Nama lengkapnya adalah Habib ibnu Muhammad al-Ajami
al-Bashri. Dia orang Persia yang tinggal di Bashrah. Dia seorang perawi
terkemuka yang meriwayatkan hadits dari Hasan Bashri, Ibnu Sirin dan lainnya.
Keberpalingannya dari kesenangan hidup dan dari memperturutkan hawa nafsunya,
dipicu oleh kefasihan Al-Hasan. Habib sering menghadiri ceramah-ceramahnya, dan
akhirnya menjadi salah satu teman terdekatnya.
Awalnya dia seorang yang kaya raya yang berprofesi sebagai
lintah darat. Ia tinggal di Bashrah. Setiap hari ia berkeliling kota untuk
menagihi orang-orang yang berhutang padanya. Jika tidak ada uang, ia akan
meminta pembayaran dengan kulit domba untuk bahan sepatunya, begitulah mata
pencahariannya.
***
SUATU hari ia pergi menemui seseorang yang berhutang
padanya, tapi orang tersebut tidak ada di rumah. Karena gagal menemui orang
itu, ia pun meminta pembayaran dengan kulit domba.
“Suamiku tidak ada di rumah,” tutur si istri pengutang itu
padanya. “Aku sendiri tidak punya apa-apa. Kami telah menyembelih seekor domba,
tapi kini tinggal lehernya yang tersisa, bila kau mau, aku akan memberikannya
padamu.”
“Boleh juga,” ujar Habib. Ia berpikir bahwa setidaknya ia
bisa membawa pulang leher domba itu. “Panaskan panci,” ujranya.
“Aku tidak punya roti ataupun bahan bakar,” kata wanita itu.
“Baiklah,” kata Habib. “Aku akan pergi mengambil roti serta
bahan bakar. Wanita itu menyiapkan panci, dan masakan itupun matang, si wanita
itu hendak menuangkannya ke dalam sebuah mangkuk. Saat itu seorang pengemis
mengetuk pintu.
“Jika kami memberi apa yang kami miliki,” teriak Habib, “Kau
tidak akan menjadi kaya, sementara kami sendiri akan menjadi miskin!”
Sang pengemis, dengan putus asa, meminta menuangkan sesuatu
ke mangkuknya.
Wanita itu mengangkat tutup panci dan melihat bahwa seluruh
isinya telah berubah menjadi darah hitam. Wanita itu menjadi pucat, ia bergegas
menemui Habib dan menarik tangannya, membawanya melihat panci itu. “Lihatlah
apa yang terjadi akibat praktik riba terkutukmu itu, dan akibat caci makimu
pada pengemis itu!” pekik wanita itu. “Apa yang akan menimpa kita sekarang di
dunia ini, belum lagi di akhirat kelak?”
Melihat hal ini, Habib merasakan seolah ada kobaran api di
dalam tubuhnya yang tidak akan pernah surut. “Wahai wanita,” ujarnya. “Aku
menyesali segala yang pernah aku lakukan.”
Esok harinya, Habib kembali pergi menemui orang-orang yang
berhutang padanya untuk menagih. Hari itu hari Jumat. Anak-anak terlihat
bermain di jalan. Ketika mereka melihat Habib, mereka berteriak, “Lihat itu,
Habib si lintah darat, jangan dekat-dekat, agar debunya tidak menempel pada
tubuh kita dan membuat kita terkutuk seperti dirinya!”
Kata-kata ini sangat menyakiti Habib. Ia kemudian menuju
gedung pertemuan. Di sana Hasan Basri sedang berceramah. Kebetulan ada
kata-kata Hasan Basri yang benar-benar menghentak hatinya, hingga membuatnya
jatuh pingsan. Sejak saat itu ia pun bertobat. Menyadari apa yang telah terjadi
Hasan Basri memegang tangan Habib dan menenangkannya.
Sepulangnya dari gedung pertemuan, Habib terlihat oleh
seseorang yang berhutang padanya, orang itu pun hendak melarikan diri. “Jangan
lari,” kata Habib padanya, “Mulai sekarang, akulah yang harus melarikan diri
darimu.” Habib pun berlalu.
Anak-anak masih saja bermain di jalan. Ketika mereka melihat
Habib, mereka kembali berteriak. “Lihat itu, Habib yang bertobat, jangan
dekat-dekat, agar debu kita tidak menempel di tubuhnya, karena kita adalah para
pendosa.”
“Ya Allah, Ya Tuhan,” tangis Habib, “Karena satu hari ini,
dimana aku bertobat, Engkau telah menabuh genderang di hati-hati manusia
untukku, dan membuat namaku masyhur karena kebajikan.” Lalu ia pun mengeluarkan
pernyataan, “Siapa saja yang menginginkan apapun dari Habib, datanglah kepadaku
dan ambil apapun yang kalian mau.”
Orang-orang pun berkumpul di rumahnya, dan dia memberikan
segala apa yang dimilikinya hingga ia tak punya uang sepeserpun. Kemudian ada
seorang pria datang meminta sesuatu, karena sudah tidak memiliki apa-apa lagi,
Habib memberi pria itu kain istrinya. Kepada seseorang yang datang kemudian,
Habib memberikan bajunya sendiri, ia menjadi telanjang dada.
***
SETELAH itu ia menyepi di tepi Sungai Eufrat. Di sana ia
menyerahkan diri sepenuhnya untuk menyembah Allah. Setiap hari, siang dan
malam, ia belajar di bawah bimbingan Hasan Basri, tapi ia tidak bisa
mempelajari Al-Qur’an. Karenanya ia dijuluki Barbar.
Seiring dengan perjalanan waktu, ia pun menjadi orang yang
sangat miskin. Istrinya memintanya untuk memberi nafkah sehari-hari. Maka ia
pun ke luar rumah menuju tepi Sungai Eufrat untuk beribadah. Ketika malam tiba,
ia kembali ke rumah. “Suamiku, dimana engkau bekerja. Kok tidak membawa pulang
apa-apa?” tanya istrinya. “Aku bekerja pada seseorang yang sangat dermawan,”
jawab Habib, “Saking dermawannya ia, aku sampai malu untuk meminta sesuatu
kepadanya. Bila telah tiba waktu yang tepat, ia akan memberi. Ia berkata,
setiap sepuluh hari, aku membayar upah.”
Begitulah, setiap hari Habib pergi ke tepi Sungai Eufrat dan
beribadah di sana, hingga sepuluh hari. Pada hari ke sepuluh, di waktu zuhur,
terbetik pikiran di benaknya, “Apa yang dapat aku bawa pulang malam ini, dan
apa yang akan aku katakana pada istriku?” Ia merenungkan hal ini dalam-dalam.
Seketika, Allah yang Maha Kuasa mengutus beberapa orang kuli
ke rumah Habib dengan membawa tepung, daging domba, minyak, madu,
rempah-rempah, dan bumbu dapur. Kuli-kuli tersebut menaruh barang-barang itu di
depan rumah Habib. Seorang anak muda yang tampan menyertai mereka dengan
membawa sebanyak tiga ratus dirham. Anak muda itu mengetuk pintu rumah Habib.
“Apa keperluan Anda?” tanya istri Habib sambil membuka
pintu, “Tuanku telah mengirim semua ini,” jawab anak muda itu. “Bilang pada
Habib bila kau tingkatkan hasilnya, niscaya akan kami tingkatkan upahnya.” Setelah
mengatakan hal itu, ia pun pergi.
Di kegelapan malam, Habib melangkah pulang dengan perasaan
malu dan sedih. Ketika ia semakin mendekati rumahnya ia mencium aroma roti dan
masakan. Istrinya berlari menyambutnya, membersihkan wajahnya, dan berlaku sangat
lembut padanya. “Suamiku,” katanya. “Tuanmu itu sangat baik, dermawan serta
penuh cinta dan kebaikan. Lihatlah apa yang telah ia kirimkan melalui seorang
anak muda yang tampan, dan anak muda berkata, “Jika Habib pulang, katakan
padanya, “Bila kau tingkatkan hasilmu, niscaya kami akan tingkatkan upahmu.”
***
SUATU hari, seorang wanita tua menemui Habib dan tersungkur
di hadapannya, meratap sedih. “Aku mempunyai seorang anak laki-laki. Kami telah
terpisah sekian lama. Aku tidak dapat lagi menahan derita terpisah darinya.
“Berdoalah kepada Allah,” pintanya kepada Habib, “Mungkin doamu kepada-Nya akan
membawa anakku pulang kembali.”
“Apakah ibu punya uang?” tanya Habib.
“Ya, dua dirham,” jawabnya
“Berikanlah uang itu kepada fakir miskin.” Setelah itu Habib
pun berdoa, kemudian berkata kepada wanita tua itu, “Pulanglah, anakmu telah
kembali padamu.”
Sesampai di rumahnya, wanita tua itu melihat anak
laki-lakinya. “Oh, anakku!” teriaknya gembira, kemudia ia membawa anaknya itu
menemui Habib.
“Apa yang terjadi,” Habib bertanya.
“Aku berada di Kirman,” jawab si anak. “Guruku menyuruhku
membeli daging, aku membelinya dan hendak kembali pulang kepada guruku, tapi
aku terhalang oleh kerasnya hembusan angin, dan aku mendengar suara yang
mengatakan, “Wahai angin, bawalah dia ke rumahnya, dengan berkah doa Habib dan
dua dirham yang disedekahkan.”
***
Suatu waktu, kelaparan mewabah di Bashrah. Habib membeli
banyak bahan makanan dengan cara kredit dan menyedekahkannya semua. Habib
menaruh pundit uangnya yang kosong di bawah bantal. Ketika para pedagang bahan
makanan menagih uangnya. Ia mengeluarkan pundinya yang secara ajaib telah penuh
berisi dirham.
Habib memiliki rumah di persimpangan jalan. Ia memiliki
sebuah mantel bulu yang ia kenakan ketika musim panas dan musim dingin. Suatu
kali, ketika hendak mengambil air wudlu, ia meletakkan mantelnya di atas tanah.
Kebetulan Hasan Bashri lewat dan melihat mantel Habib
tergeletak di jalan. “Si Barbar ini (Habib) pastilah tidak tahu nilai
mantelnya,” komentar Hasan. “Mantel bulu ini mestinya tidak digeletakkan begini
saja di sini, bisa hilang nanti.” Maka, Hasan pun berdiri di sana sambil
mengawasi mantel itu.
Kemudian Habib pun kembali. “Imam kaum muslim,” katanya
menyambut Hasan. “Mengapa Anda berdiri di sana?”
“Tidakkah kau tahu,” jawab Hasan. “Mantel ini mestinya tidak
ditinggal begitu saja di sini? Bisa hilang. Katakan, kau titipkan kepada siapa
mantel ini sementara kau pergi?”
“Kepada Allah,” jawab
Habib, “Yang telah menunjukmu untuk menjaganya.”
***
SUATU hari, Hasan mengunjungi rumah kediaman Habib. Habib
menyuguhkan dua potong roti gandum dan sedikit garam kepada Hasan. Keduanya pun
mulai makan. Tiba-tiba seorang pengemis datang, dan Habib memberikan dua potong
roti itu kepada si pengemis.
“Habib,” tegur Hasan yang terlihat bingung, “Kau orang yang
baik, alangkah lebih baiknya jika kau juga berpengetahuan. Kau mengambil roti
di bawah hidung tamumu dan memberikannya semua kepada pengemis. Mestinya kau
berikan sebagian untuk pengemis, dan sebagian lagi untuk tamumu.”
Habib diam saja. Tak lama berselang, seorang budak datang
membawa sebuah baki berisi daging panggang, manisan, roti yang lezat, dan uang
lima ratus dirham. Budak itu menyerahkan semuanya kepada Habib. Dan Habib
menyedekahkan uang lima ratus dirham kepada fakir miskin, dan menyuguhkan
makanan itu kepada Hasan.
“Guru,” katanya ketika Hasan tengah makan, “Anda seorang
yang baik, alangkah lebih baiknya jika anda juga memiliki sedikit keyakinan.
Pengetahuan harus diiringi dengan iman.”
***
Suatu hari, sejumlah aparat Al-Hajjaj mencari-cari Hasan.
Sedang Hasan bersembunyi di tempat Habib biasa berkhalwat (menyepi).
“Apa kau melihat Hasan hari ini? tanya para aparat itu
kepada Habib.
“Ya, aku melihatnya,” jawab Habib.
“Di mana dia.?”
“Di dalam sini.”
Para aparat itupun menggeledah tempat yang ditunjuk Habib,
tapi mereka tidak dapat menemukan Hasan. (Tujuh kali tangan mereka menyentuhku,
kata Hasan meriwayatkan di kemudian hari, tapi mereka tidak dapat melihatku).
“Habib,” tegur Hasan setelah para aparat itu pergi, “Kau
tidak memenuhi kewajibanmu kepada gurumu, kau membocorkan persembunyianku.”
“Guru,” ujar Habib. “Karena aku berkata jujur, maka anda
bisa bebas. Jika tadi aku berbohong, kita berdua pastilah ditangkap.”
“Apa yang kau baca, sehingga mereka tidak bisa melihatku?”
tanya Hasan.
“Aku membaca ayat kursi sepuluh kali,” jawab Habib. “Sepuluh
kali aku membaca “Rasul percaya,” dan sepuluh kali “Katakanlah, Dialah Allah,
yang maha Esa,” lalu aku berkata, “Ya Allah, aku telah mempercayakan Hasan
kepada-Mu jagalah dia.”
***
SUATU kali, Hasan berniat pergi ke suatu tempat. Ia
menyusuri tepi sungai Tigris dan tampak merenung ketika Habib tiba di tempat
itu.
“Guru, mengapa anda berdiri di sini?” tanya Habib.
“Aku ingin pergi ke suatu tempat, namun perahunya
terlambat,” jawab Hasan.
“Guru apa yang telah terjadi padamu?” tanya Habib. “Semua
yang kutahu, kupelajari darimu. Hilangkan kedengkian dalam hatimu. Tutuplah
hatimu dari keduniawian. Ketahuilah bahwa penderitaan adalah hadiah yang amat
berharga, dan semua urusan adalah dari Tuhan. Kemudian taruhlah kaki di atas
air dan berjalanlah.”
Selesai berkata demikian, Habib melangkah di atas air dan
meninggalkan tempat itu. Demi melihat itu, Hasan pun jatuh pingsan. Ketika ia
siuman, orang-orang bertanya kepadanya. “Wahai Imam kaum muslim, apa yang telah
terjadi padamu?”
“Muridku, Habib baru saja menegurku,” jawab Hasan. “Kemudian
ia melangkah di atas air dan pergi meninggalkan tempat ini, sementara aku tetap
tak berdaya. Jika aku kelak diperintahkan, “Sembrangi jembatan itu, dan aku
tetap tak berdaya seperti ini, apa yang dapat aku lakukan.”
Dalam kesempatan lain, Hasan bertanya, “Habib, bagaimana kau
dapat memperoleh kekuatan itu?”
“Aku memutihkan hatiku, sementara Anda menghitamkan kertas,”
jawab Habib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar