Minggu, 17 November 2013

Habib Syarief Muhammad Al-Aydarus

Sesejuk Kota Kembang
Di samping kiai, ia pun KIAI, dalam arti kreatif, inovatif, aktif, dan inklusif.
Namanya biasa ditulis “K.H. Drs. Habib Syarief Muhammad Al-Aydarus”. Tak banyak habib yang juga dipanggil kiai atau ditulis “K.H.” di depan namanya. Tokoh habaib Kota Kembang, tokoh NU Jawa Barat, pendidik, pence­ramah, dan ketua umum Yayasan As­salaam, ini termasuk dalam kelompok yang tak banyak itu. Ayahnya, yang telah berpulang 7 Maret 1985 yang lalu, juga demikian, sering ditulis namanya dengan “K.H.”, yakni K.H. Habib Utsman Al-Aydarus. Beliau ini tokoh terkemuka di Bandung di masanya.

Habib Syarief Muhammad memang seorang kiai, baik dilihat dari ilmunya, wawasannya, penampilannya, pemba­waannya, pergaulannya, sikapnya, mau­pun pendiriannya. Bahkan sosoknya lebih menggambarkan sosok seorang kiai pribumi daripada sosok seorang habib sebagaimana dalam bayangan kebanyakan orang.

Meskipun demikian, identitas dan jiwa kehabibannya sama sekali tak hilang, bahkan berkurang pun tidak. Baik dari nama­nya, keyakinannya, amaliah­nya, kecenderungannya, pergaulannya, per­juangannya, maupun keistiqamah­an­nya.

Di samping kiai, ia pun KIAI, dalam arti kreatif, inovatif, aktif, dan inklusif. Ini bukan singkatan yang dibuat-buat dan dicocok-cocokkan dengannya. Orang yang mengenalnya cukup dekat, insya Allah, akan sependapat bahwa masing-masing kata itu memang terlihat dalam dirinya.

Kreativitasnya dapat dilihat dari apa yang dilakukannya sejak kecil, remaja, dan terus hingga kini.

Ia pun seorang yang inovatif. Lang­kah-langkah yang ditempuhnya dan terobosan-terobosan yang dilakukannya dalam mengembangkan Yayasan As­salaam jelas-jelas menunjukkan hal itu. Jangan heran jika Assalaam dengan berbagai lembaga pendidikannya, serta berbagai unit kegiatan lainnya, terus berkembang pesat dan kini menjadi sa­lah satu yayasan Islam yang sangat di­kenal di Bandung dan diakui memiliki kualitas yang baik.

Kemudian, berbagai peran dan ama­nah yang diembannya sejak di bangku kuliah, bahkan sejak remaja, sampai kini, merupakan bukti nyata aktivitasnya yang lama. Sedangkan pergaulannya yang luas dan kedekatannya dengan berbagai kalangan jelas menunjukkan inklusi­vitas­nya. Jadi memang ia seorang KIAI.



Tetap tak Lupa Mengajar

Habib Syarief Muhammad lahir di Ban­dung tanggal 5 November 1954, put­ra pasangan Habib Utsman bin Husein Al-Aydarus dan Hj. Aisyah binti Djali Radjoe Soetan. Ia anak pertama dari lima bersaudara. Adik-adiknya adalah Syarifah Hamidah, Syarif Ahmad, Syarif Hamid, dan Syarifah Mahmudah. Selain itu, Habib Syarief juga memiliki dua ka­kak perempuan lain ibu, yakni Syarifah Fathimah dan Syarifah Maimunah.

Sosok yang ramah, mudah akrab, dan tak suka menonjolkan diri ini memu­lai pendidikan formalnya di lembaga pendidikan yang dirintis ayahandanya sendiri, Assalaam. Jenjang TK dan SD diselesaikannya di sini. Kemudian ia melanjutkan ke PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) enam tahun di Bandung, tahun 1968-1973.

Setelah menuntaskan pendidikan­nya di PGAN, akhir tahun 1973, Habib Syarief melangkahkan kaki ke Yogya­karta di awal tahun  1974. Di sini ia  me­lanjutkan pendidikannya di Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, yang dapat diselesaikan tahun 1980, sambil mondok di Pesantren Krapyak, asuhan tokoh NU terkemuka, K.H. Ali Maksum.

Saat kanak-kanak dan remaja, di samping mengaji kepada ayahandanya sendiri, ia juga mengaji kepada para kiai di Bandung meskipun tidak menetap di pesantren mereka. Di antaranya mengaji ilmu falak kepada Ajengan Burhan, pengasuh Pesantren Cijaura.

Sejak kecil telah tumbuh kecintaan­nya terhadap ilmu dan buku. Salah satu yang memotivasinya, ia menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya selalu muthalaah kitab setiap hari sekitar enam jam, setiap ba‘da zhuhur, ba‘da isya, dan pagi hari. Padahal, beliau setiap dua hari mengkhatamkan Al-Qur’an. Belum lagi waktunya untuk membaca shalawat. Apa yang dilakukan sang ayah itu me­motivasinya untuk gemar membaca.

Di masa kanak-kanak, setiap hari Jum’at, ia ikut pengajian kitab Minhajul Abidin dan Ihya Ulumiddin, yang diasuh ayahandanya. Juga pengajian kitab Al-Hikam di hari Sabtu. Khusus untuk ilmu-ilmu alat, sang ayah menyuruhnya untuk belajar kepada kakak sepupunya, ke­ponakan sang ayah sendiri, Habib Ahmad bin Hasyim Al-Aydarus. Namun tidak sampai tuntas, karena ia keburu pindah ke Yogya.

Ia memilih kuliah di IAIN Yogya ka­rena sejak di PGA telah banyak mem­baca buku-buku yang ditulis oleh para guru besar IAIN Yogya. Di antaranya buku-buku karya Prof. Hasbi Ash-Shiddiqi, Prof. Mukhtar Yahya, Dr. K.H. M. Tholhah Mansoer, Prof. Mukti Ali, Prof. Zaini Dahlan. Ada sekitar 15 pe­nulis yang bukunya sering ia baca dan sebagian besar mereka adalah guru be­sar dan dosen-dosen senior di sana.

Ketika pertama kali datang di Yogya, ia tinggal di kediaman Dr. K.H. Tholhah Mansur. Kemudian atas saran beberapa orang, termasuk K.H. Anwar Musaddad, ia masuk Pesantren Krapyak sambil kuliah di IAIN Yogya.

Karena sejak kecil menyukai seni, ia memilih Fakultas Adab, sebab ia yakin bahwa di dalamnya ada unsur-unsur seni. Pada tiga tahun pertama, kuliah be­lum dijuruskan. Akhirnya setelah menda­patkan sarjana muda, ia memilih jurusan sejarah kebudayaan Islam. Pilihannya jatuh pada sejarah kebudayaan Islam, bukan jurusan sastra Arab, karena ke­betulan cocok dengan dosen-dosen yang mengajar materi-materi yang ber­kaitan dengan sejarah.

Di antara dosen-dosen favoritnya saat itu adalah Prof. Dr. Nouruzzaman Shiddiqi dan Dra. Chadijah Nasution. Nouruzzaman Shiddiqi dipandangnya mampu mengkombinasikan dengan baik metodologi Timur dan Barat. Cara pe­nyampaiannya pun enak, gayanya san­tai, dan sering memberikan informasi dari buku-buku mutakhir. Sedangkan Chadijah Nasution dikatakannya mem­berikan materi yang mendalam dan di­dukung dengan data-data yang jarang di­ketahui orang. Ia pun sangat mengua­sai sejarah pendidikan Islam di Indo­nesia.

Saat kuliah, Habib Syarief Muham­mad dikenal sebagai aktivis dan organi­satoris. Di tingkat II ia sudah menjadi ke­tua rayon (tingkat fakultas) PMII, padahal biasanya yang menjadi ketua rayon adalah mahasiswa tingkat III atau tingkat IV. Di tingkat III meningkat menjadi ketua komisariat (tingkat universitas), sedang­kan ketua-ketua rayonnya teman-teman seangkatannya.

Kesibukannya berorganisasi tidak membuat kuliahnya terbengkalai. Pada tahun 1980 ia dapat menuntaskannya. Saat sarjana muda, tugas akhir yang ditulisnya berjudul Pengaruh Bahasa Arab terhadap Kebudayaan Islam di Indonesia. Sedangkan ketika skripsi, yang ditulisnya adalah Peran Nahdlatul Ulama dalam Perubahan Sosial di Indonesia. Ia cukup puas dapat menun­tas­kan skripsinya tersebut karena saat itu sulit sekali mencari referensi tentang NU, tidak seperti sekarang, sehingga membutuhkan perjuangan yang cukup berat.

Sepulang dari Yogyakarta, Habib Syarief diminta untuk membantu abah­nya mengajar di SMP Assalaam. Na­mun ini hanya berjalan sekitar dua tahun. Tampaknya jiwa dan pola pikir aktivisnya yang masih menyala-nyala membuatnya tak betah menjalani kegiatan ini.

Tahun 1982, ia meminta izin kepada sang ayah untuk mengajar di perguruan tinggi. Pertama-tama ia mengajar di ITB dengan materi Al-Islam (kuliah agama Islam). Bertahun-tahun ia mengajar sampai hampir diangkat menjadi tenaga pengajar tetap. Namun akhirnya tak jadi, karena ayahnya tak mengizinkannya men­jadi pegawai negeri. Meskipun Habib Syarief beberapa kali mencoba menjadi dosen tetap di beberapa per­guruan tinggi negeri, upayanya selalu ”di­potong di tengah jalan” oleh sang ayah.

Namun hal tersebut tak membuatnya patah semangat untuk terus mengajar, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta, meskipun tak menjadi PNS. Tahun 1983 ia mulai mengajar di Uninus dan langsung menjadi sekretaris fakultas sastra. Di fakultas yang sama ia sempat pula menjadi pembantu dekan II (1991-1995) dan pembantu dekan III (1985-1995) sampai akhirnya pembantu rektor III (1995-1999) dan pembantu rektor IV (1999-2003) selama pengabdiannya di kampus ini.

Selain di kedua perguruan tinggi itu, ia pun mengajar di Unisba, Inisi, Ikopin, Unpas, Politeknik Swiss, dan lain-lain. Tercatat, ada 11 perguruan tinggi tempat ia mengajar. Sebagiannya ada yang cu­kup lama, seperti di Uninus, yang di­jalani­nya selama kurang lebih 16 tahun hingga tahun 1999. Di ITB selama de­lapan tahun, di Unisba sekitar tiga sam­pai empat tahun. Ada pula yang hanya dua-tiga tahun saja.

Selain memberikan mata kuliah Al-Islam, ia juga mengajar materi-materi lainnya, di antaranya Ilmu Budaya Da­sar, Filsafat Umum, Metodologi Peneli­tian, Tafsir, Hadits, Ulumul-Qur’an.

Selama periode itu pula, kegiatan Habib Syarief bertambah lagi dengan memberikan pengajian dan ceramah di masyarakat di berbagai tempat, yang dari waktu ke waktu juga terus bertam­bah. ”Sekitar sembilan puluh persen wila­yah Jawa Barat telah dikelilingi. Waktu itu masih senang-senangnya ngomong,” katanya mengenang saat-saat itu.



Bekerja sampai 16 Jam per Hari

Sejak kecil ia memang telah mulai me­miliki pengalaman berbicara di depan umum dan pengalaman menulis. Ketika duduk di kelas III SD ia telah berbicara di depan umum saat acara perpisahan Assalaam gabungan di sebuah bioskop sangat terkenal di Bandung, bioskop Nusantara. Bioskop itu pada tahun 1967 pernah pula dijadikan salah satu arena Muktamar NU, yang ayahnya, Habib Utsman, menjadi ketua panitia. Sang ayah tampaknya telah menyiapkannya agar ia memiliki pengalaman berbicara di depan umum sejak kecil dan agar memiliki rasa percaya diri yang kuat.

Kegemaran membaca juga telah tum­buh sejak kecil. Berbagai buku di­bacanya. Cerita-cerita karya Kho Ping Ho, Sherlock Holmes, Agatha Cristie, Karl May, misalnya, telah disantapnya sejak kanak-kanak.

Masa pertengahan 1980-an hingga pertengahan 1990-an memang merupa­kan saat-saat tersibuk dalam kehidup­annya. Mengajar di berbagai kampus, memberikan pengajian dan ceramah di mana-mana, serta mengikuti macam-macam kegiatan ilmiah. ”Selama sekitar 10 tahun itu, saya bekerja sampai 16 jam per hari. Tidak ada hari hari libur. Hari Sabtu dan Ahad pun tetap sibuk ke sana-kemari,” katanya.

Ketika kegiatan ceramah dari waktu ke waktu terus bertambah, akhirnya se­dikit demi sedikit ia pun terpaksa mengu­rangi kegiatan mengajarnya, dan ber­hen­ti sama sekali pada tahun 1999 ke­tika ia harus ke Jakarta saat menda­patkan amanah sebagai anggota MPR.

Bukan hanya membaca, mengajar, dan berceramah yang menemani hari-harinya saat itu bahkan hingga seka­rang, melainkan juga aktivitas organi­sasi, terutama di NU. Di organisasi Islam terbesar di Indonesia ini, kiprahnya di­awali tahun 1982 saat menjadi wakil ketua PCNU Bandung yang dipegang­nya hingga tahun 1985. Setelah itu ber­turut-turut mendapat kepercayaan seba­gai wakil katib Syuriah PWNU Jawa Barat (1985-1990), wakil ketua Tanfidzi­yah PWNU Jawa Barat (1990-1995), dan ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Barat (1995-1998). Jabatannya sebagai ketua Tanfidziyah PWNU tak sampai akhir pe­riode, karena ia harus melepasnya sejak menjadi ketua Tanfidziyah DPW Partai Kebangkitan Bangsa (1998-2000).

Di luar itu, amanah yang pernah dan sedang diembannya di antaranya seba­gai ketua umum Yayasan Assalaam Bandung (1985-sekarang), anggota pengurus MUI kota Bandung (1984-1988), anggota pengurus DKM Masjid Agung Bandung (1996-1998), anggota pengurus Forum Komunikasi Umat Ber­agama Jawa Barat (1996-1998), ang­gota Dewan Pembina GP Ansor Jawa Barat (1993-1998), a‘wan PBNU (2005-2009), penasihat Rabithah Alawiyah cabang Bandung (2007-2011).

Pada tahun 1999 Habib Syarief menjadi anggota MPR dari fraksi utusan daerah Provinsi Jawa Barat bersama empat orang lainnya, termasuk Ginanjar Kartasasmita. Setiap provinsi mendapat jatah lima orang untuk fraksi utusan dae­rah dan dipilih oleh anggota DPRD ma­sing-masing provinsi. Di MPR ia kemu­dian diberi amanah sebagai wakil ketua Fraksi PKB. Sebagaimana diketahui, ma­sing-masing anggota fraksi utusan daerah yang berasal dari parpol, di MPR bergabung dengan masing-masing par­polnya.

Habib Syarief pun dipercaya duduk dalam Panitia AdHoc II BP MPR dan terlibat dalam proses amandemen 1 dan 2 UUD 1945. Selesai amandemen, ke­sibukannya berlanjut bersama beberapa anggota lainnya untuk mensosialisasi­kannya, baik di dalam maupun di luar ne­geri. Dalam kapasitasnya sebagai anggota MPR pula ia bersama anggota de­legasi yang lain berkesempatan me­lakukan studi banding ke beberapa ne­gara.

Setelah tak lagi menjadi anggota MPR, kesibukannya bukan berkurang, malah semakin bertambah. Di samping mengelola dan mengembangkan As­salaam beserta segenap pengurus ya­yasan dan mereka semua yang terlibat, ia tetap menjadi pendidik dan pencera­mah di berbagai kesempatan. Jadwal aca­ranya dari hari ke hari sangat padat. Belum lagi kegiatan-kegiatan dzikir yang diasuhnya, seperti istighatsah dan se­bagainya.

Habib Syarief juga menjadi kolumnis dan penulis artikel di berbagai media cetak. Di antaranya tulisannya secara teratur muncul di harian Pikiran Rakyat Ban­dung dan media-media lain. Ia juga menjadi muballigh di berbagai acara keislaman di TVRI Pusat, TVRI Jabar-Banten, dan berbagai TV swasta.

Sosok produktif ini pun telah meng­ha­silkan banyak karya, di antaranya yang telah terbit adalah Agar Hidup Selalu Berkah, Wirid Penyejuk Qalbu (Istighatsah Istisyfa’), Kapita Selekta Dakwah, Wirid Harian, 135 shalawat Nabi, Kronologi Perjalanan Ibadah Haji, 79 Macam Shalat Sunnah, Panduan Doa Manasik Haji, Siraman Pengantin, Pengurusan Jenazah, 1001 Doa Pilihan.

Dari pernikahannya dengan Dra. Hj. Ayusdarniati, Habib Syarief dikarunia empat permata hati: H.M. Luthfi Alman­faluthi, S.T., Hj. Syarifah Rafika Zakiah, H.M. Rifki Noval, dan Hj. Syarifah Zafira.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar