Kelahiran Purwakarta
Ayah Habib Ali, Habib Ja'far bin Ahmad Alaydrus, datang ke
Singapura dari Purwarkarta dan menetap di Negeri Singa itu selama beberapa
tahun pada dekade tahun 1930-an dan tinggal di Lorong 30 Geylang. Habib Ja'far
kembali ke Hadhramaut pada tahun 1938. la wafat pada tahun 1976 di kota Tarim.
Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Zanbal, berdekatan dengan makam datuknya,
Habib Abdullah Alaydrus.
Berdasarkan kisah yang disampaikan Habib Abdul Qadir bin
Ahmad Assegaf Jeddah, ketika ayah Habib Ali ini masih dalam kandungan ibunya,
kakeknya, Habib Abdul Qadir bin Salim, berkata kepada istrinya, Hababah Aisyah
Assegaf, jika putranya Ahmad dikaruniai anak laki-laki, akan ia namai
"Salim", mengikut nama orangtua Habib Abdul Qadir sendiri. Namun
istrinya, Hababah Aisyah, tidak setuju dengan usulan itu dan ia ingin
menamainya Ja'far, mengikuti nama datuk sang istri, Habib Ja'far bin Ahmad bin
Ali bin Abdullah Assegaf. Mendengar usulan sang istri, Habib Abdul Qadir
mengatakan, ia bersedia menamainya "Ja'far" sekiranya tampak nyata
kelebihan yang ada pada diri anak itu kelak. "Baik, kamu akan lihat
kelebihannya, giginya akan tumbuh sebelum waktunya," kata. Hababah Aisyah
saat itu. Habib Abdul Qadir menimpali kembali, "Kalau memang demikian, aku
akan sembelih tujuh ekor kambing." Pada saatnya, benar saja, yang terlahir
adalah seorang anak laki-laki. Dan tiba hari ketujuh, hari untuk
menyelenggarakan aqiqah sekaligus untuk memberikan nama pada sang anak,
nyatalah apa yang dikatakan Hababah Aisyah. Gigi si cucu mulai terlihat. Maka,
sang cucu pun dinamai "Ja'far".
Habib Ja'far kemudian tumbuh dewasa dalam lingkungan
keluarga yang shalih dan 'alim. la juga kemudian dikenal sebagai seorang alim
pada masanya. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah termasuk yang
ber-istifadah (mengambil faidah ilmu) darinya. Di antara karyanya, Habib Ja'far
meninggalkan sebuah diwan (kumpulan qashidah) yang kini telah dicetak oleh
penerbit Darul Ushul, Yaman. Habib Ja'far bin Ahmad mempunyai 10 putra, yakni
Abdullah, Abdul Qadir, Ali, Salim, ldrus, Thaha, Ahmad, Abubakar, Thahir, dan
Alwi, serta beberapa putri. Diantara putri Habib Ja'far yang masih hidup pada
saat ini adalah adik Habib Ali yang bernama Syarifah Gamar. Mungkin tak banyak
orang yang tahu bahwa Habib Ali Batu Pahat ini kelahiran Nusantara tepatnya di
Purwakarta, Jawa Barat, pada tahun 1919. Sebagian keluarganya saat ini juga
masih berada di sana.
Tahun 1926, yaitu saat berumur tujuh tahun, ia tiba di
Singapura. Tapi hanya sebentar, lalu ia kembali lagi ke Indonesia. Tahun 1929,
untuk kedua kalinya ia datang ke Singapura dan kemudian menetap di sana hingga
tahun 1942. Di Singapura, ia tinggal bersama ayah dan kakaknya, Habib Abdul
Qadir bin Ja'far Alaydrus, di sebuah rumah di Arab Street. Ketika itu sang
kakak baru datang dari Hadhramaut. Berdasarkan cerita yang
pernah disampaikan Habib Ali sendiri, kedatangan sang kakak
mendapat sambutan yang amat hangat dari penduduk Singapura pada saat itu. Habib
Abdul Qadir sendiri wafat di Purwakarta dan dimakamkan di sana.
Tahun 1942, Habib Ali hijrah ke Batu Pahat, Johor, Malaysia.
Semasa hidupnya di negeri rantaunya yang baru ini, Habib Ali menjadi tempat
mengadu berbagai permasalahan banyak orang.
Tempat Ziarah para Ulama
Semasa hidupnya, Habib Ali menjadi tempat mengadu berbagai
permasalahan banyak orang. Mereka yang berasal dari Nusantara dan negara-negara
Arab, apabila berkunjung ke Malaysia, akan meluangkan waktu untuk
mengunjunginya, demi mendapatkan mutiara nasihat dan keberkahan dari sosok yang
jiwa dan raganya ini senantiasa bergantung kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Di antara petuah yang pernah ia sampaikan, "Allah SWT
adalah Sang Khaliq. Manusia hanyalah makhluk. Maka, manusia harus mematuhi apa
pun perintah Sang Maha Pencipta. Bukan Sang Maha Pencipta yang mematuhi
perintah manusia." Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, bila berkunjung ke
Malaysia, pun kerap menziarahi Habib Ali di Batu Pahat. Pada perjumpaan
terakhirnya dengan Habib Ali,
Al-Maliki mengatakan, ia meyakini bahwa Habib Ali adalah
seorang yang diberi anugerah besar dari sisi Allah di negeri rantaunya ini.
Sebelum pulang, Sayyid Muhammad Al-Maliki pun mengarang sebuah qashidah
untuknya yang menggambarkan sifat-sifat mulia Habib Ali bin Ja'far Alaydrus.
Pernah suatu kali Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki
rahimahullah berkunjung pada beliau, sepanjang jalan Sayyid Muhammad berbicara
tentang rindunya pada Rasulullah saw, maka ketika sampai di kediaman beliau,
maka semua tamu tidak diperkenankan masuk, kecuali Sayyid Muhammad Al Maliki,
mereka masuk berdua cukup lama, lalu keluarlah Sayyid Muhammad Al Maliki dengan
airmata yang bercucuran.., seraya berkata : "hajat saya sudah terkabul…
terkabul.., sambil menutup wajah beliau dengan linangan air mata."
Diantara Ulama yang pernah mengunjungi dan bersilaturrahmi
kepada beliau antara lain, Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Semith dari Madinah,
Al-Habib Salim bin Abdullah Asy-Syatiri (Hadhramaut), Al-Habib Umar bin Hafidh
(Hadhramaut), Al Habib Anis bin Alwi Al Habsyi dari Solo dan tokoh habaib dan
ulama lainnya.
Tenggelamnya sebuah Bintang
Pada hari Kamis, 13 Mei 2010/28 Jumadil Ula 1431 H, sore
menjelang maghrib, atau tepat 40 hari setelah Habib Abdul Qadir wafat sekitar
pukul 17.10 atau 17.15 petang waktu setempat Al-Habib Ali wafat. Syed Ibrahim
dan Syed Ja'far, keduanya cucu Habib Ali, dari putranya yang bemama Syed
Husein, disampingnya ketika itu. Hari wafatnya ini menjelang lima hari sebelum
haul ayahandanya, Habib Ja'far bin Ahmad, yaitu pada 3 Jumadil Akhirah.
Dari saat Habib Ali wafat waktu dimandikan keesokan harinya,
jenazahnya tak putus-putus dikunjungi ribuan manusia dari segala penjuru dan
lapisan masyarakat, terutama dari Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Di antara
yang hadir menyampaikan ta'ziyahnya pada saat itu adalah Syed Hamid bin Ja'far
Al-Bar, mantan menteri luar negeri dan menteri dalam negeri Malaysia. Begitu
juga bacaan Al-Quran, Yaasin, dan tahlil tak putus-putusnya dibacakan hingga
jenazahnya usai dimandikan oleh keluarga sekitar pukul 09.30, Jum'at pagi.
Karena begitu banyaknya penta'ziyah yang datang untuk dapat
menghadiri prosesi shalat Jenazah, akhirnya jenazah Habib Ali dishalatkan
sebanyak dua kali. Pertama, sebagaimana wasiatnya, dishalatkan di dalam rumah,
yang diimami oleh Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Alaydrus, dan kedua di
luar rumah, dengan imam Habib Hasan bin Muhammad bin Salim Al- Attas.
Jenazahnya kemudian dimakamkan
sebelum shalat Jum'at, 29 Jumadil Ula 1431 H/14 Mei 2010, di
Tanah Pekuburan Islam Bukit Cermai, Batu Pahat, Johor, Malaysia. Habib Umar bin
Hamid AI-Jilani dari Makkah yang membacakan talqin pada saat itu. Habib Ali bin
Ja'far Alaydrus meninggalkan seorang putri bernama Syarifah Khadijah dan tiga
orang putra, yaitu Syed Muhammad, Syed Umar, dan Syed Husein.Semoga ketabahan
dan ketawakalan mengiringi hati keluarga dan para pecintanya atas kepergian
sosok yang amat mereka cintai dan muliakan ini.
Ulama adalah pewaris para nabi. Kepada para pewarisnya itu,
Nabi SAW tidak mewariskan harta, tetapi beliau mewariskan ilmu kepada mereka,
yang nilainya melebihi bilangan harta, seberapa pun besarnya. Siapa yang
mengambil ilmu mereka, dia telah mengambil harta yang amat bernilai. Oleh
karenanya, wafatnya seorang ulama adalah musibah yang sulit tergantikan dan
satu kelemahan yang susah ditutupi. Wafatnya seorang ulama ibarat sirnanya
sebuah bintang di antara gugusan bintang- bintang lainnya. Rasulullah SAW
mengatakan, "Sesungguhnya wafatnya satu kabilah lebih
ringan musibahnya dibandingkan atas wafatnya seorang yang alim." (HR Abu
Dawud, At Tirmidzi, Ibn Majah, dan Al-Bayhaqi).
Kini Habib Ali telah tiada. Dengan segala kemuliaannya, ia
telah berada di sisi Sang Khaliq. Tinggal kita semua yang saat ini telah
ditinggalkannya. Kita yang masih banyak bergelimang dengan dosa. Semoga Allah
SWT senantiasa memberikan hidayah di atas jalan hidup kita, mengampuni kita
atas dosa-dosa kita, dan mengumpulkan kita kelak di surga-Nya bersama orang-
orang yang kita cintai.
Diposkan oleh Ahmad Irfani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar