Baginya, itu adalah pelajaran yang sangat bermakna. Pelajaran
tentang bagaimana seseorang harus mempunyai semangat untuk idkhalussurur
(menyenangkan hati orang lain) dan juga pelajaran untuk bersikap tawadhu’.
Siapa yang tidak senang? Sudah dikasih hadiah, diberi
penghormatan pula seperti itu oleh orang sebesar Habib Salim? Begitu pula
tentang ketawadhu’an Habib Salim yang ia saksikan langsung. Padahal, saat itu
ada khadamnya dan orang-orang lain yang sewaktu-waktu selalu siap menerima
perintah Habib Salim.
Madinah Ar-Rasul
Setelah pulang dari Hadhramaut, semangatnya dalam mencari
ilmu masih terus terjaga. Ia sempat kuliah dan tahun ini ia baru saja menggondol
gelar sarjana.
Ayah dua putra, M. Mahdi dan M. Nagib, ini kini mulai aktif
mengajar dan berdakwah.
Saat ini ia mengajar di Pesantren Miftahul Muta’allimin
(putra) dan Raudlatul Banat (putri), Babakan Ciwaringin, Cirebon. Ia juga aktif
mengasuh majelis ta’lim di beberapa tempat lainnya. Dan aktivitas utamanya
adalah menjadi pengasuh dalam Majelis Ta’lim wal Maulid Madinah Ar-Rasul, yang
ia dirikan pada tahun 2007.
Madinah Ar-Rasul bermakna Kota Sang Rasul. Nama ini pertama
kali ia dapat ketika masih belajar di Ribath Tarim. Saat ia membaca sebuah
kitab sirah Nabawiyah, matanya tertuju pada sebuah kalimat yang di dalamnya ada
kata-kata “madinatur rasul”.
“Nama ini bagus juga kalau suatu saat saya mendirikan dan
membina sebuah majelis,” pikirnya saat itu kala ia berkisah. Dan kini,
harapannya itu menjadi kenyataan.
Nama itu dipilih Habib Husein dengan harapan bahwa
majelisnya ini akan semakin membumikan ajaran syari’at Rasulullah SAW di bumi
Cirebon.
Sebagai sebuah organisasi, Madinah Ar-Rasul tentu mempunyai
visi. Dan misinya itu adalah mencerdaskan umat, menjaga amalan para salaf, dan
menguatkan ukhuwah Islamiyah.
“Karena, dengan adanya perkumpulan seperti ini, kita dapat
saling mengenal, saling mengunjungi, dan bekerja sama,” kata Habib Husen lebih
lanjut.
Beberapa waktu silam, ketika Habib Salim datang, ia
menyampaikan ke Habib Salim bahwa ia mendirikan majelis dan menamakannya dengan
nama itu.
Habib Salim pun mengatakan, “Jika kita menamai sesuatu
dengan yang mengandung keberkahan, yang dinamai itu juga mendapat keberkahan.”
Pada awalnya, Madinah Ar-Rasul hanya diikuti oleh masyarakat
sekitar. Namun, seiring berjalannya waktu, majelisnya itu kini telah berkembang
ke beberapa daerah, bahkan hingga ke luar Kabupaten Cirebon. Ya, Madinah
Ar-Rasul sudah mempunyai beberapa cabang.
Selain ia sendiri, ia juga mengajak saudara-saudaranya,
seperti kakaknya, Habib Abubakar, yang pernah di Mesir dan Darul Musthafa
Tarim, dan adiknya, Habib Muhammad, yang lulusan Universitas Al-Ahqaf,
Hadhramaut. Rekan-rekannya, baik yang dari Ribath Tarim maupun Darul Musthafa
Tarim, juga kerap mengisi acara di majelisnya tersebut. Dan tak lupa, para kiai
Cirebon dan sekitarnya juga ia ajak turut serta.
Jaminan Penuntut Ilmu
Selama alKisah berbincang dengan Habib Husein, ia banyak
bertutur tentang keistimewaan menuntut ilmu. Di antara yang disampaikannya,
“Allah SWT saja berkata kepada Nabi-Nya, ‘Katakanlah (wahai Muhammad): Ya
Allah, tambahkanlah untukku ilmu.’
Lihat saja, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya supaya
meminta tambahnya ilmu. Ini merupakan bukti bahwa ilmu adalah perkara yang
paling mulia.
Bukan itu saja, bahkan, dengan mencari ilmu, kita akan
mendapat jaminan khusus dari Allah tentang rizqi, sebagaimana dalam atsar
disebutkan, ‘Sesungguhnya Allah menjamin rizqi para pencari ilmu.’
Mengenai hal ini, shahiburratib, Habib Abdullah bin Alwi
Al-Haddad, mengatakan, ‘Ini adalah tanggungan yang khusus bagi pencari ilmu,
sehingga pencari ilmu akan mendapat kemudahan dan dipercepat untuk memperoleh
rizqi dan kekayaan.’
Mencari ilmu juga dapat mencegah matinya hati. Karena,
sebagaimana badan memerlukan makanan, demikian juga hati dan ruh kita.
Contohnya, orang yang dicegah dari makan, minum, dan berobat, tentunya ia akan
mati. Begitu juga hati kita, bila dicegah dari hikmah dan ilmu, cobalah tiga
hari saja, ia pun akan mati. Karena makanan hati adalah hikmah dan ilmu.
Dengan alasan itu saya mengatakan kepada jamaah, ‘Kalau kita
ingin sukses dunia-akhirat, rutinlah mengikuti majelis-majelis ilmu. Di samping
jangan lupa dengan kewajiban-kewajiban yang harus dinomorsatukan, seperti
shalat, puasa, dan seterusnya.’
Jadi, sangat keliru, jika ingin sukses dunia-akhirat, kita
tidak menjaga kewajiban-kewajiban yang Allah tentukan untuk kita dalam urusan
agama.
Perlu pula diingat, sukses itu bukan hanya dari segi yang
zhahir di dunia. Lebih dari itu, kita harus sukses di akhirat. Jadi, belum
pasti orang yang punya kedudukan dan kekayaan di dunia, bahkan orang alim
sekalipun, menjadi orang sukses di akhirat. Karena orang alim pun bisa celaka,
seperti dikatakan dalam kitab Az-Zubad, ‘Orang yang alim yang tidak mengamalkan
ilmunya akan disiksa sebelum para penyembah berhala’.”
Jadi, dengan hadir dalam kegiatan-kegiatan ta’lim dan
dzikir, seperti salah satunya yang diadakan oleh Madinah Ar-Rasul, insya Allah
kita akan sukses dunia-akhirat.
Ismail Yahya
Diposkan oleh Majlis Arrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar