Sejuta Hadits
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits sahih, Bukhari
menghabiskan waktu selama 16 tahun buat mengunjungi berbagai kota. ia menemui
para perawi hadits, lalu mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Dari Basrah ia
menuju Masir, Hujaz (Mekah dan Madinah), Kufah, Bagdad – pusat ilmu pengetahuan
dan peradaban Islam kala itu – Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan Imam Ahmad bin Hambal, pendiri Mazhab
Hambali. Di sejumlah kota itu ia telah bertemu dengan 80.000 perawi. Dari
merekalah ia mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Tapi tidak seluruh hadits yang ia hafal lantas ia
riwayatkan, melainkan terlebih dahulu ia seleksi. Cara meyeleksinya pun sangat
ketat. Diantaranya, apakah sanad atau riwayatnya bersambung, dan apakah
perawinya Tsiqah (kuat). Saking disiplin dan selektifnya, menurut Ibnu Hajar
Al-Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan 9.082 hadits dalam karya Monumentalnya
“Al-Jami’ al-Shahih, yang lebih dikenal sebagai “Shahih Bukhari”. Maka tidak
mengherankan jika kemudian banyak ahli hadits berguru padanya., seperti Syekh
Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad ibnu Nasr, dan Imam Muslim.
Imam Bukhari telah menulis lebih dari 53 kitab, diantaranya:
Al-Jami’ Al-Shahih, yang lebih dikenal sebagai Shahih Bukhari, Al-Adabul
Al-Mufrad, Al-Tarikh as-Saghir, Al-Tarikh Al-Awsat, Al-Tarikh Al-Kabir,
At-Tafsir al-Kabir, Al-Musnad Al-Kabir, Kitab Al-Ilal, Raful Yadain fis Salah,
Birrul Walidain, Kitab Al-Asyribah, Al-Qira’ah Khalf al-Imam, kitab Ad-Du’afa,
Asami as-Sahabah, dan Al-Hibah.
Dalam meneliti dan mengumpulkan hadits, ia sangat tekun dan
tak kenal lelah. Di tengah malam yang sunyi, ia bangun lalu menyalakan lampu,
dan menulis setiap hadits dan masalah-masalah yang terlintas di pikirannya.
Setelah itu lampu ia padamkan kembali. Setiap malam ia lakukan hal itu, hampir
dua puluh kali. Dalam syarah atau keterangan kitab Shahih Bukhari, Imam
Al-Asqalani menulis, para guru Imam Bukhari dapat dibagi dalam tiga tingkatan,
yaitu Tabi’in (ulama terdahulu), Tabi’it Tabi’in (generasi setelah Tabi’in),
dan para Mahasiswa yang belajar bersamanya.
Ia telah berguru kepada 1.080 ahli hadits selama 16 tahun.
Mereka itu antara lain: Ali ibnu Al-Madini, Imam Ahmad bin Hambal, Yahya ibnu
Ma’in, Muhammad ibnu Yusuf Al-Faryabi, Maki ibnu Ibrahim Al-Bakhi, Muhammad
ibnu Yusuf Al-Baykandi, dan Ibnu Ruhawaih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang
haditsnya dikutip dalam kitab Shahihnya.
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits, dan tentu saja dalam
berdiskusi dengan para perawi, Imam Bukhari sangat sopan, kritik-kritik yang ia
lontarkan kepada para perawi, juga cukup halus. Kepada perawi yang sudah jelas
kebohongannya, ia hanya berkata, “Hadits ini perlu dipertimbangkan, para ulama
meninggalkannya, atau para ulama berdiam diri mengenai hal itu.” Sementara
kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas, ia menyatakan “Haditsnya
diingkari.”
Penelitian Serius
Meskipun cukup sopan berhadapan dengan para perawi yang
ditenuinya, ia banyak meninggalkan hadits yang diriwayatkan oleh para perawi
yang diragukan kejujurannya. “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan
oleh perawi yang perlu dipertimbangkan, dan meninggalkan hadits-hadits dengan
jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatkan oleh perawi yang dalam
pendanganku perlu dipertimbangkan.”
Begitu banyak ulama atau perawi yang ditemui, sehingga
Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka. Ia memang sangat teliti dan
akurat. Untuk mendapatkan catatan yang lengkap mengenai sebuah hadits, Bukhari
melawat ke Mesir, Suriah, Aljazair, sampai dua kali. Bahkan untuk mengecek
kekurangan sebuah hadits saja ia bisa berkali-kali datang menemui para ulama
atau perawi, seperti yang ia lakukan ke Bagdad dan Kufah.
Mengenai kunjungan-kunjungannya kepada sejumlah ulama dan
perawi di beberapa kota itu, Imam Bukhari berkata, “Saya telah mengunjungi
Syam, Mesir, dan Jazirah Arab, masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali,
menetap di Hijaz selama enam tahun, dan tidak dapat dihitung lagi berapa kali
saya mengunjungi Kufah dan Bagdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”
Dalam penelitian yang cukup lama dan melelahkan itu – tapi
dengan tingkat disiplin keilmuan yang sangat ketat – Imam Bukhari berhasil mengumpulkan
600.000 hadits, lebih kurang separuh diantaranya ia hafal. Diantara ribuan
hadits tersebut, 100.000 hadits diantaranya sahih, 200.000 lainnya tidak sahih.
Disela-sela kesibukannya sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai
Fuqaha atau ahli fikih, bahkan ia tidak melupakan kegiatan sampingan yang lebih
rekreatif, seperti belajar memanah sampai mahir. Ada yang mengatakan, sepanjang
hidupnya Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali hanya dua kali.
Bisa dimaklumi jika namanya menjulang sebagai ulama ahli
hadits yang termasyhur. Kaum muslimin mengagumi dan menghormatinya, kemanapun
ia berkunjung selalu mendapat sambutan hangat. Ketika berkunjung ke Naisabur
pada tahun 250 H, ia disambut meriah oleh warga kota, juga oleh para ulama dan
seorang gurunya, Muhammad bin Yahya As-Zihli. Dalam kitab Sahih Muslim, Imam
Muslim bin Al-Hajjaj, menulis, “Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, saya
tidak pernah melihat kepala daerah, dan para ulama serta warga kota memberi
sambutan luar biasa seperti yang mereka berikan padanya.”
Mereka sudah menyambut kedatangan Imam Bukhari sejak di luar
kota sejauh dua atau tiga Marhalah (lebih kurang 100 kilometer), sampai-sampai
Az-Zihli, salah seorang guru Imam Bukhari berkata, “Barangsiapa hendak
menyambut kedatangan Imam Bukhari besok pagi, lakukanlah, sebab saya sendiri
juga akan ikut menyambutnya.”
Keesokan harinya, Az-Zihli, bersama para Ulama dan warga
kota Naisabur, menyongsong kedatangan Imam Bukhari – yang kemudian menetap di
perkampungan orang-orang Bukhara untuk mengajar ilmu hadits. Az-Zihli sendiri
menganjurkan kepada warga kota Naisabur untuk mengikuti pengajian muridnya yang
pandai itu. “Pergilah kalian kepada orang alim yang salih itu, ikuti dan
dengarkan pengajiannya,” ujarnya.
Mungkin karena sangat terkenal, ada saja warga Naisabur yang
kurang berkenan. Sementara sibuk mengajar, Imam Bukhari di fitnah seolah-olah
telah mengajarkan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Begitu marak fitnah itu,
sehingga Az-Zihli, gurunya, terpengaruh. “Barang siapa berpendapat bahwa
lafaz-lafaz Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah ahli bid’ah, ia tidak boleh
diajak bicara dan majlisnya tidak boleh dihadiri. Dan barang siapa masih
mengunjungi majlisnya, curigailah dia.” Karuan saja, setelah Az-Zihli
menyatakan fatwanya, pengajiannya pun mulai sepi.
Menunggang Himar
Fitnah itu bermula dari pertanyaan seorang jemaah,
“Bagaimana pendapat anda tentang lafaz-lafaz Al-Qur’an, makhluk atau bukan?”
Bukhari berpaling dari si penanya, tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu
diajukan sampai tiga kali. Karena si penanya terus mendesaknya, ia lalu
menjawab, “Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan
manusia adalah makhluk, dan fitnah merupakan bid’ah.” Yang ia maksud dengan
perbuatan manusia ialah bacaan dan ucapan mereka. Pendapat ini membedakan
antara yang dibaca dan bacaan – adalah pendapat yang menjadi pegangan para
ulama ahli Tahqiq (tempat rujukan) dan ulama salaf.
Dalam versi lain, Imam Bukhari berkata, “Iman adalah
perkataan dan perbuatan, yang bisa bertembah dan berkurang. Al-Qur’an adalah
Kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah yang paling utama adalah
Abubakar, Umar, Usman dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah saya
hidup, mati dan dibangkitkan di akherat kelak, Insya’allah.” Ia juga pernah
berkata, “Barang siapa menuduhku telah berpendapat bahwa lafaz-lafaz Al-Qur’an
adalah makhluk, ia adalah pendusta.”
Tapi, Az-Zihli benar-benar telah murka. Lelaki itu (Bukhari)
tidak boleh tinggal bersamaku di negeri ini,” katanya. Setelah mendengar fatwa
gurunya itu, ia pun bersiap-siap meninggalkan Naisabur, karena baginya keluar
dari kota itu lebih baik, untuk meredakan fitnah. Maka ia pun pulang kampung ke
Bukhara.
Begitu ia menginjakkan kaki ke kampung halamannya, seluruh
penduduk menyambutnya dengan upacara sangat meriah. Mereka mendirikan beberapa
kemah sepanjang satu Farsakh (lebih kurang delapan kilometer), dan
menabur-naburkan uang dirham dan dinar. Imam Bukhari menetap dan mengajar ilmu
hadits di kota kelahirannya itu selama beberapa tahun. Tapi belakangan, badai
fitnah melanda lagi, kali ini datang dari Gubernur Bukhara sendiri, Khalid bin
Ahmad Az-Zihli.
Suatu hari Khalid mengirim utusan kepada Imam Bukhari, minta
dua buah kitab karangannya, Al-Jami’ al-Shahih dan At-Tarikh al-Kubra, tapi
Imam Bukhari keberatan memenuhi permintaan tersebut, sambil berpesan kepada
sang utusan, “Saya tidak akan merendahkan ilmu dengan membawanya ke Istana.
Jika hal itu tidak berkenan di hati tuan, keluarkanlah larangan supaya saya
tidak menggelar majlis pengajian. Dengan begitu saya mempunyai alasan di sisi
Allah kelak di hari kiamat bahwa sebenarnya saya tidak menyembunyikan ilmu.”
Mendengar jawaban seperti itu, Khalid naik pitam, ia lalu
memerintahkan orang-orangnya menghasut Imam Bukhari, agar ada alasan untuk
mengusirnya. Singkat cerita, Imam Bukhari pun di usir dari kampung halamannya
sendiri. Ia lalu berdoa dan menyerahkan persoalan ini kepada Allah. Belum
sebulan berlalu, Sultan Uzbekistan, Ibnu Tahir, memerintahkan agar Khalid
dijatuhi hukuman, dipermalukan di depan umum dengan menunggang Himar (keledai)
betina, dan mengakiri hidupnya dipenjara.
Tak lama kemudian warga Samarkand, sebuah negeri tetangga
Uzbekistan, menulis surat agar Imam Bukhari menetap di negeri mereka. Ia pun
memenuhi undngan itu. Tiba di Khartand, sebuah desa kecil sebelum Samarkand, ia
singgah untuk mengunjungi beberapa familinya. Tapi di sana Imam Bukhari jatuh
sakit selama beberapa hari. Dan akhirnya pada malam Idul Fitri 256 H (31
Agustus 870 M), ia wafat dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Ia berwasiat agar
jenazahnya di kafani tiga helai kain tanpa baju dalam dan melepas surban.
Wasiat itu dilaksanakan dengan baik oleh warga Khartand, Smarkand. Jenazahnya
di makamkan selepas Zhuhur pada hari raya I’dul Fitri.
Menulis Kitab setelah Istikharah
Sebagai intelektual yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari
juga dikenal sebagai penulis kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya
dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih,
dan tarikh. Sebagai ulama besar, fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat,
sehingga ia menduduki derajat sebagai Mujtahid Mustaqil – ulama yang ijtihadnya
independen, tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas
tersendiri dalam berpendapat dalam segi hukum.
Pendapat-pendapatnya bisa sejalan dengan Abu Hanifah
(pendiri Mazhab Hanafi), kadang sesuai pula dengan Imam Syafi’i (pendiri mazhab
Syafi’i), tapi kadang-kadang bisa juga berbeda dengan mereka. Sebagai pemikir
bebas yang menguasai ribuan hadits sahih, suatu saat ia bisa berpihak kepada
mazhab Ibnu Abbas, di saat lain ia bisa sejalan dengan mazhab Mujahid atau
mazhab Atha, dan seterusnya.
Di antara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah
kumpulan hadits sahih yang berjudul: Al-Jami’ Ash-Shahih, yang belakngan lebih
populer dengan sebutan Shahih Bukhari. ada cerita unik tentang proses
penyusunan kitab ini, suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan
Rasulullah SAW, seolah-olah Rasulullah berdiri di hadapannya.
Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli
mimpi, “Katanya saya akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang
disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah SAW. Mimpi inilah antara lain
yang mendorong saya untuk menulis Kitab Al-Jami’ Al-Shahih,” tuturnya. Dalam
menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari,
salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata, “Saya susun kitab
Al-Jami’ Al-Shahih ini di masjidil Haram, dan saya tidak mencantumkan di
dalamnya sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rekaat memohon
pertolongan Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar
sahih.” Di Masjidil Haram lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara
sistimatis.
Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok-pokok bahasannya
di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid
Nabawi, Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan
menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan
di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia
menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern, sehingga hadits-haditsnya
dapat dipertanggungjawabkan.
Beda Pendapat
Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki
kredibilitas para perawi, sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan
kesahihan hadits yang di riwayatkan. Ia juga selalu membanding-bandingkan hadits
satu dengan yang lain, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya
secara nalar paling sahih. Dengan demikian kitab hadits susunan Imam Bukhari
benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits. “Saya tidak
memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits sahih,” katanya
suatu saat.
Di belakang hari para ulama hadits mengatakan, dalam
menyusun kitab Al-Jami’ Al-Shahih, Imam
Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat kesahihan yang paling tinggi, dan
tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang
bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab. Menurut Al-Allamah Ibnu Shalah
dalam kitab Mukaddimah, “kitab Sahih Bukhari itu memuat 7.275 buah hadits,
selain ada hadits-hadits yang dimuat berulang, ada 4.000 hadits yang dimuat
utuh tanpa pengulangan. Pengulangan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhtiddin
An-Nawawi dalam kitab At-Taqrib.
Dalam pada itu Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kata pendahuluan
untuk kitab Fathul Bari, yakni syarah atau komentar atas kitab Sahih Bukhari,
menulis, semua hadits sahih yang dimuat dalam kitab Sahih Bukhari (minus hadits
yang dimuat berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada
kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun Marfu’ (diragukan) sebanyak 159
buah. Adapun jumlah semua hadits sahih, termasuk yang dimuat berulang, sebanyak
7.397 buah. Perhitungan yang berbeda diantara para ahli hadits – dalam
mengomentari kitab Imam Bukhari – semata-mata karena perbedaan pandangan mereka
dalam ilmu hadits
Tidak ada komentar:
Posting Komentar