Dari Huraidhah ke Betawi
Berjubah dan bersurban putih, serta selempang hijau (radi),
Habib Ali bin Husin Alatas, baik semasa tinggal di Cikini maupun Bungur
menerima murid-muridnya atau masyarakat yang ingin menanyakan sesuatu hukum
atau persoalan agama. Seperti diungkapkan Habib Ali bin Abdurahman Assegaff
(62), dalam mengajar, almarhum biasanya berhadap-hadapan dengan para kiai atau
ulama ternama yang datang ke kediamannya. Para ulama ini umumnya para pimpinan
majelis taklim.
Misalnya KH Abdullah Syafiie, KH Tohir Rahili, KHM Syafi’i
Hadzami, atau KH Nur Ali dari Bekasi, yang pada masa revolusi fisik (1945)
menggerakkan rakyat melawan Belanda. Sejumlah ulama Betawi lainnya dari
generasi yang lebih muda antaranya KH Abdurahman Nawi, pimpinan majelis taklim
Al-Awwabin di Tebet (Jakarta Selatan), dan Depok (di kawasan Bintara dan
Tugu-Sawangan). Tapi, menurut Habib Ali Assagaff, di antara ulama-ulama ternama
juga banyak dari luar Jakarta. Bahkan dari Jawa Timur seperti Habib Husein
Almachdor (Bondowoso), Habib Abdullah Bilfagih (Surabaya).
Di kediamannya itu, Habib Ali menerima mereka yang
membacakan suatu kitab atau menanyakan suatu masalah kepadanya. Lalu almarhum
menerangkan mengenai isi kitab tersebut. Habib Ali Assagaff yang pernah
beberapa tahun berguru kepada almarhum membenarkan, umumnya yang belajar kepada
beliau adalah para ulama dan kiai ternama. Tapi banyak yang ketika itu menjadi
kader-kader ulama, kini telah berhasil menjadi ulama terkemuka.
Meskipun para murid yang belajar kepadanya tidak bersifat
massal seperti di majelis-majelis taklim, tapi almarhum Habib Ali seringkali
mendatangi diskusi dan pengajian antar-ulama dan kader-kader ulama. Jumlah
mereka memang tidak banyak, hanya puluhan orang.
Seperti dikemukakan putranya Habib Husein, biasanya
pengajian yang dihadiri lebih banyak muridnya diadakan secara rutin di majelis
taklim Attahiriyah, pimpinan KH Tohir Rohili. Akan tetapi, sering pula
pengajian semacam ini diadakan di kediaman atau pengajian KH Abdullah Syafi’ie
(As-Syafiiyah), KHM Syafi’i Hadzami (Majelis Taklim Asyirotusy-Syafi’iyah) dan
di majelis taklim Habib Abdurahman Assegaff, di Bukit Duri, Jakarta Timur.
Tidak seperti di majelis taklim Kwitang misalnya, dimana
Habib Ali Alhabsji, mengajar di hadapan ribuan jamaah, Habib Ali Alatas hanya
di kalangan terbatas. Seperti dikemukakan oleh KHM Syafi’i Hadzami, salah satu
murid kesayangannya, cara mengajarnya ialah mendengarkan para murid-muridnya
satu persatu membacakan kitab. Lalu beliau memberikan keterangan, dan
dilanjutkan dengan tanya jawab. Baik di Cikini, maupun di Bogor, selama 56
tahun Habib Ali membuka semacam majelis talim khusus untuk para pimpinan dai
dan mubaligh. Antara keduanya sampai akhir hayat terjalin hubungan yang sangat
akrab, dan keduanya setiap saat sering bertemu. Dalam diskusi terbatas semacam
ini, sejumlah kitab yang menjadi rujukan ulama salaf dibahas. Seperti kitab
Minhajud Thalibin, kitab Hadis Bukhari-Muslim, hingga kepada kitab-kitab Ihya
Ulumuddin-nya Imam Al-Ghazali.
Sejumlah ajengan dan mubaligh dari Bogor, Sukabumi, dan
Cianjur, banyak yang mendatanginya. Almarhum juga teman akrab para ulama
intelektual kala itu, seperti Buya KH Abdullah bin Nuh, Prof Dr Abubakar Atjeh,
dan juga Hamka. Menurut Syafi’i Hadzami, salah seorang murid terdekat almarhum,
dia telah menimba ilmu kepadanya selama 18 tahun.
Dari tahun 1958 hingga saat meninggalnya almarhum pada
Pebruari 1976. Begitu cintanya ia kepada gurunya ini, sehingga ketika habib Ali
pindah ke Bungur, KH Syafi’i dari Kebon Sirih ikut-ikutan pindah. Setelah Habib
Ali meninggal dunia, kecintaannya terhadap gurunya ini tidak berkurang. ”Setiap
kali saya melewati daerah makamnya di Cililitan, saya selalu membacakan Fatihah
dan mendoakannya,” kenang Hadzami dalam buku Sumur yang tak Pernah Kering.
Ke Jakarta
Habib Ali bin Husin Alatas dilahirkan di Huraidhah,
Hadramaut, pada tanggal 1 Muharram 1309 atau 1889 Masehi, juga dikenal dengan
sebutan Habib Ali Bungur. Karena pada akhir hayatnya, ia dan keluarga tinggal
di Bungur, Jakarta Pusat. Sebelumnya, guru sejumlah kiai Jakarta ini tinggal di
Cikini, Jakarta Pusat. Hingga kala itu namanya dikenal dengan sebutan Habib Ali
Cikini. Sejak usia enam tahun ia telah menuntut ilmu keislaman pada sebuah
ma’had atau pesantren di Hadramaut. Setelah menempuh pendidikan belasan tahun,
pada tahun 1912 dalam usia 23 tahun ia pun menunaikan ibadah haji. Di kota suci
ini, Habib Ali menetap selama lima tahun yang waktunya dihabiskan untuk
menuntut ilmu pada sejumlah ulama. Pada tahun 1917, ia kembali ke Huraidhah,
dan mengajar di kota yang banyak memiliki pesantren itu.
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1920, dalam usia 41
tahun, ia pun berangkat ke Jakarta. Hanya dalam waktu singkat, almarhum yang
selalu dekat dengan rakyat itu, telah dapat menguasai bahasa Indonesia. Ia
mula-mula tinggal di Cikini, berdekatan dengan Masjid Cikini, yang dibangun
oleh pelukis Raden Saleh. Ia dengan cepat dapat menarik perhatian masyarakat
setempat.
Habib yang dikenal sebagai guru dari sejumlah ulama
terkemuka di Betawi itu, pada masa hidupnya dikenal sebagai ulama ahli dalam
bidang fikih, falsafah, tasawuf, dan perbandingan mazhab. Menguasai berbagai
kitab kuning dari berbagai mazhab, Habib Ali Alatas, selama 56 tahun telah
mengabdikan diri untuk perjuangan agama. Bukan saja di Indonesia, juga di
Malaysia dan Singapura, banyak muridnya.
Seperti dikemukakan oleh putranya, yang kini meneruskan
majelis taklim ‘Al-Khairat’ di Condet, ayahnya memang tidak mau menonjolkan
diri. Padahal, di antara para muridnya merupakan ulama terkemuka kala itu.
Seperti KH Abdullah Sjafi’ie, pimpinan majelis taklim Assyfi’iyah, KH Tohir
Rohili, pimpinan majelis taklim Attahiriyah, KH Syafi’i Hadzami (ketua umum MUI
Jakarta), dan puluhan ulama lainnya. Bahkan, para muridnya itu kemudian menjadi
guru para mubaligh, dan perguruan tinggi Islam.
Menurut Habib Husein (62 tahun), ayahnya sangat gandrung
kepada persatuan umat (ukhuwwah Islamiyah). Di samping sabar dan tidak mengenal
lelah dalam melaksanakan dakwah. Selain di kediamannya, menurut putranya Habib
Husein, ayahnya juga mengajar di berbagai tempat. Seperti pada setiap habis
shalat Jumat, dia mengajar di Attahiriyah. Ulama yang ikut berguru, bukan hanya
dari Jakarta, tapi juga dari Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Habib Husin sendiri
di kediamannya di Condet, membuka pengajian untuk masyarakat setempat setiap
Ahad malam yang dihadiri sekitar 300-400 jamaah.
Bersama rakyat jelata
Baik selama di Cikini, maupun di Bungur, almarhum menetap di
lingkungan kampung bersama rakyat jelata. Seperti dikemukakan oleh salah satu
muridnya, Habib Ali bin Abdurahaman Assegaff, salah satu pimpinan jamaah shubuh
di Tebet, ”Setiap orang yang mengenal almarhum selalu akan berkata, hidupnya
sederhana, dan tawadhu.” Setahu saya, kata Habib Ali Assegaff (60 tahun),
”Beliau tidak pernah menyakiti sesama manusia, teguh memegang prinsip, menolak
pengultusan, berani membela kebenaran, luas dalam pemikiran.’
Yang perlu diikuti oleh para ulama masa kini, kata Habib Ali
Assegaff, beliau tidak membeda-bedakan kaya dan miskin. Dalam mendekatkan diri
dengan rakyat jelata ini, putranya menerangkan, almarhum ayahnya selalu naik
becak atau kendaraan umum, karena sikapnya yang ingin berdiri dengan kaki
sendiri. Melihat keadaan ini, sering di antara para muridnya yang memaksa
beliau untuk menaiki mobilnya. Karena tidak tega melihatnya naik becak dalam
usia lanjut.
Sampai akhir hayatnya, ia tidak memiliki mobil karena
menerapkan hidup sederhana dan tidak pernah mau menadahkan tangan kepada orang
kaya. Ketika berdakwah ke berbagai tempat ia lebih banyak naik becak. Hanya
dalam waktu singkat, ia pun menjadi sumber ilmu dari para kiai dan ulama kala
itu. Hingga kediamannya di Cikini, di sebuah gang kecil yang tidak dapat
dimasuki mobil, selalu didatangi para muridnya yang ingin menambah ilmu. Pada
tahun 1960′an, rumahnya di Cikini terbakar. Maka ia pun pindah ke Bungur, sebuah
kampung di kawasan Senen, yang mayoritas penduduknya warga Betawi.
Di samping itu, Habib Ali pun dalam dakwah Islamnya banyak
mendatangi berbagai tempat di Pulau Jawa. Seperti yang dikemukakan oleh KH
Idham Chalid, yang juga pernah berguru padanya, almarhum dalam perjuangannya
tidak pernah menonjol-nonjolkan diri bahwa ia seorang yang pandai. Ketua
DPR/MPR KH Idham Chalid, yang juga ketua umum PBNU. Idham Chalid, kala itu
mengatakan, almarhum berani mengoreksi para pemimpin. ”Saya sendiri sering
dikoreksinya,” tegas Idham. Sedangkan Habib Ali Assegaff, salah satu muridnya
sangat terkesan akan ketegasan gurunya itu. Sementara Idham Chalid mengaku,
”Saya seringkali ditegur karena kesalahan-kesalahan saya, dan almarhum memberi jalan
keluar serta nasihat-nasihat.” Pernyataan ini dilontarkan Idham Chalid saat
memberikan sambutan pada acara pemakaman almarhum di Cililitan, Jakarta Timur.
Bagi KHM Syafi’i Hadzami ada pengalaman tak terlupakan
dengan gurunya itu. Suatu ketika ia menjenguk gurunya yang sedang sakit di
kediamannya. Sebagai penghormatan dan adab pada guru, ia pun membuka sandalnya
di luar kamar. Melihat muridnya demikian, ia pun menyuruh agar memakai
sandalnya itu. Karena KHM Sjafi’i menolak, Habib Ali yang tengah sakit keluar
dari kamarnya.
Ia mengambil sandal muridnya, dan minta agar memakainya.
”Saya terkejud dengan perlakuan guru saya yang demikian itu,” ujarnya. Selain
Sjafi’i Hadzami, nama-nama besar lain yang pernah menimba ilmu darinya adalah
Habib Muhammad Alhabsji (putra Habib Ali Kwitang), Habib Abdulkadir bin
Abdullah Bilfagih (Malang), KH Abdullah Syafi’i, KH Tohir Rohili, KH Abdulrazag
Ma’mun, Prof Dr H Abubakar Atjeh, KH Nur Ali (Bekasi), dan sejumlah ulama
kondang lainnya. (as)
Almarhum meninggal dunia pada 16 Pebruari 1976 dalam usia 88
tahun.
Guru dari beberapa lembaga ilmiah, majelis taklim, dan
perguruan agama ini, memang dikenal low profile.
© 2006 Hak Cipta oleh Republika Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar