Ia pemikir mistisisme Islam terkemuka dan kreatif. Tidak
berhasil menuntut ilmu agama ke daerah lain, ia lebih mementingkan mengabdi kepada ibunya, dan
akhirnya ia berguru kepada Nabi Khidir
Suatu hari, ketika cahaya surya yang terik melecut bumi
seorang anak lelaki bernama Abu Abdullah Hakim Al-Tirmidzi memutuskan untuk
mengembara bersama dengan dua sahabatnya, menuntut ilmu. Namun niat luhur itu
kandas, lantaran sang ibu tidak menyetujui keberangkatannya.
“Wahai buah hatiku, mengapa Ananda tega meninggalkan wanita
yang sudah renta tak berdaya ini? Bila engkau pergi, tidak ada lagi seorang pun
yang Ibunda miliki. Sebab selama ini engkaulah tempat sandaranku. Lalu kepada
siapa Ananda akan menitipkan Ibunda yang sebatang kara dan lemah ini? Kata
Ibundanya bercucuran air mata.
Apa boleh buat, ia terpaksa mengurungkan niatnya, sementara
kedua sahabatnya berangkat. Keberangkatan kedua sahabatnya itu sering membuat
Tirmidzi termenung. Suatu hari ia duduk termenung di sebuah makam, membayangkan
kedua sahabatnya yang akan pulang. “Oh sedihnya aku, tiada seorangpun
memperdulikan orang bodoh seperti aku. Sedangkan kedua sahabatku akan kembali
sebagai orang terpelajar dan berpendidikan,” katanya, dalam hati sangat sedih.
Tanpa disadari, muncul seorang kakek dengan wajah teduh.
“Mengapa engkau menangis, anakku?” tanya si kakek. Maka Tirmidzi pun
menceritakan perihal kegundahan hatinya. Mendengar itu si kakek menawarkan
kepada Tirmidzi untuk belajar kepadanya. “Maukah engkau belajar kepada saya
setiap hari, sehingga engkau dapat melampaui kedua sahabatmu itu dalam waktu
singkat?” kata sang kakek. Tentu saja Tirmidzi sangat senang. “Baik aku
bersedia,” katanya berseri-seri.
Hari demi hari, kakek tua itu mengajar Tirmidzi. Sekitar
tiga tahun kemudian, barulah Tirmidzi menyadari bahwa si kakek itu sesungguhnya
adalah Nabi Khidir. “Rupanya inilah keberuntungan yang kuperoleh karena telah
berbakti kepada Ibuku dengan penuh ketulusan hati,” katanya dalam hati.
Ketika di kemudian hari, salah seorang murid Tirmidzi, yaitu
Abu Bakar Al-Warraq, mengisahkan, setiap hari minggu Nabi Khidir mengunjungi
Tirmidzi untuk berdiskusi mengenai berbagai persoalan agama. Pada suatu hari,
Tirmidzi berkata kepada Warraq, “Maukah engkau kuajak pergi ke suatu tempat
pada hari ini?” Tanpa pikir panjang, Warraq menjawab, “Terserah Syekh saja,
saya pasti ikut.”
Sungai Oxus
Maka mereka pun berangkat, tatkala sampai di sebuah padang
pasir, Warraq melihat sebuah singgasana kencana di bawah naungan sebatang pohon
rindang di pinggir sebuah telaga. Di sana duduk seorang lelaki, yang berpakaian
indah, ketika Syekh Tirmidzi menghampirinya, lelaki itu berdiri dan
mempersilahkan duduk di singgasana. Dan tak lama kemudian 40 orang berdatangan
dan berkumpul di situ. Tiba-tiba mereka memberi isyarat ke atas. Maka seketika
itu juga tersajilah berbagai hidangan lezat, merekapun bersantap bersama.
Setelah itu Syekh Tirmidzi berdialog dengan mereka.
Tapi, bahasa mereka sama sekali tidak dapat dimengerti oleh
Warraq. Beberapa saat setelah itu, Tirmidzi mohon diri. “Mari pergi, karena
engkau telah diberkahi,” katanya kepada Warraq, maka mereka pun pulang.
“Wahai Syekh, apakah arti semua kejadian tadi?” Tempat
apakah itu, dan siapakah mereka itu?” tanya Warraq. “Tempat itu adalah lembah
pemukiman putra-putra Israil,” jawab Tirmidzi.
“Tapi, bagaimana kita dapat pulang pergi dalam waktu
sesingkat itu?” tanya Warraq. “Jika Allah berkenan mengantarkan kita, sampailah
kita. Apalah gunanya kita bertanya, mengapa dan bagaimana, yang penting engkau
sudah sampai ke tujuan, bukan untuk bertanya-tanya,” jawab Tirmidzi.
Kemudian Tirmidzi bertutur mengenai pengalamannya. “Aku
pernah berjuang keras untuk menundukkan hawa nafsu namun aku tidak berhasil.
Dalam keputusasaan, aku berkata dalam hati. “Mungkin Allah telah menciptakan
diriku untuk disiksa di neraka. Lalu untuk apa diri yang terkutuk ini harus
terus kupertahankan? Maka akupun pergi ke pinggir sungai Oxus, di sana aku
minta tolong kepada seseorang untuk mengikat kaki dan tanganku. Tapi setelah
itu, ia pergi meninggalkan aku seorang diri. Lalu aku berguling-guling
menjatuhkan diri ke dalam air, aku ingin mati tenggelam,” tutur Tirmidzi.
Ia melanjutkan kisahnya, “Ketika aku tercebur ke dalam air,
ikatan di tanganku terlepas dan gulungan ombak mengempaskan tubuhku ke pinggir
sungai. Dengan perasaan kalut terharu aku berseru, “Ya Allah, Yang Maha Besar,
engkau telah menciptakan seorang yang tak pantas diterima, baik di surga maupun
di neraka,” tiba-tiba terbukalah mata hatiku, dan terlihatlah olehku segala
sesuatu yang semetinya dilakukan oleh manusia terhadap Allah dan dirinya
sendiri. Sejak itu, terbebaslah aku dari hawa nafsu. Selama hayat aku selalu
bersyukur, setiap kali mengingat-ingat hal itu.”
Dalam pada itu, Abu Bakar Al-Warraq punya kisah lain
mengenai gurunya itu. Suatu hari Tirmidzi menyerahkan buku-bukunya kepada
Warraq agar dibuang ke Sungai Oxus. Tapi ia tidak lantas membuangnya, melainkan
membacanya terlebih dahulu. Dari sekian buku yang dibaca, buku-buku itu penuh
dengan seluk beluk dan kebenaran mistik. Maka ia pun tidak jadi melaksanakan
perintah gurunya, dan disimpanlah buku-buku itu di rumahnya.
Membuang Buku
Keesokan harinya Tirmidzi bertanya kepada Warraq. “Apakah
buku-buku yang kuberikan kemarin sudah kau buang ke Sungai Oxus? Lalu kejadian
apa yang kau saksikan setelah itu?” jawab Warraq, “Sudah Ya Syekh, buku-buku
itu telah saya lemparkan ke dalam sungai, tapi saya tidak menyaksikan kejadian
apapun.” Maka kata Tirmidzi lagi. “Kalau begitu berarti engkau belum membuang
buku-buku itu ke sungai, pergilah dan buanglah!”
Tentu saja Warraq terheran-heran. “Apa gerangan yang membuat
Tirmidzi rela melakukan hal itu? Apa yang akan terjadi seandainya buku-buku itu
aku buang ke sungai? Ia bingung dan penasaran. Lalu sambil menyusuri Sungai
Oxus, ia melemparkan buku-buku itu.
Seketika itu juga air sungai itu terbelah, dan antara
belahan itu muncul sebuah peti yang terbuka, dan buku-buku itu terjatuh ke
dalam peti itu. Setelah seluruh buku berada dalam peti, tutup peti itu mengatup
sendiri, sementara air sungai pun bersatu kembali seperti sedia kala.
Menyaksikan kejadian itu, Warraq terheran-heran sambil membaca tasbih.
Ketika Warraq pulang, Tirmidzi bertanya, “Sudahkah engkau
lemparkan buku-buku itu?” Jawab Warraq, “Sudah, Guru, demi keagungan Allah,
katakanlah kepadaku, apakah rahasia di balik semua itu?” Tirmidzi menjelaskan,
“Buku-buku itu memuat segala hal mengenai ilmu sufi yang ditulisnya dengan
keterangan yang sulit dipahami oleh manusia biasa.
“Khidir minta buku-buku itu. Sedangkan peti yang kau lihat
tadi itu dibawakan oleh seekor ikan atas permintaan Khidir. Dan Allah, Yang
Mahabesar, memerintahkan kepada air untuk mengantarkan peti itu kepadanya,”
tutur Tirmidzi.
Selain karomah-karomah yang luar biasa itu, Tirmidzi juga
dikenal sebagai ulama yang ramah. Suatu ketika seorang muridnya bertanya kepada
keluarga Tirmidzi. “Kalau guru sedang marah, apakah kalian tahu?” Maka jawab
salah seorang keluarga Tirmidzi. “Ya, kami tahu. Dan setiap kali ia marah
kepada kami, ia akan bersikap lebih ramah daripada biasanya. Kemudian ia tidak
mau makan dan minum.
Ia menangis dan memohon kepada Allah. “Ya Allah, apakah
perbuatanku yang menimbulkan murka-Mu, sehingga engkau membuat keluargaku
sendiri menentangku? Ya Allah, aku mohon ampunan-Mu, tunjukkan lah mereka jalan
yang benar.” apabila ia berbuat seperti itu, tahulah kami bahwa ia sedang
marah. Dan segeralah kami bertobat, agar ia terlepas dari duka citanya itu.”
***
Ada seorang asket besar yang hidup sezaman dengan
At-Tirmidzi. Ia selalu mengkritik At-Tirmidzi.
Di seluruh dunia ini, At-Tirmidzi tak memiliki apapun
kecuali sebuah pondok. Saat ia kembali dari perjalanannya dari Hijaz, seekor
anjing telah melahirkan di pondoknya yang tak berpintu.
At-Tirmidzi tak ingin mengusir anjing itu. Ia datang dan
pergi sebanyak delapan kali dengan harapan anjing itu akan pergi sendiri dengan
membawa anak-anaknya.
Malam itu sang asket itu bermimpi bertemu dengan Nabi
Muhammad SAW. Nabi berkata, “Sirrah, engkau menentang seseorang yang delapan
kali menolong seekor anjing. Jika engkau menginginkan kebahagiaan abadi,
pergilah, kencangkan ikat pinggangmu, dan mengabdilah padanya.”
Sang asket menjadi terlalu malu untuk menjawab salam
At-Tirmidzi. Sejak saat itu, ia mengabdi pada At-Tirmidzi.
***
Selama beberapa waktu At-Tirmidzi tidak bertemu dengan Nabi
Khidir.
Pada suatu hari seorang pembantu wanita mencuci pakaian
bayi, membuang kotoran bayi ke sebuah baskom. Sementara itu Sang Syekh, dengan
memakai jubah yang bersih dan sorban yang tanpa noda, tengah berjalan menuju
masjid.
Si pembantu itu, karena merasa kesal dengan sesuatu yang
sepele membuang isi baskomnya tepat di kepala Sang Syekh.
At-Tirmidzi diam saja dan menelan amarahnya, seketika itu
kembali dapat berjumpa dengan Nabi
Khidir AS.
***
Di masa mudanya, ada seorang wanita cantik yang tergila-gila
padanya, dan meminta At-Tirmidzi untuk melamarnya, namun At-Tirmidzi menolaknya
dengan halus. Kemudian pada suatu hari, wanita itu mengetahui At-Tirmidzi
sedang saantai di taman. Si wanita itu berdandan dan pergi menuju ke taman itu.
Ketika At-Tirmidzi mengetahui kedatangan wanita itu, ia
melarikan diri. Wanita itu berlari mengejarnya. At-Tirmidzi tidak perduli, ia
memanjat tembok yang tinggi dan melompat ke seberang.
Suatu hari di masa tuanya, At-Tirmidzi mengenang masa itu
dan berkata dalam hatinya, “Apa masalahnya seandainya aku memenuhi hasrat
wanita itu? Aku toh masih muda, masih punya banyak kesempatan untuk bertobat.”
Saat ia merasakan pikiran ini di benaknya, ia diliputi oleh
kesedihan yang mendalam.
“Dasar jiwa yang bodoh dan durhaka!” tukasnya. “Empat puluh
tahun lalu, dalam gejolak mudamu, pikiran seperti itu tidak merasukimu, kini di
masa tuamu yang sudah renta ini, setelah melalui begitu banyak perjuangan,
mengapa engkau menyesal karena tidak melakukan perbuatan dosa?”
Merasa sangat sedih, selama tiga hari ia duduk menyesali
pikirannya itu. Setelah tiga hari berlalu, ia melihat Nabi SAW dalam mimpinya.
Nabi SAW berkata padanya, “Muhammad, janganlah bersedih, apa
yang terjadi bukanlah disebabkan oleh ketergelinciranmu. Pikiran ini merasuki
benakmu karena empat puluh tahun lagi telah bertambah sejak kepergianku dari
dunia ini. Periode kepergianku dari dunia ini telah bertambah lagi selama itu.
Ini bukanlah dosamu, bukan pula karena kemunduran spiritualmu. Apa yang engkau
alami disebabkan oleh bertambah panjangnya periode kepergianku dari dunia ini,
bukan dikarenakan kemunduran karaktermu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar