Syair Maulid Menyentuh Kalbu
“Dialah sosok yang sempurna makna dan bentuknya, yang
kemudian dipilih menjadi kekasih Sang Penghembus Angin Sepoi. Pengungkapan
kebaikannya terjaga dari kemusyrikan, maka mutiara keindahannya tak terbagi.
Tinggalkanlah apa yang dikatakan kaum Nasrani tentang nabinya, dan pujilah ia
(Rasulullah) semaumu asal masih dalam batasan hukum itu. Maka nisbahkanlah
kemuliaan dan keagungan apa pun yang kau kehendaki kepadanya.”
Setiap bulan Maulid tiba, umat Islam pun bergembira
menyambutnya. Di bulan inilah sang junjungan, Nabi akhir zaman dilahirkan.
Kesukacitaan dan rasa syukur, diwujudkan dengan melaksanakan ritual keagamaan.
Sebuah tradisi agung yang bernama Maulid Nabi Muhammad SAW ini, dimaksudkan
mengenang sang Baginda Rasul berikut keutamaan dan perjuangan beliau. Bentuk
tradisi yang berbeda di antara umat Islam, tak menyurutkan kekhidmatan yang
ada.
Acara Maulid Nabi lazimnya diisi dengan shalawat dan
pembacaan syair-syair berisi puji-pujian nan syahdu. Dalam perkembangannya,
syair Maulid mengalami banyak perkembangan. Zaman pun melahirkan banyak karya
ulama besar yang berisi tentang Maulid.
Terkait dengan keindahan syair-syair pujian atas Rasulullah
SAW, alKisah mewawancai DR. Habib Ahmad bin Abdullah Al-Kaff, M.A. Ph.D,
mubaligh yang dikenal dengan kepiawaiannya menggubah karya-karya syair. Di
sejumlah tempat, sudah menjadi kebiasaan, terutama pada beberapa tahun
terakhir ini, ia didaulat menyusun “syair dadakan”. Saat haul Habib Ahmad bin
Abdullah bin Thalib Al-Attas, misalnya, ia menggubah syair indah tentang
keutamaan kota Pekalongan. Dalam waktu tak seberapa lama, kecerdasannya pun
berpadu dengan kepiawaiannya dalam menyusun syair-syair berbahasa Arab, hingga
menghasilkan syair nan indah lagi penuh makna.
Tentunya, tidak sembarang orang bisa menyusun syair begitu
saja. Selain intuisi seni yang biasanya merupakan bakat alami seseorang, syair
pun mempunyai rumusan-rumusan yang telah menjadi pakem bagi para penyair.
Dan yang jelas, syair merupakan salah satu instrumen seni yang dapat mudah
menyentuh kalbu orang yang mendengarnya.
Agar lebih jelas tentang keindahan syair-syair pujian kepada
Rasulullah SAW, khususnya yang ada pada kitab-kitab Maulid, berikut ini
sebagian hasil wawancara alKisah dengan Habib Ahmad. Begitu, ia biasa disapa.
Syair Detik-detik Maulid
Seluruh ungkapan dalam Maulid memang disusun dengan bahasa
sastra yang sangat tinggi. Dalam disiplin ilmu balaghah (paramasastra bahasa
Arab), penyimbolan dan metafora (tasybih) dalam Maulid sudah masuk kategori
baligh, tingkatan metafora tertinggi.
Sebagai contoh, setiap tahapan penciptaan dan kelahiran
Rasulullah, yang dipenuhi berbagai keajaiban dan peristiwa-peristiwa luar
biasa, direkam dengan sangat baik oleh Syaikh Abdurrahman Ad-Diba’i dalam kitab
Maulid hasil gubahannya. Ketika Nabi masih dalam kandungan, ia melukiskan kondisi itu dengan sangat
indah. Melalui bait-bait syairnya yang syahdu, saat itu dilukiskan dengan
penggambaran yang gegap gempita dan agung, dengan sajak-sajak yang, dalam
bahasa Arabnya, berakhiran huruf “ra” berharakat fathah.
Maka Arsy pun berguncang
penuh suka cita dan riang gembira
(Sementara) Kursi Allah bertambah wibawa dan tenang
Langit dipenuhi berjuta cahaya
Dan bergemuruh suara malaikat membaca tahlil, tamjid
(pengagungan Allah), dan istighfar
Detik-detik kelahiran Nabi dilukiskan sebagai peristiwa
luar biasa yang sarat kemukjizatan. Para penyusun Maulid pun berlomba
mengabadikannya dengan rangkaian kalimat indah yang tak terhingga nilainya.
Kitab Maulid Simthud Durar, karya Habib Ali bin Muhammad
Al-Habsyi, menggambarkannya dengan untaian kalimat yang tak kurang indah…
“Dan tibalah saat yang tlah direncanakan Allah
bagi kelahiran ini
Menyingsinglah fajar keutamaan nan cerah
Terang benderang menjulang tinggi
Dan terlahirlah insan nan terpuji
Tunduk khusyu’ di hadapan Allah
Terang benderang menjulang tinggi…..”
Habib Ali juga menukil periwayatan sahabat Abdurahman bin Auf
RA, yang bersumber dari pengalaman ibu kandungnya, Syaffa’, yang berkisah,
“Pada saat Rasulullah SAW dilahirkan oleh Aminah, ia kusambut dengan kedua
telapak tanganku. Dan terdengar tangisnya pertama kali. Lalu kudengar suara,
‘Semoga rahmat Allah atasmu.’ Dan aku pun menyaksikan cahaya benderang di
hadapannya, menerangi timur dan barat, hingga aku dapat melihat sebagian
gedung-gedung Romawi.”
Sedangkan kitab Maulid Al-Barzanji, salah satu kitab maulid
yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Islam,
menceritakan kondisi bayi Muhammad sesaat setelah kelahirannya, “Nabi lahir ke
dunia dalam keadaan meletakkan kedua tangannya ke bumi seraya menengadahkan
wajahnya ke arah langit yang tinggi sebagai penanda ketinggian kedudukannya dan
keluhuran budinya.”
Demikianlah berbagai ungkapan keindahan pada detik-detik
kelahiran Rasulullah SAW dalam puisi Maulid, karya ulama dari zaman ke zaman.
Meski tiada kata yang cukup mewakili untuk menggambarkan keluhurannya, dengan
segala keterbatasannya para ulama penyair itu berusaha merangkumnya dalam
serangkaian puisi indah.
Kebiasaan dalam memuji Rasulullah SAW, memiliki benang merah
sejarah yang nyata sejak masa Rasulullah SAW sendiri, yang dilontarkan oleh
para sahabat beliau yang mulia.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, berkata Abbas bin Abdul
Muththalib RA, “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..”
Rasul SAW menjawab, “Silakan.., maka Allah akan membuat
bibirmu terjaga.”
Maka Abbas RA pun memuji dengan syair yang panjang, di
antaranya : “… dan Engkau (wahai Nabi SAW) saat hari kelahiranmu maka
terbitlah cahaya di bumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan
cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu, dan dalam tuntunan kemuliaan
kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain no.5417)
Sementara itu Imam Bushiri dalam Burdah-nya mengatakan,
“Dialah sosok yang sempurna makna dan bentuknya, yang kemudian dipilih menjadi
kekasih Sang Penghembus Angin Sepoi. Pengungkapan kebaikannya terjaga dari
kemusyrikan, maka mutiara keindahannya tak terbagi. Tinggalkanlah apa yang
dikatakan kaum Nasrani tentang nabinya, dan pujilah ia (Rasulullah) semaumu
asal masih dalam batasan hukum itu. Maka nisbahkanlah kemuliaan dan keagungan
apa pun yang kau kehendaki kepadanya.”
Rasulullah SAW memang manusia biasa, namun beliau telah
dipilih oleh Allah SWT untuk dianugerahi berbagai keistimewaan, yang menjadikan
posisi beliau di antara umat manusia bak permata di antara bebatuan semata.
Seniman Sufi
Sebagaimana maraknya kitab-kitab Maulid dengan untaian
bait-bait nan puitis, maka demikian pula ingar-bingar dunia kaum sufi.
Lagu-lagu pujian (anasyid) dan tarian sakral (sama’) merupakan hal lumrah,
sebagai gambaran cinta Ilahi yang diekspresikan.
Syair merupakan bagian dari seni dan seni itu sendiri dalam
kehidupan sufi kerap menjadi bagian tak terpisahkan. Hampir semua tokoh sufi
mencintai, bahkan dengan sendirinya, menjadi praktisi seni. Sebut saja nama
Jalaluddin Rumi, seorang sufi yang seniman atau seniman yang sufi. Ia bukan
hanya mencintai seni, melainkan juga menjadi praktisi seni. Ia menguasai
berbagai jenis alat musik, mulai dari alat tiup seperti seruling sampai
berbagai jenis gendang.
Syair-syair dalam senandung-senandung cinta dunia tasawwuf
diawali dengan puji-pujian terhadap Rasulullah sebagai perlambang cinta
sejati, pun nabi-nabi sebelumnya. Memuji mereka berarti memuji Tuhan yang
menciptakan mereka. Keseluruhan paduan indah irama musik, lagu, dan gerakan
lembut yang berputar merupakan persembahan suci dan ungkapan rasa ta’zhim
yang kemudian menghasilkan napas suci dalam kehidupan ini.
Pembacaan wirid, dzikir, madah, dan beberapa syair yang
diambil dari penyair Arab dan Persia, biasanya dilantunkan dengan lagu-lagu
yang dinyanyikan berjamaah. Di Nusantara, pembacaan berbagai macam shalawat
Nabi, seperti shalawat Badar, dilantunkan bak hymne bagi sang junjungan, Nabi
Muhammad SAW. Tidak jarang para jamaah meneteskan air mata ketika melantunkan
shalawat Nabi tersebut.
Bait-bait yang dilantunkan oleh para penyair sufi memiliki
makna eksoterik dan esoterik. Contohnya, antara lain, sebagai berikut, “Wahai
engkau yang tampil saat bangkitnya lingkaran Yang Tak Terlihat. Wahai engkau
yang berhenti di tenda orang-orang yang dekat di hati. Jangan salahkan aku,
wahai pemeriksa, karena mencintai si cantik dengan tubuh mulus. Karena aku
tidak punya keterkaitan lain kecuali dengan Dia yang hadir di balik tirai.
Harumnya rahasia tercium di taman pertemuan. Dan aromanya membuat kami mabuk
kepayang.”
Makna esoterik dari “Dia yang berhenti di tenda
orang-orang yang dekat di hati” adalah akal (akal pertama/al-’aql al-awwal),
yang oleh para sufi sebagaimana pernah dibahas dalam artikel terdahulu disebut
makhluk pertama. Karena itu, ia merupakan pancaran cahaya yang menyatukan
semua dunia. “Si cantik dengan tubuh mulus” adalah berbagai keindahan di dunia
yang subtil, yakni bidadari yang cahayanya bersumber dari Zat Yang Mahamutlak.
“Harumnya rahasia-rahasia” adalah manifestasi kasat mata dari kehadiran Ilahi
yang bisa memabukkan karena dikaitkan dengan anggur atau Laila, sang kekasih.
Anasyid dan Sama’ sebagai sebuah dzikir yang dilakukan
dengan nyanyian, gerak, dan tari, biasanya diiringi oleh alat-alat dan ensembel
musik yang lengkap. Musik itu sendiri dalam sejumlah ordo tarekat sebagai
bagian dari instrumen dzikir yang ritmenya bisa menggetarkan batin, menambah
rasa cinta teramat mendalam kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.
Piawai Bersyair
Habib Ahmad terkenal piawai membangkitkan gairah cinta
seseorang kepada sang Khalik, juga kepada utusannya, Rasulullah SAW. Saat
memimpin doa, suaranya lembut penuh harap, membuat banyak hati terasa disedot
oleh kekuatan dahsyat ke dalam sebuah lingkaran yang berputar cepat. Suasana
khidmat namun hangat pun menyeruak, menyelimuti peraasan jama’ah.
Dalam mengajar, putra pasangan Habib Abdullah bin Ahmad
Al-Kaf dan Syarifah Gamar binti Agil Al-Attas ini selalu menyampaikan
ilmu-ilmu agama dengan jelas dan terang. Tak bosan rasanya berlama-lama mendengarnya
berbicara. Selalu saja ada hal-hal baru atau pun yang sempat tidak terpikirkan
oleh jama’ah disampaikannya.
Habib Ahmad juga merupakan salah satu di antara dua belas
bersaudara yang menjadi ulama terkenal. Saudaranya yang lain yang menjadi ulama,
antara lain, Habib Thohir Al-Kaf, mubaligh kondang di Tegal, Habib Hamid
Al-Kaf, pengasuh Pesantren Al-Haramain Asy-Syarifain Pondok Rangon, Cipayung,
Jakarta Timur, dan Habib Ali, pengasuh Pesantren Riyadlul Jannah, Gg. Bulu,
Condet, Jakarta Selatan.
Sejak kecil ia digembleng dengan ilmu agama oleh ayahandanya
yang juga seorang ulama yang dikenal oleh para ulama lainnya. Bukan hanya di
Indonesia, di Hadhramaut nama sang ayah juga cukup dikenal.
Habib Ahmad menyelesaikan pendidikan dasar di SDI
Al-Khairiyah Tegal, dan mulai 1982 bersekolah menengah di Mesir. Dilanjutkan ke
Jurusan Sastra dan Bahasa Al-Quran di Universitas Al-Azhar untuk S-1, dan S-2
dengan jurusan yang sama di Universitas Yordania. Sedang untuk S-3 ditempuh
lagi di Jurusan Tafsir Al-Quran Universitas Al-Azhar Mesir, dan lulus tahun
2000 dengan disertasi Pengertian Umat di Dalam Al-Qur’an. Ketika pulang ke
Indonesia, ia langsung diangkat menjadi dosen Universitas Islam Negeri Jakarta.
Ia juga menimba ilmu pada Prof. DR. Sayyid Muhammad
Al-Maliki Al-Hasani. Atas restu gurunya itulah, pada 2003 ia mendirikan Pesantren Hikmatun Nuur di
rumahnya, yang terletak di Jln. Olahraga I No. 11 RT 15 RW 05 Condet, Jakarta
Timur, yang diperuntukkan bagi anak yatim dan fakir miskin. Di rumah itu juga
diadakan majelis ta’lim pada hari Sabtu ba’da subuh untuk para santri, dan hari
Minggu sore untuk umum.
Selain aktif dalam komunitas habaib, Habib Ahmad juga
menjadi anggota Dewan Syariah Majelis Azzikra, pimpinan Ustadz M. Arifin
Ilham, dan salah seorang Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia
(ICMI).
Kini, hampir setiap hari, Habib Ahmad sibuk berceramah di
berbagai wilayah Jabotabek, bahkan hingga ke negeri jiran, Malaysia, memenuhi
permintaan jamaah untuk mengajar dan berdakwah.
Agar jamaah pengetahuannya tentang sebuah masalah atau
hukum lengkap, tidak sepotong-sepotong, tak jarang di setiap taklimnya ia
mempersilakan mereka untuk bertanya. Bahkan, ia senantiasa terbuka bagi umat
yang ingin mencurahkan hati atau berkonsultasi mengenai berbagai
permasalahan. Katanya, itu adalah perwujudan cintanya kepada umat. Dan cintanya
itu merupakan implikasi dari pengabdiannya kepada Allah SWT dan Rasulullah
SWT.
Tak mengherankan bila Habib Ahmad begitu dicintai oleh
murid-muridnya, yang tidak hanya dari kalangan awam. Tapi juga pebisnis,
pelajar, mualaf, habaib, bahkan ia juga guru bagi sejumlah da’i kondang
seperti Ustadz Jefri Bukhari, Ustadz Arifin Ilham, dan Opik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar