Ibrohim As telah dipilih Allah menjadi kekasih-Nya, ia bukan
saja akan dimuliakan di dunia tetapi juga sekaligus Allah menegaskan “wa innahu
fil akhiroti laminassolihin.” Kemuliaan dunia dan akherat adalah capaian yang
ingin digapai oleh setiap insan beriman, karena hanya mulia di dunia tak kan
bermakna, terlebih lagi jika kemuliaan itu tidak menghampirinya di dunia maupun
di akherat. Ada yang hanya dimuliakan di dunia saja tetapi tidak di akherat,
lihat misalnya Mister Bush, Presiden negeri adi daya dan karenanya juga super
“adigang adigung adiguno”, tamu negeri ini, beberapa waktu lalu, disambut
dengan penghormatan penuh yang menghabiskan dana dan tenaga. Ia tampak begitu
mulianya, sampai-sampai sang pengawal akan menepiskan siapapun yang mencoba
mendekat bahkan lalat sekalipun akan ditembak bila berada di dekat Bush. Namun
tak ada yang berani bilang bahwa Bush dengan segala “keangkara murkaan”nya,
membunuhi anak manusia demi ambisi politiknya dan dengan tangannya yang
“berlumur darah”, akan juga mendapatkan kemuliaan itu kelak di akherat. Ibrohim
As adalah simbol kesalehan seorang hamba, yang meng”ia”kan apapun perintah
Allah dengan keyakinan yang teguh. Ia disamping beriman baja, juga adalah
manusia yang santun dan teguh memegang janji, disamping sifat lain yang
ditegaskan Gusti Allah dalam Al-Quran “Halimun Awwabun Munib”. Ibrohim As punya
kecantikan diberbagai dimensi, cantik dan teguh imannya, cantik dan santun
akhlaqnya, serta cantik pula hatinya, ia begitu peduli pada penderitaan orang
lain. Al-Quran mengisahkan bagaimana ketika ia mengetahui amal kaum Luth dan
ancaman yang diberikan Allah atas mereka, Ibrohim As memikirkannya dan mencoba
mencari jalan keluarnya dengan bermujadalah (dengan para malaikat), ia juga
begitu “iba” melihat tingkah manusia yang membuat kerusakan baik bagi dirinya
maupun bagi yang lain, ia mempunyai kesalehan individual dan sekaligus
kesalehan sosial. Sifat mulia Ibrohim As ini agaknya juga perlu dimiliki oleh
para Haji, orang yang oleh Gusti Allah diperkenankan menapak tilasi perjalanan
Ibrohim dan keluarganya di Mekkah dan sekitarnya. Demikian pula para pemimpin
negeri ini dari tingkat pusat hingga daerah, pemimpin formal dan yang informal,
”mbok yao” punya iba dan peduli terhadap penderitaan rakyatnya dan dekat serta
mesra dengan rakyat bukan hanya menjelang pilihan tapi jika setelah terpilih.
Jauhnya sang pemimpin dari rakyat setelah terpilih, adalah hal yang sangat
mungkin terjadi, satu dan lain hal karena tata hubungan antara “kandidat” dan
pemilih (rakyat). Demikian juga dengan parpol yang menjadi “kendaraan
politik”nya bukan dibangun atas dasar program “mensejahterakan rakyat”
melainkan dibangun di atas “setoran” duit tertentu, konsekwensi logis dari
model tatanan yang demikian ini adalah, segera setelah memenangi “pilihan” ia
akan disibukkan dengan program mencari “pulihan”, tanpa peninjauan kembali
sistim pilihan itu, mustahil korupsi bisa dihilangkan. Sistim ini amat mungkin
melahirkan orang-orang yang “tidak soleh” baik secara individual maunpun
sosial. Diabadikannya kisah Ibrohim As yang saleh dan istrinya (Hajar) yang salehah
serta anak keturunannya yang saleh (Ismail) barangkali adalah anjuran kuat agar
kita semua membangun paradigma, bahwa kemulyaan terdapat dalam kesalehan
individual dan sosial sekaligus, bukan ada dalam “rajut kekuasaan” atau
“tumpukan kekayaan”, oleh karenanya marilah siapapun yang di dadanya masih ada
iman meski sekelumit, ayo berlomba-lomba membangun kesalehan individual dan
sekaligus sosial, disitu ada kemulyaan yang dijanjikan Allah di dunia ini dan
di akherat kelak. Bijak dan arif sekali “orang-orang dahulu” yang mengajarkan
dan menganjurkan bulan haji sebagai bulan baik untuk pernikahan, sehingga
gaungnya kita rasakan hingga sekarang, kalau sudah bulan haji tak ada hari
lowong tuk kondangan. Disitu hampir bisa dipastikan, terkandung satu ajakan, anjuran
dan sekaligus doa serta harapan, agar keluarga baru yang terbentuk melalui
pernikahan itu, mendapatkan berkah dari Gusti Allah, dan menjadi sebagaimana
keluarga Ibrohim yang saleh, sehinga menjadi apapun, pejabat atau rakyat, ulama
atau ummat, kaya atau miskin, ia akan mengedepankan kesalehannya, dan dengan
sekuat tenaga dan daya akan berusaha menjadi “orang saleh”, karena disitu ada
kemulyaan di dunia ini dan di akherat kelak. (KH.Habib Umar Al Muthohar,SH,
Semarang )
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/mutiara/habib-umar-al-muthohar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar