Sesejuk Kota Kembang
Di samping kiai, ia pun KIAI, dalam arti kreatif, inovatif,
aktif, dan inklusif.
Namanya biasa ditulis “K.H. Drs. Habib Syarief Muhammad
Al-Aydarus”. Tak banyak habib yang juga dipanggil kiai atau ditulis “K.H.” di
depan namanya. Tokoh habaib Kota Kembang, tokoh NU Jawa Barat, pendidik,
penceramah, dan ketua umum Yayasan Assalaam, ini termasuk dalam kelompok yang
tak banyak itu. Ayahnya, yang telah berpulang 7 Maret 1985 yang lalu, juga
demikian, sering ditulis namanya dengan “K.H.”, yakni K.H. Habib Utsman
Al-Aydarus. Beliau ini tokoh terkemuka di Bandung di masanya.
Habib Syarief Muhammad memang seorang kiai, baik dilihat
dari ilmunya, wawasannya, penampilannya, pembawaannya, pergaulannya, sikapnya,
maupun pendiriannya. Bahkan sosoknya lebih menggambarkan sosok seorang kiai
pribumi daripada sosok seorang habib sebagaimana dalam bayangan kebanyakan
orang.
Meskipun demikian, identitas dan jiwa kehabibannya sama
sekali tak hilang, bahkan berkurang pun tidak. Baik dari namanya,
keyakinannya, amaliahnya, kecenderungannya, pergaulannya, perjuangannya,
maupun keistiqamahannya.
Di samping kiai, ia pun KIAI, dalam arti kreatif, inovatif,
aktif, dan inklusif. Ini bukan singkatan yang dibuat-buat dan dicocok-cocokkan
dengannya. Orang yang mengenalnya cukup dekat, insya Allah, akan sependapat
bahwa masing-masing kata itu memang terlihat dalam dirinya.
Kreativitasnya dapat dilihat dari apa yang dilakukannya
sejak kecil, remaja, dan terus hingga kini.
Ia pun seorang yang inovatif. Langkah-langkah yang
ditempuhnya dan terobosan-terobosan yang dilakukannya dalam mengembangkan
Yayasan Assalaam jelas-jelas menunjukkan hal itu. Jangan heran jika Assalaam
dengan berbagai lembaga pendidikannya, serta berbagai unit kegiatan lainnya,
terus berkembang pesat dan kini menjadi salah satu yayasan Islam yang sangat
dikenal di Bandung dan diakui memiliki kualitas yang baik.
Kemudian, berbagai peran dan amanah yang diembannya sejak
di bangku kuliah, bahkan sejak remaja, sampai kini, merupakan bukti nyata
aktivitasnya yang lama. Sedangkan pergaulannya yang luas dan kedekatannya
dengan berbagai kalangan jelas menunjukkan inklusivitasnya. Jadi memang ia
seorang KIAI.
Tetap tak Lupa Mengajar
Habib Syarief Muhammad lahir di Bandung tanggal 5 November
1954, putra pasangan Habib Utsman bin Husein Al-Aydarus dan Hj. Aisyah binti
Djali Radjoe Soetan. Ia anak pertama dari lima bersaudara. Adik-adiknya adalah
Syarifah Hamidah, Syarif Ahmad, Syarif Hamid, dan Syarifah Mahmudah. Selain
itu, Habib Syarief juga memiliki dua kakak perempuan lain ibu, yakni Syarifah
Fathimah dan Syarifah Maimunah.
Sosok yang ramah, mudah akrab, dan tak suka menonjolkan diri
ini memulai pendidikan formalnya di lembaga pendidikan yang dirintis
ayahandanya sendiri, Assalaam. Jenjang TK dan SD diselesaikannya di sini.
Kemudian ia melanjutkan ke PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) enam tahun di
Bandung, tahun 1968-1973.
Setelah menuntaskan pendidikannya di PGAN, akhir tahun
1973, Habib Syarief melangkahkan kaki ke Yogyakarta di awal tahun 1974. Di sini ia melanjutkan pendidikannya di Fakultas Adab
IAIN Sunan Kalijaga, yang dapat diselesaikan tahun 1980, sambil mondok di
Pesantren Krapyak, asuhan tokoh NU terkemuka, K.H. Ali Maksum.
Saat kanak-kanak dan remaja, di samping mengaji kepada
ayahandanya sendiri, ia juga mengaji kepada para kiai di Bandung meskipun tidak
menetap di pesantren mereka. Di antaranya mengaji ilmu falak kepada Ajengan
Burhan, pengasuh Pesantren Cijaura.
Sejak kecil telah tumbuh kecintaannya terhadap ilmu dan
buku. Salah satu yang memotivasinya, ia menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya
selalu muthalaah kitab setiap hari sekitar enam jam, setiap ba‘da zhuhur, ba‘da
isya, dan pagi hari. Padahal, beliau setiap dua hari mengkhatamkan Al-Qur’an.
Belum lagi waktunya untuk membaca shalawat. Apa yang dilakukan sang ayah itu
memotivasinya untuk gemar membaca.
Di masa kanak-kanak, setiap hari Jum’at, ia ikut pengajian
kitab Minhajul Abidin dan Ihya Ulumiddin, yang diasuh ayahandanya. Juga
pengajian kitab Al-Hikam di hari Sabtu. Khusus untuk ilmu-ilmu alat, sang ayah
menyuruhnya untuk belajar kepada kakak sepupunya, keponakan sang ayah sendiri,
Habib Ahmad bin Hasyim Al-Aydarus. Namun tidak sampai tuntas, karena ia keburu
pindah ke Yogya.
Ia memilih kuliah di IAIN Yogya karena sejak di PGA telah
banyak membaca buku-buku yang ditulis oleh para guru besar IAIN Yogya. Di
antaranya buku-buku karya Prof. Hasbi Ash-Shiddiqi, Prof. Mukhtar Yahya, Dr.
K.H. M. Tholhah Mansoer, Prof. Mukti Ali, Prof. Zaini Dahlan. Ada sekitar 15
penulis yang bukunya sering ia baca dan sebagian besar mereka adalah guru
besar dan dosen-dosen senior di sana.
Ketika pertama kali datang di Yogya, ia tinggal di kediaman
Dr. K.H. Tholhah Mansur. Kemudian atas saran beberapa orang, termasuk K.H.
Anwar Musaddad, ia masuk Pesantren Krapyak sambil kuliah di IAIN Yogya.
Karena sejak kecil menyukai seni, ia memilih Fakultas Adab,
sebab ia yakin bahwa di dalamnya ada unsur-unsur seni. Pada tiga tahun pertama,
kuliah belum dijuruskan. Akhirnya setelah mendapatkan sarjana muda, ia
memilih jurusan sejarah kebudayaan Islam. Pilihannya jatuh pada sejarah
kebudayaan Islam, bukan jurusan sastra Arab, karena kebetulan cocok dengan
dosen-dosen yang mengajar materi-materi yang berkaitan dengan sejarah.
Di antara dosen-dosen favoritnya saat itu adalah Prof. Dr.
Nouruzzaman Shiddiqi dan Dra. Chadijah Nasution. Nouruzzaman Shiddiqi
dipandangnya mampu mengkombinasikan dengan baik metodologi Timur dan Barat.
Cara penyampaiannya pun enak, gayanya santai, dan sering memberikan informasi
dari buku-buku mutakhir. Sedangkan Chadijah Nasution dikatakannya memberikan
materi yang mendalam dan didukung dengan data-data yang jarang diketahui
orang. Ia pun sangat menguasai sejarah pendidikan Islam di Indonesia.
Saat kuliah, Habib Syarief Muhammad dikenal sebagai aktivis
dan organisatoris. Di tingkat II ia sudah menjadi ketua rayon (tingkat
fakultas) PMII, padahal biasanya yang menjadi ketua rayon adalah mahasiswa tingkat
III atau tingkat IV. Di tingkat III meningkat menjadi ketua komisariat (tingkat
universitas), sedangkan ketua-ketua rayonnya teman-teman seangkatannya.
Kesibukannya berorganisasi tidak membuat kuliahnya
terbengkalai. Pada tahun 1980 ia dapat menuntaskannya. Saat sarjana muda, tugas
akhir yang ditulisnya berjudul Pengaruh Bahasa Arab terhadap Kebudayaan Islam
di Indonesia. Sedangkan ketika skripsi, yang ditulisnya adalah Peran Nahdlatul
Ulama dalam Perubahan Sosial di Indonesia. Ia cukup puas dapat menuntaskan
skripsinya tersebut karena saat itu sulit sekali mencari referensi tentang NU,
tidak seperti sekarang, sehingga membutuhkan perjuangan yang cukup berat.
Sepulang dari Yogyakarta, Habib Syarief diminta untuk
membantu abahnya mengajar di SMP Assalaam. Namun ini hanya berjalan sekitar
dua tahun. Tampaknya jiwa dan pola pikir aktivisnya yang masih menyala-nyala
membuatnya tak betah menjalani kegiatan ini.
Tahun 1982, ia meminta izin kepada sang ayah untuk mengajar
di perguruan tinggi. Pertama-tama ia mengajar di ITB dengan materi Al-Islam
(kuliah agama Islam). Bertahun-tahun ia mengajar sampai hampir diangkat menjadi
tenaga pengajar tetap. Namun akhirnya tak jadi, karena ayahnya tak
mengizinkannya menjadi pegawai negeri. Meskipun Habib Syarief beberapa kali
mencoba menjadi dosen tetap di beberapa perguruan tinggi negeri, upayanya
selalu ”dipotong di tengah jalan” oleh sang ayah.
Namun hal tersebut tak membuatnya patah semangat untuk terus
mengajar, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta, meskipun tak menjadi
PNS. Tahun 1983 ia mulai mengajar di Uninus dan langsung menjadi sekretaris
fakultas sastra. Di fakultas yang sama ia sempat pula menjadi pembantu dekan II
(1991-1995) dan pembantu dekan III (1985-1995) sampai akhirnya pembantu rektor
III (1995-1999) dan pembantu rektor IV (1999-2003) selama pengabdiannya di
kampus ini.
Selain di kedua perguruan tinggi itu, ia pun mengajar di
Unisba, Inisi, Ikopin, Unpas, Politeknik Swiss, dan lain-lain. Tercatat, ada 11
perguruan tinggi tempat ia mengajar. Sebagiannya ada yang cukup lama, seperti
di Uninus, yang dijalaninya selama kurang lebih 16 tahun hingga tahun 1999.
Di ITB selama delapan tahun, di Unisba sekitar tiga sampai empat tahun. Ada
pula yang hanya dua-tiga tahun saja.
Selain memberikan mata kuliah Al-Islam, ia juga mengajar
materi-materi lainnya, di antaranya Ilmu Budaya Dasar, Filsafat Umum,
Metodologi Penelitian, Tafsir, Hadits, Ulumul-Qur’an.
Selama periode itu pula, kegiatan Habib Syarief bertambah
lagi dengan memberikan pengajian dan ceramah di masyarakat di berbagai tempat,
yang dari waktu ke waktu juga terus bertambah. ”Sekitar sembilan puluh persen
wilayah Jawa Barat telah dikelilingi. Waktu itu masih senang-senangnya
ngomong,” katanya mengenang saat-saat itu.
Bekerja sampai 16 Jam per Hari
Sejak kecil ia memang telah mulai memiliki pengalaman
berbicara di depan umum dan pengalaman menulis. Ketika duduk di kelas III SD ia
telah berbicara di depan umum saat acara perpisahan Assalaam gabungan di sebuah
bioskop sangat terkenal di Bandung, bioskop Nusantara. Bioskop itu pada tahun
1967 pernah pula dijadikan salah satu arena Muktamar NU, yang ayahnya, Habib
Utsman, menjadi ketua panitia. Sang ayah tampaknya telah menyiapkannya agar ia
memiliki pengalaman berbicara di depan umum sejak kecil dan agar memiliki rasa
percaya diri yang kuat.
Kegemaran membaca juga telah tumbuh sejak kecil. Berbagai
buku dibacanya. Cerita-cerita karya Kho Ping Ho, Sherlock Holmes, Agatha
Cristie, Karl May, misalnya, telah disantapnya sejak kanak-kanak.
Masa pertengahan 1980-an hingga pertengahan 1990-an memang
merupakan saat-saat tersibuk dalam kehidupannya. Mengajar di berbagai kampus,
memberikan pengajian dan ceramah di mana-mana, serta mengikuti macam-macam
kegiatan ilmiah. ”Selama sekitar 10 tahun itu, saya bekerja sampai 16 jam per
hari. Tidak ada hari hari libur. Hari Sabtu dan Ahad pun tetap sibuk ke
sana-kemari,” katanya.
Ketika kegiatan ceramah dari waktu ke waktu terus bertambah,
akhirnya sedikit demi sedikit ia pun terpaksa mengurangi kegiatan
mengajarnya, dan berhenti sama sekali pada tahun 1999 ketika ia harus ke
Jakarta saat mendapatkan amanah sebagai anggota MPR.
Bukan hanya membaca, mengajar, dan berceramah yang menemani
hari-harinya saat itu bahkan hingga sekarang, melainkan juga aktivitas
organisasi, terutama di NU. Di organisasi Islam terbesar di Indonesia ini,
kiprahnya diawali tahun 1982 saat menjadi wakil ketua PCNU Bandung yang
dipegangnya hingga tahun 1985. Setelah itu berturut-turut mendapat kepercayaan
sebagai wakil katib Syuriah PWNU Jawa Barat (1985-1990), wakil ketua
Tanfidziyah PWNU Jawa Barat (1990-1995), dan ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Barat
(1995-1998). Jabatannya sebagai ketua Tanfidziyah PWNU tak sampai akhir
periode, karena ia harus melepasnya sejak menjadi ketua Tanfidziyah DPW Partai
Kebangkitan Bangsa (1998-2000).
Di luar itu, amanah yang pernah dan sedang diembannya di
antaranya sebagai ketua umum Yayasan Assalaam Bandung (1985-sekarang), anggota
pengurus MUI kota Bandung (1984-1988), anggota pengurus DKM Masjid Agung
Bandung (1996-1998), anggota pengurus Forum Komunikasi Umat Beragama Jawa
Barat (1996-1998), anggota Dewan Pembina GP Ansor Jawa Barat (1993-1998),
a‘wan PBNU (2005-2009), penasihat Rabithah Alawiyah cabang Bandung (2007-2011).
Pada tahun 1999 Habib Syarief menjadi anggota MPR dari
fraksi utusan daerah Provinsi Jawa Barat bersama empat orang lainnya, termasuk
Ginanjar Kartasasmita. Setiap provinsi mendapat jatah lima orang untuk fraksi
utusan daerah dan dipilih oleh anggota DPRD masing-masing provinsi. Di MPR ia
kemudian diberi amanah sebagai wakil ketua Fraksi PKB. Sebagaimana diketahui,
masing-masing anggota fraksi utusan daerah yang berasal dari parpol, di MPR
bergabung dengan masing-masing parpolnya.
Habib Syarief pun dipercaya duduk dalam Panitia AdHoc II BP
MPR dan terlibat dalam proses amandemen 1 dan 2 UUD 1945. Selesai amandemen,
kesibukannya berlanjut bersama beberapa anggota lainnya untuk
mensosialisasikannya, baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam kapasitasnya
sebagai anggota MPR pula ia bersama anggota delegasi yang lain berkesempatan
melakukan studi banding ke beberapa negara.
Setelah tak lagi menjadi anggota MPR, kesibukannya bukan
berkurang, malah semakin bertambah. Di samping mengelola dan mengembangkan
Assalaam beserta segenap pengurus yayasan dan mereka semua yang terlibat, ia
tetap menjadi pendidik dan penceramah di berbagai kesempatan. Jadwal acaranya
dari hari ke hari sangat padat. Belum lagi kegiatan-kegiatan dzikir yang diasuhnya,
seperti istighatsah dan sebagainya.
Habib Syarief juga menjadi kolumnis dan penulis artikel di
berbagai media cetak. Di antaranya tulisannya secara teratur muncul di harian
Pikiran Rakyat Bandung dan media-media lain. Ia juga menjadi muballigh di berbagai
acara keislaman di TVRI Pusat, TVRI Jabar-Banten, dan berbagai TV swasta.
Sosok produktif ini pun telah menghasilkan banyak karya,
di antaranya yang telah terbit adalah Agar Hidup Selalu Berkah, Wirid Penyejuk
Qalbu (Istighatsah Istisyfa’), Kapita Selekta Dakwah, Wirid Harian, 135
shalawat Nabi, Kronologi Perjalanan Ibadah Haji, 79 Macam Shalat Sunnah,
Panduan Doa Manasik Haji, Siraman Pengantin, Pengurusan Jenazah, 1001 Doa
Pilihan.
Dari pernikahannya dengan Dra. Hj. Ayusdarniati, Habib
Syarief dikarunia empat permata hati: H.M. Luthfi Almanfaluthi, S.T., Hj.
Syarifah Rafika Zakiah, H.M. Rifki Noval, dan Hj. Syarifah Zafira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar