Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim
Al-Tanji. Ia berasal dan dilahirkan dari orang tua Moor yang kaya dan bijaksana
di Tangier, Maroko, pada 1304 M / 703 H dan wafat pada 1369 M / 770 H. Harapan
orang tuanya, dia menjadi ahli hukum. Namun kenyataan bicara lain, ia menjadi
pengelana yang andal selama hampir dua dasawarsa dengan nama Ibnu Bathuthah.
Tangier adalah sebuah kota pelabuhan di Maroko Utara,
terletak di bibir selat Gibraltar atau Jabal Thariq, yang sangat ramai
disinggahi kapal-kapal dagang, yang merupakan arus pelayaran utama kala itu.
Situasi semacam itulah yang mempengaruhi kehidupan Bathuthah kecil. Kupingnya
tajam menangkap pembicaraan para pelancong dan awak kapal yang singgah di kota
kelahirannya itu, dan telah menebarkan isyarat, kelak ia akan menjadi seperti
mereka, yaitu melancong dan mengembara. Untuk itu ia melengkapi dirinya dengan
berbagai bacaan mengenai perjalanan lintas benua.
Pada usianya yang relatif muda, Ibnu Bathuthah memulai
pengembaraannya yang panjang selama 20 tahun (1325-1345). Ia meninggalkan
Tanjier pada 1325 M / 735 H untuk mengunjungi kota-kota penting di Afrika Utara
dan Mesir sampai ke kawasan Hulu, kemudian menuju ke Syiria dengan menyebrangi
laut merah, lalu singgah di Kaukasus menjadi tamu kehormatan Sultan Muhammad
Uzbeg. Ketika sampai di Yunani, ia juga disambut hangat oleh Kaisar Andronicus.
Begitu juga begitu ia tiba di Khurasan, Bulgar, Volga, dan Bhkhara. Untuk
mencapai Cina ia harus melewati India.
Dalam pelayaran ke negeri Panda itu, ia singgah dua kali di
Kerajaan Samudra Pasai, yang kini di kenal sebagai NAD, Nangro Aceh Darussalam.
Konon, ia kagum kepada Sultan Malik Al-Zhahir, yang memerintah Pasai saat itu,
terutama pada kealiman dan kedalaman ilmunya. Bahkan Bathuthah menegaskan, dari
raja-raja Islam yang ditemuinya, di Hundustan, Turkistan, Bukhara, bahkan
Mesir, Raja “Jawi” ini yang paling alim dengan ilmunya yang sangat banyak dan
mendalam.
WABAH PENYAKIT
Dalam perjalanan pulang dari Cina, ia singgah lagi ke Pasai
1346 dan beraudiensi dengan Sultan Malik. Kabarnya ia sangat terkesan dengan
kehebatan Pasai, lantaran tidak bisa dikalahkan Majapahit, yang menyerang Pasai
pada 1339, meski tentara Majapahit di pimpin langsung oleh Patih Gajah Mada,
yang terkenal perkasa dan sakti. Ini menunjukkan Pasai adalah negara yang kuat.
Dia tidak melihat tanda-tanda kerusakan yang disebabkan perang atau
rehabilitasi pascaperang. Semua dalam keadaan damai dan sejahtera. Sultan Malik
bahkan berjalan kaki menuju masjid untuk shalat Jumat di iringi para pembesar
kerajaan.
Berikut adalah catatan Bathuthah tentang Pasai, “Kemudian
saya masuk menghadap Sultan dan di suruh duduk disamping kirinya. Ketika itu
beliau sedang duduk di hadapan murid-muridnya. Beliau menanyakan perihal Sultan
Mahmud (Raja Maroko), dan perjalanan saya. Setelah itu beliau meneruskan
muzakarah ilmu fikih sampai waktu ashar tiba. Setelah itu beliau masuk ke dalam
Istana.”
Pada 1340, ketika tiba di Syam, negeri tersebut sedang
dilanda wabah penyakit, dia menyingkir hingga ke Ghazan. Ternyata wabah itu
telah menelan korban yang tidak sedikit. Bahkan teman-temannya di Syam hampir
semuanya ,eninggal. Kemudian ia pergi ke Mesir. Disana kondisinya sama saja.
Akhirnya ia memilih pergi ke Mekah melalui Izhab untuk
berhaji. Selesai berhaji yang dijalani selama 40 hari, ia balik ke Syam lewat
Hijaz, kemudian ke Mesir, Tunis dan Maroko, terus ke Aljazair. Disini ia
mendapat kabar bahwa ibunya telah meninggal dunia dua tahun lalu karena wabah
penyakit itu. Dia baru sempat menengok makam kedua orang tuanya, di Tangier,
setelah Sultan Maroko, Abi Ana Al-Markisy, memberi uang bulanan, sebagai ucapan
terima kasih atas petualangannya yang dinilai sangat positif itu.
Setelah kerinduannya pada kampung halamannya terobati, ia
kembali berkelana ke Andalusia, yang kini di sebut Spanyol. Dia menyaksikan
benteng-benteng pertahanan kaum muslimin masa lalu dan kembali ke Maroko.
Setelah itu ia berkelana ke Sudan, Mauritania, dan Mali.
Sultan Maroko lah yang kemudian mempunyai inisiatif untuk
membukukan petualangannya itu. Dia memerintahkan perdana mentrinya untuk
mengumpulkan catatan-catatan Bathuthah yang berserakan dimana-mana.
Setelah terkumpul, ia memerintah penulis terkenal masa itu,
Ibnu Juza’i, untuk menuliskannya. Caranya, Ibnu Bathuthah di suruh menceritakan
pengalamannya berdasarkan catatan. Bila catatan itu hilang, di dasarkan pada
ingatan.
Penulisan tersebut memakan waktu dua tahun pada 1355 M M/
756 H. dan di terbitkan dengan judul: Tuhfat an-Nazzar fi Gharaib al-Amsar wa
Afaib al-Asfar (hasil pengamatan menjelajahi negeri-negeri ajaib yang makmur).
Lima abad kemudian, S. Lee, menerbitkan terjemahan buku itu (1863) dan H.A.R.
Gibb (1950). Buku ini sampai kepada kita lewat tulisan DR. Hasan Muannis, yang
berjudul Ibnu Bathuthah dan Pelayarannya.
Lima abad setelah Ibnu Bathuthah meninggal, para orientalis
mulai menaruh perhatian terhadap petualangannya. Buku-bukunya kemudian
diterjemahkan dan di cocokkan kebenaran tanggal-tanggalnya, nama-nama tempat,
dan tanda-tanda khusus tempat-tempat yang disinggahinya.
Ibnu Bathuthah meninggal di Markisy pada 1369 M/ 770 H di
Maroko. Untuk menghormati keberaniannya mengarungi tiga Benua lewat laut dan
darat, pemerintah setempat mengabadikan namanya untuk nama jalan tempat
kelahirannya yang terletak di dekat Pasar Tangier, dan makamnya di beri nama
“Kubah Hijau.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar