Antara Cinta Asmara dan Cinta Allah
Sejak muda ia sudah bertobat dan mendapat pencerahan cahaya
Ilahiah. Wali yang doanya makbul ini juga dikenal sebagai ahli hadits dan
hartawan yang dermawan.
Suatu hari, anak muda itu tergila-gila kepada seorang gadis.
Iapun terus menerus dirundung gundah gulana yang sangat dalam. Ia memuja dan
mendambakan kekasih hatinya. Setiap detik selalu teringat si jantung hati.
Suatu malam, di musim dingin, ia berdiri di bawah jendela kamar sang kekasih,
menunggu sang pujaan. Ia rela berlama-lama di situ sekedar untuk menatapnya
walau hanya sekejap. Butiran-butiran salju yang membasahi bajunya tak
membuatnya gentar, ia tetap saja termangu sepanjang malam, menunggu si pujaan
hati menampakkan parasnya.
Sesaat terdengar alunan azan yang memecah keheningan hari
yang beranjak menjadi malam. Dingin dan senyap. Tapi justru saat itulah
cintanya melampaui ruang dan waktu. Mengalahkan dinginnya malam. Tak terasa ia
sudah berjam-jam terpaku di sana. Dan ketika terdengar lagi alunan azan
membelah keheningan malam. Ia mengira waktu sudah masuk Isya, tapi beberapa
saat kemudian sang surya mulai menampakkan diri, dan cahayanya memancar ke
segala penjuru bumi.
Saat itulah ia baru sadar betapa ia sudah begitu terlena
gara-gara mendambakan asmara. Dan tiba-tiba ia pun menyesal karena telah
menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.
“Wahai putra Mubarak yang tak tahu malu! Di malam yang
begitu dingin engkau dapat tegak terpaku sampai pagi hari hanya untuk memuaskan
hasrat pribadimu. Tapi bila seorang imam membaca surah yang panjang, engkau
malah gelisah bahkan kesal,” begitu bisik hatinya.
Maka sejak saat itu ia merasa seakan-akan telah mendapatkan
cahaya Ilahi yang menyejukkan hati, dan sejak itu pula ia bertobat dan
menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah SWT. Tidak ada waktu luang yang
tak diisinya dengan ibadah. Suatu hari, ketika memasuki taman di sekitar
rumahnya, ibunya melihat anaknya itu sedang tertidur di bawah serumpun bunga
mawar, sementara seekor ular dengan bunga narkisus di mulutnya mengusir lalat
yang hendak mengusik pemuda alim dan saleh itu.
Nama lengkap pemuda itu Abu Abdurrahman Abdullah bin
Al-Mubarak Al-Handhali Al-Marwadhi. Ia lahir di Merv, Persia (Iran) pada 118 H
/ 736 M dari seorang ayah keturunan Turki dan ibu berdarah Persia. Setelah
bertobat, Abdullah bin Al-Mubarak meninggalkan Merv untuk berguru pada beberapa
Syekh di Baghdad dan Mekah. Beberapa tahun kemudian ia pulang kembali ke Merv,
disambut oleh warga kota dengan sangat hangat. Ia memang sosok ulama yang dapat
diterima oleh semua kalangan, khususnya dua kelompok yang selalu bersilang
pendapat: kelompok Sunnah dan Kelomok fikih.
Di kota kelahirannya itu, ia mendirikan dua sekolah tinggi,
yang satu untuk golongan Sunnah dan satu lagi untuk golongan Fikih.
Biji Kurma
Belakangan ia kembali ke Hijaz dan Mekah dan menetap untuk
kedua kalinya. Di Mekah selain menunaikan ibadah haji, juga berdagang,
keuntungannya selalu ia bagikan kepada para pengikutnya dan fakir miskin. Ia
biasa membagi-bagikan kurma kepada orang-orang miskin dan menghitung biji kurma
yang mereka makan. Mereka yang makan kurma yang paling banyak diberi hadiah
satu dirham untuk setiap biji.
Al-Mubarak dikenal sebagai manusia yang selalu menjaga
setiap amal perbuatannya dan selalu berusaha menjaga kesalehan.
Suatu ketika ia bepergian dari Merv ke Damaskus hanya untuk
mengembalikan sepucuk pena yang ia pinjam dari sahabatnya, yang ia lupa
mengembalikannya. Di lain waktu ia pergi ke masjid untuk shalat, sementara kudanya
yang mahal ia tambatkan di depan masjid. Setelah shalat, kudanya hilang.
Ia pun bertanya kepada seseorang di pelataran masjid,
“Apakah engkau melihat kudaku?” jawab orang itu, “Tadi kulihat kudamu menerobos
ke sebidang ladang Gandum.”
Ia pun lalu meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.
Dalam hati ia bergumam, “Kudaku pernah mengganyang gandum di kebun orang,
biarlah si kuda itu diambil si pemilik kebun sebagai pengganti dari gandum yang
dimakannya.”
Pada kesempatan lain, Al-Mubarak melewati sebuah daerah yang
penduduknya sudah mengenal kesalehannya. Mendengar kabar kedatangan Al-Mubarak
itu warga berduyun-duyun menyambutnya. Seorang anak muda mengabarkan hal itu
kepada seorang buta, “Mintalah kepadanya segala sesuatu yang engkau butuhkan.”
Si buta pun menunggu di depan rumahnya. “Beri tahu aku kalau
Al-Mubarak sudah melintas di depan rumah,” katanya kepada si pemuda. Tak lama
kemudian, ia mendengar langkah seseorang, “Dialah Al-Mubarak, bisik si pemuda
kepada si buta.
“Wahai Al-Mubarak, berhentilah sejenak!” seru si buta.
“Bisakah engkau menolongku? Berdoalah kepada Allah SWT untuk mengembalikan
penglihatanku ini,” pintanya. Sejenak Al-Mubarak menundukkan kepala lalu
berdoa. Beberapa saat kemudian, si buta bisa melihat kembali. “Demi Allah, aku
tidak akan melupakan jasamu,” kata si buta terkaget-kaget dan tak
henti-hentinya bersyukur.
Ketika bermukim di Mekah, Al-Mubarak pernah gelisah. Usai
menyempurnakan ibadah haji ia kelelahan hingga tertidur lelap. Ia bermimpi
melihat dua malaikat turun dari langit dan berbincang-bincang. “Berapa orangkah
yang menunaikan ibadah haji tahun ini?” tanya salah satu malaikat itu. “Enam
ratus ribu orang,” jawab yang satu. “Tidak seorang pun!” jawab yang lain.
Mendengar perbincangan itu, Al-Mubarak gemetar.
“Bukankah mereka telah datang dari seluruh pelosok negeri
yang jauh, rela melewati lembah curam dengan susah payah, bahkan ada yang
melintasi padang pasir yang panas. Tapi semua itu sia-sia?” lanjut malaikat
yang satu.
“Ada seorang tukang sepatu di Damaskus bernama Ali bin
Al-Muwaffiq. Ia tidak datang ke Baitullah, tapi ibadah hajinya diterima dan
segala dosanya dihapuskan oleh Allah SWT,” sahut malaikat satunya. Mendengar
penjelasan itu, Al-Mubarak kaget dan terjaga dari tidurnya. “Aku harus ke
Damaskus menemui Ali bin Muwaffiq,” katanya dalam hati.
Keesokan harinya ia berangkat ke Damaskus. Sampai di sana ia
bertanya kepada setiap orang tentang keberadaan Ali bin Al-Muwaffiq. Salah
seorang penduduk menunjuk seorang tukang sepatu. Dialah Ali Al-Muwaffiq. Maka
Al-Mubarak mengisahkan perihal mimpinya. Lalu ia pun mendesak agar Ali Muwaffiq
menceritakan apa yang telah ia kerjakan sehingga ibadah hajinya diterima oleh
Allah padahal tidak berangkat ke tanah suci.
Maka berceritalah Ali Muwaffiq.
“Telah 30 tahun lamanya aku bercita-cita menunaikan ibadah
haji. Dari membuat sepatu aku berhasil menabung uang 350 dirham, aku bertekad
akan ke Mekah pada tahun ini juga, kebetulan ketika itu istriku sedang mengidam
dan mencium bau makanan dari rumah sebelah, ia mendesak agar aku minta makanan
itu sedikit. Akupun pergi ke rumah sebelah untuk minta sedikit makanan yang
baunya sedap itu.”
Tapi tetangga itu menangis. “Tiga hari lamanya anak-anakku
tidak makan. Dan siang tadi aku melihat ada seekor keledai tergeletak mati,
maka aku pun menyayat dagingnya sekerat, lalu memasaknya,” tuturnya lirih. Ali
Muwaffiq sedih mendengar cerita itu. “Makanan ini tidak halal, tunggulah
sebentar!” ujar Ali. Lalu ia mengambil tabungannya sebanyak 350 dirham itu dan
menyerahkan semuanya kepada sang tetangga. “Gunakanlah uang ini untuk
anak-anakmu,” pesannya.
Al-Mubarak terkesima. “Malaikat itu telah berbicara dengan
sebenar-benarnya di dalam mimpiku. Dan penguasa kerajaan surga benar-benar adil
dalam pertimbangan-Nya,” katanya sambil bertasbih.
***
Abdullah mempunyai seorang budak. Ada yang memberitahukan
kepada Abdullah bahwa budaknya itu sering menjarah mayat dan memberikan hasil
jarahannya kepada Abdullah.
Informasi ini membuat Abdullah sedih. Suatu malam ika
mengikuti jejak kaki budaknya itu. Ternyata benar si budak itu berjalan menuju
ke sebuah pemakaman dan melihat sebuah liang kosong. Di sana terdapat sebuah
mihrab di mana budak itu mendirikan shalat. Abdullah menyaksikan semua apa yang
dilakukan budaknya itu dari kejauhan. Ia perlahan mendekat. Ia melihat budaknya
mengenakan pakaian yang terbuat dari karung dan memakai kerah di lehernya. Sang
budak menggosok-gosokkan wajahnya ke tanah, ia meratap. Melihat hal ini,
Abdullah melangkah menjauh, menangis dan duduk di sebuah sudut pemakaman itu.
Sang budak itu tetap di sana hingga fajar, kemudia ia keluar
dan menutup liang kuburan itu, lalu menuju ke masjid dan berdoa disana. “Ya
Allah,” pekiknya, “Pagi hari telah tiba, tuan fanaku akan meminta uang padaku.
Engkaulah Yang Maha Kaya, karuniakanlah padaku dari apa yang Engkau ketahui.”
Tiba-tiba seberkas cahaya bersinar dari langit, lalu ada
uang satu dirham jatuh ke tangan sang budak. Abdullah tidak sanggup melihatnya
lagi, ia bangkit, lalu memeluk kepala sang budak itu dan menciuminya. Ia
berkata, “Semoga seribu orang yang hidup menjadi tebusan bagi seorang budak
seperti ini! Engkaulah tuan, bukan aku.”
“Ya Allah,” pekik sang budak yang menyadari apa yang telah
terjadi, “Kini selubungku telah terbuka dan rahasiaku telah tersingkap, tak ada
lagi ketenangan yang tersisa bagiku di dunia ini. Aku memohon kepada-Mu dengan
kekuatan dan kemuliaan-Mu, jangan biarkan aku menderita karena menjadi sebab
ketergelinciran. Ambillah jiwaku.”
Kepalanya masih berada dalam dekapan Abdullah saat ia
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Abdullah membaringkannya dan
mengafaninya, kemudian menguburkannya di liang yang sama dan masih mengenakan
pakaian karung yang sama.
Selain dikenal sebagai ulama, dan waliyullah, Al-Mubarak juga
seorang ahli hadits yang terkemuka. Selain itu, iapun ahli dalam berbagai
cabang ilmu pengetahuan, antara lain sastra dan tata bahasa. Bukan hanya itu.
Ia juga dikenal sebagai saudagar yang dermawan, sering memberi bantuan kepada
fakir miskin. Wali yang alim ini wafat pada 181 H / 797 M di Kota Hit, Irak,
sebuah kota kecil yang indah di tepi sungai Euphrat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar