Minggu, 17 November 2013

Habib Fikri bin Abdullah Bafaraj

Perjuangan Berlandaskan Keilmuan
“Ada sebuah hadits, yang intinya menyatakan, seseorang yang jauh dari ilmu atau ulama akan dijauhkan dari keberkahan pada mata pencaharian mereka. Pada hadits lainnya, mereka akan dikuasakan pada seorang penguasa yang zhalim. Dan ada hadits lainnya lagi, disebutkan, mereka akan keluar dari dunia tanpa iman.”
Seorang kiai memeluknya hangat, tangannya mencengkeram tubuh dai berjubah dan bersorban putih ini pe­nuh erat, sejurus kemudian ia berkata dengan semangat, “Ahlan wa sahlan, ya Habib Rizieq. Kami sangat senang de­ngan kedatangan antum.”

Yang dipeluk membalas hangat pe­luk sang kiai, seraya berbisik ringan, ”Maaf, Kiai, Habib Rizieq kirim salam, be­liau ber­ha­langan datang karena kondisi kesehat­annya yang sedang tak me­mungkinkan.”

Mata sang Kiai terbelalak, dengan sedikit mendorong tubuh yang sedang dipeluknya itu ia perhatikan baik-baik orang yang ada di depannya.

Belum hilang rasa bingung sang Kiai, orang yang tadi dipeluknya segera ber­kata lagi, ”Iya, Kiai, saya wakil yang be­liau utus untuk menggantikan undangan dakwah beliau.”

Kejadian di atas adalah kisah nyata yang terjadi di sebuah desa di wilayah barat Pulau Jawa. Orang memang ba­nyak yang terkecoh dengan style dan wajah serta tubuh dai muda ini, yang sekilas memang mirip Habib Rizieq Syihab. Di beberapa tempat, kejadian seperti ini sempat pula berulang. Garis wajahnya, gerak-gerik tubuhnya, hingga cara bicaranya sewaktu berdakwah, kata banyak orang, mirip Habib Rizieq.

Habib Fikri bin Abdullah Bafaraj, demikian nama dai muda ini, yang tak lain adalah salah seorang murid Habib Rizieq. Kedekatannya dengan panglima FPI ini sudah cukup lama. Dari mulai kedekatan hubungan murid dan guru, kini ia pun semakin dekat, sebab kini ia menjadi menantu sang guru. Seta­hun yang lalu, ia resmi menyunting putri sulung Habib Rizieq Syihab.


Khawatir Pergaulan Remaja

Saat tokoh muda ini mulai muncul ke permukaan panggung dakwah di bebe­rapa tempat, bukan hanya kemiripan dirinya dan Habib Rizieq yang menjadi buah bibir. Tak sedikit yang bertanya-tanya tentang kata “Bafaraj” di belakang nama Habib Fikri.

Keluarga Bafaraj mungkin belum terlalu familiar di telinga para muhibbin di Nusantara. Bahkan, pada sementara kalangan Alawiyyin pun tak sedikit yang be­lum mengetahui keberadaan satu mar­ga keluarga Alawiyyin yang bernama Bafaraj. Wajar saja, di sini, populasi keluarga Bafaraj pun sedikit sekali.

Bafaraj adalah nama salah satu ke­luarga Alawiyyin anak ke­turunan Habib Faraj (wafat di kota Tarim tahun 876 H/1471 M) bin Ahmad Al-Masrafah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi Ammu Al-Faqih. Jadi, kalau biasanya ke­luarga Alawiyyin Hadhramaut digolong­kan pada dua kelompok besar, yaitu ke­luarga Al-Faqih dan keluarga Ammul Fa­qih, keluarga Bafaraj ini termasuk dalam kelompok yang kedua, yaitu keluarga Ammul Faqih.

Sebagian keluarga Alawiyyin meng­gunakan gabungan kata Ba dan nama seseorang, yang bermakna putra atau anak-cucu, seperti Baagil dan Bahsin (dari kata Ba Husain). Kata “Ba” dalam lahjah (dialek bahasa) orang Hadhra­maut semakna dengan “Bin”. Jadi, Bafaraj di sini bermak­na anak keturunan Habib Faraj.

Sebagian keluarga Bafaraj lainnya juga berdomisili di Singapura. Dari ne­geri itu pula ayah dari kakek Habib Fikri, yaitu Habib Umar bin Ali Bafaraj, hijrah dan kemudian menetap di Jakarta. Dan di kota metropolitan ini juga Habib Fikri dilahirkan, tepatnya pada 19 Juni 1985.

”Sebenarnya, ane ini awal mulanya berangkat dari pendidikan umum. Na­mun ane beruntung punya abah yang men­didik agar ane nggak cuman belajar di sekolah, tapi harus juga belajar aga­ma. Jadi, sekalipun abah ane bukan ula­ma, sudah menjadi prinsip baginya bah­wa agama harus menjadi prioritas dalam kehidupan keluarganya. Sehingga, anak-anaknya kalau pagi sekolah di sekolah umum dan kalau siang atau sorenya masuk madrasah. Gak cuman belajar di madrasah, habis maghrib kita juga harus mengaji Al-Qur’an,” ujar Ha­bib Fikri dengan logat kental Betawinya mengenang masa-masa kecil ber­sama sang ayah.

Selepas bangku SLTP, tahun 2000, sang ayah melihat pergaulan remaja yang semakin mengkhawatirkan. Ka­rena­nya, ayahnya pun memesantren­kan­nya. Saat itu, Darut Tauhid, Malang, menjadi pilihan ayahnya.


Orientasi Mulai Bergeser

Di pondok pesantren yang diasuh (alm.) Ustadz Abdullah Abdun itu, sang pengasuh sangat memperhatikan para santrinya. Kalau berpapasan, ia terbiasa menegur terlebih dulu santrinya. Dengan bahasa Arab tentunya, agar para santri terbiasa bicara dengan bahasa Arab. Kalau si santri tidak tahu artinya, Ustadz Abdullah kemudian mengartikan. ”Itu cara tarbiyah yang diterapkan Ustadz Abdullah. Beliau sangat menggalakkan pelajaran bahasa Arab bagi para santri­nya,” ujar Habib Fikri.

Tahun 2002, Ustadz Abdullah me­ning­gal. Posisi Ustadz Abdullah, sebagai pengasuh ma’had, kemu­dian digantikan oleh salah putranya, yaitu Ustadz Thaha Abdun.

Habib Fikri kemudian bercerita ketika ia mulai semakin dekat dan cinta pada ilmu agama. ”Kita mengaji agama, tetapi entah mengapa kebanyakan kita tidak menjadikan ulama sebagai figur utama kita. Sisi-sisi kehidupan kita lainnya masih amat mewarnai pola pikir kita se­hingga kita lebih menempatkan, misal­nya, artis, penyanyi, atau pemain sepak­bola, sebagai figur dalam kehidupan kita. Cara pandang semacam ini bahkan juga banyak menjangkiti para santri pondok pesantren, termasuk saya pada waktu itu.

Sampai pada satu ketika, di saat-saat saya sedang liburan pesantren dan pulang ke rumah orangtua, saya hadir di majelis Maulid yang saat itu meng­ha­dirkan Habib  Rizieq sebagai pembicara­nya. Kebetulan sekali, saat itu Habib Rizieq membahas perihal urgensi ta’lim, menuntut ilmu, bagi umat Islam.

Saya lihat, ini ustadz kayaknya lain sendiri, wawasannya luas banget. Bukan hanya dalam bidang ilmu agama, hampir setiap aspek lain di luar agama yang ia katakan, rasanya seperti ia kuasai se­cara mendalam.

Saat melihat sosok ini, pandangan saya terhadap agama juga menjadi se­makin luas. Saya tambah paham bahwa Islam bukan hanya bicara fiqih atau akh­laq, tapi juga mencakup banyak aspek lain dalam kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun bermasyarakat. Begitu yang saya dapatkan dari majelis Habib Rizieq saat itu. Dari sini saya mulai meng­idolakan ulama. Saya pun jadi tambah semangat belajar.

Seperti kebanyakan santri yang ka­lau liburan pulang ke rumah, tapi kalau mau balik lagi ke pesantren perasaan berat sekali, setelah saya hadir di majelis itu, alhamdulillah seketika semangat bel­ajar saya terasa menggelora di dada. Rasa­nya, saat itu saya pun pulang kembali ke pesantren dengan se­mangat baru yang menyala-nyala.

Namun begitulah, kebanyakan anak pondok, semangat itu ada naik-turunnya. Yang jelas, setelah kehadiran saya di majelis itu, yang tadinya gila bola dan sebagainya, terasa sekali orientasi saya mulai bergeser. Saya mulai mengidola­kan ulama dan semakin cinta pada ilmu agama.”


Minta Tasbih, Dapat Kopiah

Setelah Habib Fikri merampungkan pendidikannya di Darut Tauhid pada tahun 2004, pada tahun itu juga ia pun melanjutkan pendidikannya ke Rubath Al-Jufri di Madinah, asuhan Habib Zain Bin Sumaith.

Pendidikan di rubath yang diasuh Habib Zain ini sangat memaksimalkan pemanfaatan waktu sehari-hari. Dari pagi sampai malam, santri berkutat dengan halaqah-halaqah ilmu yang digelar. Tak lupa, malam hari setiap santri wajib shalat Tahajjud, dan pagi harinya, setelah sha­lat Subuh, kembali melanjutkan aktivitas keilmuannya. Begitu seterusnya hari demi hari dijalani Habib Fikri.

Di rubath Habib Zain ini pula setiap santri diharuskan menghafal mutun, be­berapa kitab matan. “Hampir pada setiap bidang ilmu agama, kita wajib menghafal salah satu kitab matan pada bidang ilmu agama tersebut, seperti kalau dalam ilmu fiqih, kita wajib hafal kitab Safinah dan Zubad, dalam ilmu tauhid, kita wajib hafal Jauharah at-Tauhid, dalam ilmu nahwu kita wajib hafal Jurumiyah, sam­pai ada juga di antara santri yang dalam ilmu hadits disuruh menghafal Al-Muwaththa’,” kisah Habib Fikri.

”Sewaktu ane mau pulang ke kam­pung halaman, setelah sekitar empat tahun di sana, ane kan harus pamitan sama Habib Zain. Pada waktu itu Habib Zain lagi ada di Jeddah. Maka ane pun menyempatkan diri ke Jeddah untuk menemui beliau. Ane pamit pada beliau dan meminta doa beliau. Alhamdulillah biasanya banyak orang yang minta doa, tapi ketika itu cuma ane sendiri.”

Saat itu, Habib Zain mendoakannya lama sekali.

Setelah selesai didoakan, sebagai murid yang telah bertahun-tahun tinggal bersama di pesantren asuhan Habib Zain di Madinah, ia ingin ada kenang-ke­nangan tersendiri, yang dengannya ingat­annya dapat mudah terbawa untuk mengingat sang guru. Habib Fikri pun meminta kenang-kenangan dari Habib Zain berupa tasbih. ”Supaya ane juga lebih rajin berdzikir, ane minta kenang-kenangan tasbih dari Habib Zen.”

“Alham­dulillah, ternyata yang beliau berikan adalah kopiah,” imbuhnya lagi.

Apa makna di balik ini? Wallahu a’lam. Yang jelas, ada seseorang yang saat itu mengatakan kepadanya, “Ya Fikri, ente beruntung banget, tiga hari yang lalu ada kiai minta kopiah Habib Zen, tapi gak dikasih.”



Berjuang lewat Dakwah

Selain mendoakan Habib Fikri, saat itu Habib Zain juga berpesan kepadanya agar nantinya, setelah pulang ke Indone­sia, ia tidak bekerja, tapi langsung meng­ajar.

Menuruti apa yang dipesankan sang guru, Habib Fikri pun langsung aktif ber­dakwah. Saat itu, yaitu pada tahun 2008, ia mulai merintis jalan dakwahnya de­ngan berkolaborasi bersama sejumlah alumnus Darul Musthafa Hadhramaut. Habib Nabil Al-Gadri salah satunya.

Namun, “Sambil mulai dakwah di Ja­karta, ane kemudian tetap terus mengaji, yaitu pada majelis ta’lim Habib Rizieq. Di majelis Habib Rizieq, beliau banyak mem­buka kitab-kitab Sayyid Muham­mad bin Alwi Al-Maliki. Dari beliau, ane banyak ber-istifadah (mengambil fai­dah), terutama dalam mempelajari ilmu faraidh (ilmu waris), ilmu falak, dan ilmu hadits.”

Kedekatan hubungan antara dirinya dan Habib Rizieq terus berlangsung, sam­pai akhirnya ia pun menyunting putri sulung Habib Rizieq.

Selain berdakwah di tengah masya­rakat, ia pun kini bergabung dalam per­juangan dakwah di barisan FPI. Di FPI sekarang ia duduk sebagai ketua LDF (Lembaga Dakwah Front), yang merupa­kan sayap organisasi FPI dalam bidang dakwah. Sebelumnya, yaitu saat per­tama ia aktif di FPI, ia duduk di ketua Bidang Syari’at Dewan Syura FPI DPW Jakarta.

Beberapa waktu kemudian ada rek­rutmen kepengurusan baru di jajaran DPP. Habib Fikri pun ditarik ke DPP dan ditempatkan sebagai ketua LDF. LDF ini terdiri dari para dai, yang banyak ber­gerak di dunia dakwah. Misinya, tentu saja bergerak di bidang dakwah, di an­taranya dengan menambah wawasan ke­agamaan para anggota laskar FPI, termasuk juga menggelar majelis-ma­jelis dakwah keliling di tengah masya­rakat di berbagai tempat. “Misalnya di Jakarta ini, kita menggelarnya di lima wilayah kota Jakarta. Kita keluar masuk kampung,” ujar Habib Fikri, menje­laskan kiprahnya di LDF.



Tetap Semangat Belajar

Saat ditanya ihwal problematik ma­syarakat kita saat ini, menurutnya, ke­banyakan orang awam di sekitar kita sekarang ini sebaiknya terus diarahkan agar lebih memperhatikan bekal ilmu dalam diri mereka.

”Ada hadits Nabi, yang intinya me­nyatakan, seseorang yang jauh dari ilmu atau ulama akan dijauhkan dari keber­kahan pada mata pencaharian mereka. Pada hadits lainnya, mereka akan di­kuasakan pada seorang penguasa yang zhalim. Dan ada hadits lainnya lagi, di­sebutkan, mereka akan keluar dari dunia tanpa iman.

Itulah madharat karena kita jauh dari ilmu dan ulama, na’udzu billah min dzalik...,” katanya.

Terkait dengan hal itu, lalu bagaima­na gerak dan langkah nyata dakwah LDF di lapangan, “Kita beru­paya, misalnya, dengan mengumpulkan para dai dan asatidz, terutama tentunya kita mengum­pulkan para anggota dan simpatisan FPI, kemudian mengundang umat Islam secara terbuka. Di sana, kita buka kitab. Kita kaji ilmu-ilmu agama di sana.

Banyak masalah yang dihadapi ma­syarakat kita saat ini. Jalan keluar yang terbaik, ya kita harus sama-sama men­dekat pada bahtera ilmu. Sebab ilmu itu pelita, penerang menuju jalan yang be­nar, agar kita tidak salah jalan, hingga se­­makin jauh dari kebenaran dan keba­ha­giaan hidup. Bukankah setiap kita me­mang wajib menuntut ilmu?”

Selain sebagai aktivis organisasi, sebagai pribadi ia juga memang telah aktif mengajar di beberapa tempat, se­bagaimana yang dipesankan Habib Zain sewaktu ia pamitan pulang dari Madinah beberapa tahun yang lalu. Di majelisnya, di antaranya, ia membuka kitab Bidayah al-Hidayah, Safinah an-Najah, dan be­berapa kitab lainnya.

Semangat belajar Habib Fikri patut diacungi jempol. Tahun lalu, jebolan pe­santren Madinah ini melanjutkan pendi­dikannya kembali ke Negeri Piramid, Mesir. Saat ini, ia pun tercatat sebagai sa­lah seorang mahasiswa Al-Azhar. Di Al-Azhar, ia mengambil Fakultas Sya­ri’ah Islamiyyah, bersama lebih dari 20 ribu ma­hasiswa lainnya, dalam satu angkatan.

Karena aktivitas barunya di Al-Azhar, Mesir, setahun terakhir ini ia jadi sering bolak-balik Indonesia-Mesir. Namun de­mikian, majelis yang telah ia bina bukan berarti harus ia tutup. Sementara ini majelisnya dilanjutkan oleh sejumlah sahabatnya, alumni Rubath Tarim dan Darul Musthafa, yaitu Habib Muhammad bin Salim Al-Attas dan Habib Abdul Qadir bin Ali Bin Sahil.

Menilik perjalanan hidup dai muda kita ini, meski dirinya disebut-sebut ba­nyak memiliki kemiripan dengan mertua­nya, partisipasi aktifnya di FPI maupun peran aktifnya di medan dakwah saat ini jelas tidak bersandar pada bayang-bayang nama besar sang mertua. Semangat belajarnya yang tetap terpeli­hara baik, meski ia jebolan pesantren ternama di Madinah dan bahkan setelah ia kini su­dah menikah, cukup menjadi alasan atas hal itu.

http://majalah-alkisah.com/index.php/figur/26-profile-tokoh/2055-habib-fikri-bin-abdullah-bafaraj-perjuangan-berlandaskan-keilmuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar