Abahnya sering bercerita, ada satu keluarga memiliki empat
orang putra. Keempat putranya itu menjadi orang besar karena putra pertamanya
lebih dahulu menjadi orang besar...
Tiba di lingkungan pesantren yang asri, perasaannya yang
dari semula memang tidak tertarik dengan dunia pesantren tidak juga berubah.
Masa-masa di SD dan SMP masih teramat indah tertanam di benaknya. Hobinya
terhadap pelajaran Matematika dan ilmu-ilmu pengetahuan alam sejak duduk di
bangku SD telah melahirkan tekad dalam hatinya untuk meneruskan pendidikan di
sekolah-sekolah umum hingga tingkat yang paling tinggi.
“Ente bener mau tinggal di pesantren?” Pertanyaan ringan itu
sontak membuyarkan angan-angannya. Namun wibawa dan kharisma penanya yang
berada di hadapannya itu membuatnya tidak mampu berpikir jawaban apa yang harus
diucapkannya.
“Mau, Bib.”
“Bener betah? Di pesantren nggak enak. Di pesantren makannya
tempe. Di sisni tidurnya nggak enak. Semuanya nggak enak.”
“Bener, Bib.”
Tiba-tiba sang penanya yang penuh kharisma tadi memanggil
salah seorang santri yang masih sangat kecil. Kira-kira ia duduk di bangku SD.
“Masmuk (siapa namamu)?” tanya sang habib kepada santri kecil itu.
“Ismi Fulan (Namaku Fulan).”
Setiap pertanyaan yang diajukan dijawab oleh santri belia
itu dengan bahasa Arab yang fasih dan benar.
Tanpa disadari, pemandangan itu sangat menyentuh bathinnya.
Hatinya mulai berkecamuk. Tanpa disadari, hatinya berbisik, "Ya Allah,
anak kecil ini bukan habaib, bukan orang Arab, tetapi begitu fasihnya
menuturkan ungngkapan-ungkapan percakapan bahasa Arab. Sedangkan aku sendiri,
salah seorang dzurriyyah Rasulullah SAW, cucu para kakek yang alim, tidak tahu
sama sekali ihwal bahasa Arab.”
Sejak saat itu, hatinya mulai tertarik pada dunia pesantren.
Tekadnya untuk menguasai ilmu-ilmu agama, tanpa disadarinya, mulai tumbuh dalam
hatinya. Kharisma yang terpancar dari pribadi besar, yang tidak lain adalah
Habib Hasan Baharun, pengasuh PP Darul Lughah Waddakwah, Bangil, yang kemudian
menjadi guru futuhnya, telah merasuk ke dalam sanubarinya, membuyarkan semua
angan dan cita-cita yang selama itu di pendamnya untuk melanjutkan pendidikan
di sekolah umum.
Siapakah sosok anak muda itu? Tak lain dialah Habib Abdullah
bin Ja`far Assegaf.
Habib Abdullah, atau lengkapnya Habib Abdullah bin Ja`far
bin Umar bin Ja`far bin Syeckh bin Segaf Assegaf, lahir di Empang Bogor pada
hari Senin 8 Juni 1981, bertepatan dengan 5 Sya`ban 1401 H
Ia adalah putra kedua pasangan Habib Ja`far Assegaf dengan
Syarifah Fathmah binti Hasan bin Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Attas. Ia
adik kandung Habib Hasan bin Ja`far Assegaf, pengasuh dan pendiri Majelis Nurul
Musthofa. Kedua adiknya yang juga kini sudah terjun di dunia dakwah adalah
Habib Musthofa dan Habib Qosim.
Sejak kecil Habib Abdullah dididik dengan pendidikan agama
yang ketat. Sang ayah, Habib Ja`far, sangat keras dalam mengawasi perkembangan
anak-anaknya, terutama dalam hal menanamkan pengetahuan agama. Tak
mengherankan, di samping belajar di madrasah, Habib Abdullah juga belajar ngaji
kepada seorang ustadz yang sengaja dipanggil datang ke rumah.
Di usia tujuh tahun, Habib Abdullah sudah diwajibkan untuk
tidak lepas membaca Ratib Al-Attas selepas shalat Maghrib.
Setelah ratiban, selepas shalat Maghrib, ia berangkat ke
madrasah sampai jam setengah sembilan malam. Sedangkan di pagi harinya, ia
belajar di SDN Empang 2 Bogor. “Waktu itu Abah selalu berpesan, ‘Kamu harus
jadi orang alim. Tapi kamu harus tetap melihat kepada kakak kamu (Habib
Hasan)’.”
Habib Abdullah menuturkan bahwa abahnya sering bercerita,
ada satu keluarga memiliki empat orang putra. Keempat putranya itu menjadi
orang besar karena putra pertamanya lebih dahulu menjadi orang besar. “Abah
bilang, insya Allah kakakmu, Hasan, bakal jadi.” Karenanya, sejak kecil, Habib
Abdullah selalu disarankan oleh abahnya untuk mengikuti jejak kakaknya, Habib
Hasan. Itulah sebabnya, baginya, Habib Hasan bukan sekadar kakak, tetapi juga
guru dan pembimbing yang diteladaninya.
Lulus dari SD tahun 1993, Habib Abdullah melanjutkan belajar
ke SMPN 10 Cipaku dan lulus tahun 1996.
Setamat dari SMP, ia, yang selama itu selalu meraih
peringkat sepuluh besar dan sangat menyukai pelajaran Matematika dan Fisika,
tidak memiliki tekad lain kecuali masuk ke sekolah menengah atas favorit. Maka
ia pun mendaftarkan diri dan diterima di SMAN 4 Bogor.
Namun ternyata sang ayah tidak mengizinkannya untuk
melanjutkan ke sekolah umum, dan bermaksud memasukkannya ke pesantren. Meski
demikian Habib Abdullah tetap bersikeras untuk tetap melanjutkan pendidikan di
sekolah umum, sampai-sampai ayahnya berkata, “Abah masukin kamu SD, SMP, biar
bisa baca tulis, biar enggak dibohongin orang. Abah mau kamu mendalami agama.
Kalau mau melanjutkan ke sekolah umum, silakan cari duit sendiri.”
“Tapi waktu itu saya tetap keukeuh dengan pendirian untuk
masuk ke sekolah umum sampai-sampai Abah ngediemin saya,” kata Habib Abdullah
mengenang abahnya, yang wafat tahun 2002.
Setelah kurang lebih enam bulan lamanya, akhirnya Habib
Abdullah menyerah. “Ya udah deh, Abah, saya nyerah, terserah Abah aja kalau
memang mau masukin saya ke pesantren.”
Selama enam bulan itu, Habib Abdullah meniru apa yang
dilakukan Habib Hasan. Setiap hari yang dilakukannya hanya pulang-pergi dari
rumah ke masjid.
Tidak lama kemudian Habib Abdullah dikirim ke pesantren
Habib Nagib di Bekasi
Namun baru beberapa hari, suasana pesantren, yang sama
sekali baru bagi Habib Abdullah, sudah membuatnya tidak kerasan, terlebih lagi
sejak awal ia tidak berminat untuk masuk ke pesantren. “Saya pun langsung
nelepon Abah, saya sengaja bikin-bikin kisah-kisah yang nggak enak ke Abah....
Pokoknya yang penting waktu itu saya bisa pulang.”
“Sudah bisa baca Maulid belum?”
“Belum, Abah.”
“Nggak bisa. Kalau sudah bisa baca Maulid, kamu baru boleh
pulang.”
Mendengar kata-kata sang ayah, akhirnya Habib Abdullah
menggunakan waktu sepenuhnya untuk mempelajari Maulid, agar secepatnya bisa
pulang. Kurang lebih tiga bulan lamanya, dan Maulid Al-Habsyi pun sudah
dikuasainya dengan baik.
Habib Abdullah pun kemudian dijemput pulang kembali ke
Empang.
Di pertengahan tahun 2007, Habib Abdullah diantar oleh Habib
Hasan menuju Pesantren Darullughah Waddakwah (Dalwa). Di pesantren inilah,
setelah bertemu dengan Habib Hasan Baharun, pandangan Habib Abdullah tentang pesantren
dan dunianya mulai berubah. Mulai saat itu tekad dan cintanya sepenuhnya untuk
pesantren.
“Waktu itu, ketika dites, karena semua materinya kebanyakan
bahasa Arab, sedangkan membaca Al-Qur’an saja yang saya bisa, akhirnya saya pun
ditempatkan di kelas III Ibtidaiyah Diniyah.” Adapun untuk Mu`adalahnya
(sekolah persetaraan)-nya, Habib Abdullah tetap melanjutkan ke tingkat Aliyah
hingga tamat dan mendapatkan ijazah.
Tahun 2000 adalah tahun duka bagi Habib Abdullah. Pada tahun
itu, sang guru ruhani, Habib Hasan Baharun, dipanggil oleh Allah SWT. Pada
tahun itu juga, Habib Abdullah mohon diri kepada Habib Zein bin Hasan Baharun,
penerus Habib Hasan, untuk melanjutkan pendidikan Diniyahnya ke Hadhramaut di
bawah tanggungan Habib Abdullah Krasak, yang masih termasuk keluarga dari
ibunya.
Namun Allah berkehendak lain. Sebelum ia berangkat ke
Hadhramaut, Habib Abdullah Krasak sudah terlebih dahulu dipanggil menghadap
Allah SWT.
Sepeninggal Habib Abdullah Krasak, Habib Abdullah meminta
pendapat Habib Shodiq Baharun, adik Habib Hasan Baharun, untuk langkah
selanjutnya. Atas saran beliau, Habib Abdullah diminta untuk datang ke Darul
Musthofa, Batik Keris, Solo, untuk membantu-bantu Habib Sholeh, pengasuh
pesantren.
Di Solo, selain membantu di Darul Musthofa, Habib Abdullah
juga aktif mendatangi majelis Habib Anis Solo untuk menimba ilmu kepada beliau.
Belum setahun tinggal di Darul Musthofa, Habib Hasan, yang
waktu itu sudah memiliki majelis yang besar, meneleponnya untuk kembali ke
Jakarta. Habib Hasan memintanya agar aktif membantu di Majelis Nurul Mushthofa.
“Karena keinginan Habib Hasan tidak lain hanya agar masyarakat Jabodetabek ini,
khususnya, dan masyarakat Indonesia, pada umumnya, mengenal dan mencintai
Rasulullah, untuk membatu dan meneruskan apa-apa yang sudah dilakukan oleh para
alim ulama, asatidz, kiai, dan habaib, selama ini,” kata Habib Abdullah.
Kini, selain diamanati sebagai ketua Yayasan Nurul
Mushthofa, Habib Abdullah juga dipercaya untuk mengasuh Nurul Mushthofa wilayah
Ciganjur dan sekitarnya serta mendampingi Habib Hasan di setiap kegiatan
gabungan majelis Nurul Mushthofa.
Tahun 2004, Habib Abdullah menikah dengan Syarifah Fathimah
binti Umar bin Alwi Al-Haddad dan kini sudah dikaruniai tiga orang putra.
"Yang tertua bernama Muhammad, kedua Abdurrahman, dan yang ketiganya masih
dalam kandungan."
“Ganti Namanya dengan Nama Ane”
Sebelum mengakhiri kisahnya, Habib Abdullah menuturkan satu
kenangan terindah bersama Al-Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf,
meskipun ia sendiri belum sempat mengaji kepada beliau.
Ketika putra keduanya lahir, Habib Abdullah memberinya nama
“Muhsin”, mengambil dari nama kakeknya, Habib Muhsin bin Abdullah bin Muhsin
Al-Aththas. Namun putranya itu lahir dalam kondisi sangat kritis.
Dalam situasi semacam itu, Habib Abdullah hanya pasrah
kepada Allah. Ia pun shalat Hajat dan memohon kesembuhan sang putra
tercintanya. Tapi hari demi hari kondisi sang putra belum juga menunjukkan
tanda-tanda adanya perubahan.
Melihat situasi seperti itu, Habib Hasan, sang kakak,
menyarankan agar Habib Abdullah pergi menemui Al-Walid Habib Abdurrahman
Assegaf Bukit Duri untuk meminta “air”, karena beliau adalah wali min
awliyaillah, wali di antara wali-wali Allah.
Tanpa pikir panjang lagi, Habib Abdullah segera menuju ke
kediaman Al-Walid dan mengutarakan maksud dan tujuannya.
“Nama anak ente siape?”
“Muhsin, Bib.”
“Dari mane nama itu diambil?”
“Ane ambil dari nama kakeknya, Bib. Muhsin bin Abdullah bin
Muhsin Al-Aththas.”
Mendengar nama itu, Al-Walid diam sejenak.
“Emang namanya keberatan, Bib.”
“Ah, enggak. Bagus... bagus....”
Setelah minta air dan didoakan, Habib Abdullah pun segera
mohon diri untuk kembali ke rumah sakit.
Namun belum lagi sampai di pintu majelis, tiba-tiba Al-Walid
berseru, “Walad, ta`al... (Nak, sini...).”
Dengan wajah terkejut Habib Abdullah segera kembali
menghampiri Al-Walid, yang masih duduk di tempat shalatnya.
“Ente mau anak ente sembuh, sehat.”
“Ye, Bib.”
“Ganti namanya dengan nama ane.”
Sontak saja, kata-kata Al-Walid, yang tidak diragukan lagi
kewaliannya itu, bagaikan hujan membasahi bumi yang tengah kering kerontang
dilanda kemarau panjang.
Tanpa menunda, saat itu juga Habib Abdullah langsung
menelepon agar nama “Muhsin” yang diubah menjadi “Abdurrahman”.
“Alhamdulillah, mulai saat itu juga kondisi Abdurrahman
berangsur-angsur membaik,” kata Habib Abdullah. “Ini sungguh merupakan
keajaiban dari Allah....”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar