Langit Madinah kala itu mendung…Bukan mendung biasa, tetapi
mendung yang kental dengan kesuraman dan kesedihan. Seluruh manusia bersedih,
burung-burung enggan berkicau, daun dan mayang kurma enggan melambai, angin
enggan berhembus, bahkan matahari enggan nampak. Seakan-akan seluruh alam
menangis, kehilangan sosok manusia yang diutus sebagai rahmat sekalian alam.
Di salah satu sudut Masjid Nabawi, sesosok pria yang legam
kulitnya menangis tanpa bisa menahan tangisnya.Waktu shalat telah tiba. Bilal
bin Rabah, pria legam itu, beranjak menunaikan tugasnya yang biasa:
mengumandangkan adzan.
Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Suara beningnya yang indah nan lantang terdengar di seantero
Madinah. Penduduk Madinah beranjak menuju masjid. Masih dalam kesedihan, sadar
bahwa pria yang selama ini mengimami mereka tak akan pernah muncul lagi dari
biliknya di sisi masjid.
Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha ilallah.
Suara bening itu kini bergetar. Penduduk Madinah
bertanya-tanya, ada apa gerangan. Jamaah yang sudah berkumpul di masjid melihat
tangan pria legam itu bergetar tak beraturan.
Asy…hadu.. an..na.. M..Mu..mu..hammmad. ..
Suara bening itu tak lagi terdengar jelas. Kini tak hanya tangan
Bilal yang bergetar hebat, seluruh tubuhnya gemetar tak beraturan, seakan-akan
ia tak sanggup berdiri dan bisa roboh kapanpun juga. Wajahnya sembab. Air
matanya mengalir deras, tidak terkontrol. Air matanya membasahi seluruh
kelopak, pipi, dagu, hingga jenggot. Tanah tempat ia berdiri kini dipenuhi oleh
bercak-bercak bekas air matanya yang jatuh ke bumi. Seperti tanah yang habis di
siram rintik-rintik air hujan.
Ia mencoba mengulang kalimat adzannya yang terputukalimat
dari dua kalimat syahadat. Kalimat persaksian bahwa Muhammad bin Abdullah
adalah Rasul ALLAH.
Asy…ha..du. .annna…
Kali ini ia tak bisa meneruskan lebih jauh. Tubuhnya mulai
limbung. Sahabat yang tanggap menghampirinya, memeluknya dan meneruskan adzan
yang terpotong.
Saat itu tak hanya Bilal yang menangis, tapi seluruh jamaah
yang berkumpul di Masjid Nabawi, bahkan yang tidak berada di masjid ikut
menangis. Mereka semua merasakan kepedihan ditinggal Kekasih ALLAH untuk
selama-lamanya. Semua menangis, tapi tidak seperti Bilal. Tangis Bilal lebih
deras dari semua penduduk Madinah. Tak ada yang tahu persis kenapa Bilal
seperti itu, tapi Abu Bakar ash-Shiddiq ra. tahu. Ia pun membebastugaskan Bilal
dari tugas mengumandangkan adzan.
Saat mengumandangkan adzan, tiba-tiba kenangannya bersama
Rasulullah SAW berkelabat tanpa ia bisa membendungnya. Ia teringat bagaimana
Rasulullah SAW memuliakannya di saat ia selalu terhina, hanya karena ia budak
dari Afrika. Ia teringat bagaimana Rasulullah AW menjodohkannya. Saat itu
Rasulullah meyakinkan keluarga mempelai wanita dengan berkata, “Bilal adalah
pasangan dari surga, nikahkanlah saudari perempuanmu dengannya.” Pria legam itu
terenyuh mendengar sanjungan Sang Nabi akan dirinya, seorang pria berkulit
hitam, tidak tampan, dan mantan budak.
Kenangan-kenangan akan sikap Rasul yang begitu lembut pada
dirinya berkejar-kejaran saat ia mengumandangkan adzan. Ingatan akan sabda
Rasul, “Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat.” lalu ia pun beranjak adzan,
muncul begitu saja tanpa ia bisa dibendung. Kini tak ada lagi suara lembut yang
meminta istirahat dengan shalat.
Bilal pun teringat bahwa ia biasanya pergi menuju bilik Nabi
yang berdampingan dengan Masjid Nabawi setiap mendekati waktu shalat. Di depan
pintu bilik Rasul, Bilal berkata, “Saatnya untuk shalat, saatnya untuk meraih
kemenangan. Wahai Rasulullah, saatnya untuk shalat.” Kini tak ada lagi pria
mulia di balik bilik itu yang akan keluar dengan wajah yang ramah dan penuh
rasa terima kasih karenaudah diingatkan akan waktu shalat.
Bilal teringat, saat shalat ‘Ied dan shalat Istisqa’ ia
selalu berjalan di depan Rasulullah dengan tombak di tangan menuju tempat
diselenggarakan shalat. Salah satu dari tiga tombak pemberian Raja Habasyah
kepada Rasulullah SAW. Satu diberikan Rasul kepada Umar bin Khattab ra., satu
untuk dirinya sendiri, dan satu ia berikan kepada Bilal. Kini hanya tombak itu
saja yang masih ada, tanpa diiringi pria mulia yang memberikannya tombak
tersebut. Hati Bilal makin perih.
Seluruh kenangan itu bertumpuk-tumpuk, membuncah bercampur
dengan rasa rindu dan cinta yang sangat pada diri Bilal. Bilal sudah tidak
tahan lagi. Ia tidak sanggup lagi untuk mengumandangkan adzan.
Abu Bakar tahu akan perasaan Bilal. Saat Bilal meminta izin
untuk tidak mengumandankan adzan lagi, beliau mengizinkannya. Saat Bilal
meminta izin untuk meninggalkan Madinah, Abu Bakar kembali mengizinkan. Bagi
Bilal, setiap sudut kota Madinah akan selalu membangkitkan kenangan akan Rasul,
dan itu akan semakin membuat dirinya merana karena rindu. Ia memutuskan
meninggalkan kota itu. Ia pergi ke Damaskus bergabung dengan mujahidin di sana.
Madinah semakin berduka. Setelah ditinggal al-Musthafa, kini mereka ditinggal
pria legam mantan budak tetapi memiliki hati secemerlangermin.
Jazirah Arab kembali berduka. Kini sahabat terdekat Muhammad
SAW, khalifah pertama, menyusulnya ke pangkuan Ilahi. Pria yang bergelar
Al-Furqan menjadi penggantinya. Umat Muslim menaruh harapan yang besar
kepadanya.
Umar bin Khattab berangkat ke Damaskus, Syria. Tujuannya
hanya satu, menemui Bilal dan membujuknya untuk mengumandangkan adzan kembali.
Setelah dua tahun yang melelahkan; berperang melawan pembangkang zakat,
berperang dengan mereka yang mengaku Nabi, dan berupaya menjaga keutuhan umat; Umar
berupaya menyatukan umat dan menyemangati mereka yang mulai lelah akan
pertikaian. Umar berupaya mengumpulkan semua muslim ke masjid untuk
bersama-sama merengkuh kekuatan dari Yang Maha Kuat. Sekaligus kembali
menguatkan cinta mereka kepada Rasul-Nya. Umar membujuk Bilal untuk kembali
mengumandangkan adzan.
Bilal menolak, tetapi bukan Umar namanya jika khalifah kedua
tersebut mudah menyerah. Ia kembali membujuk dan membujuk. “Hanya sekali”,
bujuk Umar. “Ini semua untuk umat. Umat yang dicintai Rosululloh, umat yang
dipanggil Rosululloh saat sakaratul mautnya. Begitu besar cintamu kepada
Rosululloh, maka tidakkah engkau cinta pada umat yang dicintai Rosululloh?”
Bilal tersentuh. Ia menyetujui untuk kembali mengumandangkan
adzan. Hanya sekali, saat waktu Subuh..Hari saat Bilal akan mengumandangkan
adzan pun tiba. Berita tersebut sudah tersiar ke seantero negeri. Ratusan
hingga ribuan kaum muslimin memadati masjid demi mendengar kembali suara bening
yang legendaris itu.
Allahu Akbar, Allahu Akbar
Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha illallah
Asyhadu anna Muhammadarrasululla h
Sampai di sini Bilal berhasil menguatkan dirinya. Kumandang
adzan kali itu beresonansi dengan kerinduan Bilal akan Sang Rasul, menghasilkan
senandung yang indah lebih indah dari karya maestro komposer ternama masa
modern mana pun jua. Kumandang adzan itu begitu menyentuh hati, merasuk ke
dalam jiwa, dan membetot urat kerinduan akan Sang Rasul. Seluruh yang hadir dan
mendengarnya menangis secara spontan.
Asyhadu anna Muhammadarrasululla h
Kini getaran resonansinya semakin kuat. Menghanyutkan Bilal
dan para jamaah di kolam rindu yang tak berujung. Tangis rindu semakin
menjadi-jadi. Bumi Arab kala itu kembali basah akan air mata.
Hayya ‘alash-shalah, hayya ‘alash-shalah
Tak ada yang tak mendengar seruan itu kecuali ia berangkat
menuju masjid.
Hayya `alal-falah, hayya `alal-falah
Seruan akan kebangkitan dan harapan berkumandang. Optimisme
dan harapan kaum muslimin meningkat dan membuncah.
Allahu Akbar, Allahu Akbar
Allah-lah yang Maha Besar, Maha Perkasa dan Maha
Berkehendak. Masihkah kau takut kepada selain-Nya? Masihkah kau berani
menenetang perintah-Nya?
La ilaha illallah
Tiada tuhan selain ALLAH.
Tahun 20 Hijriah. Bilal terbaring lemah di tempat tidurnya.
Usianya saat itu 70 tahun. Sang istri di sampingnya tak bisa menahan
kesedihannya. Ia menangis, menangis dan menangis. Sadar bahwa sang suami
tercinta akan segera menemui Rabbnya.
“Jangan menangis,” katanya kepada istri. “Sebentar lagi aku
akan menemui Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatku yang lain. Jika ALLAH
mengizinkan, aku akan bertemu kembali dengan mereka esok hari.” Esoknya ia
benar-benar sudah dipanggil ke hadapan Rabbnya. Pria yang suara langkah
terompahnya terdengar sampai surga saat ia masih hidup, Pria yang suara dan
kumandang adzannya membuat para malaikat sujud dan membuat arasy berguncang
kini berada dalam kebahagiaan yang amat sangat. Ia bisa kembali bertemu dengan
sosok yang selama ini ia rindukan. Ia bisa kembali menemani Rasulullah, seperti
sebelumnya saat masih di dunia….
yaaaa Allah sampaikan iman dan rasa cinta bilal di dalam
hati kami…
sampaikan..
sampaikan wahai Allah….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar