Penyair Sufi yang Mengetahui Hari Kematiannya
Musim panas, musim dingin, dan musim semi akan berlalu. Kita
pasti akan jadi tanah dan debu
Nama lengkapnya Nuruddin Abdurrahman Al-Jami. Dia adalah
satu di antara sejumlah orang genius dari negeri Persia. Lahir di Kharjad pada
1414 M (817 H) dan wafat di Heart pada 1492 M (898 H). Sebelum populer dengan
sebutan Al-Jami, dia bergelar Ad-Dasyti, karena ayahnya, Nizamuddin, berasal
dari Dasyt, dekat Kota Isfahan. Sejak berusia muda, Al-Jami sudah menunjukkan
sifatnya yang istimewa. Ia mudah menguasai pelajaran yang diberikan kepadanya.
Ia pandai berbicara dan berargumentasi. Salah satu di antara para ulama yang
pernah menjadi guru atau pembimbingnya adalah Syekh Sa’aduddin Al-Kasygari,
murid sekaligus Khalifah Syekh Bahaudiin Naqsyabandi. Berkat potensinya yang
besar dan ketekunannya belajar dan menulis, ia berkembang menjadi sufi besar
dan sekaligus menjadi penyair besar yang berpengetahuan luas.
Kebesaran dan kemasyhuran nama Al-Jami tidak hanya bergema
di kawasan Persia, tetapi juga mencapai Turki Usmani. Disebutkan pada suatu
waktu ia berada di Damaskus, mencari utusan Sultan Turki Usmani yang bermaksud
mengundangnya ke Istana dan telah menyiapakan hadiah baginya. Karena tidak
tertarik pada undangan itu, Al-Jami segera meninggalkan Kota Damaskus.
Para sarjana masih bisa melihat kebesaran Al-Jami melalu
karya-karya tulisnya yang menurut satu sumber berjumlah 46 buah, tapi menurut
sumber lain tidak kurang dari 90 buah buku dan risalah. Kebanyakan karya
tulisnya berbicara dalam bidang tasawuf, tapi bidang-bidang lain juga tidak
luput dari perhatiannya. Ia menulis komentar tafsir atas sejumlah surah dalam
Al-Qur’an, komentar terhadap 40 hadis dan hadis-hadis yang riwayatkan oleh Abu
Dzar Al-Ghifari
Karya-Karyanya
Ia menulis tentang biografi Nabi Muhammad, bukti-bukti
tentang kenabiannya, tentang biografi para sufi dan pengajaran mereka tentang
para penyair, raja-raja, puisi, Musik, dan tata bahasa Arab. Di antara
karyanya, yang berbentuk prosa adalah Nafahat Al-Uns (hadiah-hadiah
persahabatan), yang menyajikan biografi dan pengajaran para sufi. Juga Lawami’
(percikan cahaya-cahaya), yang merupakan komentar terhadap karya Ibnu Arabi.
Kendati kemasyhuran Al-Jami’ lebih bersandar pada
kehadirannya sebagai penyair besar, perannya sebagai juru bicara tasawuf aliran
Wahdatul Wujud, manunggaling Kawula Gusti, bersatunya Makhluk-Khalik, tidak
kalah pentingnya. Satu di antara banyak masalah tasawuf yang dijelaskan oleh
AL-Jami’ adalah masalah yang berkaitan dengan manusia. Menurutnya, Nafs atau
jiwa manusia, sebagai unsur atau prinsip yang menghidupkan tubuh manusia,
memiliki potensi untuk mencapai sejumlah tahap kesempurnaan yang berbeda.
Dengan melewati tahap demi tahap, jiwa itu akan semakin dekat dan menyatu
dengan Tuhan.
Tingkatan Jiwa
Jiwa pada tahap paling rendah disebut Nafs Amarat, yakni
nafs yang terus menerus mendorong kepada hal-hal yang buruk dan rendah. Setelah
melalui latihan spritual, jiwa meningkat menjadi Nafs Lawwamat, yakni jiwa yang
mampu mencela kekurangan-kekurangan dirinya sendiri. Bila di tingkatkan lagi,
jiwa itu akah sampai kepada puncak kesempurnaannya, itulah Nafs Mutmainnat,
yakni jiwa yang tentram, damai, dan bahagia. Manusia yang memiliki jiwa yang
sempurna itu disebut juga manusia sempurna atau Insan Kamil.
Mengenai manusia sempurna ini, Al-Jami’ sebenarnya
memberikan penjelasan yang cukup
panjang. Manusia sempurna dalam kajian penganut Wahdatul Wujud bukan saja
mengacu pada sejumlah kecil individu yang pernah hidup dimuka bumi ini dan
memiliki jiwa yang paling sempurna namun juga mengacu pada ciptaan Allah yang pertama, yang bersifat Spritual
dan merupakan bentuk awal segenap alam semesta.
Dari banyak munajatnya yang indah kepada Allah, dia berkata,
“Ya Rabbi, ya Tuhanku, jauhkanlah kami dari perbuatan menghabiskan waktu untuk
perkara-perkara kecil yang tidak berguna. Tunjukkanlah kepada kami segala
perkara menurut hakekatnya. Angkatlah dari batin kami selubung ketidaksadaran.
Janganlah diperlihatkan kepada kami barang yang tidak nyata sebagai barang yang
ada. Janganlah Kau biarkan bayang-bayang menutup batin kami, sehingga kami
tidak dapat melihat keindahan-Mu. Jadikanlah bayang-bayang ini sebagai kaca
yang melalui batin kami untuk menyaksikan-Mu.”
Pada bagian lain dia berkata, “Sang kekasih menyeru dari
kedai minuman, datanglah lalu berilah aku anggur cinta, cawan demi cawan.
Kubebaskan diriku dari belenggu logika dan nalar. Lalu kumulai meratap dan
menangis untuk bersatu.”
Dalam tahun terakhirnya ia melihat visi tentang kematiannya,
dan sering melantunkan bait syair berikut:
Adalah memalukan
Bahwa hari-hari berlalu tanpa kita
Bunga-bunga akan mekar dan musim semi akan tiba
Musim panas, musim dingin, dan musim semi
Akan berlalu
Dan kita pasti akan menjadi tanah dan debu.
Tahu Kematiannya
Beberapa hari sebelum kematianya, Al-Jami’ mengunjungi
beberapa desa tetangganya. Sekali waktu ia pergi ke sebuah desa yang tidak
diperhatikannya secara khusus, meskipun ia tinggal di sana cukup lama.
Murid-muridnya yang merasa khawatir segera pergi kesana. Ia berkata kepada
mereka, “Kita harus memutuskan tali Ikatan.”
Tiga hari sebelum kematiannya, ia memanggil beberapa murid
dekatnya dan berkata kepada mereka, “Jadilah saksiku bahwa aku sama sekali
tidak punya ikatan dengan apapun dan dengan siapa pun.”
Pada hari jumat pagi, ketika fajar menyingsing, ia merasa
bahwa kematiannya akan tiba. Ia melakukan salat dan kemudian duduk melakukan
dzikir. Di tengah hari ia pun wafat.
Ada sebuah kisah jenaka dituturkan mengenai saat kematian
Al-Jami’.
“Para sufi yang sangat sedih mengetahui bahwa ia akan segera
wafat, berkumpul di rumahnya, sebagian menangis pelan-pelan, sementara sebagian
yang lain sibuk melantunkan dzikir, tetapi ada salah seorang yang membaca
Al-Qur’an dengan suara keras dan mengganggu yang lain, akhirnya Al-Jami’
mengangkat kepala dan berkata, “Demi Allah aku akan mati jika engkau tidak
menghentikan keributanmu!”
Sebagai seorang penulis serba bisa, ia meninggalkan warisan
berupa 81 buku tentang berbagai macam pokok bahasan. Diantaranya, koleksi
puisi, uraian atas karya-karya Ibnu Arabi dan Haft Aurang, sebuah koleksi tujuh
kisah dalam bentuk Matsnawi, kumpulan puisi.
Dari ketujuh cerita itu yang paling terkenal adalah kisah
Yusuf dan Zulaikha. Episode tentang penggodaan atas Yusuf, oleh istri
majikannya yang bernama Zulaikha, menjadi kisah cinta yang sangat menyentuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar