Setelah pengaduan Nabi Nuh diterima Allah SWT, Allah pun
memberikan berita kepada Nabi Nuh, kelak kaumnya yang kafir itu akan
ditenggelamkan. Allah memerintahkan kepada Nabi Nuh agar tidak lagi
membicarakan mereka. Jangan lagi berdialog dengan mereka, jangan pula menengahi
urusan mereka, sebagai balasannya, kelak mereka akan ditenggelamkan, apapun
kedudukan mereka dan apapun kedekatan mereka dengan Nabi Nuh (QS. Hud: 37).
Nabi Nuh pun akhirnya menerima perintah Allah SWT untuk
membuat perahu dengan petunjuk dan pengawasan-Nya. Maka mulailah Nabi Nuh
menanam pohon untuk membuat perahu darinya. Ia menunggu beberapa tahun. Ibnu
Katsir menerangkan, Nabi Muhammad SAW menjelaskan, Nabi Nuh menanam sebatang
pohon selama 1000 tahun, hingga pohon itu tumbuh besar dan bercabang
dimana-mana.
Setelah itu ia memotongnya, dan kemudian mulailah Nabi Nuh
membuat perahu, lalu kaumnya yang berjalan melewatinya saat Nabi Nuh sedang
serius membuat perahu mengejeknya. “Kau membuat perahu di daratan, bagaimana ia
akan bisa berlayar? Sungguh Nuh telah gila!, maka Nuh pun menjawab, Kelak
kalian akan mengetahui.”
Dengan kesabaran dan ketabahan luar biasa, ditengah-tengah
ejekan dan cacian itu, akhirnya jadilah perahu yang besar, tinggi dan kuat.
Lalu Nabi Nuh duduk menunggu perintah Allah SWT. Maka Allah mewahyukan kepada
Nabi Nuh, jika ada yang mempunyai dapur (At-Tannur), ini sebagai tanda
dimulainya angin topan.
Dijelaskan yang dimaksud dengan At-Tannur sebenarnya adalah
alat untuk memanggang roti yang ada di dalam rumah Nabi Nuh. Jika keluar
darinya air dan ia lari, itu merupakan perintah atau tanda bagi Nabi Nuh untuk
bergerak.
Pada suatu hari, Tannur itu mulai menunjukkan
tanda-tandanya, maka Nabi Nuh segera membuka perahunya dan mengajak orang-orang
Mukimin untuk menaikinya, Jibril turun ke Bumi. Menggiring setiap binatang yang
berpasangan agar setiap species binatang tidak punah dari muka bumi, sebab
badai dan angin topan akan menenggelamkan semuanya. Nabi Nuh membawa burung,
binatang buas, binatang yang berpasang-pasangan, sapi, gajah, semut dan
lain-lain. Dalam perahu itu Nabi Nuh telah membuat kandang binatang buas.
Istri Nabi Nuh pun Tenggelam
Istri Nabi Nuh tidak beriman kepadanya, sehingga ia tidak
ikut menaiki perahu. Salah seorang anaknya yang menyembunyikan kekafirannya,
dengan menampakkan keimanan di depan Nabi Nuh pun tidak ikut dalam perahu itu.
Mayoritas kaum Nabi Nuh waktu itu tidak beriman, sehingga mereka tidak ikut
serta. Ibnu Abbas berkata, “Hanya 80 orang dari kaum Nabi Nuh yang beriman
kepadanya.”
Air mulai meninggi, keluar dari celah-celah bumi. Sementara
dari langit turunlah hujan yang sangat deras. Hujan semacam ini belum pernah
turun sebelumnya, bahkan tidak akan pernah turun lagi sesudahnya. Maka laut pun
bergolak, ombaknya menerpa apa saja dan menyapu isi bumi.
Banjir bandang terjadi dimana-mana, airpun meninggi di atas
kepala manusia, melampaui ketinggian pohon yang paling tinggi, bahkan puncak
gunung pun akhirnya tenggelam. Akhirnya seluruh permukaan bumi diselimuti oleh
air, tak ada satupun yang selamat, kecuali yang ikut berlayar bersama perahu
Nabi Nuh.
Demikianlah Allah azza wajalla menurunkan azabnya ke muka
bumi. Azab itu diturunkan lantaran semua umat manusia telah berpaling dari
Tuhannya.
Topan yang dialami Nabi Nuh terus berlanjut dalam beberapa
zaman, kita tidak dapat mengetahui batasnya. Kemudian datanglah perintah Allah,
agar langit menghentikan hujannya dan bumi tetap tenang hingga dapat menelan
air bah itu.
Dan difirmankan, “Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit
(hujan), berhentilah.” Dan airpun disurutkan, perintah pun diselesaikan, dan
bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi. Dan dikatakan, binasalah
orang-orang yang zalim (QS. Hud: 44), yakni kehancuran bagi kaum Nabi Nuh yang
ingkar terhadap firman Allah. Dengan begitu bumi telah dibersihkan dari mereka.
Disebutkan oleh pengarang kitab Ambiya Allah, hari
berlabuhnya perahu Nabi Nuh di atas bukit Judi terjadi pada Asyura (hari ke 10
bulan Muharram).
Putra Nabi Nuh Ikut Tenggelam
Ketika air bah dan banjir bandang kian kencang, Nabi Nuh
menyuruh kaumnya yang beriman, “Naiklah kamu sekalian ke dalam bahtera dengan
menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” (QS. Hud: 41).
Sementara itu sebagian besar kaum Nabi Nuh yang tidak beriman mencari selamat
dengan mendaki gunung yang paling tinggi.
Di antara kaumnya itu, di tempat terpencil dan jauh, Nabi
Nuh melihat anak kesayangannya. Nabi Nuh tidak mengetahui, saat itu putranya
menjadi kafir. Ia benar-benar tidak mengetahui seberapa jauh bagian keimanan
yang ada pada anaknya.
Lalu tergeraklah naluri kasih sayang seorang ayah. Maka Nabi
Nuh pun berseru kepada Tuhannya. “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk
keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar, dan Engkaulah
hakim yang seadil-adilnya.” (QS. Hud: 45)
Dan Nabi Nuh pun menyeru kepada anaknya. “Hai anakku,
naiklah (ke Perahu) bersama kami, dan janganlah kamu berada bersama orang-orang
kafir.” Mendengar ajakan ayahnya, anaknya pun menjawab. “Aku akan mencari
perlindungan ke atas Gunung yang dapat memeliharaku dari air bah.” Namun, Nabi
Nuh berkata, “Tidak ada yang bisa melindungi hari ini dari azab Allah selain
Allah (saja) yang maha Penyayang.” (QS. Hud: 43). Tiba-tiba gelombang
menggulung dan menjadi penghalang percakapan diantara keduanya. Maka jadilah
anak Nabi Nuh termasuk orang yang ditenggelamkan.
Nabi Nuh AS ingin berkata kepada Allah SWT, anaknya termasuk
dalam keluarganya yang beriman, sedangkan Allah telah berjanji akan
menyelamatkan keluarganya yang beriman. Tetapi Allah berkata dan menjelaskan
kepada Nabi Nuh keadaan yang sebenarnya. Anak Nabi Nuh hanya berpura-pura
beriman di hadapan ayahnya.
“Hai Nuh, sesungguhnya dia tidak termasuk keluargamu (yang
dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu,
janganlah engkau memohon kepadaku, sesuatu yang kamu tidak mengetahui
(hakikatnya). Aku peringatkan kepadamu, janganlah kamu termasuk orang-orang
yanag tidak berpengetahuan.” (QS. Hud: 46).
Di sini terdapat pelajaran penting yang terkandung dalam
ayat-ayat yang mulia itu. Allah ingin berkata Nabi nya yang mulia itu, anaknya
tidak termasuk dalam keluarganya karena ia tidak beriman kepada Allah SWT.
Hubungan darah bukanlah hubungan hakiki di antara manusia, sebab anak seorang
Nabi pada hakikatnya adalah yang meyakini akidah, yaitu yang mengikuti Allah
SWT dan Nabi-Nya, bukan yang menghindar, bukan pula yang menentangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar