Semua ulama mazhab
sepakat bahwa Ka’bah itu adalah Kiblat bagi orang yang dekat dan dapat
melihatnya. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang Kiblat bagi orang yang jauh
dan tidak dapat melihatnya. Hanafi, Hambali, Maliki dan sebagian kelompok dari
Imamiyah: Kiblatnya orang yang jauh adalah arah di mana letaknya Ka’bah berada,
bukan Ka’bah itu sendiri. Syafi’i dan sebagian kelompok dari Imamiyah: Wajib
menghadap Ka’bah itu sendiri, baik bagi orang yang dekat maupun bagi orang yang
jauh. Kalau dapat mengetahui arah Ka’bah itu sendiri secara pasti (tepat), maka
ia harus menghadapinya ke arah tersebut. Tapi bila tidak, maka cukup dengan
perkiraan saja. Yang jelas bahwa orang yang jauh pasti tidak dapat membuktikan
kebenaran pendapat ini dengan tepat, karena ia merupakan perintah yang mustahil
untuk dilakukannya selama bentuk bumi ini bulat. Maka dari itu, Kiblat bagi
orang yang jauh harus menghadap ke arahnya, bukan kepada Ka’bah itu sendiri.
Orang Yang Tidak Mengetahui Kiblat Orang yang tidak mengetahui Kiblat, maka ia
wajib menyelidiki, berusaha dan berijtihad sampai ia mengetahuinya atau
memperkirakan bahwa Kiblat ada di satu arah tertentu. Tapi bila tetap tidak
bisa mengetahuinya dan juga tidak dapat memeperkirakan, maka menurut Empat mazhab dan sekelompok dari Imamiyah: la
shalat ke mana saja yang disukainya dan sah shalatnya. Dan tidak wajib mengulanginya lagi, menurut
Syafi’i. Sebagian besar Imamiyah: la harus shalat ke empat arah sebagai rasa
patuh dalam melaksanakan perintah shalat, sebab salah satunya pasti ada yang
tepat. Tapi bila waktunya sudah sempit untuk mengulang-ulang sampai empat kali,
atau tidak mampu untuk mendirikan shalat ke empat arah, maka cukup shalat pada
sebagian arah yang ia mampu saja.16 16 Perintah tersebut didasarkan pada Surat
Al-Baqarah ayat 144 yang menje-laskan untuk menghadap ke Masjidil Haram,
seperti:”…… Hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram …” Sedangkan pada surat
yang sama ayat 115 diperintahkan untuk menghadap ke mana saja yang kita sukai,
seperti: “Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka kemampuan kamu
menghadap, disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Mengetahui.
“Ada sesuatu kaum yang berpendapat: Ayat yang pertama menasakhkan (menghapus)
yang kedua. Yang lain berpendapat: Tidak, tidak ada yang me-nasakh dan tidak
ada yang di-nasakh, tidak ada umum dan tidak ada pula khusus. Maka cara untuk
mengumpulkan dua ayat tersebut adalah bahwa ayat pertama itu khusus bagi orang
yang dapat mengetahui Kiblat. Dari itu, ia harus menghadap ke arah Kiblat.
Sedangkan ayat kedua khusus bagi orang yang bingung yang tidak mengetahui
Kiblat, maka hukumnya ia boleh shalat ke arah mana saja yang disukainya. Ini
merupakan pendapat yang paling mendekati pada kebenaran. Kalau ia shalat tidak
mengarah Kiblat, kemudian ia dapat mengetahui bahwa hal itu salah, maka
menurut: Imamiyah: Kalau kesalahannya itu diketahui ketika sedang shalat, dan
ia miring (tidak mengarah) ke Kiblat ke kanan atau ke kiri, maka ia harus melanjutkan
shalatnya yang telah dilakukan, tetapi sisanya harus diluruskan ke arah Kiblat.
Kalau ia tahu bahwa ia shalat ke arah Timur, Barat, Utara atau justru
membelakangi Kiblat, maka batallah shalatnya dan ia harus mengulanginya lagi
dari pertama. Bila ia mengetahui setelah selesai shalat, maka ia harus
mengulangi lagi pada waktu itu, bukan di luar waktu itu. Sebagian Imamiyah:
Tidak usaha mengulangi lagi pada waktu tersebut dan tidak pula di luarnya kalau
ia meleset sedikit dari arah Kiblat. Tapi kalau ia telah shalat pada arah Barat
atau ke Timur, maka ia harus mengulanginya lagi pada (di dalam) waktu tersebut,
bukan di luarnya. (Arah tersebut berlaku di tempat pengarang buku ini; tapi
kalau di Indonesia, mungkin kalau menghadap ke Utara atau Selatan-Pent). Dan
bila nampak jelas bahwa ia membelakangi Kiblat, maka ia harus mengulanginya
lagi pada (di dalam) waktu tersebut maupun di luarnya. Hanafi dan Hambali:
Kalau ia berusaha dan berijtihad untuk mencari arah Kiblat, tetapi tidak ada
satu arah pun dari beberapa arah yang lebih kuat untuk dijadikan patokan arah
Kiblat, maka ia boleh shalat menghadap kemana saja, bila kemudian mengetahui
bahwa ia salah, maka kalau ia masih di pertengahan, ia harus berubah ke arah
yang diyakininya atau arah yang paling kuat. Tapi bila mengetahui bahwa ia
salah setelah selesai shalat, maka sah shalatnya dan tidak diwajibkan
mengulangi shalatnya. Syafi’i: Kalau ia tahu bahwa ia salah dengan cara yang
meyakinkan, maka ia wajib mengulanginya lagi. Tapi bila hanya mengetahui dengan
cara perkiraan saja, maka sah shalatnya, tidak ada bedanya, baik ketika sedang
shalat maupun sesudahnya. Sedangkan bagi orang yang tidak mau berusaha dan
tidak mau berijtihad, kemudian nampak bahwa ia telah shalat ke arah Kiblat dan
benar, maka shalatnya batal, menurut Maliki dan Hambali.Hanafi dan Imamiyah:
Sah shalatnya kalau ia shalat tanpa ada keraguan dan ketika memulai shalat ia
yakin bahwa ia menghadap ke arah Kiblat, karena pada keadaan seperti itu ia
telah melakukan sesuatu (perbuatan) yang diniatkan untuk mendekatkan diri
kepada Allah, maka sahlah niatnya, begitulah pendapat Imamiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar