Agar Rasulullah SAW Tersenyum…
Sekalipun jadwal mengajarnya cukup padat, ia tidak berhenti
untuk menuntut ilmu, belajar, dan terus belajar. Prinsip yang dipegangnya
adalah seperti yang diucapkan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki kepada
murid-muridnya, “Maa Zilta Thaliban (Sampai kapan pun, engkau tetap seorang
pelajar/penuntut ilmu).”
Jasa dan pengorbanan Rasulullah SAW terhadap umatnya begitu
besar. Karena itu, seyogianyalah setiap insan muslim menjadikan hari-harinya
sebagai sarana untuk mengenang itu semua. Bagaimana seorang muslim harus
mencintai beliau sepenuh hatinya. Setelah itu, yang terpenting kemudian
adalah membahagiakan dan membuat beliau tersenyum melihat umat akhir zaman
ini. Salah satu cara yang dapat kita lakukan adalah umat Islam bersatu sebagai umat Rasulullah SAW,
menghindari pertikaian sesama kaum muslimin.
Bagaimana gambaran jasa dan pengorbanan Rasulullah SAW?
Tentu saja itu sangat sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Namun demikian,
kisah-kisah tentang berderainya air mata Rasulullah SAW dalam banyak kesempatan
yang terekam di berbagai riwayat cukup menjadi gambaran betapa beliau sangat
mencintai umatnya, dan telah melewati hari-harinya dengan hari-hari penuh
pengorbanan, demi keselamatan dunia dan akhirat umat yang sangat dicintainya
ini.
Dikisahkan, sebagaimana disebutkan dalam buku Air Mata Sang
Nabi, ketika surga dan neraka telah terkunci dan semua umat manusia telah
dimasukkan ke dalam surga dan neraka sesuai dengan amalannya dan mereka
telah menikmati ganjaran atau merasakan hukuman atas apa yang mereka kerjakan
dalam waktu yang begitu lama, Allah SWT menanyakan kepada Malaikat Jibril,
subhanallah, sesungguhnya Allah Mahatahu, ”Apakah ada umat Muhammad SAW yang
masih tertinggal di dalam neraka?”
Maka Malaikat Jibril pun pergi ke neraka Jahannam.
Neraka Jahannam, yang begitu gelap, tiba-tiba berubah
menjadi terang benderang karena kedatangan Jibril.
Para penghuni Jahannam pun bertanya-tanya, siapakah yang
datang, mengapa Jahannam tiba-tiba terang benderang.
Malaikat Jibril pun menjawab bahwa dia adalah Malaikat Jibril,
yang diutus oleh Allah SWT untuk mencari apakah ada umat Muhammad yang masih
terselip di neraka Jahannam.
Tiba-tiba sekelompok orang berteriak, ”Sampaikan salam
kami kepada Rasulullah SAW, beri tahukan keadaan kami di tempat ini kepada
beliau.”
Jibril pun keluar dari neraka Jahannam dan pergi ke surga
untuk memberitahukan hal itu kepada Rasulullah.
Rasulullah begitu bersedih mendengar bahwa masih ada
umatnya yang tertinggal di dalam neraka dalam waktu yang sudah begitu lama.
Beliau tidak ridha ada umatnya yang masih tertinggal di neraka walau dosanya
sepenuh bumi.
Rasulullah SAW pun bergegas hendak pergi ke neraka.
Tapi di perjalanan beliau terhadang oleh garis batas
Malaikat Israfil. Tidak ada seorang pun
boleh melintasi garis batas itu kalau tidak seizin Allah SWT.
Rasulullah SAW pun mengadu kepada Allah SWT, dan akhirnya
beliau diizinkan.
Tapi sesudah itu Allah SWT mengingatkan Rasulullah bahwa
umatnya itu telah meremehkan beliau, ”Ya Allah, izinkan aku memberi syafa’at
kepada mereka itu walau mereka hanya punya iman sebesar dzarrah.”
Sesampainya Rasulullah SAW di neraka Jahannam, padamlah api
neraka yang begitu dahsyat itu.
Penduduk Jahannam pun berucap, ”Apa yang terjadi, mengapa
api Jahannam ini tiba-tiba padam? Siapakah yang datang?”
Rasulullah SAW menjawab, ”Aku, Muhammad, yang datang, siapa
di antara kalian yang jadi umatku dan punya iman sebesar dzarrah, aku datang
untuk mengeluarkannya.”
Demikianlah gambaran kecintaan Rasulullah SAW seperti
dikisahkan pada buku tersebut. Kecintaan yang begitu besar kepada umatnya, yang
kemudian tak jarang harus beliau bayar dengan keringat, air mata, bahkan darah
beliau, sebagai jasa dan pengorbanan beliau demi keselamatan umatnya. Bukan
hanya di dunia, bahkan beliau terus memperjuangkannya sampai di akhirat kelak,
di hadapan Allah SWT.
”Lalu bagaimana kecintaan kita sebagai umat Rasulullah SAW
kepada pribadi yang begitu agung itu?” Demikian yang ditulis sang penulis buku
di akhir kisah.
Siapakah penulis buku Air Mata Sang Nabi tersebut? Ia adalah
dai muda yang kini berdiam di kota Malang, Habib Muhsin bin Ali Bin Hamid,
sosok yang menjadi figur kita kali ini.
Berprestasi sejak Usia Dini
Meski masih berusia muda, Habib Muhsin sudah cukup
produktif. Karya-karyanya telah banyak tersebar. Di antara yang sangat diingat
orang adalah buku karyanya yang memuat biografi Sayyid Muhammad bin Alwi
Al-Maliki, yang berjudul Mutiara Ahlul Bait dari Tanah Haram.
Habib Muhsin lahir di Sumenep, Madura, pada tanggal 10 Juli
1983, dari pasangan Habib Ali bin Abu Bakar Bin Hamid dan Syarifah Nur Sukainah
binti Hasan Al-Jufri. Ia terlahir sebagai anak ketiga dari empat bersaudara.
Sebagaimana anak-anak seusianya, ia menjalani pendidikan
umum yang didapatnya di SD Negeri Pajagalan 1 Sumenep, yang kemudian
diteruskannya di SMP Negeri 1 Sumenep. Tahun 1999, ia melanjutkan
pendidikannya di SMU Negeri 4 Malang.
Sejak kecil kecerdasannya tampak menonjol di tengah-tengah
kawan-kawannya. Tak aneh, saat kelulusan sekolah dasar, dengan danem 48.9
untuk lima mata pelajaran, ia menjadi peraih danem tertinggi ketiga se-Jawa
Timur kala itu. Prestasi di madrasah pun cukup memuaskan. Ia tercatat pernah
menjadi bintang pelajar Madrasah YPAA. Begitu pun saat duduk di bangku SMP, ia
pernah mengikuti lomba pidato dan meraih juara pertama.
Selepas SMP, ia hijrah ke kota Malang. Di Kota Apel ini ia
melanjutkan pendidikan SMU sambil secara tekun memperdalam ilmu agama kepada
beberapa ulama Malang, di antaranya Habib Sholeh bin Ahmad Alaydrus, Habib
Muhammad bin Idrus Al-Haddad, Habib Husein Bin Agil, Habib Abdullah
Maulakhelah, dan beberapa tokoh ulama lainnya di kota tersebut.
Mengajar dan Terus Belajar
Habib Muhsin melepas masa lajangnya dengan menikahi putri
Habib Abu Bakar bin Ali bin Abu Bakar bin Muhammad Assegaf Gresik. Akad Nikah
digelar bersamaan dengan Rauhah dan Haul Al-Imam Al-Habib Abu Bakar bin
Muhammad As-Segaf pada tanggal 15 Dzulhijjah 1431 H/ 22 November 2010.
Selain tetap menjadi santri atau penuntut ilmu, ia juga
berusaha menyebarkan ilmu yang didapat dengan mengajar dan berdakwah di
beberapa majelis di Malang dan sekitarnya. Hampir setiap hari ada jadwal
mengajar dan berdakwah. Tidak hanya di dalam kota, tapi sampai masuk ke
pelosok-pelosok, seperti Desa Baran Kidal, Ringin Anom, Tumpang, bahkan Turen,
yang jaraknya cukup jauh dari pusat kota.
Di antara kitab-kitab yang menjadi materi ajarnya adalah
Minhajul ‘Abidin, Bidayatul Hidayah, An-Nashaih Ad-Diniyyah, Sullamut Taufiq,
Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquqil Musthafa, Muhammad Al-Insanul Kamil, Maqalun
Nashihin.
Di rumah kediamannya, Perum Asabri Bumiayu Indah Blok H-4,
Bumiayu-Malang, habib muda yang sangat menyukai pelajaran sirah/sejarah ini
juga membuka majelis ta’lim setiap Sabtu ba’da maghrib. Dimulai dengan
pembacaan Ratib Al-Haddad, kemudian pengajian kitab An-Nashaih ad-Diniyyah.
Saat pengajian berlangsung, rumah dan halaman penuh dengan jama’ah, baik
laki-laki maupun perempuan.
Sekalipun jadwal mengajarnya penuh, ia tidak berhenti untuk
menuntut ilmu, belajar dan terus belajar. Prinsip yang dipegangnya adalah
seperti yang diucapkan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki kepada
murid-muridnya, “Maa Zilta Thaliban (Sampai kapan pun, engkau tetap seorang
pelajar/penuntut ilmu).”
Dalam beberapa kesempatan ia melakukan rihlah ke beberapa
daerah, ia tak melewatkan kesempatan untuk ber-istifadah (mengambil faidah)
dari beberapa ulama yang berdomisili di daerah itu. Seperti pada kesempatan
lawatannya ke Jakarta, ia berziarah ke beberapa ulama terkemuka di Ibu Kota,
di antaranya Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf Bukit Duri, Habib Abdurrahman
bin Muhammad Al-Habsyi Kwitang, dan para ulama Jakarta lainnya. Ketika di
Malaysia, ia pun berziarah kepada Habib Ali bin Ja’far Alaydrus, Batu Pahat,
beberapa bulan sebelum Habib Ali wafat. Sementara saat ia bertandang ke
Singapura, ia tidak melewatkan kesempatan untuk berziarah ke makam Habib Nuh
Al-Habsyi.
Yang Muda, Yang Produktif
Selain belajar dan mengajar, Habib Muhsin juga banyak
berpartisipasi dalam kancah dakwah melalui tulisan. Tulisan-tulisannya telah
dimuat di sejumlah media dakwah. Sampai saat ini pun ia masih aktif mengisi
artikel Islami di buletin Wad Da’wah, yang berada di bawah pengawasan Majlis
Ta’lim wad Da’wah asuhan gurunya, Habib Sholeh bin Ahmad Alaydrus.
Selain menulis di beberapa media, dai muda kita ini pun
telah menelurkan sejumlah karya berbobot. Sebagian di antaranya telah
diterbitkan dan telah tersebar luas di tengah masyarakat. Di antara
karya-karyanya itu adalah Mutiara Ahlu Bait dari Tanah Haram - Sebuah Biografi
Al Imam As Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki, Makkah, yang diterbitkan atas
kerja sama Madinatul Ilmi dan Penerbit Ar Raudho, Malang (sampai saat ini sudah
cetakan kedelapan), Muhammad SAW Kado Ilahi yang Dinanti - Sebuah buku yang
membahas tuntas seputar keajaiban Milad atau kelahiran Rasulullah SAW, juga
diterbitkan oleh Penerbit Ar Raudho, Malang, Lawami’ul Anwar fi Ma’rifah Al
Musthafa Al Mukhtar, sebuah kitab (berbahasa Arab) yang mengupas kemuliaan
Rasulullah SAW serta sifat-sifat agung beliau SAW (kitab ini masih berupa
tulisan tangan/manuskrip), Kitabul Arba’in Fil Adzan wal Iqamah, sebuah kitab
yang berisikan 40 hadits yang berkaitan dengan tata cara serta keutamaan adzan
dan iqamah, 2002, terjemah kitab Ad Da’wah at-Tammah wa at-Tadzkirah al-’Ammah,
karya Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad (belum diterbitkan), terjemah
kitab Mukhtashar Jalil Al-Malibari, dengan judul Untaian Mutiara Nasehat
Syaikh Zainuddin Al Malibari, 2003 (belum diterbitkan), Niat-niat dalam
Pernikahan, 2006 (diperbanyak sendiri), Sekelumit Biografi Imam Al-Bukhari dan
Keutamaan Membaca Kitab Shohih Al-Bukhari, 2007 (diperbanyak sendiri), Taqwa
Bekal Dunia Akhirat, 1998 (belum diterbitkan), Ilmu Cahaya dari Allah, 1998
(belum diterbitkan, dan kedua buku ini ditulis ketika ia masih duduk di SMP),
Bagaimanakah Hukum Rokok?, 2003 (diperbanyak sendiri, belum diterbitkan), dan
yang terakhir adalah buku yang cuplikan kisahnya ditulis di awal tulisan ini,
yaitu Air Mata Sang Nabi, yang baru-baru ini diterbitkan oleh Penerbit Ar
Raudho.
Produktivitasnya dalam menulis juga sebanding dengan
kecintaannya dalam membaca, hobinya sejak masih kecil. “Saya sangat suka
mengoleksi kitab-kitab, sejak sekolah madrasah dulu sampai sekarang. Bahkan
saya punya perpustakaan pribadi di rumah saya, ada sekitar delapan almari besar
koleksi kitab saya. Sebagian saya beli di dalam negeri tapi ada pula yang saya
beli dari luar negeri dengan perantara beberapa teman di Jeddah dan Makkah.
Saya berharap, kitab-kitab saya ini nantinya dapat dipelajari dan dimanfaatkan
oleh anak-cucu saya,” ujarnya memungkasi perbincangannya dengan alKisah.
http://majalah-alkisah.com/index.php/figur/26-profile-tokoh/2355-habib-muhsin-bin-ali-bin-hamid--agar-rasulullah-saw-tersenyum-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar