Minggu, 01 Desember 2013

Abu Bakar Al-Kattani

Ulama dan Sejarawan Pelita Masjidil Haram
Sepanjang hidupnya ia beribadah di Masjidil Haram, mimpi didamaikan dengan Ali bin Abi Thalib oleh Rasulullah SAW

Pada abad IV H, ada seorang ulama besar yang mendapat julukan “Pelita Masjidil Haram”. Masjid yang megah dan selalu diterangi lampu-lampu sepanjang siang dan malam itu, semakin semarak dengan hadirnya “Sang Pelita”. Ia adalah Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ja’far Al-Kattani – yang setiap hari salalu membaca dan mengkhatamkan Al-Qur’an.

Lahir di Baghdad, awalnya ia pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, tapi kemudian menetap disana hingga wafat pada 322 H / 934 M. dan selama 30 tahun menetap di Mekah, ia dikenal sebagai ulama yang tidak pernah tidur.

Setiap hari ia duduk di bawah pancuran air dalam Masjidil Haram, dan selama itu pula ia cukup berwudlu sekali dalam 24 jam. Setiap kali tawaf di Ka’bah, konon, ia sempat membaca 20 ribu ayat.

Niat menunaikan ibadah haji sudah terbersit di hatinya sejak masih remaja. Maka ia pun minta izin kepada ibunya, tapi ditolak. Lantaran Al-Kattani mendesak terus, akhirnya hati orang tuanya luluh juga, maka keesokan harinya ia pun berangkat. Dalam perjalanan melintasi padang pasir, Al-Kattani merasakan kelelahan yang luar biasa. Ia pu mendirikan tenda lalu tidur. Namun tak lama kemudian, ia terbangun. Ada perasaan ganjil yang dirasakannya. “Mungkin ini sebuah isyarat agar aku kembali,” katanya dalam hati.

Keesokan harinya, Al-Kattani kembali pulang kampung. Sampai di rumah, ia mendapati ibunyal-qurana duduk termenung menantinya di balik pintu. “Bukankah ibu telah mengizinkan aku pergi? Tanyanya.

“Ya, memang, tapi tanpa engkau, aku tidak sanggup melihat rumah ini lagi. Sejak engkau pergi, aku duduk di sini, bertekad tidak akan beranjak dari sini sebelum engkau pulang kembali,” tutur sang ibu lirih.

Hal ini membuat Al-Kattani sedih. Ia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan meninggalkan ibunya seorang diri, dan akan selalu berbakti kepadanya. “Itulah sebabnya, sebelum ibuku wafat, aku tidak mau mengarungi padang pasir lagi,” katanya.

Selain di kenal sebagai ulama dan waliyullah, ia juga dikenal sebagai sejarawan. Ia paham benar sejarah Islam. Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat, Tabi’in, hingga tokoh-tokoh sesudahnya. Ia begitu mengagumi kesalehan mereka. Tapi ada seorang sahabat yang kurang disenanginya, yaitu Ali bin Abi Thalib.

Katanya, “Nabi pernah bersabda, tidak ada kasatria sejati selain Ali, dan karena kekesatriaannya itulah, Ali menyerah kepada Muawwiyah demi menghindari pertumpahan darah. Padahal ketika itu, Muawiyah di pihak yang salah, sedangkan Ali di pihak yang benar.”

Ditemui Nabi Khidir

Namun, beberapa tahun kemudian, ia disadarkan dalam sebuah mimpi yang menggugah hatinya. Seperti biasanya, ia tidur di sebuah gubuk kecil antara Bukit Shafa dan Marwah. Malam itu ia bermimpi melihat Nabi beserta sahabat-sahabat yang dikasihinya. Lalu Nabi menghampiri dan merangkulnya.

Sambil menunjuk ke arah Abu Bakar, beliau bertanya, “Siapakan dia itu, wahai Al-Kattani?” ia menjawab, “Abu Bakar, wahai Rasulullah.”  Lalu Nabi menunjuk Umar, “siapakah dia?” tanya Nabi. “Umar,” jawab Al-Kattani. Setelah itu Nabi menunjuk Usman dan Al-Kattani menjawab “Usman.” Terakhir, Nabi menunjuk Ali, namun Al-Kattani enggan menjawabnya. Kemudian Nabi mempertemukannya dengan Ali dan mendamaikan keduanya, maka mareka berdua saling berangkulan.

Tak lama kemudian, Nabi dan para sahabatnya meninggalkan mereka. Lalu Ali mengajaknya menyusul para sahabat, menuju Gunung Qubais. “Marilah kita menuju ke Gunung Abu Qubais bersama,” ajak Ali. Merekapun menuju ke puncak Gunung Qubais bersama, dan dari tempat itu memandangi keindahan Ka’bah sambil berbincang-bincang seputar Islam.

Ketika terjaga dari mimpinya, Al-Kattani mendapati dirinya benar-benar berada di puncak Gunung Qubais. Setelah kejadian itu, ia tidak lagi membenci. “Demi Allah, tidak ada kebencian sedikitpun dalam hatiku sekarang.” Katanya.

Pada suatu siang, seorang tua berjubah anggun berjalan melewati gerbang Bani Syaibah. Kendati siang itu terik Matahari membakar kulit, wajah si tua tetap cerah berseri-seri. Dalam perjalanannya, tanpa sengaja, ia bertemu dengan Al-Kattani, yang berdiri dengan kepala tertunduk.

Setelah saling mengucapkan salam, orang tua itu berkata, “Mengapa engkau tidak pergi ke makam Ibrahim? Disana telah datang seorang guru besar yang sedang menyampaikan hadis-hadis yang mulia. Marilah kita kesana untuk mendengarkannya.”

“Siapakah perawi hadits-hadits itu?” tanya Al-Kattani. “Dari Abdullah bin Ma’mar, dari Zuhri, dari Abu Hurairah dan dari Muhammad, ”jawab orang tua itu. Lalu Al-Kattani menjawab, “Sebuah rangkaian perawi yang cukup panjang. Namun, segala sesuatu yang mereka sampaikan melalui rangkaian perawi yang panjang itu, dapat kita dengarkan secara langsung di tempat ini.”

“Melalui siapakah engkau dapat mendengarnya?” tanya orang tua itu. “Allah menyampaikannya langsung melalui hatiku,” jawab Al-Kattani. Merasa heran dengan jawaban itu, orang tua itu bertanya, “Apakah kata-katamu itu dapat dibuktikan?”

“Mungkin saja ini dapat dijadikan sebagai bukti. Sekarang ini hatiku mengatakan bahwa engkau adalah Nabi Khidir,” kata Al-Kattani. Orang itu terkejut.  “Selama ini aku mengira tidak ada “sahabat Allah” yang tak ku kenal, sebelum aku bertemu denganmu. Maka sadarlah aku, yang tak kukenal, tetapi mereka mengenalku,” ujar Nabi Khidir.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar