NiatNiat yaitu tujuan untuk berbuat (melakukan) dengan
motivasi (dorongan) untuk mengikuti perintah-perintah Allah. Para ulama mazhab
sepakat bahwa niat itu termasuk salah satu fardhu dalam wudhu dan tempatnya
pada waktu melaksanakan wudhu itu. Hanafi: Sahnya shalat tidak hanya tergantung
pada wudhu dan niat; maka seandainya ada seorang yang mandi dengan tujuan hanya
untuk mendinginkan badannya atau untuk membersihkannya, kemudian membasahi
semua anggota wudhu, lalu ia shalat, maka shalatnya adalah sah, karena tujuan
final dari wudhu itu adalah suci, sedangkan kesucian dengan mandi tersebut
telah tercapai, lianya Hanafi mengecualikan sesuatu yang bercampur dengan
sisa-sisa keledai atau anggur yang tcrbuat dari kurma. Dalam masalah ini mereka
(Hanafi) menegaskan dengan wajibnya niat. (Ibnu Abidin, Jilid I, halaman 76).
Membasuh MukaYang dimaksud dengan membasuh muka adalah mengalirkan air pada
muka. la wajib cukup satu kali saja. Batasnya dari tumbuhnya rambut sampai pada
ujung dagu. Syafi’i: Juga wajib
membasahi sesuatu yang di bawah dagu.
Imamiyah dan Maliki: Batasnya seluas ibu jari dan telunjuk. Mazhab-mazhab yang lain: Batas membasuh muka
itu dari anak kuping kiri ke anak kuping kanan.
Empat mazhab: Kewajibannya itu hanya membasuh muka, sedangkan memulai
dari atas itu adalah lebih utama. Membasuh Dua TanganKaum Muslimin sepakat
bahwa membasuh dua tangan sarnpai dua siku-sikunya satu kali adalah wajib.
Imamiyah: Wajib memulainya dari dua siku-siku dan batal bila sebaliknya, sebagairnana
Imamiyah mewajibkan mendahulukan tangan yang kanan dari tangan yang kiri. Mazhab-mazhab yang lain:Yang wajib itu adalah
membasuhnya, sedangkan mendahulukan tangan yang kanan dan memulai dari jari
jemari adalah lebih utarna. Mengusap KepalaHambali: Wajib mengusap semua kepala
dan dua telinga. Sedangkan mandi, menurut Hambali adalah cukup sebagai
pengganti dari mengusap, dengan syarat melewatkan kedua tangannya di atas
kepala. Maliki; Wajib mengusap semua kepala
tanpa telinga. Hanafi: Wajib mengusap
seperempat kepala, tetapi cukup dengan memasukkan kepala ke dalam air atau
menuangkan air di atas kepalanya. Syafi’i: Wajib mengusap sebagian kepala,
sekalipun sedikit. Tetapi cukup dengan membasahi atau menyiram sebagai
pengganti dari mengusap. Imamiyah: Wajib mengusap sebagian dari depan kepala,
dan cukup dengan sangat sedikit sepanjang bisa dinamakan mengusap kepala,
tetapi tidak boleh membasahi dan tidak boleh pula menyiraminya, sebagaimana
Imamiyah mewajibkan mengusapnya dengan basahan wudhu, dan jika digunakan air
baru serta mengusap dengannya, maka wudhunya batal. Empat mazhab: Wajib mengusap dengan air baru.
(Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah,jilid I, dalam bab mashurra’si, dan juga di
Tadzkirah, ‘Allamah Al-Hilli). Kalau mengusap surban, maka Hambali telah
membolehkannya, dengan sebagian surban itu berada di bawah dagu. Hanafi,
Syafi’i dan Maliki: boleh kalau ada udzur, tetapi bila tidak, tidak boleh.
Imamiyah: Tidak boleh mengusap surban, berdasarkan firman Allah: “Dan usaplah kepala-kepala kalian”. Sedangkan
surban tidak bisa dinamakan kepala. DuaKaki Empat mazhab: Wajib membasuhnya
sampai mata kaki satu kali. Imamiyah:
Wajib mengusapnya dari ujung jari-jemari sampai pada mata kaki. Kesepakatan
ulama mazhab: Boleh mendahulukan yang kanan dari yang kiri. Perbedaan apakah
mengusap atau membasuh dua kaki itu sebenarnya bersumber dari pemahaman ayat 6
surat Al-Maidah: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menegakkan
shalat, maka basuhlah muka-muka kamu, kedua langan kamu sampai siku-siku, dan
usaplah kepala-kepala kamu dan kaki kamu sampai dua mata kakinya”. Kata arjul
ada yang membaca dengan kasrah, yaitu arjulikum, dan ada yang membacanya dengan
fathah, yaitu arjulakum. Maka orang yang berpendapat dengan cukup mengusap
berarti menjadikan kata arjul itu athaf kembali pada kata ru ‘us sekaligus
membacanya kasrah, dan kedudukan nashabnya fil mahalli (berada di tempat),
karena setiap yang dikasrahkan lafadznya ia di-nashab-kan (di-fathah-kan) pada
mahal (tempat). Dan orang berpendapat dengan membasuh, ia mengatakan bahwa
arjul itu di-nashab-kan (di-fathah-kan) dengan menjadikannya athaf kembali pada
kata aidiya. Silahkan membaca Tafsir Ar-Razi. Empat mazhab: Boleh mengusap
sepatu dan kaos kaki sebagai pengganti dari membasuh dua kaki. Imamiyah: Tidak boleh, berdasarkan perkataan
Imam Ali salâmullâhi ‘alaihi: “Saya
tidak mengamalkan, apakah saya mengusap dua khuf (sepatu) atau punggung unta di
padang Sahara”. TertibTertib ini berdasarkan keterangan ayat, yaitu: Dimulai
dari muka, lalu dua tangan, lalu kepala, lalu dua kaki. la wajib sekaligus
syarat sahnya wudhu, menurut Imamiyah, Syafi’i dan Hambali. Hanafi dan Maliki:
Tidak wajib tertib, dan boleh dimulai dari dua kaki dan berakhir di muka. MuwalatYaitu berurutan antara membasuh
anggota-anggota wudhu dan apabila telah selesai dari satu anggota lalu pindah
(melakukan) pada anggota selanjutnya dengan segera. Imamiyah dan Hambali: Wajib
muwalat, hanya Imamiyah mensyaratkan tidak sampai kering anggota yang dibasuh
itu sebelum melanjutkan anggota sesudahnya. Kalau sampai kering anggota wudhu
itu, maka batallah wudhunya, dan berarti wajib memulai lagi. Hanafi dan
Syafi’i: Tidak wajib muwalat, hanya dimakruhkan memisahkan dalam membasuh antar
anggota-anggota wudhu itu kalau tidak udzur, bila ada udzur, maka hilanglah
kemakruhan itu. Maliki: Muwalat itu diwajibkan hanya bagi orang yang berwudhu
dalam keadaan sadar, dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ia tidak
sadar, sebagaimana kalau ia menuangkan air yang dianggapnya untuk wudhu, maka
kalau ia membasuh mukanya, lalu lupa membasuh dua tangannya, atau air yang akan
dipergunakan untuk wudhu itu telah habis, maka kalau mengikuti keyakinannya
berarti ia telah melakukan sesuatu yang dibangun di atas keyakinannya,
sekalipun telah lama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar