Perjuangan Berlandaskan Keilmuan
“Ada sebuah hadits, yang intinya menyatakan, seseorang yang
jauh dari ilmu atau ulama akan dijauhkan dari keberkahan pada mata pencaharian
mereka. Pada hadits lainnya, mereka akan dikuasakan pada seorang penguasa yang
zhalim. Dan ada hadits lainnya lagi, disebutkan, mereka akan keluar dari dunia
tanpa iman.”
Seorang kiai memeluknya hangat, tangannya mencengkeram tubuh
dai berjubah dan bersorban putih ini penuh erat, sejurus kemudian ia berkata
dengan semangat, “Ahlan wa sahlan, ya Habib Rizieq. Kami sangat senang dengan
kedatangan antum.”
Yang dipeluk membalas hangat peluk sang kiai, seraya
berbisik ringan, ”Maaf, Kiai, Habib Rizieq kirim salam, beliau berhalangan
datang karena kondisi kesehatannya yang sedang tak memungkinkan.”
Mata sang Kiai terbelalak, dengan sedikit mendorong tubuh
yang sedang dipeluknya itu ia perhatikan baik-baik orang yang ada di depannya.
Belum hilang rasa bingung sang Kiai, orang yang tadi dipeluknya
segera berkata lagi, ”Iya, Kiai, saya wakil yang beliau utus untuk
menggantikan undangan dakwah beliau.”
Kejadian di atas adalah kisah nyata yang terjadi di sebuah
desa di wilayah barat Pulau Jawa. Orang memang banyak yang terkecoh dengan
style dan wajah serta tubuh dai muda ini, yang sekilas memang mirip Habib
Rizieq Syihab. Di beberapa tempat, kejadian seperti ini sempat pula berulang.
Garis wajahnya, gerak-gerik tubuhnya, hingga cara bicaranya sewaktu berdakwah,
kata banyak orang, mirip Habib Rizieq.
Habib Fikri bin Abdullah Bafaraj, demikian nama dai muda
ini, yang tak lain adalah salah seorang murid Habib Rizieq. Kedekatannya dengan
panglima FPI ini sudah cukup lama. Dari mulai kedekatan hubungan murid dan
guru, kini ia pun semakin dekat, sebab kini ia menjadi menantu sang guru.
Setahun yang lalu, ia resmi menyunting putri sulung Habib Rizieq Syihab.
Khawatir Pergaulan Remaja
Saat tokoh muda ini mulai muncul ke permukaan panggung
dakwah di beberapa tempat, bukan hanya kemiripan dirinya dan Habib Rizieq yang
menjadi buah bibir. Tak sedikit yang bertanya-tanya tentang kata “Bafaraj” di
belakang nama Habib Fikri.
Keluarga Bafaraj mungkin belum terlalu familiar di telinga
para muhibbin di Nusantara. Bahkan, pada sementara kalangan Alawiyyin pun tak
sedikit yang belum mengetahui keberadaan satu marga keluarga Alawiyyin yang
bernama Bafaraj. Wajar saja, di sini, populasi keluarga Bafaraj pun sedikit
sekali.
Bafaraj adalah nama salah satu keluarga Alawiyyin anak
keturunan Habib Faraj (wafat di kota Tarim tahun 876 H/1471 M) bin Ahmad
Al-Masrafah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi Ammu
Al-Faqih. Jadi, kalau biasanya keluarga Alawiyyin Hadhramaut digolongkan pada
dua kelompok besar, yaitu keluarga Al-Faqih dan keluarga Ammul Faqih,
keluarga Bafaraj ini termasuk dalam kelompok yang kedua, yaitu keluarga Ammul
Faqih.
Sebagian keluarga Alawiyyin menggunakan gabungan kata Ba
dan nama seseorang, yang bermakna putra atau anak-cucu, seperti Baagil dan
Bahsin (dari kata Ba Husain). Kata “Ba” dalam lahjah (dialek bahasa) orang
Hadhramaut semakna dengan “Bin”. Jadi, Bafaraj di sini bermakna anak
keturunan Habib Faraj.
Sebagian keluarga Bafaraj lainnya juga berdomisili di
Singapura. Dari negeri itu pula ayah dari kakek Habib Fikri, yaitu Habib Umar
bin Ali Bafaraj, hijrah dan kemudian menetap di Jakarta. Dan di kota
metropolitan ini juga Habib Fikri dilahirkan, tepatnya pada 19 Juni 1985.
”Sebenarnya, ane ini awal mulanya berangkat dari pendidikan
umum. Namun ane beruntung punya abah yang mendidik agar ane nggak cuman
belajar di sekolah, tapi harus juga belajar agama. Jadi, sekalipun abah ane
bukan ulama, sudah menjadi prinsip baginya bahwa agama harus menjadi
prioritas dalam kehidupan keluarganya. Sehingga, anak-anaknya kalau pagi
sekolah di sekolah umum dan kalau siang atau sorenya masuk madrasah. Gak cuman
belajar di madrasah, habis maghrib kita juga harus mengaji Al-Qur’an,” ujar
Habib Fikri dengan logat kental Betawinya mengenang masa-masa kecil bersama
sang ayah.
Selepas bangku SLTP, tahun 2000, sang ayah melihat pergaulan
remaja yang semakin mengkhawatirkan. Karenanya, ayahnya pun
memesantrenkannya. Saat itu, Darut Tauhid, Malang, menjadi pilihan ayahnya.
Orientasi Mulai Bergeser
Di pondok pesantren yang diasuh (alm.) Ustadz Abdullah Abdun
itu, sang pengasuh sangat memperhatikan para santrinya. Kalau berpapasan, ia
terbiasa menegur terlebih dulu santrinya. Dengan bahasa Arab tentunya, agar
para santri terbiasa bicara dengan bahasa Arab. Kalau si santri tidak tahu
artinya, Ustadz Abdullah kemudian mengartikan. ”Itu cara tarbiyah yang
diterapkan Ustadz Abdullah. Beliau sangat menggalakkan pelajaran bahasa Arab
bagi para santrinya,” ujar Habib Fikri.
Tahun 2002, Ustadz Abdullah meninggal. Posisi Ustadz
Abdullah, sebagai pengasuh ma’had, kemudian digantikan oleh salah putranya,
yaitu Ustadz Thaha Abdun.
Habib Fikri kemudian bercerita ketika ia mulai semakin dekat
dan cinta pada ilmu agama. ”Kita mengaji agama, tetapi entah mengapa kebanyakan
kita tidak menjadikan ulama sebagai figur utama kita. Sisi-sisi kehidupan kita
lainnya masih amat mewarnai pola pikir kita sehingga kita lebih menempatkan,
misalnya, artis, penyanyi, atau pemain sepakbola, sebagai figur dalam
kehidupan kita. Cara pandang semacam ini bahkan juga banyak menjangkiti para
santri pondok pesantren, termasuk saya pada waktu itu.
Sampai pada satu ketika, di saat-saat saya sedang liburan
pesantren dan pulang ke rumah orangtua, saya hadir di majelis Maulid yang saat
itu menghadirkan Habib Rizieq sebagai
pembicaranya. Kebetulan sekali, saat itu Habib Rizieq membahas perihal urgensi
ta’lim, menuntut ilmu, bagi umat Islam.
Saya lihat, ini ustadz kayaknya lain sendiri, wawasannya
luas banget. Bukan hanya dalam bidang ilmu agama, hampir setiap aspek lain di
luar agama yang ia katakan, rasanya seperti ia kuasai secara mendalam.
Saat melihat sosok ini, pandangan saya terhadap agama juga
menjadi semakin luas. Saya tambah paham bahwa Islam bukan hanya bicara fiqih
atau akhlaq, tapi juga mencakup banyak aspek lain dalam kehidupan manusia,
baik secara pribadi maupun bermasyarakat. Begitu yang saya dapatkan dari
majelis Habib Rizieq saat itu. Dari sini saya mulai mengidolakan ulama. Saya
pun jadi tambah semangat belajar.
Seperti kebanyakan santri yang kalau liburan pulang ke
rumah, tapi kalau mau balik lagi ke pesantren perasaan berat sekali, setelah
saya hadir di majelis itu, alhamdulillah seketika semangat belajar saya terasa
menggelora di dada. Rasanya, saat itu saya pun pulang kembali ke pesantren
dengan semangat baru yang menyala-nyala.
Namun begitulah, kebanyakan anak pondok, semangat itu ada
naik-turunnya. Yang jelas, setelah kehadiran saya di majelis itu, yang tadinya
gila bola dan sebagainya, terasa sekali orientasi saya mulai bergeser. Saya
mulai mengidolakan ulama dan semakin cinta pada ilmu agama.”
Minta Tasbih, Dapat Kopiah
Setelah Habib Fikri merampungkan pendidikannya di Darut
Tauhid pada tahun 2004, pada tahun itu juga ia pun melanjutkan pendidikannya ke
Rubath Al-Jufri di Madinah, asuhan Habib Zain Bin Sumaith.
Pendidikan di rubath yang diasuh Habib Zain ini sangat
memaksimalkan pemanfaatan waktu sehari-hari. Dari pagi sampai malam, santri
berkutat dengan halaqah-halaqah ilmu yang digelar. Tak lupa, malam hari setiap
santri wajib shalat Tahajjud, dan pagi harinya, setelah shalat Subuh, kembali
melanjutkan aktivitas keilmuannya. Begitu seterusnya hari demi hari dijalani
Habib Fikri.
Di rubath Habib Zain ini pula setiap santri diharuskan
menghafal mutun, beberapa kitab matan. “Hampir pada setiap bidang ilmu agama,
kita wajib menghafal salah satu kitab matan pada bidang ilmu agama tersebut,
seperti kalau dalam ilmu fiqih, kita wajib hafal kitab Safinah dan Zubad, dalam
ilmu tauhid, kita wajib hafal Jauharah at-Tauhid, dalam ilmu nahwu kita wajib
hafal Jurumiyah, sampai ada juga di antara santri yang dalam ilmu hadits
disuruh menghafal Al-Muwaththa’,” kisah Habib Fikri.
Saat itu, Habib Zain mendoakannya lama sekali.
Setelah selesai didoakan, sebagai murid yang telah
bertahun-tahun tinggal bersama di pesantren asuhan Habib Zain di Madinah, ia
ingin ada kenang-kenangan tersendiri, yang dengannya ingatannya dapat mudah
terbawa untuk mengingat sang guru. Habib Fikri pun meminta kenang-kenangan dari
Habib Zain berupa tasbih. ”Supaya ane juga lebih rajin berdzikir, ane minta
kenang-kenangan tasbih dari Habib Zen.”
“Alhamdulillah, ternyata yang beliau berikan adalah kopiah,”
imbuhnya lagi.
Apa makna di balik ini? Wallahu a’lam. Yang jelas, ada
seseorang yang saat itu mengatakan kepadanya, “Ya Fikri, ente beruntung banget,
tiga hari yang lalu ada kiai minta kopiah Habib Zen, tapi gak dikasih.”
Berjuang lewat Dakwah
Selain mendoakan Habib Fikri, saat itu Habib Zain juga
berpesan kepadanya agar nantinya, setelah pulang ke Indonesia, ia tidak
bekerja, tapi langsung mengajar.
Menuruti apa yang dipesankan sang guru, Habib Fikri pun
langsung aktif berdakwah. Saat itu, yaitu pada tahun 2008, ia mulai merintis
jalan dakwahnya dengan berkolaborasi bersama sejumlah alumnus Darul Musthafa
Hadhramaut. Habib Nabil Al-Gadri salah satunya.
Namun, “Sambil mulai dakwah di Jakarta, ane kemudian tetap
terus mengaji, yaitu pada majelis ta’lim Habib Rizieq. Di majelis Habib Rizieq,
beliau banyak membuka kitab-kitab Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Dari
beliau, ane banyak ber-istifadah (mengambil faidah), terutama dalam
mempelajari ilmu faraidh (ilmu waris), ilmu falak, dan ilmu hadits.”
Kedekatan hubungan antara dirinya dan Habib Rizieq terus
berlangsung, sampai akhirnya ia pun menyunting putri sulung Habib Rizieq.
Selain berdakwah di tengah masyarakat, ia pun kini
bergabung dalam perjuangan dakwah di barisan FPI. Di FPI sekarang ia duduk
sebagai ketua LDF (Lembaga Dakwah Front), yang merupakan sayap organisasi FPI
dalam bidang dakwah. Sebelumnya, yaitu saat pertama ia aktif di FPI, ia duduk
di ketua Bidang Syari’at Dewan Syura FPI DPW Jakarta.
Beberapa waktu kemudian ada rekrutmen kepengurusan baru di
jajaran DPP. Habib Fikri pun ditarik ke DPP dan ditempatkan sebagai ketua LDF.
LDF ini terdiri dari para dai, yang banyak bergerak di dunia dakwah. Misinya,
tentu saja bergerak di bidang dakwah, di antaranya dengan menambah wawasan
keagamaan para anggota laskar FPI, termasuk juga menggelar majelis-majelis
dakwah keliling di tengah masyarakat di berbagai tempat. “Misalnya di Jakarta
ini, kita menggelarnya di lima wilayah kota Jakarta. Kita keluar masuk
kampung,” ujar Habib Fikri, menjelaskan kiprahnya di LDF.
Tetap Semangat Belajar
Saat ditanya ihwal problematik masyarakat kita saat ini,
menurutnya, kebanyakan orang awam di sekitar kita sekarang ini sebaiknya terus
diarahkan agar lebih memperhatikan bekal ilmu dalam diri mereka.
”Ada hadits Nabi, yang intinya menyatakan, seseorang yang
jauh dari ilmu atau ulama akan dijauhkan dari keberkahan pada mata pencaharian
mereka. Pada hadits lainnya, mereka akan dikuasakan pada seorang penguasa yang
zhalim. Dan ada hadits lainnya lagi, disebutkan, mereka akan keluar dari dunia
tanpa iman.
Itulah madharat karena kita jauh dari ilmu dan ulama,
na’udzu billah min dzalik...,” katanya.
Terkait dengan hal itu, lalu bagaimana gerak dan langkah
nyata dakwah LDF di lapangan, “Kita berupaya, misalnya, dengan mengumpulkan
para dai dan asatidz, terutama tentunya kita mengumpulkan para anggota dan
simpatisan FPI, kemudian mengundang umat Islam secara terbuka. Di sana, kita
buka kitab. Kita kaji ilmu-ilmu agama di sana.
Banyak masalah yang dihadapi masyarakat kita saat ini.
Jalan keluar yang terbaik, ya kita harus sama-sama mendekat pada bahtera ilmu.
Sebab ilmu itu pelita, penerang menuju jalan yang benar, agar kita tidak salah
jalan, hingga semakin jauh dari kebenaran dan kebahagiaan hidup. Bukankah
setiap kita memang wajib menuntut ilmu?”
Selain sebagai aktivis organisasi, sebagai pribadi ia juga
memang telah aktif mengajar di beberapa tempat, sebagaimana yang dipesankan
Habib Zain sewaktu ia pamitan pulang dari Madinah beberapa tahun yang lalu. Di
majelisnya, di antaranya, ia membuka kitab Bidayah al-Hidayah, Safinah
an-Najah, dan beberapa kitab lainnya.
Semangat belajar Habib Fikri patut diacungi jempol. Tahun
lalu, jebolan pesantren Madinah ini melanjutkan pendidikannya kembali ke
Negeri Piramid, Mesir. Saat ini, ia pun tercatat sebagai salah seorang
mahasiswa Al-Azhar. Di Al-Azhar, ia mengambil Fakultas Syari’ah Islamiyyah,
bersama lebih dari 20 ribu mahasiswa lainnya, dalam satu angkatan.
Karena aktivitas barunya di Al-Azhar, Mesir, setahun
terakhir ini ia jadi sering bolak-balik Indonesia-Mesir. Namun demikian,
majelis yang telah ia bina bukan berarti harus ia tutup. Sementara ini
majelisnya dilanjutkan oleh sejumlah sahabatnya, alumni Rubath Tarim dan Darul
Musthafa, yaitu Habib Muhammad bin Salim Al-Attas dan Habib Abdul Qadir bin Ali
Bin Sahil.
Menilik perjalanan hidup dai muda kita ini, meski dirinya
disebut-sebut banyak memiliki kemiripan dengan mertuanya, partisipasi
aktifnya di FPI maupun peran aktifnya di medan dakwah saat ini jelas tidak
bersandar pada bayang-bayang nama besar sang mertua. Semangat belajarnya yang
tetap terpelihara baik, meski ia jebolan pesantren ternama di Madinah dan
bahkan setelah ia kini sudah menikah, cukup menjadi alasan atas hal itu.
http://majalah-alkisah.com/index.php/figur/26-profile-tokoh/2055-habib-fikri-bin-abdullah-bafaraj-perjuangan-berlandaskan-keilmuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar