Ada seorang saudagar di Bagdad yang mempunyai sebuah kolam
yang airnya terkenal sangat dingin. Konon tidak seorangpun yang tahan berendam
didalamnya berlama-lama, apalagi hingga separuh malam.
“Siapa yang berani berendam semalam di kolamku, aku beri
hadiah sepuluh ringgit,” kata saudagar itu. Ajakan tersebut mengundang banyak
orang untuk mencobanya. Namun tidak ada yang tahan semalam, paling lama hanya
mampu sampai sepertiga malam.
Pada suatu hari datang seorang pengemis kepadanya. “Maukah
kamu berendam di dalam kolamku ini semalam? Jika kamu tahan aku beri hadiah
sepuluh ringgit,” kata si saudagar.
“Baiklah akan kucoba,” jawab si pengemis. Kemudian
dicelupkannya kedua tangan dan kakinya ke dalam kolam, memang air kolam itu
dingin sekali. “Boleh juga,” katanya kemudian.
“Kalau begitu nanti malam kamu bisa berendam disitu,” kata
si saudagar.
Menanti datangnya malam si pengemis pulang dulu ingin
memberi tahu anak istrinya mengenai rencana berendam di kolam itu.
“Istriku,” kata si pengemis sesampainya di rumah. “Bagaimana
pendapatmu bila aku berendam semalam di kolam saudagar itu untuk mendapat uang
sepuluh ringgit? Kalau kamu setuju aku akan mencobanya.”
“Setuju,” jawab si istri, “Moga-moga Tuhan menguatkan
badanmu.”
Kemudian pengemis itu kembali ke rumah saudagar. “Nanti
malam jam delapan kamu boleh masuk ke kolamku dan boleh keluar jam enam pagi,”
kata si saudagar, “Jika tahan akan ku bayar upahmu.”
Setelah sampai waktunya masuklah si pengemis ke dalam kolam,
hampir tengah malam ia kedinginan sampai tidak tahan lagi dan ingin keluar,
tetapi karena mengharap uang upah sepuluh ringgit, ditahannya maksud itu sekuat
tenaga. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar airnya tidak terlalu dingin lagi.
Ternyata doanya dikabulkan, ia tidak merasa kedinginan lagi. Kira-kira jam dua
pagi anaknya datang menyusul. Ia khawatir jangan-jangan bapaknya mati
kedinginan. Hatinya sangat gembira ketika dilihat bapaknya masih hidup.
Kemudian ia menyalakan api di tepi kolam dan menunggu sampai pagi.
Siang harinya pengemis itu bangkit dari kolam dan buru-buru
menemui si saudagar untuk minta upahnya. Namun saudagar itu menolak membayar,
“Aku tidak mau membayar, karena anakmu membuat api di tepi kolam, kamu pasti
tidak kedinginan.”
Namun si pengemis tidak mau kalah, “Panas api itu tidak
sampai ke badan saya, selain apinya jauh, saya kan berendam di air, masakan api
bisa masuk ke dalam air?”
“Aku tetap tidak mau membayar upahmu,” kata saudagar itu
ngotot. “Sekarang terserah kamu, mau melapor atau berkelahi denganku, aku
tunggu.”
Dengan perasaan gondok pengemis itu pulang ke rumah, “Sudah
kedinginan setengah mati, tidak dapat uang lagi,” pikirnya. Ia kemudian
mengadukan penipuan itu kepada seorang hakim. Boro-boro pengaduannya di dengar,
Hakim itu malahan membenarkan sikap sang saudagar. Lantas ia berusaha menemui
orang-orang besar lainnya untuk diajak bicara, namun ia tetap disalahkan juga.
“Kemana lagi aku akan mengadukan nasibku ini,” kata si
pengemis dengan nada putus asa. “Ya Allah, engkau jugalah yang tahu nasib
hamba-Mu ini, mudah-mudahan tiap-tipa orang yang benar engkau menangkan.”
Doanya dalam hati.
Ia pun berjalan mengikuti langkah kakinya dengan perasaan
yang semakin dongkol. Dengan takdir Allah ia bertemu dengan Abu Nawas di sudut
jalan.
“Hai, hamba Allah,” Tanya Abu Nawas, ketika melihat pengemis
itu tampak sangat sedih. “mengapa anda kelihatan murung sekali? Padahal udara
sedemikian cerah.”
“Memang benar hamba sedang dirundung malang,” kata si
pengemis, lantas diceritakan musibah yang menimpa si pengemis sambil mengadukan
nasibnya.
“Jangan sedih lagi,” kata Abu Nawas ringan. “Insyaallah aku
dapat membantu menyelesaikan masalahmu. Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah
caraku, niscaya kamu menang dengan izin Allah.”
“Terima kasih banyak, anda bersedia menolongku,” kata si
pengemis. Lantas keduanya berpisah. Abu Nawas tidak pulang ke rumah, melainkan
menghadap Baginda Sultan di Istana. “Apa kabar, hai Abu Nawas?” sapa Baginda
Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. “Ada masalah apa gerangan hari
ini?”
“Kabar baik, ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “jika
tidak keberatan patik silahkan baginda datang kerumah patik, sebab patik punya
hajat.”
“Kapan aku mesti datang ke rumahmu?” tanya baginda Sultan.
“Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku,” jawa Abu Nawas.
“Baiklah,” kata Sultan, aku pasti datang ke rumahmu.”
Begitu keluar dari Istana, Abu Nawas langsung ke rumah
saudagar yang punya kolam, kemudian ke rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar
lainnya yang pernah dihubungi oleh si pengemis. Kepada mereka Abu Nawas
menyampaikan undangan untuk datang kerumahnya senin depan.
Hari senin yang ditunggu, sejak jam tujuh pagi rumah Abu
Nawas telah penuh dengan tamu yang diundang, termasuk baginda Sultan. Mereka
duduk di permadani yang sebelumnya telah di gelar oleh tuan rumah sesuai dengan
pangkat dan kedudukan masing-masing. Setelah semuanya terkumpul, Abu Nawas
mohon kepada sultan untuk pergi kebelakang rumah, ia kemudian menggantung
sebuah periuk besar pada sebuah pohon, menjerangnya – menaruh di atas api.
Tunggu punya tunggu, Abu Nawas tidak tampak batang
hidungnya, maka Sultan pun memanggil Abu Nawas, “kemana gerangan si Abu Nawas,
sudah masakkah nasinya atau belum?” gerutu Sultan.
Rupanya gerutuan Sultan di dengar oleh Abu Nawas, ia pun
menjawab, “Tunggulah sebentar lagi, tuanku Syah Alam.”
Baginda pun diam, dan duduk kembali. Namun ketika matahari
telah sampai ke ubun-ubun, ternyata Abu Nawas tak juga muncul dihadapan para
tamu. Perut baginda yang buncit itu telah keroncongan. “Hai Abu Nawas,
bagaimana dengan masakanmu itu? Aku sudah lapar, kata Baginda.
“Sebentar lagi, ya Syah Alam,” sahut tuan rumah.
Baginda masih sabar, ia kemudian duduk kembali, tetapi
ketika waktu dzuhur sudah hampir habis tak juga ada hidangan yang keluar,
baginda tak sabar lagi, ia pun menyusul Abu Nawas dibagian belakang rumah, di
ikuti tamu-tamu lainnya. Mereka mau tahu apa sesungguhnya yang dikerjakan tuan
rumah, ternyata Abu Nawas sedang mengipa-ngipas api di tungkunya.
“Hai Abu Nawas, mengapa kamu membuat api di bawah pohon
seperti itu? Tanga baginda Sultan.
Abu Nawas pun bangkit, demi mendengar pernyataan baginda.
“Ya tuanku Syah Alam, hamba sedang memasak nasi, sebentar lagi juga masak,”
jawabnya.
“Menanak nasi?” tanya baginda, “Mana periuknya?”
“Ada, tuanku,” jawab Abu nawas sambil mengangkat mukanya ke
atas.
“Ada?” tanya beginda keheranan. “Mana?” ia mendongakkan
mukanya ke atas mengikuti gerak Abu Nawas, tampak di atas sana sebuah periuk
besar bergantung jauh dari tanah.
“Hai, Abu Nawas, sudah gilakah kamu?” tanya Sultan. “Memasak
nasi bukan begitu caranya, periuk di atas pohon, apinya di bawah, kamu tunggu
sepuluh hari pun beras itu tidak bakalan jadi nasi.”
“Begini, Baginda,” Abu Nawas berusaha menjelaskan
perbuatannya. “Ada seorang pengemis berjanji dengan seorang saudagar, pengemis
itu disuruh berendam dalam kolam yang airnya sangat dingin dan akan diupah
sepuluh ringgit jika mampu bertahan satu malam. Si pengemis setuju karena
mengharap upah sepuluh ringgit dan berhasil melaksanakan janjinya. Tapi si
saudagar tidak mau membayar, dengan alasan anak si pengemis membuat api di
pinggir kolam.” Lalu semuanya diceritakan kepada Sultan lengkap dengan sikap
tuan hakim dan para pembesar yang membenarkan sikap si saudagar. “Itulah sebabnya
patik berbuat seperti ini.”
“Boro-boro nasi itu akan matang,” kata Sultan, “Airnya saja
tidak bakal panas, karena apinya terlalu jauh.”
“Demikian pula halnya si pengemis,” kata Abu Nawas lagi. “Ia
di dalam air dan anaknya membuat api di tanah jauh dari pinggir kolam. Tetapi
saudagar itu mengatakan bahwa si pengemis tidak berendam di air karena ada api
di pinggir kolam, sehingga air kolam jadi hangat.”
Saudagar itu pucat mukanya. Ia tidak dapat membantah
kata-kata Abu Nawas. Begitu pula para pembesar itu, karena memang demikian
halnya.
“Sekarang aku ambil keputusan begini,” kata Sultan.
“Saudagar itu harus membayar si pengemis seratus dirham dan di hukum selama
satu bulan karena telah berbuat salah kepada orang miskin. Hakim dan
orang-orang pembesar di hukum empat hari karena berbuat tidak adil dan
menyalahkan orang yang benar.”
Saat itu juga si pengemis memperoleh uangnya dari si
saudagar. Setelah menyampaikan hormat kepada Sultan dan memberi salam kepada
Abu Nawas, ia pun pulang dengan riangnya. Sultan kemudian memerintah mentrinya
untuk memenjarakan saudagar dan para pembesar sebelum akhirnya kembali ke
Istana dalam keadaan lapar dan dahaga.
Akan halnya Abu Nawas, ia pun sebenarnya perutnya
keroncongan dan kehausan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar