Selasa, 26 November 2013

ANGGOTA BADAN YANG WAJIB DITUTUPI KETIKA SHALAT

  Semua ulama mazhab sepakat bahwa setiap orang lelaki dan wanita wajib menutupi sebagian anggota badannya ketika shalat sebagaimana yang diwajibkannya untuk menutupi bagian anggota badannya di hadapan orang lain (bukan muhrimnya) di luar shalat. Hanya mereka berbeda pendapat bila lebih dari itu. Maksudnya apakah wanita itu diwajibkan menutupi wajah dan dua telapak tangannya, atau hanya sebagian dari keduanya ketika shalat, padahal bagi wanita itu tidak diwajibkan untuk menutupinya di luar shalat? Dan apakah orang lelaki wajib menutupi selain pusar dan lutut ketika shalat, padahal ketika di luar shalat ia tidak wajib menutupinya? Hanafi: Bagi wanita wajib menutupi belakang dua telapak tangan dan dua telapak kakinya, sedangkan bagi orang lelaki wajib menu­tupi dari lutut ke atas sampai pada pusar. Syafi’i dan Maliki: Bagi wanita boleh membuka wajahnya, dan dua telapak tangannya (baik dalam maupun luarnya) ketika shalat.  Hambali: Tidak boleh dibuka kecuali wajahnya saja. Imamiyah: Bagi setiap orang, baik lelaki maupun wanita wajib menutupi anggota badannya ketika shalat sebagaimana yang diwajib­kan untuk menutupinya di luar shalat kalau ada orang lain (bukan muhrimnya) yang melihatnya, sedangkan bagi wanita boleh membuka wajahnya ketika shalat dengan ukuran yang dicuci dalam wudhu, boleh membuka dua telapak tangannya sampai pergelangannya dan kedua kakinya sampai dua betisnya, luar dalam. Sedangkan bagi lelaki wajib menutupi dua kemaluannya dan yang paling utama adalah antara pusar dan lutut.  Syarat-syarat Penutup Dalam Shalat Pakaian penutup itu mempunyai syarat-syarat yang harus diusahakan dan diperhadkan, yaitu: Suci Sucinya kain penutup dan badan adalah merupakan syarat dari sahnya shalat, menurut kesepakatan semua ulama mazhab, hanya setiap mazhab telah mengecualikan beberapa sesuatu yang dimaafkan (dibolehkan) ketika shalat, sebagaimana yang dijelaskan di bawah ini: Imamiyah: Yang termasuk dimaafkan adalah darah yang keluar dari luka dan bisul, kudis dan semacamnya, baik banyak maupun sedikit, baik di pakaian maupun di badan kalau menghilangkannya sulit dan sukar. Batas darah itu harus lebih sedikit dari bundaran dirham, baik dari orang yang shalat itu sendiri maupun dari orang lain, dengan syarat darah itu harus menyatu (berkumpul) bukan berceceran dan bukan dari darah yang tiga ini, yaitu: Darah haid, nifas dan darah istihadhah, serta bukan pula dari darah binatang yang najis, seperti darah anjing dan babi, bukan pula dari bangkai. Dimaafkan pula najis yang menimpa pakaian yang bukan merupakan pelengkap shalat, seperti kopiah (peci), kaos kaki, sandal, cincin dan gelang kaki, serta benda-benda yang dibawa seperti pisau dan uang kertas; juga dimaafkan dari baju wanita pengasuh untuk anak-anak, baik ibunya mau­pun bukan, dengan syarat dicuci sedap hari, dan bila tidak bisa ia harus menggantinya. Setiap najis yang mengena pakaian atau badan bila dalam keadaan darurat, maka najis itu dimaafkan. Maliki: Dimaafkan dari kencing yang terus-menerus yang tidak bisa ditahan dan juga yang selalu buang air besar (yang tidak bisa ditahan-tahan) dan basah karena terkena penyakit wasir; juga yang menimpa baju atau pakaian orang (wanita) yang menyusui, baik itu dari kencing atau kotoran dari yang disusuinya dan juga mengenai baju atau badan penjagal, pembersih tempat mengambil wudhu dan dokter bedah, dan darah walaupun da­rah itu dari babi, dengan syarat tidak lebih dari bundaran dirham; serta darah yang keluar dari bisul-bisul dan dari kotoran kuda, dan banyak lagi lain-lainnya yang sengaja kami tinggalkan (lewat-kan) begitu saja, karena jarang terjadi. Hanafi: Dimaafkan dari najis kalau hanya sebesar bundaran dirham: baik itu darah maupun lain-lainnya, dan juga dari kencing, kotoran kucing dan tikus kalau dalam keadaan darurat, serta dari percikan kencing kalau hanya sedikit (sebesar ujung jarum) dan darah yang mengenai penjagal karena darurat, dan dari Lumpur jalan walau bercampur dengan najis kalau ia tidak nampak oleh pandangan mata, dan seterusnya dan najis-najis yang ringan (mukhaffafah) seperti kencing binatang yang dagingnya boleh dimakan kalau melumuri seperempat pakaian atau kurang dari seperempatnya. Syafi’i: Dimaafkan dari setiap najis kalau sedikit yang tidak kelihatan, dan dari Lumpur jalan yang bercampur dengan najis mukhaffafah (ringan) dan dari ulat buah-buahan, keju, dan dari cairan-cairan yang najis yang dimaksudkan untuk mengobati, bau-bauan yang harum, dan dari kotoran burung, dari bulu yang najis tapi sedikit selain bulu anjing dan babi, dan lain-lainnya yang dijelaskan di dalam beberapa buku secara panjang lebar.  Hambali: Dimaafkan dari darah dan nanah yang sedikit dan dari Lumpur jalan yang telah jelas najisnya serta dari najis yang me­ngenai mata manusia yang bila dibasuhnya sangat membahayakannya. Memakai Sutra Semua ulama mazhab sepakat bahwa memakai sutra dan emas adalah diharamkan bagi lelaki ketika shalat dan diluarnya, tetapi bagi wanita boleh, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam: “Diharamkan memakai sutra dan emas bagi lelaki yang menjadi umatku, dan dihalalkan bagi wanita-wanita mereka. “ Dari landasan pemikiran ini Imamiyah berbeda pendapat:Tidak sah shalatnya orang yang memakai sutra, khususnya bagi lelaki, dan juga tidak sah shalatnya kalau memakai pakaian yang disulam dengan emas, baik ia (pakaian) tali celana, peci, maupun kaos kaki sampai pada cincin emas, hanya mereka (Imamiyah) membolehkan untuk memakai sutra pada waktu shalat karena sakit atau dalam keadaan perang. Syafi’i: Kalau seorang lelaki shalat dengan memakai sutra, maka ia berarti telah melakukan sesuatu yang diharamkan, hanya sha­latnya tetap sah. (Al-Nawawi, Syarhul Muhadzdab, Jilid 3, halaman 179). Saya tidak mendapatkan teks yang jelas dari mazhab-mazhab yang lain yang menjelaskan batalnya shalat atau sahnya kalau memakai sutra, tetapi Hanafi sependapat dengan pandangan Syafi’i, begitu juga Hambali dalam salah satu riwayatnya berdasarkan kaidah umum, yaitu bahwa larangan untuk memakai sutra dan emas itu tidak berlaku dalam shalat dan tidak perlu mengulanginya lagi, sebagaimana larangan tentang ghashab, yang mana kalau memakai pakaian ghashab shalat tetap sah, hanya orang yang mukallafitu telah melakukan yang haram dan yang wajib secara bersamaan. Maka memakai sutra pun dalam shalat adalah sah, tetapi tetap haram memakainya. Dalam buku Al-Fiqhu ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah dijelaskan bahwa bagi orang yang sangat terpaksa dibolehkan memakai pakaian sutra ketika shalat dan tidak wajib mengulanginya lagi, menurut kesepakatan semua ulama mazhab. Kain Penutup Yang Dihalalkan Imamiyah: Mensyaratkan bahwa kain penutup aurat itu adalah dengan barang yang dihalalkan. Maka kalau ada seseorang yang shalat dengan pakaian (penutup) ghashab, dan ia mengetahui bahwa pakaiannya itu ghashab batallah shalatnya. Salah satu riwayat Ibnu Hambali juga berpendapat demikian. Mazhab-mazhab yang lain: Tetap sah shalat kalau memakai pa­kaian yang ghasab, karena larangan itu tidak berlaku dalam shalat yang dapat mencegah sahnya shalat. Imamiyah: Justru lebih memperketat tentang masalah ghashab ini sampai sebagian dari Imamiyah ada yang berpendapat: Kalau ada seseorang yang shalat dengan pakaian yang benangnya dari barang ghasab, atau membawa pisau atau uang dirham ghashab, atas apa saja dari hasil rampasan, maka shalatnya tidak sah, hanya mereka berpendapat: Kalau ia shalat dengan barang ghashab ka­rena tidak mengetahuinya atau karena lupa, maka shalatnya tetap sah. Kulit Binatang yang Tidak boleh dimakan Dagingnya Hanya Imamiyah saja yang menyatakan bahwa shalat seseorang itu tidak sah bila ia shalat pada kulit yang dagingnya tidak boleh dimakan sekalipun telah dimasak, baik itu bulunya, wolnya, ekor-nya, maupun rambutnya, dan juga sesuatu yang keluar dari binatang tersebut, seperti keringatnya dan air liurnya yang masih basah (lembab), walaupun hanya bulu kucing atau sejenisnya yang jatuh pada pakaian orang yang shalat itu, maka bila ia meneruskannya padahal ia mengetahuinya, batallah shalatnya. Mereka mengecualikan lilin dan madu, darah kepinding, kutu, udang dan lain-lainnya dari binatang yang tidak berdaging, sebagaimana mereka mengecualikan rambut manusia, keringatnya dan air liurnya. Imamiyah: Juga membatalkan shalat kalau kain penutup itu terdiri dari sebagian kulit bangkai binatang, baik dagingnya itu boleh dimakan maupun tidak, baik binatang yang darahnya mengalir maupun tidak, baik kulitnya itu dimasak maupun tidak.  Kalau pakaian orang shalat itu terkena najis yang tidak dimaafkan, dimana ia harus memilih, apakah ia akan shalat dengan kain najis atau akan shalat dengan telanjang, lain apa yang harus ia lakukan? Hambali: la harus shalat dengan pakaian yang najis itu, tetapi ia wajib mengulanginya lagi. Maliki dan kebanyakan dari Imamiyah: la harus shalat dengan pakaian yang najis itu, dan ia tidak meng­ulanginya lagi. Hanafi dan Syafi’i: la harus shalat dengan telanjang bulat, dan ia tidak boleh memakai pakaian yang terkena najis itu untuk shalat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar