Sesepuh Keluarga Bahsin dan Musawa Assaqqaf
Habib Husein adalah salah satu wali agung yang tinggal di
kota Tarim. Anak cucu Habib Husein inilah yang di kemudian hari dikenal dengan
keluarga Al-Bahsin Assaqqaf dan Al-Musawa Assaqqaf
Habib Husein dilahirkan dan dibesarkan di kota Tarim. Ia
menghafal Al-Qur’an sejak kecil, itu semua berkat bimbingan sang ayah, Habib
Abdurrahman bin Muhammad Ass-Saqqaf, seorang wali besar yang berjuluk
Al-Muqaddam Ats-Tsani Lis Saadaati Ba’alwi (Al-Muqaddam yang kedua setelah
Al-Faqih Al-Muqaddam). Habib Husein juga berguru pada kakak-kakaknya, seperti
Habib Muhammad, Ahmad Abubakar dan Umar Muhdhor.
Generasi ke-23 dari Rasulullah SAW ini dikenal rajin
menuntut ilmu syariat dan lebih mengutamakan ilmu tasawuf. Ia sangat taat dan
gemar melakukan amal-amal kebajikan sampai mendapat derajat kewalian yang
tinggi. Hidupnya lebih banyak menutup diri, ia tidak ingin mengeluarkan dirinya
dan kelebihannya kepada orang lain. Selain itu, ia dikenal sebagai pribadi yang
lemah lembut, bahkan lebih lembut dari angin yang berhembus.
Ia lebih senang bergaul erat dengan para fakir miskin dan
kaum ulama yang mengamalkan ilmu-ilmunya. Ia tidak senang bergaul erat dengan
kaum penguasa dan orang-orang besar, meskipun demikian syafaat ia selalu
diterima baik di kalangan awam maupun kalangan khusus.
Anak cucu Habib Husein inilah yang di kemudian hari dikenal
dengan keluarga Al-Bahsin Assaqqaf dan Al-Musawa Assaqqaf. Perlu diketahui
bahwa panggilan atau julukan keluarga Al-Musawa digunakan untuk menyebut
sejumlah keluarga yang tersebar di seluruh pelosok bumi. Sedangkan keluarga
Musawa tanpa diawali huruf Alif dan Lam termasuk dari anak cucu Shahib Mirbath,
mereka ada dua keluarga yakni keluarga Musawa dan Musawa Assaqqaf.
Keluarga Musawa Assaqqaf adalah keluarga Abubakar As-Sakran,
kakek penghimpun mereka adalah Sayid Ahmad Al-Musawa ibnu Muhammad ibnu Ahmad
Abubakar As-Sakran. Adapun keluarga Musawa yang ada di Hiridz, Wa’lan, Ribath
dan Dzaihan bermukim di sekitar Tihamah Yaman dan Zubaid. Mereka adalah anak
cucu Nabi dari keturunan Hasan dan Husain. Ada pun kakek penghimpun mereka
adalah Sayid Al-Musawa ibnu Thohir ibnu Al-‘Athifah ibnu Al-Musawa ibnu Yahya
ibnu Zakariah ibnu Hasan ibnu Dzarwah ibnu Yahya ibnu Daud Abdurrahman ibnu
Abdillah ibnu Sulaiman ibnu Ubaidillah ibnu Musa Al-Juun ibnu Abdillah
Al-Mahedz ibnu Hasan ibnu Mutsanna ibnu Al-Hasan As-Sibth Al-Imam Ali ibnu Abi
Thalib.
Dari mereka bercabang keluarga Al-Anbari, diantaranya adalah
Sayid Thohir ibnu Ahmad Al-Musawa ibnu Yahya ibnu Al-Qadhi Abdullah ibnu
Al-Anbari ibnu Yahya Al-Musawa dan seterusnya sampai nasab Husein bin
Abdurrahman Assaqqaf. Di Kota Madinah ada juga dari keluarga Al-Musawa, yang
mereka pindahan dari Yanbu’ ke Madinah lebih dari 50 tahun yang lalu. Kakek
mereka adalah Muhammad ibnu ‘Iwadhillah ibnu Abdul Mu’thi ibnu Faris Al-Musawa,
diantara mereka adalah seorang pemuda Ahmad Al-Musawa. Guru mereka adalah
Rajaallah ibnu Faris Al-Musawa.
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan,
keluarga Assaqqaf merupakan keluarga terbesar dalam jajaran Ba’alwi. Tidak
sedikit anak cucu Assaqqaf. Tidak sedikit anak cucu Assaqaf yang menyandang
gelar lain sebagai ganti dari keluarga Assaqqaf, misalnya kleuarga Alaidrus,
Syihabuddin, Asy Syeikh Abubakar ibnu Salim, Alatas, Al-Hadi, Al-Baiti,
Al-Zahir, Ba’aqil dan keluarga-keluarga lain yang kesemuanya itu menurun dari
keluarga Assaqqaf.
Sebagaimana ayahnya, yakni Habib Abdurrahman bin Muhammad
Ass-Saqqaf, Habib Husein bin Abdurrahman Ass-Saqqaf juga memakmurkan dua
majelis dzikir di Masjid Assaqqaf dalam setiap minggunya, yakni pada malam
Senin dan malam Kamis selepas shalat Isya’. Kedua majelis dzikir itu memang
biasa mengumandangkan bait-bait puisi kaum sufi dengan iringan terbang dan
seruling. Bahkan sepeninggalnya, tradisi itu dipimpin oleh salah satu putra
Habib Husein, yakni Habib Ahmad bin Husein Alaydrus. Habib Ahmad ibnu Husein
bahkan sering mendatangkan para pembaca puisi dari Mesir dan dari belahan
negeri mana pun untuk menyemarakan suasana majelis dzikir.
Setiap diadakan majelis dzikir selalu diikuti oleh suara
seruling, jumlah peniup seruling ada tujuh orang. Para pembaca puisi dan peniup
seruling dari Mesir itu kemudian menetap di kota Tarim. Mereka menurunkan anak
cucu yang juga meneruskan tradisi (pekerjaan) dari kakek-kakek mereka secara
turun temurun, yakni tampil di majelis dzikir dua kali dalam seminggu dan sudah
berlangsung hampir 600 tahun lebih.Habib Husein selalu mengamalkan amal-amal
kebajikan dan ketaqwaan sampai akhir hayatnya. Ia wafat di kota Tarim pada
tahun 892 H dan dimakamkan di pekuburan Zanbal, Tarim.
Dikutip dari : http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com
Diposkan oleh Majlis Arrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar