Habib Hud, namanya memang singkat tapi langkahnya cukup
panjang. Di banyak tempat, dalam dan luar kota, sosok habib bersahaja ini kerap
telihat tengah memimpin jalannya ritus-ritus keagamaan.
Seperti saat Ramadlan, yang sebentar lagi akan tiba, di
setiap kesempatan acara khatam Al Quran dalam shalat tarawih, ia selalu diminta
menjadi imam, di depan barisan makmum yang jumlahnya mencapai ribuan orang.
Pada semua aktifitas kemasyarakatan dan keagamaan lainnya, dari mulai khutbah
nikah hingga urusan menalqinkan mayyit, sosok habib hud menjadi figur yang
sangat dinantikan kehadirannya. Bukan hanya dijakarta, tapi dihampir disetiap
kota. Bahkan di sejumlah tempat diluar negeri. Meski selalu berpenampilan
sederhana dimanapun yaitu bersarung, berbaju putih tanpa jubah dan tanpa ada
imamah yang terlilit di kopiah putih yang melekat di kepalanya, memimpin
jalannya pembacaan tahlil atau talqin seakan telah menjadi ‘maqam’ khusus yang
telah dipercayakan dipundaknya.
Apa yang dijalaninya itu memang seakan menjadi kelanjutan
dari kebiasaan yang dulu dipercayakan kepada ayahnya, Habib Bagir. Dulu, Habib
Bagir pun selalu diminta kesediaannya untuk memimpin pembacaan tahlil
diberbagai majelis. Begitu pun kakeknya, Habib Abdullah bin Salim, yang bahkan
secara khusus memiliki susunan doa wahbah (hadiah untuk mayyit).
Isyarat tentang itu juga pernah disampaikan oleh salah
seorang gurunya di kota Makkah, Habib Yahya bin Ahmad Alaydrus. Saat ayah Habib
Yahya, yakni Habib Ahmad meninggal dunia, ia memerintahkan Habib Hud membacakan
talqin untuk ayah Habib Yahya itu saat dimakamkan di pekuburan Ma’la, Makkah.
Selepas acara penguburan, Habib Ahmad mengatakan, “Nanti
kamu di Indonesia jadi orang yang biasa menalqinkan mayyit dan menikahkan
pengantin”. Selain dalam hal pembacaan tahlil, talqin, khutbah nikah dan imam
shalat Tarawih, ia juga memasyarakatkan pembacaan kitab Maulid Al-Azab sebagai
salah satu bacaan kisah Maulid, di samping sejumlah kitab maulid lainnya. Salah
satu kiatnya untuk tetap dipopulerkannya, ia bahkan sempat mengeluarkan album
kaset Maulid Al-Azab.
Panggilan Dakwah
Semasa kecil habib kelahiran Kebon Nanas, Jakarta Timur, 20
Maret 1959, ini belajar agama kepada kakeknya, Habib Abdullah bin Salim Al
Attas. Sang kakek yang kelahiran Hadhramaut, memang masih terhitung salah satu
ulama besar di zaman Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang.
Di masa remaja ia kemudian disekolahkan oleh ayahnya, Habib
Bagir, ke sekolah katolik. “Ayah ingin saya belajar ilmu pengetahuan umum, tapi
kakek menginginkan saya belajar ilmu agama. Maka saya pun belajar di dua
sekolah . Sekolah katolik, SD Strada, di polonia, dan madrasah Ruhul Ulum, di
Gg. Pedati, Otista masih dekat rumah saya” tuturnya.
Guru yang mengajarinya di masa itu antara lain Habib Muhsin
bin Jindan, K.H. Damanhuri, K.H. Abdullah Ma’in, K.H. Thoyyib ‘Izzi, dan Ustadz
Hadi Jawas. Selepas menempuh pendidikan dasar, Habib Hud melanjutkan ke SMP
Antonius, sekolah menengah pertama teladan di Jakarta. Siswa yang masuk sekolah
tersebut adalah yang mendapat ranking besar disekolah dasar. Habib Bagir,
ayahnya, memang seorang ulama yang berpikiran modern. Sang ayah berharap, kelak
Habib Hud bias menjadi seorang insinyur. Untuk mewujudkan cita-cita itu, Habib
Hud kemudian disekolahkan ke STM Pelita jurusan listrik di kenari, Jakarta
Pusat. Selepas menamatkan sekolah menengah, ia sempat kuliah di Institut Sains
Teknologi Nasional (ISTN) di Cikini selama dua tahun.
Namun, panggilan dakwah dan kecintaan terhadap ilmu agama
tampaknya sudah tak terbendung lagi. Habib Hud kemudian memutuskan berhenti
kuliah dan mencari beasiswa untuk bisa berangkat ke luar negeri. Dengan
beasiswa pemerintah Arab Saudi, ia bisa berangkat ke Makkah, melanjutkan studi
di Fakultas Sastra Universitas Ummul Qura. “Tapi saya tidak betah, karena
sepertinya mereka memaksakan paham wahabi. Karena itu , sejak 1980 saya
memutuskan menjadi santri bebas,” tuturnya.
Selama dua tahun pertama, Habib Hud mengaji kepada beberapa
ulama, seperti Sayyid Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Sayyid Ismail Al-Yamani, dan
Habib Hasan bin Ahmad Fad’aq. Sekalipun hanya dua tahun, Habib Hud sangat
beruntung, sebab ia bisa menghadiri khataman kitab-kitab langka pada
majelis-majelis yang digelar ulama-ulama besar di zamannya. Ia bisa hadir pada
acara-acara khataman kitab Shahih Al-Bukhari dan kitab Shahih Muslim serta
ummahatus sittah (kitab pokok hadist yang berjumlah enam) lainnya, juga
beberapa kitab hadist lainnya, seperti Musnad Syafii, Musnad ibn Hanbal, Al
Muwaththa’ karya Imam Malik, An-Naawadirul Ushul karya Imam Hakim At-Turmuzdi,
Al-Ma’ajim Ats-Tsalatsah karya Abul Qasim At-Thabarani.
Selain itu ia pindah ke madinah dan mengaji kepada Habib
Zein bin Smith dan Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri, saat ulama Tarim ini
sedang menetap di Madinah, serta beberapa ulama lainnya, juga selama sekitar
dua tahun. Kemudian beliau pindah lagi ke Jeddah untuk bekerja. Sembari bekerja
ia mengaji setiap ba’da shalat shubuh ke beberapa ulama Jeddah, seperti Habib
Ahmad Masyhur Al-Haddad, Habib Alwi Cherid, dan Habib Yahya bin Ahmad Alaydrus.
Ia belajar kepada Habib Yahya bin Ahmad Alaydrus selama tujuh tahun. “Beliaulah
yang mendidik saya hingga seperti sekarang ini,” katanya.
Saat tinggal di Jeddah itulah ia menyunting salah satu putri
Habib Umar Al-Attas, dan dari perkawinan itu ia mempuinyai empat putra, tiga
laki-laki dan satu perempuan. Saat itu Habib Hud sudah betah tinggal di Jeddah
dan tak berniat pulang ke Indonesia. Namun nasib menakdirkan lain, ayahanda
tercinta wafat pada 1 Januari 1994. Ia diminta pulang dan melanjutkan jejak
dakwah sang ayah yang bernaung dibawah Yayasan As-Salafy, yakni lembaga
pendidikan, panti asuhan, dan majelis ta’lim. Pada bulan dan tahun itu juga ia
pulang ke Indonesia dan langsung mengajar di berbagai majelis ta’lim hingga
sekarang. Hari-hari Habib Hud kini tak pernah sepi dari dakwah dan pengajian,
baik di Jakarta maupun di sekitar Jabotabek, bahkan juga dibeberapa daerah di
luar kota bila ada acara-acara syiar keagamaan tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar