Minggu, 17 November 2013

Habib Muhsin bin Ali Bin Hamid

Agar Rasulullah SAW Tersenyum…
Sekalipun jadwal mengajarnya cukup padat, ia tidak berhenti untuk menuntut ilmu, belajar, dan terus belajar. Prinsip yang dipegangnya adalah seperti yang diucapkan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki kepada murid-muridnya, “Maa Zilta Thaliban (Sampai kapan pun, engkau tetap seorang pelajar/penuntut ilmu).”

Jasa dan pengorbanan Rasulullah SAW terhadap umatnya begitu besar. Karena itu, seyogianyalah setiap insan mus­lim menjadikan hari-harinya sebagai sarana untuk mengenang itu semua. Ba­gaimana seorang muslim harus men­cin­tai beliau sepenuh hatinya. Setelah itu, yang terpenting kemudian adalah mem­bahagiakan dan membuat beliau terse­nyum melihat umat akhir zaman ini. Sa­lah satu cara yang dapat kita lakukan ada­lah umat Islam  bersatu sebagai umat Rasulullah SAW, menghindari per­tikaian sesama kaum muslimin.

Bagaimana gambaran jasa dan pe­ngorbanan Rasulullah SAW? Tentu saja itu sangat sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Namun demikian, kisah-kisah tentang berderainya air mata Rasulullah SAW dalam banyak kesempatan yang te­rekam di berbagai riwayat cukup men­jadi gambaran betapa beliau sangat men­cintai umatnya, dan telah melewati hari-harinya dengan hari-hari penuh pe­ngorbanan, demi keselamatan dunia dan akhirat umat yang sangat dicintainya ini.

Dikisahkan, sebagaimana disebut­kan dalam buku Air Mata Sang Nabi, ketika surga dan neraka telah terkunci dan se­mua umat manusia telah dima­suk­kan ke dalam surga dan neraka se­suai dengan amalannya dan mereka te­lah menikmati ganjaran atau merasakan hukuman atas apa yang mereka kerja­kan dalam waktu yang begitu lama, Allah SWT menanyakan kepada Malaikat Jib­ril, subhanallah, se­sungguhnya Allah Maha­tahu, ”Apakah ada umat Muham­mad SAW yang masih tertinggal di da­lam neraka?”

Maka Malaikat Jibril pun pergi ke ne­raka Jahannam.

Neraka Jahannam, yang begitu ge­lap, tiba-tiba berubah menjadi terang benderang karena kedatangan Jibril.

Para penghuni Jahannam pun ber­tanya-tanya, siapakah yang datang, me­nga­pa Jahannam tiba-tiba terang bende­rang.

Malaikat Jibril pun menjawab bahwa dia adalah Malaikat Jibril, yang diutus oleh Allah SWT untuk mencari apakah ada umat Muhammad yang masih ter­selip di neraka Jahannam.

Tiba-tiba sekelompok orang ber­te­riak, ”Sampaikan salam kami kepada Rasulullah SAW, beri tahukan keadaan kami di tempat ini kepada beliau.”

Jibril pun keluar dari neraka Jahan­nam dan pergi ke surga untuk memberi­tahukan hal itu kepada Rasulullah.

Rasulullah begitu bersedih mende­ngar bahwa masih ada umatnya yang tertinggal di dalam neraka dalam waktu yang sudah begitu lama. Beliau tidak ridha ada umatnya yang masih tertinggal di neraka walau dosanya sepenuh bumi.

Rasulullah SAW pun bergegas hen­dak pergi ke neraka.

Tapi di perjalanan beliau terhadang oleh garis batas Malaikat Israfil. Tidak ada seorang pun  boleh melintasi garis batas itu kalau tidak seizin Allah SWT.

Rasulullah SAW pun mengadu ke­pada Allah SWT, dan akhirnya beliau diizinkan.

Tapi sesudah itu Allah SWT meng­ingatkan Rasulullah bahwa umatnya itu telah meremehkan beliau, ”Ya Allah, izin­kan aku memberi syafa’at kepada me­reka itu walau mereka hanya punya iman sebesar dzarrah.”

Sesampainya Rasulullah SAW di neraka Jahannam, padamlah api neraka yang begitu dahsyat itu.

Penduduk Jahannam pun berucap, ”Apa yang terjadi, mengapa api Jahan­nam ini tiba-tiba padam? Siapakah yang datang?”

Rasulullah SAW menjawab, ”Aku, Mu­hammad, yang datang, siapa di an­tara kalian yang jadi umatku dan punya iman sebesar dzarrah, aku datang untuk mengeluarkannya.”

Demikianlah gambaran kecintaan Rasulullah SAW seperti dikisahkan pada buku tersebut. Kecintaan yang begitu besar kepada umatnya, yang kemudian tak jarang harus beliau bayar dengan keringat, air mata, bahkan darah beliau, sebagai jasa dan pengorbanan beliau demi keselamatan umatnya. Bukan hanya di dunia, bahkan beliau terus memperjuangkannya sampai di akhirat kelak, di hadapan Allah SWT.

”Lalu bagaimana ke­cintaan kita se­bagai umat Rasulullah SAW kepada pri­badi yang begitu agung itu?” Demikian yang ditulis sang penulis buku di akhir kisah.

Siapakah penulis buku Air Mata Sang Nabi tersebut? Ia adalah dai muda yang kini berdiam di kota Malang, Habib Muhsin bin Ali Bin Hamid, sosok yang menjadi figur kita kali ini.

Berprestasi sejak Usia Dini

Meski masih berusia muda, Habib Muh­sin sudah cukup produktif. Karya-karyanya telah banyak tersebar. Di antara yang sangat diingat orang adalah buku karyanya yang memuat biografi Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, yang berjudul Mutiara Ahlul Bait dari Tanah Haram.

Habib Muhsin lahir di Sumenep, Madura, pada tanggal 10 Juli 1983, dari pasangan Habib Ali bin Abu Bakar Bin Hamid dan Syarifah Nur Sukainah binti Hasan Al-Jufri. Ia terlahir sebagai anak ketiga dari empat bersaudara.

Sebagaimana anak-anak seusianya, ia menjalani pendidikan umum yang di­dapatnya di SD Ne­geri Pajagalan 1 Su­me­nep, yang kemu­dian diteruskannya di SMP Negeri 1 Sumenep. Tahun 1999, ia me­lanjutkan pendidikannya di SMU Ne­geri 4 Malang.

 Di samping menjalani pendidikan umum, pendidikan keagamaan pun telah ditekuninya sejak kecil, yaitu sejak masa-masa belajarnya di SD-SMP di Sumenep, dengan belajar di Yayasan Pendidikan Al-Wathaniyyah Al-Islamiy­yah (YPAA), sebuah madrasah yang cu­kup terkenal di Sumenep, sampai tingkat tsanawiyah, di bawah asuhan beberapa ulama kota Sumenep, di antaranya Us­tadz Nauval Bakhabazy, Ustadz Mus­thafa bin Ahmad Baharun (adik Habib Hasan bin Ahmad Baharun, Pendiri Ponpes Darul Lughah Wad Da’wah, Raci, Bangil, Pasuruan), Ustadz Ahmad Bakhabazy, Ustadz Badar Bakhabazy, Ustadz Luthfi Bakhabazy, Ustadz Basyir Beik, Ustadz Mudhar Beik.

Sejak kecil kecerdasannya tampak menonjol di tengah-tengah kawan-ka­wannya. Tak aneh, saat kelulusan se­kolah dasar, dengan danem 48.9 untuk lima mata pelajaran, ia menjadi peraih danem tertinggi ketiga se-Jawa Timur kala itu. Prestasi di madrasah pun cukup memuaskan. Ia tercatat pernah menjadi bintang pelajar Madrasah YPAA. Begitu pun saat duduk di bangku SMP, ia per­nah mengikuti lomba pidato dan meraih juara pertama.

Selepas SMP, ia hijrah ke kota Ma­lang. Di Kota Apel ini ia melanjutkan pen­didikan SMU sambil secara tekun mem­perdalam ilmu agama kepada beberapa ulama Malang, di antaranya Habib Sholeh bin Ahmad Alaydrus, Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad, Habib Husein Bin Agil, Habib Abdullah Maula­khelah, dan beberapa tokoh ulama lain­nya di kota tersebut.

Mengajar dan Terus Belajar

Habib Muhsin melepas masa lajang­nya dengan menikahi putri Habib Abu Bakar bin Ali bin Abu Bakar bin Muham­mad Assegaf Gresik. Akad Nikah digelar bersamaan dengan Rauhah dan Haul Al-Imam Al-Habib Abu Bakar bin Muham­mad As-Segaf pada tanggal 15 Dzul­hij­jah 1431 H/ 22 November 2010.

Selain tetap menjadi santri atau pe­nuntut ilmu, ia juga berusaha menyebar­kan ilmu yang didapat dengan mengajar dan berdakwah di beberapa majelis di Malang dan sekitarnya. Hampir setiap hari ada jadwal mengajar dan berdak­wah. Tidak hanya di dalam kota, tapi sam­pai masuk ke pelosok-pelosok, se­perti Desa Baran Kidal, Ringin Anom, Tumpang, bahkan Turen, yang jaraknya cukup jauh dari pusat kota.

Di antara kitab-kitab yang menjadi materi ajarnya adalah Minhajul ‘Abidin, Bidayatul Hidayah, An-Nashaih Ad-Diniyyah, Sullamut Taufiq, Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquqil Musthafa, Muhammad Al-Insanul Kamil, Maqalun Nashihin.

Di rumah kediamannya, Perum Asabri Bumiayu Indah Blok H-4, Bumi­ayu-Malang, habib muda yang sangat menyukai pelajaran sirah/sejarah ini juga membuka majelis ta’lim setiap Sabtu ba’da maghrib. Dimulai dengan pemba­caan Ratib Al-Haddad, kemudian penga­jian kitab An-Nashaih ad-Diniyyah. Saat pengajian berlangsung, rumah dan ha­laman penuh dengan jama’ah, baik laki-laki maupun perempuan.

Sekalipun jadwal mengajarnya pe­nuh, ia tidak berhenti untuk menuntut ilmu, belajar dan terus belajar. Prinsip yang dipegangnya adalah seperti yang diucap­kan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki ke­pada murid-muridnya, “Maa Zilta Thali­ban (Sampai kapan pun, engkau tetap seorang pelajar/penuntut ilmu).”

Dalam beberapa kesempatan ia me­lakukan rihlah ke beberapa daerah, ia tak melewatkan kesempatan untuk ber-istifadah (mengambil faidah) dari bebe­rapa ulama yang berdomisili di daerah itu. Seperti pada kesempatan lawatan­nya ke Jakarta, ia berziarah ke beberapa ulama terkemuka di Ibu Kota, di antara­nya Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf Bu­kit Duri, Habib Abdurrahman bin Mu­ham­mad Al-Habsyi Kwitang, dan para ulama Jakarta lainnya. Ketika di Malay­sia, ia pun ber­ziarah kepada Habib Ali bin Ja’far Al­aydrus, Batu Pahat, bebe­rapa bulan se­belum Habib Ali wafat. Se­mentara saat ia bertandang ke Singa­pura, ia tidak me­lewatkan kesempatan untuk berziarah ke makam Habib Nuh Al-Habsyi.

Yang Muda, Yang Produktif

Selain belajar dan mengajar, Habib Muh­sin juga banyak berpartisipasi dalam kancah dakwah melalui tulisan. Tulisan-tu­lisannya telah dimuat di sejumlah me­dia dakwah. Sampai saat ini pun ia masih aktif mengisi artikel Islami di buletin Wad Da’wah, yang berada di bawah penga­was­an Majlis Ta’lim wad Da’wah asuhan guru­nya, Habib Sholeh bin Ahmad Alaydrus.

Selain menulis di beberapa media, dai muda kita ini pun telah menelurkan se­jum­lah karya berbobot. Sebagian di an­taranya telah diterbitkan dan telah ter­sebar luas di tengah masyarakat. Di an­tara karya-karyanya itu adalah Mutiara Ahlu Bait dari Tanah Haram - Sebuah Biografi Al Imam As Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki, Makkah, yang di­terbitkan atas kerja sama Madinatul Ilmi dan Penerbit Ar Raudho, Malang (sampai saat ini sudah cetakan kedelapan), Mu­hammad SAW Kado Ilahi yang Dinanti - Sebuah buku yang membahas tuntas se­putar keajaiban Milad atau kelahiran Rasulullah SAW, juga diterbitkan oleh Pe­nerbit Ar Raudho, Malang, Lawami’ul Anwar fi Ma’rifah Al Musthafa Al Mukhtar, sebuah kitab (berbahasa Arab) yang mengupas kemuliaan Rasulullah SAW serta sifat-sifat agung beliau SAW (kitab ini masih berupa tulisan tangan/manus­krip), Kitabul Arba’in Fil Adzan wal Iqa­mah, sebuah kitab yang berisikan 40 ha­dits yang berkaitan dengan tata cara serta keutamaan adzan dan iqamah, 2002, terjemah kitab Ad Da’wah at-Tammah wa at-Tadzkirah al-’Ammah, karya Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad (be­lum diterbitkan), terjemah kitab Mukh­tashar Jalil Al-Malibari, dengan judul Un­taian Mutiara Nasehat Syaikh Zainuddin Al Malibari, 2003 (belum diterbitkan), Niat-niat dalam Pernikahan, 2006 (diperba­nyak sendiri), Sekelumit Biografi Imam Al-Bukhari dan Keutamaan Membaca Kitab Shohih Al-Bukhari, 2007 (diperbanyak sen­diri), Taqwa Bekal Dunia Akhirat, 1998 (be­lum diterbitkan), Ilmu Cahaya dari Allah, 1998 (belum diterbitkan, dan kedua buku ini ditulis ketika ia masih duduk di SMP), Bagaimanakah Hukum Rokok?, 2003 (diperbanyak sendiri, belum diterbit­kan), dan yang terakhir adalah buku yang cuplikan kisahnya ditulis di awal tulisan ini, yaitu Air Mata Sang Nabi, yang baru-baru ini diterbitkan oleh Penerbit Ar Raudho.

Produktivitasnya dalam menulis juga sebanding dengan kecintaannya dalam mem­baca, hobinya sejak masih kecil. “Saya sangat suka mengoleksi kitab-kitab, sejak sekolah madrasah dulu sampai sekarang. Bahkan saya punya perpustakaan pribadi di rumah saya, ada sekitar delapan almari besar koleksi kitab saya. Sebagian saya beli di dalam ne­geri tapi ada pula yang saya beli dari luar negeri dengan perantara beberapa te­man di Jeddah dan Makkah. Saya ber­harap, kitab-kitab saya ini nantinya dapat dipelajari dan dimanfaatkan oleh anak-cucu saya,” ujarnya memungkasi perbin­cang­annya dengan alKisah.

http://majalah-alkisah.com/index.php/figur/26-profile-tokoh/2355-habib-muhsin-bin-ali-bin-hamid--agar-rasulullah-saw-tersenyum-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar