Sufi yang Diselimuti Cahaya
Ia terkenal sebagai seorang Zahid yang menafikan
keduniawian. Begitu dalam cintanya kepada Allah hingga dijuluki Al-Nury, “Yang
Dianugrahi Cahaya”.
Nama lengkapnya adalah Abu Husien Ahmad bin Muhammad
Al-Nury. Ia lahir di Baghdad, Irak, tidak jelas tahun berapa. Sementara nenek
moyangnya berasal dari Khurasan, Iran. Yang pasti ia adalah salah seorang murid
kesayangan Sarry As-Saqaty dan sahabat Sufi besar Junaid Al-Baghdadi. Mereka
hidup di Irak pada abad ke III. Selama hidup ia tinggal di tepian sungai Tigris
yang indah.
Ia mendapat julukan “Al-Nury”, karena kapanpun ia bicara di
kegelapan malam, seberkas cahaya akan keluar dari mulutnya, hingga membuat
terang sekelilingnya. Di riwayatkan juga bahwa ia menadpat julukan itu karena
mengungkapkan rahasia-rahasia terdalam dengan cahaya intuisi, karena sikap dan
gaya bicaranya yang bernas dan lembut, sementara pemikirannya sangat luas, dan
konsekwen dengan sikapnya yang teguh.
Versi yang lain mengatakan bahwa ia dijuluki Nuri karena ia
mempunyai sebuah tempat pengasingan ditengah padang pasir dimana ia biasa
beribadah sepanjang malam. Orang-orang kerap keluar rumah untuk
memperhatikannya, dan mereka melihat seberkas cahaya memancar keluar dari
lubang pengasingannya sepanjang malam.
Abul Husain an-Nuri adalah salah seorang figur terkemuka
kelompok sufi Baghdad. Ia menyusun sejumlah puisi mistis yang mengagumkan. Ia
meninggal dunia pada tahun 295 H / 908 M.
Ia mengawali kehidupan mistiknya dengan sangat unik. Setiap
dini hari, sebelum subuh, ia mengambil roti dari tokonya untuk ia sedekahkan.
Setelah salat subuh di masjid, ia kembali ke toko, orang-orang mengira ia telah
sarapan di toko, sementara orang-orang di toko menyangka ia sudah makan pagi di
rumah. Hal itu berlangsung selama 20 tahun tanpa seorang pun tahu. Kisah
kewalian Abu Husien ini banyak diungkapkan dalam berbagai kitab, seperti
Tadzkirul Awliya (Fariduddin Aththar), Ar-Risalah dan Kasyful Mahjub (Imam
Qusyairi).
Tentang kehidupan mistiknya, Abu Husien menyatakan:
“Bertahun-tahun aku berjuang, mengekang diri dan
meninggalkan pergaulan. Betapapun aku berusaha keras, jalan belum terbuka
bagiku. Aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki diri. Kemudian kataku,
“Wahai jasmaniku, bertahun-tahun sudah engkau menuruti hawa nafsu, sungguh
semua itu akan mencelakakanmu. Sekarang masuklah kedalam penjara. Akan ku
belenggu dirimu dan akan kukalungkan pada lehermu semua kewajiban kepada Allah.
Jika sanaggup bertahan, engkau pasti meraih kebahagiaan. Tapi, jika tak
sanggup, setidaknya engkau akan mati di jalan Allah, begitulah kataku.”
Mengenai perjanan spritualnya, ia berkata:
“Pernah kudengar, hati para mistikus merupakan alat yang
awas waspada, mengetahui segala rahasia, baik yang terlihat maupun yang
terdengar. Karena tidak memiliki hati seperti itu, akupun berkata kepada diriku
sendiri, “Ucapan para Nabi dan manusia suci adalah benar. Mungkin sekali selama
ini aku telah bersikap munafik, sementara kegagalanku karena kesalahan ku
sendiri. Aku ingin merenungi diriku sendiri sehingga benar-benar mengenal-Nya”,
begitulah kataku.
Setelah merenungi diri sendiri, Abu Husien menemukan hati
dan nafsu itu bersatu. Lalu katanya:
“Bila hati dan nafsu bersatu, celakalah! Sebab, jika ada
sesuatu yang menyinari hati, hawa nafsu akan menyerap sebagian. Maka sadarlah
aku, inilah sumber dilema yang kuhadapi selama ini. Segala sesuatu yang datang
dari hadirat Allah SWT dalam hatiku, sebagian diserap pula oleh hawa nafsuku.”
Sejak perenungan itulah, ia menghentikan segala perbuatan
yang diperkenankan hawa nafsu. Ia berusaha hanya melakukan segala sesuatu yang
“Tidak diperkenankan” hawa nafsu. Lalu katanya, “Misalnya, hawa nafsuku
berkenan aku berpuasa, bersedekah, salat, menyepi atau bergaul dengan
sahabat-sahabatku, maka aku akan melakukan hal sebaliknya. Akhirnya segala hal
yang diperkenankan hawa nafsuku dapat kubuang dan rahasia-rahasia mistik mulai
terbuka dalam diriku.”
Suatu hari, ia berdialog dengan diri sendiri. “Siapakah
engkau?” tanyanya kepada diri sendiri. “Aku adalah mutiara tanpa hasrat, dan
mutiaraku adalah mutiara tanpa maksud,” terdengar suara dalam dirinya. Kemudian
ia menuju sungai Tigris dan melemparkan jala. “Aku tidak akan beranjak sebelum
seekor ikan terjerat dalam jalaku,” ia bergumam. Tak lama kemudian, seekor ikan
berkecupak di dalam jala. Saat aku mengambil ikan itu, aku memekik, “Segala
puji bagi Allah, urusan-urusanku telah berjalan dengan baik!”
Aku pergi menemui Junaid dan berkata padanya, “Sebuah
karunia telah dianugrahkan padaku!”
“Abul Hasan,” ujar Junaid, “Jika seekor ular yang terjerat
jalamu, dan bukannya seekor ikan, itu baru suatu tanda karunia. Namun karena
dirimu sendiri terlibat (dalam mendapatkannya), itu adalah muslihat, bukan
karunia. Karena tanda dari karunia adalah engkau tidak terlibat sama sekali.”
***
Ketika Ghulam al-Khalil menyatakan permusuhannya terhadap
para sufi, ia menemui Khalifah dan menjelek-jelekkan mereka.
“Sekelompok sufi telah muncul,” katanya. “Mereka menyanyi,
menari dan menyatakan penghinaan-penghinaan terhadap Tuhan dan agama. Mereka
berkumpul hampir setiap hari, bersembunyi dalam gua-gua, dan berkhotbah.
Orang-orang itu adalah ahli bid’ah. Jika Amirul Mukminin berkenan mengeluarkan
perintah untuk menghabisi mereka, maka ajaran bid’ah akan musnah, karena mereka
adalah kepala para ahli bid’ah. Jika Amirul Mukminin melakukan hal ini, aku
jamin anda akan mendapatkan pahala yang besar.”
Sang Khalifah segera memerintahkan agar mereka – Abu Hamzah,
Raqqam, Syibli, Nuri, dan Junaid – dibawa kehadapannya. Perintah Khalifah pun
dilaksanakan. Kemudian Khalifah memerintahkan agar mereka dihukum mati.
Awalnya, algojo diperintahkan untuk mengekskusi Raqqam
terlebih dahulu, namun Nuri tanpa rasa takut sedikitpun bangkit mendekat dan
mengambil tempat Raqqam.
“Bunuhlah aku lebih dulu, tertawa gembira,” pekiknya.
“Tuan, giliran anda belum tiba,” kata si Algojo padanya.
“Pedang bukanlah sesuatu yang digunakan dengan tergesa-gesa.”
Nuri menjelaskan. “Jalanku didasari oleh pikiran. Aku lebih
memilih sahabatku daripada diriku sendiri. Hal yang paling berharga didunia ini
adalah kehidupan. Aku ingin mempersembahkan sedikit waktuku yang tersisa ini
untuk para saudaraku. Aku akan mengorbankan kehidupanku sendiri. Hal ini kulakukan
walaupun dalam pandanganku suatu saat di dunia ini lebih berharga daripada
seribu tahun di akherat kelak. Karena dunia ini adalah kediaman penghambaan,
sementara akherat adalah kediaman kedekatan, dan kedekatan bagiku adalah
penghambaan.”
Kata-kata Nuri ini dilaporkan kepada Khalifah. Sang Khalifah
mengagumi ketulusan dan kefasehan Nuri. Ia memerintahkan untuk menunda ekskusi
dan mengajukan kasus mereka kepada Hakim untuk diperiksa.
“Mereka tidak dapat dihukum tanpa bukti,” kata sang Hakim.
Sang Hakim kemudian menguji Nuri dengan masalah-masalah
Fikih. Nuri langsung dapat menjawabnya, dan sang hakimpun membisu dalam
kebingungan.
Nuri berkata:
“Wahai hakim, Anda telah mengajukan semua pertanyaan ini,
namun semua pertanyaan Anda sama sekali tidak relevan. Karena Allah memiliki
hamba-hamba yang berdiri melalui-Nya, bergerak dan diam melalui-Nya, yang hidup
melalui-Nya, dan tinggal dalam dzikir kepada-Nya. Jika satu saat saja mereka
tidak mengingat-Nya, maka jiwa-jiwa mereka akan keluar dari tubuh mereka.
Melalui-Nya mereka tidur, melalui-Nya mereka makan, melalui-Nya mereka
menerima, melalui-Nya mereka pergi, melalui-Nya mereka melihat, melalui-Nya
mereka mendengar, dan melalui-Nya mereka berada. Inilah ilmu yang hakiki, bukan
semua yang anda tanyakan tadi.”
Sang hakim kebingungan, lalu ia mengirim pesan kepada
Khalifah, “Jika mereka ini Atheis dan ahli bid’ah, maka aku akan memutuskan
maka diseluruh permukaan bumi, tidak seorang pun yang bertauhid.”
Khalifah pun memanggil mereka.
“Adakah yang kalian inginkan?” tanya Khalifah.
“Ya,” jawab mereka. “Kami harap Anda melupakan kami. Kami
tidak ingin anda menghormati kami dengan persetujuan Anda (terhadap keyakinan
kami) ataupun menghukum kami dengan penolakan Anda. Bagi kami, penolakan Anda
sama saja dengan persetujuan Anda, dan persetujuan Anda sama saja dengan
penolakan Anda.”
Sang Khalifah pun menangis pilu mendengarnya, dan
membebaskan mereka dengan segala penghormatan.
***
Suatu hari Junaid mengunjungi Nuri. Nuri tersungkur ketanah
dihadapan Junaid, mengeluhkan ketidakadilan.
“Pertempuranku bertambah dahsyat, dan aku tak mempunyai
kekuatan lagi untuk bertarung,” katanya. “Selama tiga puluh tahun, kapanpun Dia
ada, aku lenyap, dan kapanpun aku mewujud, Dia lenyap. Kehadiran-Nya adalah
ketidakhadiranku. Betapapun aku memohon, jawaban-Nya adalah: Aku atau engkau
yang ada.”
Junaid berkata kepada para muridnya. “Lihatlah dia, seorang
lelaki yang telah berusaha keras dan dibingungkan oleh Allah.”
Sambil berpaling ke Nuri, Junaid menambahkan, “Seharusnya
apakah Dia terhijabi olehmu ataupun tersingkap melaluimu, engkau tidak boleh
lagi menjadi dirimu, dan semuanya harus menjadi Dia.”
***
Seseorang menemui Junaid dan berkata, “Sudah beberapa hari
ini, siang dan malam, Nuri berkeliling dengan sebongkah batu di tangannya
sambil berteriak, “Allah… Allah…” dia tidak makan apa-apa, dan tidak tidur.
Namun dia masih mendirikan shalat pada waktunya dan menjalankan seluruh ritual
shalat.”
Para murid Junaid menanggapi, “Ia sadar. Ia tidak berada
dalam keadaan Fana. Buktinya, ia masih ingat waktu-waktu shalat dan melakukan
ritual-ritual shalat. Itu adalah tanda dari usaha sadar, bukan tanda dari fana,
seseorang yang telah fana, tidak menyadari apapun.”
“Bukan begitu,” jawab Junaid. “Apa yang kalian katakana
tidaklah benar. Orang-orang yang berada dalam ekstasi selalu terpelihara, Allah
menjaga mereka, kalau tidak, mereka akan meninggalkan ibadah pada waktunya.”
Kemudian Junaid pergi menemui Nuri.
“Anul Husain,” sapa junaid pada Nuri. “Jika engkau tahu
bahwa berteriak adalah salah satu keuntungan dengan-Nya, maka beri tahukanlah
aku, dan akupun akan ikut berteriak. Jika engkau tahu bahwa kepuasan dengan-Nya
adalah lebih baik, maka bertawakkallah, agar hatimu bisa tenang.”
Sejak saat itu, Nuri berhenti berteriak. “Engkau benar-benar
guru yang hebat bagi kami!” katanya pada Junaid.
***
DALAM kitab Al-Risalah, Imam Al-Qusyairi mengungkapkan
beberapa pendapat Abu Husien. Salah satu pendapatnya tentang tasawuf, antara
lain, “Tasawuf itu meningglkan semua keingnan hawa nafsu. Ada dua hal yang
paling mulia, yaitu orang alim yang mengamalkan ilmunya, dan orang arif yang
mampu memahami hakekat. Jika ada orang yang mengaku bersama Allah SWT, tapi
berani keluar dari batas ilmu agama, sekali-kali jangan engkau mendekatinya.”
Suatu hari Abu Husien Al-Nury, berdoa di sebuah tempat yang
sangat terpencil. “Ya Allah engkau menghukum para penghuni neraka, mereka semua
adalah ciptaan-Mu, melalui ke-Maha Tahuan-Mu, kemahakuasaan-Mu, dan
kehendak-Mu. Jika engkau menghendaki manusia ke dalam neraka, engkaulah yang
berkuasa untuk melemparkan mereka ke dalam neraka, dan mengantarkan ke dalam
surga.”
Kebetulah seorang sufi, Ja’far Al-Khuldi, mendengar doa itu,
dan ia pun sangat takjub. Kemudian suatu malam, ia bermimpi bertemu dengan
seseorang yang berkata kepadanya, “Allah memerintahkan agar engkau mengatakan
kepada Abu Husien, sesungguhnya Allah telah memuliakanmu dan menganugerahkan
pahala kepadamu karena doamu.”
Suatu hari, ketika Abu Husien mandi disebuah telaga,
pakaianya di curi orang. Belum sempat ia mentas dari telaga untuk mengejarnya,
pencuri itu telah mengembalikan pakaiannya, karena tiba-tiba tangannya terkena
penyakit sampar. Lalu Abu Husien berseru. “Ya Allah, karena ia telah
mengembalikan pakaianku, sembuhkanlah tangannya,” maka saat itu juga tangan
pencuri itu sembuh.
Orang suci itu wafat pada 295 H /908 M. banyak kenangan dan
pujian yang diungkapkan oleh para sahabatnya ataupun para ulama se zamannya.
Salah satunya dari Junaid Al-Baghdadi, katanya, “Sejak Abu Husien Al-Nury
wafat, tidak ada seorangpun yang mampu menceritakan hakikat kebenaran.”
Sedangkan Ahmad Al-Maghazili menyatakan:
“Belum pernah aku melihat ibadah yang dilakukan lebih
khusyuk daripada ibadah Abu Husien Al-Nury.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar