Nama marga Aidid berasal dari Muhammad bin Ali Shahib Al-Hauthoh (Muhammad
Maula Aidid 1334-1442 M). Muhammad Maula Aidid (Muhammad Penguasa Aidid) adalah
keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur cucu beliau yang bernama Husain. Husain
adalah anak pasangan Ali bin Abu Thalib dan Fatimah Az-Zahra. Muhammad Maula
Aidid adalah keturunan ke-23 Nabi Muhammad.
Muhammad
Maula Aidid mempunyai enam anak laki-laki. Pertama, Ahmad Al-Akbar (tidak
meninggalkan keturunan). Kedua, Abdurrahman Bafaqih (wafat 1464 M) yang
menurunkan Ahmad, Zen dan Atthayib. Abdurrahman adalah leluhur keluarga Bafaqih
beserta adiknya yang bernama Abdullah Bafaqih. Ketiga, Abdullah berputra tiga
yakni Alwi (keturunannya terputus), Husin (yang memiliki buyut bernama
Abubakar, Sultan di Komoro Afrika Utara) dan Ahmad (keturunannya banyak
menyebar di Indonesia).
Putra keempat
Muhammad Maula Aidid adalah Ali (wafat 1499 M) yang selanjutnya membawa nama
Aidid beranak-pinak hingga pada masa sekarang. Putra kelima dan keenam adalah
Alwi dan Alfaqih Ahmad keturunanya terputus.
Salah satu
keturunan Muhammad Maula Aidid di Tanah Banjar adalah Habib Ali bin Ahmad Aidid
(1900-1950). Keturunan Habib Ali di Banjarmasin antara lain bermukim di Jalan
Saka Permai, Kampung Melayu, Antasan dan Kelayan.
Sepengetahuan Abdurrahman Aidid, salah satu anaknya, Habib Ali Aidid
memiliki setidaknya empat orang istri. Istri Habib Ali yang diketahui namanya
antara lain H Amas (asal Birayang),
Sintak (asal Kuin Utara), Syarifah Intan/Syarifah Aluh Ba’abud (asal Sungai
Mesa). Ada pula istri Habib Ali di Basirih (tak diketahui namanya). Habib Ali,
menurut cerita keluarga, pernah juga menikah dengan Syarifah Lawiyah di Grogot,
Kalimantan Timur.
Waktu
pertama kali masuk ke Grogot, Habib Ali pernah dikeroyok sekitar 20 orang
penduduk yang tidak menyukai kehadirannya. Penduduk yang bersenjata parang itu
siap menyerangnya. Entah bagaimana sebelum mengenai tubuh Habib Ali,
parang-parang berjatuhan. Penduduk akhirnya meminta maaf. Habib Ali cuma
berkata, “apa salah saya sehingga saya kalian serang?”
Sejak
kejadian itu Habib Ali mendapat hadiah tongkat gading dari seorang warga
Grogot. Tongkat gading peninggalan Habib Ali pernah dipergunakan oleh
keturunannya untuk menolak nyala api yang mengarah ke rumah anak cucu Habib Ali
di Kampung Melayu. Syarifah Hindun, putri Habib Ali mendirikan tongkat itu di
halaman depan rumahnya. Dan… kepulan api yang siap membakar rumah keluarga
Habib Ali berbalik arah. “Peristiwa kebakaran itu terjadi sekitar tahun
1995-1996,” kata Syarifah Fatimah Assegaf, putri Syarifah Hindun.
Pada zaman
penjajahan Jepang, Habib Ali dan beberapa kawannya pernah menumpang motor
(mobil) melintasi suatu kawasan yang di depan jalan itu berdiri sejumlah
tentara Jepang. Tak ada jalan untuk menghindar. Kawan-kawan Habib Ali langsung
pucat pasi dan berpikiran tak bakal selamat jika sampai ditangkap tentara
Jepang. Mereka pun menyampaikan perasaannya kepada Habib Ali yang sama-sama
menjadi penumpang.
Habib Ali kemudian meminta kepada kawan-kawannya untuk
bersikap tenang, dan memerintahkan mereka semua untuk memejamkan mata dan tidak
membukanya kecuali setelah ada perintah darinya. Detik menit berlalu dan motor
tetap melaju. Habib Ali kemudian memerintahkan kawan-kawannya membuka mata. Tak
ada tentara Jepang di depan mata mereka. Kawan-kawan Habib Ali pun tak habisnya
bersyukur karena baru saja lolos dari maut.
“Ilmu-ilmu
Habib Ali memang banyak yang di luar logika. Ilmunya turun kepada
murid-muridnya. Tidak ada yang turun kepada saya,” ujar Abdurrahman yang masih
berusia 2 tahun ketika ditinggal sang ayah.
- See more at:
http://www.kabarbanjarmasin.com/posting/habib-ali-aidid-dan-kisah-tongkat-gading.html#sthash.vWwanMxY.dpuf
Namanya habib ali bin ahmad bin alwi (aidid).
BalasHapusBukan habib ali bin ahmad bin zein.
Afwan, syukron
Beliau bukan bin Ahmad bin Zein.
BalasHapusAkan tetapi yang benar adalah; bin Ahmad bin Alwi.