Minggu, 01 Desember 2013

Abu Husein Al-Nury

Sufi yang Diselimuti Cahaya
Ia terkenal sebagai seorang Zahid yang menafikan keduniawian. Begitu dalam cintanya kepada Allah hingga dijuluki Al-Nury, “Yang Dianugrahi Cahaya”.
Nama lengkapnya adalah Abu Husien Ahmad bin Muhammad Al-Nury. Ia lahir di Baghdad, Irak, tidak jelas tahun berapa. Sementara nenek moyangnya berasal dari Khurasan, Iran. Yang pasti ia adalah salah seorang murid kesayangan Sarry As-Saqaty dan sahabat Sufi besar Junaid Al-Baghdadi. Mereka hidup di Irak pada abad ke III. Selama hidup ia tinggal di tepian sungai Tigris yang indah.

Ia mendapat julukan “Al-Nury”, karena kapanpun ia bicara di kegelapan malam, seberkas cahaya akan keluar dari mulutnya, hingga membuat terang sekelilingnya. Di riwayatkan juga bahwa ia menadpat julukan itu karena mengungkapkan rahasia-rahasia terdalam dengan cahaya intuisi, karena sikap dan gaya bicaranya yang bernas dan lembut, sementara pemikirannya sangat luas, dan konsekwen dengan sikapnya yang teguh.

Versi yang lain mengatakan bahwa ia dijuluki Nuri karena ia mempunyai sebuah tempat pengasingan ditengah padang pasir dimana ia biasa beribadah sepanjang malam. Orang-orang kerap keluar rumah untuk memperhatikannya, dan mereka melihat seberkas cahaya memancar keluar dari lubang pengasingannya sepanjang malam.

Abul Husain an-Nuri adalah salah seorang figur terkemuka kelompok sufi Baghdad. Ia menyusun sejumlah puisi mistis yang mengagumkan. Ia meninggal dunia pada tahun 295 H / 908 M.

Ia mengawali kehidupan mistiknya dengan sangat unik. Setiap dini hari, sebelum subuh, ia mengambil roti dari tokonya untuk ia sedekahkan. Setelah salat subuh di masjid, ia kembali ke toko, orang-orang mengira ia telah sarapan di toko, sementara orang-orang di toko menyangka ia sudah makan pagi di rumah. Hal itu berlangsung selama 20 tahun tanpa seorang pun tahu. Kisah kewalian Abu Husien ini banyak diungkapkan dalam berbagai kitab, seperti Tadzkirul Awliya (Fariduddin Aththar), Ar-Risalah dan Kasyful Mahjub (Imam Qusyairi).

Tentang kehidupan mistiknya, Abu Husien menyatakan:

“Bertahun-tahun aku berjuang, mengekang diri dan meninggalkan pergaulan. Betapapun aku berusaha keras, jalan belum terbuka bagiku. Aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki diri. Kemudian kataku, “Wahai jasmaniku, bertahun-tahun sudah engkau menuruti hawa nafsu, sungguh semua itu akan mencelakakanmu. Sekarang masuklah kedalam penjara. Akan ku belenggu dirimu dan akan kukalungkan pada lehermu semua kewajiban kepada Allah. Jika sanaggup bertahan, engkau pasti meraih kebahagiaan. Tapi, jika tak sanggup, setidaknya engkau akan mati di jalan Allah, begitulah kataku.”

Mengenai perjanan spritualnya, ia berkata:

“Pernah kudengar, hati para mistikus merupakan alat yang awas waspada, mengetahui segala rahasia, baik yang terlihat maupun yang terdengar. Karena tidak memiliki hati seperti itu, akupun berkata kepada diriku sendiri, “Ucapan para Nabi dan manusia suci adalah benar. Mungkin sekali selama ini aku telah bersikap munafik, sementara kegagalanku karena kesalahan ku sendiri. Aku ingin merenungi diriku sendiri sehingga benar-benar mengenal-Nya”, begitulah kataku.

Setelah merenungi diri sendiri, Abu Husien menemukan hati dan nafsu itu bersatu. Lalu katanya:

“Bila hati dan nafsu bersatu, celakalah! Sebab, jika ada sesuatu yang menyinari hati, hawa nafsu akan menyerap sebagian. Maka sadarlah aku, inilah sumber dilema yang kuhadapi selama ini. Segala sesuatu yang datang dari hadirat Allah SWT dalam hatiku, sebagian diserap pula oleh hawa nafsuku.”

Sejak perenungan itulah, ia menghentikan segala perbuatan yang diperkenankan hawa nafsu. Ia berusaha hanya melakukan segala sesuatu yang “Tidak diperkenankan” hawa nafsu. Lalu katanya, “Misalnya, hawa nafsuku berkenan aku berpuasa, bersedekah, salat, menyepi atau bergaul dengan sahabat-sahabatku, maka aku akan melakukan hal sebaliknya. Akhirnya segala hal yang diperkenankan hawa nafsuku dapat kubuang dan rahasia-rahasia mistik mulai terbuka dalam diriku.”

Suatu hari, ia berdialog dengan diri sendiri. “Siapakah engkau?” tanyanya kepada diri sendiri. “Aku adalah mutiara tanpa hasrat, dan mutiaraku adalah mutiara tanpa maksud,” terdengar suara dalam dirinya. Kemudian ia menuju sungai Tigris dan melemparkan jala. “Aku tidak akan beranjak sebelum seekor ikan terjerat dalam jalaku,” ia bergumam. Tak lama kemudian, seekor ikan berkecupak di dalam jala. Saat aku mengambil ikan itu, aku memekik, “Segala puji bagi Allah, urusan-urusanku telah berjalan dengan baik!”

Aku pergi menemui Junaid dan berkata padanya, “Sebuah karunia telah dianugrahkan padaku!”

“Abul Hasan,” ujar Junaid, “Jika seekor ular yang terjerat jalamu, dan bukannya seekor ikan, itu baru suatu tanda karunia. Namun karena dirimu sendiri terlibat (dalam mendapatkannya), itu adalah muslihat, bukan karunia. Karena tanda dari karunia adalah engkau tidak terlibat sama sekali.”

***

Ketika Ghulam al-Khalil menyatakan permusuhannya terhadap para sufi, ia menemui Khalifah dan menjelek-jelekkan mereka.

“Sekelompok sufi telah muncul,” katanya. “Mereka menyanyi, menari dan menyatakan penghinaan-penghinaan terhadap Tuhan dan agama. Mereka berkumpul hampir setiap hari, bersembunyi dalam gua-gua, dan berkhotbah. Orang-orang itu adalah ahli bid’ah. Jika Amirul Mukminin berkenan mengeluarkan perintah untuk menghabisi mereka, maka ajaran bid’ah akan musnah, karena mereka adalah kepala para ahli bid’ah. Jika Amirul Mukminin melakukan hal ini, aku jamin anda akan mendapatkan pahala yang besar.”

Sang Khalifah segera memerintahkan agar mereka – Abu Hamzah, Raqqam, Syibli, Nuri, dan Junaid – dibawa kehadapannya. Perintah Khalifah pun dilaksanakan. Kemudian Khalifah memerintahkan agar mereka dihukum mati.

Awalnya, algojo diperintahkan untuk mengekskusi Raqqam terlebih dahulu, namun Nuri tanpa rasa takut sedikitpun bangkit mendekat dan mengambil tempat Raqqam.

“Bunuhlah aku lebih dulu, tertawa gembira,” pekiknya.

“Tuan, giliran anda belum tiba,” kata si Algojo padanya. “Pedang bukanlah sesuatu yang digunakan dengan tergesa-gesa.”

Nuri menjelaskan. “Jalanku didasari oleh pikiran. Aku lebih memilih sahabatku daripada diriku sendiri. Hal yang paling berharga didunia ini adalah kehidupan. Aku ingin mempersembahkan sedikit waktuku yang tersisa ini untuk para saudaraku. Aku akan mengorbankan kehidupanku sendiri. Hal ini kulakukan walaupun dalam pandanganku suatu saat di dunia ini lebih berharga daripada seribu tahun di akherat kelak. Karena dunia ini adalah kediaman penghambaan, sementara akherat adalah kediaman kedekatan, dan kedekatan bagiku adalah penghambaan.”

Kata-kata Nuri ini dilaporkan kepada Khalifah. Sang Khalifah mengagumi ketulusan dan kefasehan Nuri. Ia memerintahkan untuk menunda ekskusi dan mengajukan kasus mereka kepada Hakim untuk diperiksa.


“Mereka tidak dapat dihukum tanpa bukti,” kata sang Hakim.
Sang Hakim kemudian menguji Nuri dengan masalah-masalah Fikih. Nuri langsung dapat menjawabnya, dan sang hakimpun membisu dalam kebingungan.

Nuri berkata:

“Wahai hakim, Anda telah mengajukan semua pertanyaan ini, namun semua pertanyaan Anda sama sekali tidak relevan. Karena Allah memiliki hamba-hamba yang berdiri melalui-Nya, bergerak dan diam melalui-Nya, yang hidup melalui-Nya, dan tinggal dalam dzikir kepada-Nya. Jika satu saat saja mereka tidak mengingat-Nya, maka jiwa-jiwa mereka akan keluar dari tubuh mereka. Melalui-Nya mereka tidur, melalui-Nya mereka makan, melalui-Nya mereka menerima, melalui-Nya mereka pergi, melalui-Nya mereka melihat, melalui-Nya mereka mendengar, dan melalui-Nya mereka berada. Inilah ilmu yang hakiki, bukan semua yang anda tanyakan tadi.”

Sang hakim kebingungan, lalu ia mengirim pesan kepada Khalifah, “Jika mereka ini Atheis dan ahli bid’ah, maka aku akan memutuskan maka diseluruh permukaan bumi, tidak seorang pun yang bertauhid.”

Khalifah pun memanggil mereka.

“Adakah yang kalian inginkan?” tanya Khalifah.

“Ya,” jawab mereka. “Kami harap Anda melupakan kami. Kami tidak ingin anda menghormati kami dengan persetujuan Anda (terhadap keyakinan kami) ataupun menghukum kami dengan penolakan Anda. Bagi kami, penolakan Anda sama saja dengan persetujuan Anda, dan persetujuan Anda sama saja dengan penolakan Anda.”

Sang Khalifah pun menangis pilu mendengarnya, dan membebaskan mereka dengan segala penghormatan.

***

Suatu hari Junaid mengunjungi Nuri. Nuri tersungkur ketanah dihadapan Junaid, mengeluhkan ketidakadilan.

“Pertempuranku bertambah dahsyat, dan aku tak mempunyai kekuatan lagi untuk bertarung,” katanya. “Selama tiga puluh tahun, kapanpun Dia ada, aku lenyap, dan kapanpun aku mewujud, Dia lenyap. Kehadiran-Nya adalah ketidakhadiranku. Betapapun aku memohon, jawaban-Nya adalah: Aku atau engkau yang ada.”

Junaid berkata kepada para muridnya. “Lihatlah dia, seorang lelaki yang telah berusaha keras dan dibingungkan oleh Allah.”

Sambil berpaling ke Nuri, Junaid menambahkan, “Seharusnya apakah Dia terhijabi olehmu ataupun tersingkap melaluimu, engkau tidak boleh lagi menjadi dirimu, dan semuanya harus menjadi Dia.”

***

Seseorang menemui Junaid dan berkata, “Sudah beberapa hari ini, siang dan malam, Nuri berkeliling dengan sebongkah batu di tangannya sambil berteriak, “Allah… Allah…” dia tidak makan apa-apa, dan tidak tidur. Namun dia masih mendirikan shalat pada waktunya dan menjalankan seluruh ritual shalat.”

Para murid Junaid menanggapi, “Ia sadar. Ia tidak berada dalam keadaan Fana. Buktinya, ia masih ingat waktu-waktu shalat dan melakukan ritual-ritual shalat. Itu adalah tanda dari usaha sadar, bukan tanda dari fana, seseorang yang telah fana, tidak menyadari apapun.”

“Bukan begitu,” jawab Junaid. “Apa yang kalian katakana tidaklah benar. Orang-orang yang berada dalam ekstasi selalu terpelihara, Allah menjaga mereka, kalau tidak, mereka akan meninggalkan ibadah pada waktunya.”

Kemudian Junaid pergi menemui Nuri.

“Anul Husain,” sapa junaid pada Nuri. “Jika engkau tahu bahwa berteriak adalah salah satu keuntungan dengan-Nya, maka beri tahukanlah aku, dan akupun akan ikut berteriak. Jika engkau tahu bahwa kepuasan dengan-Nya adalah lebih baik, maka bertawakkallah, agar hatimu bisa tenang.”

Sejak saat itu, Nuri berhenti berteriak. “Engkau benar-benar guru yang hebat bagi kami!” katanya pada Junaid.

***

DALAM kitab Al-Risalah, Imam Al-Qusyairi mengungkapkan beberapa pendapat Abu Husien. Salah satu pendapatnya tentang tasawuf, antara lain, “Tasawuf itu meningglkan semua keingnan hawa nafsu. Ada dua hal yang paling mulia, yaitu orang alim yang mengamalkan ilmunya, dan orang arif yang mampu memahami hakekat. Jika ada orang yang mengaku bersama Allah SWT, tapi berani keluar dari batas ilmu agama, sekali-kali jangan engkau mendekatinya.”

Suatu hari Abu Husien Al-Nury, berdoa di sebuah tempat yang sangat terpencil. “Ya Allah engkau menghukum para penghuni neraka, mereka semua adalah ciptaan-Mu, melalui ke-Maha Tahuan-Mu, kemahakuasaan-Mu, dan kehendak-Mu. Jika engkau menghendaki manusia ke dalam neraka, engkaulah yang berkuasa untuk melemparkan mereka ke dalam neraka, dan mengantarkan ke dalam surga.”

Kebetulah seorang sufi, Ja’far Al-Khuldi, mendengar doa itu, dan ia pun sangat takjub. Kemudian suatu malam, ia bermimpi bertemu dengan seseorang yang berkata kepadanya, “Allah memerintahkan agar engkau mengatakan kepada Abu Husien, sesungguhnya Allah telah memuliakanmu dan menganugerahkan pahala kepadamu karena doamu.”

Suatu hari, ketika Abu Husien mandi disebuah telaga, pakaianya di curi orang. Belum sempat ia mentas dari telaga untuk mengejarnya, pencuri itu telah mengembalikan pakaiannya, karena tiba-tiba tangannya terkena penyakit sampar. Lalu Abu Husien berseru. “Ya Allah, karena ia telah mengembalikan pakaianku, sembuhkanlah tangannya,” maka saat itu juga tangan pencuri itu sembuh.

Orang suci itu wafat pada 295 H /908 M. banyak kenangan dan pujian yang diungkapkan oleh para sahabatnya ataupun para ulama se zamannya. Salah satunya dari Junaid Al-Baghdadi, katanya, “Sejak Abu Husien Al-Nury wafat, tidak ada seorangpun yang mampu menceritakan hakikat kebenaran.” Sedangkan Ahmad Al-Maghazili menyatakan:

“Belum pernah aku melihat ibadah yang dilakukan lebih khusyuk daripada ibadah Abu Husien Al-Nury.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar