Ulama dan Sejarawan Pelita Masjidil Haram
Sepanjang hidupnya ia beribadah di Masjidil Haram, mimpi
didamaikan dengan Ali bin Abi Thalib oleh Rasulullah SAW
Pada abad IV H, ada seorang ulama besar yang mendapat
julukan “Pelita Masjidil Haram”. Masjid yang megah dan selalu diterangi
lampu-lampu sepanjang siang dan malam itu, semakin semarak dengan hadirnya
“Sang Pelita”. Ia adalah Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ja’far Al-Kattani –
yang setiap hari salalu membaca dan mengkhatamkan Al-Qur’an.
Lahir di Baghdad, awalnya ia pergi ke Mekah untuk menunaikan
ibadah haji, tapi kemudian menetap disana hingga wafat pada 322 H / 934 M. dan
selama 30 tahun menetap di Mekah, ia dikenal sebagai ulama yang tidak pernah
tidur.
Setiap hari ia duduk di bawah pancuran air dalam Masjidil
Haram, dan selama itu pula ia cukup berwudlu sekali dalam 24 jam. Setiap kali
tawaf di Ka’bah, konon, ia sempat membaca 20 ribu ayat.
Niat menunaikan ibadah haji sudah terbersit di hatinya sejak
masih remaja. Maka ia pun minta izin kepada ibunya, tapi ditolak. Lantaran
Al-Kattani mendesak terus, akhirnya hati orang tuanya luluh juga, maka keesokan
harinya ia pun berangkat. Dalam perjalanan melintasi padang pasir, Al-Kattani
merasakan kelelahan yang luar biasa. Ia pu mendirikan tenda lalu tidur. Namun
tak lama kemudian, ia terbangun. Ada perasaan ganjil yang dirasakannya.
“Mungkin ini sebuah isyarat agar aku kembali,” katanya dalam hati.
Keesokan harinya, Al-Kattani kembali pulang kampung. Sampai
di rumah, ia mendapati ibunyal-qurana duduk termenung menantinya di balik
pintu. “Bukankah ibu telah mengizinkan aku pergi? Tanyanya.
“Ya, memang, tapi tanpa engkau, aku tidak sanggup melihat
rumah ini lagi. Sejak engkau pergi, aku duduk di sini, bertekad tidak akan
beranjak dari sini sebelum engkau pulang kembali,” tutur sang ibu lirih.
Hal ini membuat Al-Kattani sedih. Ia berjanji pada dirinya
sendiri tidak akan meninggalkan ibunya seorang diri, dan akan selalu berbakti
kepadanya. “Itulah sebabnya, sebelum ibuku wafat, aku tidak mau mengarungi
padang pasir lagi,” katanya.
Selain di kenal sebagai ulama dan waliyullah, ia juga
dikenal sebagai sejarawan. Ia paham benar sejarah Islam. Sejak zaman Nabi
Muhammad SAW, Para Sahabat, Tabi’in, hingga tokoh-tokoh sesudahnya. Ia begitu
mengagumi kesalehan mereka. Tapi ada seorang sahabat yang kurang disenanginya,
yaitu Ali bin Abi Thalib.
Katanya, “Nabi pernah bersabda, tidak ada kasatria sejati
selain Ali, dan karena kekesatriaannya itulah, Ali menyerah kepada Muawwiyah
demi menghindari pertumpahan darah. Padahal ketika itu, Muawiyah di pihak yang
salah, sedangkan Ali di pihak yang benar.”
Ditemui Nabi Khidir
Namun, beberapa tahun kemudian, ia disadarkan dalam sebuah
mimpi yang menggugah hatinya. Seperti biasanya, ia tidur di sebuah gubuk kecil
antara Bukit Shafa dan Marwah. Malam itu ia bermimpi melihat Nabi beserta
sahabat-sahabat yang dikasihinya. Lalu Nabi menghampiri dan merangkulnya.
Sambil menunjuk ke arah Abu Bakar, beliau bertanya,
“Siapakan dia itu, wahai Al-Kattani?” ia menjawab, “Abu Bakar, wahai
Rasulullah.” Lalu Nabi menunjuk Umar,
“siapakah dia?” tanya Nabi. “Umar,” jawab Al-Kattani. Setelah itu Nabi menunjuk
Usman dan Al-Kattani menjawab “Usman.” Terakhir, Nabi menunjuk Ali, namun
Al-Kattani enggan menjawabnya. Kemudian Nabi mempertemukannya dengan Ali dan
mendamaikan keduanya, maka mareka berdua saling berangkulan.
Tak lama kemudian, Nabi dan para sahabatnya meninggalkan
mereka. Lalu Ali mengajaknya menyusul para sahabat, menuju Gunung Qubais.
“Marilah kita menuju ke Gunung Abu Qubais bersama,” ajak Ali. Merekapun menuju
ke puncak Gunung Qubais bersama, dan dari tempat itu memandangi keindahan
Ka’bah sambil berbincang-bincang seputar Islam.
Ketika terjaga dari mimpinya, Al-Kattani mendapati dirinya
benar-benar berada di puncak Gunung Qubais. Setelah kejadian itu, ia tidak lagi
membenci. “Demi Allah, tidak ada kebencian sedikitpun dalam hatiku sekarang.”
Katanya.
Pada suatu siang, seorang tua berjubah anggun berjalan
melewati gerbang Bani Syaibah. Kendati siang itu terik Matahari membakar kulit,
wajah si tua tetap cerah berseri-seri. Dalam perjalanannya, tanpa sengaja, ia
bertemu dengan Al-Kattani, yang berdiri dengan kepala tertunduk.
Setelah saling mengucapkan salam, orang tua itu berkata,
“Mengapa engkau tidak pergi ke makam Ibrahim? Disana telah datang seorang guru
besar yang sedang menyampaikan hadis-hadis yang mulia. Marilah kita kesana
untuk mendengarkannya.”
“Siapakah perawi hadits-hadits itu?” tanya Al-Kattani. “Dari
Abdullah bin Ma’mar, dari Zuhri, dari Abu Hurairah dan dari Muhammad, ”jawab
orang tua itu. Lalu Al-Kattani menjawab, “Sebuah rangkaian perawi yang cukup
panjang. Namun, segala sesuatu yang mereka sampaikan melalui rangkaian perawi
yang panjang itu, dapat kita dengarkan secara langsung di tempat ini.”
“Melalui siapakah engkau dapat mendengarnya?” tanya orang
tua itu. “Allah menyampaikannya langsung melalui hatiku,” jawab Al-Kattani.
Merasa heran dengan jawaban itu, orang tua itu bertanya, “Apakah kata-katamu
itu dapat dibuktikan?”
“Mungkin saja ini dapat dijadikan sebagai bukti. Sekarang
ini hatiku mengatakan bahwa engkau adalah Nabi Khidir,” kata Al-Kattani. Orang
itu terkejut. “Selama ini aku mengira
tidak ada “sahabat Allah” yang tak ku kenal, sebelum aku bertemu denganmu. Maka
sadarlah aku, yang tak kukenal, tetapi mereka mengenalku,” ujar Nabi Khidir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar