Semua ulama mazhab
sepakat bahwa setiap orang lelaki dan wanita wajib menutupi sebagian anggota
badannya ketika shalat sebagaimana yang diwajibkannya untuk menutupi bagian
anggota badannya di hadapan orang lain (bukan muhrimnya) di luar shalat. Hanya
mereka berbeda pendapat bila lebih dari itu. Maksudnya apakah wanita itu
diwajibkan menutupi wajah dan dua telapak tangannya, atau hanya sebagian dari
keduanya ketika shalat, padahal bagi wanita itu tidak diwajibkan untuk
menutupinya di luar shalat? Dan apakah orang lelaki wajib menutupi selain pusar
dan lutut ketika shalat, padahal ketika di luar shalat ia tidak wajib
menutupinya? Hanafi: Bagi wanita wajib menutupi belakang dua telapak tangan dan
dua telapak kakinya, sedangkan bagi orang lelaki wajib menutupi dari lutut ke
atas sampai pada pusar. Syafi’i dan Maliki: Bagi wanita boleh membuka wajahnya,
dan dua telapak tangannya (baik dalam maupun luarnya) ketika shalat. Hambali: Tidak boleh dibuka kecuali wajahnya
saja. Imamiyah: Bagi setiap orang, baik lelaki maupun wanita wajib menutupi
anggota badannya ketika shalat sebagaimana yang diwajibkan untuk menutupinya
di luar shalat kalau ada orang lain (bukan muhrimnya) yang melihatnya,
sedangkan bagi wanita boleh membuka wajahnya ketika shalat dengan ukuran yang
dicuci dalam wudhu, boleh membuka dua telapak tangannya sampai pergelangannya
dan kedua kakinya sampai dua betisnya, luar dalam. Sedangkan bagi lelaki wajib
menutupi dua kemaluannya dan yang paling utama adalah antara pusar dan lutut. Syarat-syarat Penutup Dalam Shalat Pakaian
penutup itu mempunyai syarat-syarat yang harus diusahakan dan diperhadkan,
yaitu: Suci Sucinya kain penutup dan badan adalah merupakan syarat dari sahnya
shalat, menurut kesepakatan semua ulama mazhab, hanya setiap mazhab telah mengecualikan
beberapa sesuatu yang dimaafkan (dibolehkan) ketika shalat, sebagaimana yang
dijelaskan di bawah ini: Imamiyah: Yang termasuk dimaafkan adalah darah yang
keluar dari luka dan bisul, kudis dan semacamnya, baik banyak maupun sedikit,
baik di pakaian maupun di badan kalau menghilangkannya sulit dan sukar. Batas
darah itu harus lebih sedikit dari bundaran dirham, baik dari orang yang shalat
itu sendiri maupun dari orang lain, dengan syarat darah itu harus menyatu
(berkumpul) bukan berceceran dan bukan dari darah yang tiga ini, yaitu: Darah
haid, nifas dan darah istihadhah, serta bukan pula dari darah binatang yang
najis, seperti darah anjing dan babi, bukan pula dari bangkai. Dimaafkan pula
najis yang menimpa pakaian yang bukan merupakan pelengkap shalat, seperti
kopiah (peci), kaos kaki, sandal, cincin dan gelang kaki, serta benda-benda
yang dibawa seperti pisau dan uang kertas; juga dimaafkan dari baju wanita
pengasuh untuk anak-anak, baik ibunya maupun bukan, dengan syarat dicuci sedap
hari, dan bila tidak bisa ia harus menggantinya. Setiap najis yang mengena
pakaian atau badan bila dalam keadaan darurat, maka najis itu dimaafkan.
Maliki: Dimaafkan dari kencing yang terus-menerus yang tidak bisa ditahan dan
juga yang selalu buang air besar (yang tidak bisa ditahan-tahan) dan basah
karena terkena penyakit wasir; juga yang menimpa baju atau pakaian orang
(wanita) yang menyusui, baik itu dari kencing atau kotoran dari yang disusuinya
dan juga mengenai baju atau badan penjagal, pembersih tempat mengambil wudhu
dan dokter bedah, dan darah walaupun darah itu dari babi, dengan syarat tidak
lebih dari bundaran dirham; serta darah yang keluar dari bisul-bisul dan dari
kotoran kuda, dan banyak lagi lain-lainnya yang sengaja kami tinggalkan
(lewat-kan) begitu saja, karena jarang terjadi. Hanafi: Dimaafkan dari najis
kalau hanya sebesar bundaran dirham: baik itu darah maupun lain-lainnya, dan
juga dari kencing, kotoran kucing dan tikus kalau dalam keadaan darurat, serta
dari percikan kencing kalau hanya sedikit (sebesar ujung jarum) dan darah yang
mengenai penjagal karena darurat, dan dari Lumpur jalan walau bercampur dengan
najis kalau ia tidak nampak oleh pandangan mata, dan seterusnya dan najis-najis
yang ringan (mukhaffafah) seperti kencing binatang yang dagingnya boleh dimakan
kalau melumuri seperempat pakaian atau kurang dari seperempatnya. Syafi’i:
Dimaafkan dari setiap najis kalau sedikit yang tidak kelihatan, dan dari Lumpur
jalan yang bercampur dengan najis mukhaffafah (ringan) dan dari ulat
buah-buahan, keju, dan dari cairan-cairan yang najis yang dimaksudkan untuk
mengobati, bau-bauan yang harum, dan dari kotoran burung, dari bulu yang najis
tapi sedikit selain bulu anjing dan babi, dan lain-lainnya yang dijelaskan di
dalam beberapa buku secara panjang lebar.
Hambali: Dimaafkan dari darah dan nanah yang sedikit dan dari Lumpur
jalan yang telah jelas najisnya serta dari najis yang mengenai mata manusia
yang bila dibasuhnya sangat membahayakannya. Memakai Sutra Semua ulama mazhab
sepakat bahwa memakai sutra dan emas adalah diharamkan bagi lelaki ketika
shalat dan diluarnya, tetapi bagi wanita boleh, berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam: “Diharamkan memakai sutra dan emas
bagi lelaki yang menjadi umatku, dan dihalalkan bagi wanita-wanita mereka. “
Dari landasan pemikiran ini Imamiyah berbeda pendapat:Tidak sah shalatnya orang
yang memakai sutra, khususnya bagi lelaki, dan juga tidak sah shalatnya kalau
memakai pakaian yang disulam dengan emas, baik ia (pakaian) tali celana, peci,
maupun kaos kaki sampai pada cincin emas, hanya mereka (Imamiyah) membolehkan
untuk memakai sutra pada waktu shalat karena sakit atau dalam keadaan perang.
Syafi’i: Kalau seorang lelaki shalat dengan memakai sutra, maka ia berarti
telah melakukan sesuatu yang diharamkan, hanya shalatnya tetap sah.
(Al-Nawawi, Syarhul Muhadzdab, Jilid 3, halaman 179). Saya tidak mendapatkan
teks yang jelas dari mazhab-mazhab yang lain yang menjelaskan batalnya shalat
atau sahnya kalau memakai sutra, tetapi Hanafi sependapat dengan pandangan
Syafi’i, begitu juga Hambali dalam salah satu riwayatnya berdasarkan kaidah
umum, yaitu bahwa larangan untuk memakai sutra dan emas itu tidak berlaku dalam
shalat dan tidak perlu mengulanginya lagi, sebagaimana larangan tentang ghashab,
yang mana kalau memakai pakaian ghashab shalat tetap sah, hanya orang yang
mukallafitu telah melakukan yang haram dan yang wajib secara bersamaan. Maka
memakai sutra pun dalam shalat adalah sah, tetapi tetap haram memakainya. Dalam
buku Al-Fiqhu ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah dijelaskan bahwa bagi orang yang
sangat terpaksa dibolehkan memakai pakaian sutra ketika shalat dan tidak wajib
mengulanginya lagi, menurut kesepakatan semua ulama mazhab. Kain Penutup Yang
Dihalalkan Imamiyah: Mensyaratkan bahwa kain penutup aurat itu adalah dengan
barang yang dihalalkan. Maka kalau ada seseorang yang shalat dengan pakaian
(penutup) ghashab, dan ia mengetahui bahwa pakaiannya itu ghashab batallah
shalatnya. Salah satu riwayat Ibnu Hambali juga berpendapat demikian. Mazhab-mazhab
yang lain: Tetap sah shalat kalau memakai pakaian yang ghasab, karena larangan
itu tidak berlaku dalam shalat yang dapat mencegah sahnya shalat. Imamiyah:
Justru lebih memperketat tentang masalah ghashab ini sampai sebagian dari
Imamiyah ada yang berpendapat: Kalau ada seseorang yang shalat dengan pakaian
yang benangnya dari barang ghasab, atau membawa pisau atau uang dirham ghashab,
atas apa saja dari hasil rampasan, maka shalatnya tidak sah, hanya mereka
berpendapat: Kalau ia shalat dengan barang ghashab karena tidak mengetahuinya
atau karena lupa, maka shalatnya tetap sah. Kulit Binatang yang Tidak boleh
dimakan Dagingnya Hanya Imamiyah saja yang menyatakan bahwa shalat seseorang
itu tidak sah bila ia shalat pada kulit yang dagingnya tidak boleh dimakan
sekalipun telah dimasak, baik itu bulunya, wolnya, ekor-nya, maupun rambutnya,
dan juga sesuatu yang keluar dari binatang tersebut, seperti keringatnya dan
air liurnya yang masih basah (lembab), walaupun hanya bulu kucing atau
sejenisnya yang jatuh pada pakaian orang yang shalat itu, maka bila ia
meneruskannya padahal ia mengetahuinya, batallah shalatnya. Mereka
mengecualikan lilin dan madu, darah kepinding, kutu, udang dan lain-lainnya
dari binatang yang tidak berdaging, sebagaimana mereka mengecualikan rambut
manusia, keringatnya dan air liurnya. Imamiyah: Juga membatalkan shalat kalau
kain penutup itu terdiri dari sebagian kulit bangkai binatang, baik dagingnya
itu boleh dimakan maupun tidak, baik binatang yang darahnya mengalir maupun
tidak, baik kulitnya itu dimasak maupun tidak.
Kalau pakaian orang shalat itu terkena najis yang tidak dimaafkan,
dimana ia harus memilih, apakah ia akan shalat dengan kain najis atau akan
shalat dengan telanjang, lain apa yang harus ia lakukan? Hambali: la harus
shalat dengan pakaian yang najis itu, tetapi ia wajib mengulanginya lagi.
Maliki dan kebanyakan dari Imamiyah: la harus shalat dengan pakaian yang najis
itu, dan ia tidak mengulanginya lagi. Hanafi dan Syafi’i: la harus shalat
dengan telanjang bulat, dan ia tidak boleh memakai pakaian yang terkena najis
itu untuk shalat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar