Syekh Ali al-Khowwash adalah termasuk salah satu waliyullah
paling tenar dari daerah Burullus di Profinsi Kafr Syekh. Di sekitar pesisir
Burullus terdapat banyak kelompok para wali yang disebut al-Syurofa' al-Amiriyyah.
Al-Maqrizi mengatakan : "Mereka berasal dari suku Quraisy dari Bani Adiy
dan Ka'ab, sebagian dari mereka ada yang memegang dinas rahasia raja-raja Turki
(Usmaniyyah) di Kairo dan Damaskus selama kira-kira seratus tahun".
Lahir untuk zuhud
Syekh Ali al-Khowwash tumbuh dalam keluarga miskin yang
menyebabkan ia harus menekuni pekerjaan rendahan agar bisa makan pada hari itu.
mula-mula ia keliling menjual sabun dan korma. Setelah pindah ke Kairo beliau
membuka toko minyak untuk beberapa tahun. Untuk selanjutnya beliau membuat
keranjang, karena inilah beliau disebut dengan al-Khowwash (pembuat keranjang)
sampai beliau meninggal. Beliau sama sekali tidak memakan makanan para penguasa
yang dhalim maupun kroninya. Beliau tidak menggunakan uang para penguasa untuk
kepentingan dirinya dan keluarga. Beliau menerima untuk kemudian memberikannya
pada para janda, orang tua dan orang yang tidak mampu bekerja.
Diceritakan suatu ketika mata beliau bengkak agak parah,
tapi beliau tetap saja membuat keranjang, lalu datanglah seorang kaya dengan
memberi uang kepadanya, sambil mengatakan: "Wahai tuanku belanjakanlah
uang ini, istirahatlah sampai kedua mata tuan sembuh", Ali al-Khowwash
menjawab: "Demi Allah saya dalam kedaan semacam ini (sakit), saya merasa
tidak nyaman dengan penghasilan saya, apalagi dari penghasilan orang
lain".
Bahkan dalam kekurangan, Syekh Ali al-Khowwash sangat
dermawan dan rendah hati. Setiap hari jumat beliau selalu berkhidmah untuk
masjid-masjid, bersedekah pada orang-orang fakir dan yang membutuhkan dengan
tanpa memperhitungkan berapa yang ia keluarkan dan bagaimana ia nanti makan. Ia
juga mewajibkan dirinya mengerjakan hal-hal yang terkait dengan sentral
pengatur air yaitu membersihkan dan mensucikannya. Hal ini sebelum datang musim
banjir.
Syekh as-Sya'rani, murid kesayangan wali agung ini bercerita
:"Syekh Ali al-Khawwas menyapu masjid, membersihkan kamar kecil. Beliau
juga menyapu sentral pengatur air (sungai nil di pulau Raudhah) setiap
tahunnya. Pada hari itu beliau banyak membagikan rezeki pada fakir miskin.
Beliau membagi-bagikan gula dan manisan pada setiap petugas penjaga sentral
pengatur air dan orang-orang sekitarnya. Setelah itu beliau turun, melepas
tutup kepala dan berwudhu dengan air tersebut sambil menangis dan meratap bagaikan
pohon bambu yang di ombang-ambingkan angin. Sebentar kemudian beliau naik untuk
sholat dua rakaat. Beliau memerintahkan para muridnya untuk turun ke bawah
membersihkan tangga sentral pengatur air, sedangkan beliau sendiri mengangkat
tanah liat yang ada di bawah tangga itu dengan tanpa mau dibantu.
Beliau mempunyai satu jubah dan satu peci kecil. setahun
sekali beliau mencucinya. "Semua ini untuk menghemat sabun untuk orang
miskin", papar beliau suatu ketika tentang jubah dan pecinya itu.
Keilmuan Al-Khowwas
Ali al-Khowwas bukanlah orang yang mengenyam bangku sekolah.
Dia bahkan tidak bisa baca tulis. Sufi agung ini rupanya seorang yang buta
huruf. Kendati demikian para ulama heran dan takjub dengan kealiman beliau.
Syekh kita ini sangat mahir dalam mengupas Alquran dan Hadis. Ulasan beliau
bisa disaksikan dalam kitab karangan muridnya Syekh Abdul Wahhab asy-Sya'roni.
“Banyak sekali kami menulis dalam kitab al-jawahir wa al-duror semua jawaban
beliau, yang mana para ulama' besar kesulitan menjwabnya, sehingga membuat
kagum para ulama seperti Syekh Syihabuddin al-Futuhi al-Hambali, Syihabuddin
bin al-Syalabi al-Hanafi, Syekh Nasiruddin al-Laqoni al-Maliki, Syekh
Syihabuddin al-Romli as-Syafi'iy", demikian cerita Syekh Sya'roni tentang
gurunya itu.
Lebih jatuh Syekh al-Futuhi mengatakan: "Saya telah
bergelut dengat ilmu selama 70 tahun, tidak terlintas dalam hatiku,- bukan
pertanyaan juga bukan jawaban- sesuatu masalah seperti yang ada dalam kitab
al-jawahir wa al-duror".
Tentang keilmuan, beliau mempunyai pendapat yang berbeda
dengan kebanyakan ulama'. "Seseorang tidak bisa dikatakan berilmu kalau
ilmunya itu didapatkan dari orang lain. Orang yang berilmu adalah orang yang
tidak pernah mengambil ilmu dari orang lain. Ilmunya asli, langsung dari Allah.
Orang yang mendapatkan ilmu dari orang lain hakikatnya hanyalah menceritakan
pendapat orang tersebut. Namun orang itu akan tetap mendapatkan pahala, yaitu
pahala orang yang membawa dan menyebarkan ilmu bukan pahala orang alim. Dan
Allah tidak menyia-nyiakan pahalanya orang yang berbuat kebaikan".
Ilmu Syekh Ali al-Khowwas tidak terpokuskan pada ilmu
syariat saja, tetapi beliau juga mahir dalam ilmu kedokteran, beliau bisa
menyembuhkan penyakit lepra, lumpuh dan penyakit yang sukar lainnya, setiap apa
yang disarankan untuk dijadikan obat sangat manjur hasilnya.
Ali al-Khowwas dan tasawuf
Dalam masalah tasawwuf sufi agung yang buta huruf ini juga
mempunyai komentar menarik : "Seseorang tidak akan sampai pada jajaran
ahli Thariqat kecuali dia alim dalam ilmu syariat, mujmal mubayyannya, nasikh
mansukhnya, khos dan ammahnya. Orang yang tidak mengetahui salah satu dari
hal-hal tersebut dia gugur dari jajaran para tokoh thariqat". Mendengar
pernyataan semacam itu murid kesayangannya, Sya'roni bertanya: "Kalau
begitu para syekh sekarang jatuh dari derajat ini, sebab mereka buta dalam
masalah syari'at ?, beliau menjawab: "itu memang benar, mereka mengarahkan
manusia pada sebagian jalan agama saja. Padahal mutashawwif adalah orang
meskipun sendirian, dia mampu memberikan apa yang dibutuhkan masyarakat baik
masalah syari'at maupun hakikat".
Kecerdasan tokoh satu ini menyangkut juga dalam masalah
al-kholwah. Dalam hal ini beliau mengatakan : "Menyendiri, menyepi dengan
Allah SWT saja yang dalam dunia sufi terkenal dengan nama sebutan al-kholwah
tidak mungkin dilakukan kecuali oleh wali al-Qutb al-Ghouts pada setiap masa.
Ketika badannya berpisah dengan nur-nya dan berpindah ke alam akhirat, Allah
SWT mengganti sang wali tersebut dengan wali lainnya. Allah SWT sama sekali
tidak menyendiri dengan dua orang dalam satu masa.
Agaknya pendapat ini selarasa dengan yang terjadi pada diri
Syekh Abdul Qadir Jailani yang terkenal dengan munajatnya "Anta wahidun
fis sama' wa ana wahidun fi-al ardh (Engkau sendirian berkuasa di langit-Mu Ya
Allah, dan aku sendirian di bumi tanpa penolong selain-Mu Ya Allah).
Dalam hubungan murid dengan guru (sykeh-mursyid) beliau
mengutarakan: "Seharusnya para murid itu mengutarakan penyakit hatinya
pada gurunya. Kalau dia mempunyai hati yang jelek, gurunya akan menunjukkan
jalan kesembuhannya. Kalau dia tidak melakukan hal itu karena malu, ada
kemungkinan dia mati dengan penyakitnya itu". Beliau juga mengatakan:
"Kalau kalian ditanya tentang guru kalian, jawablah: "kami adalah
pembantunya" dan jangan menjawab "kami adalah temannya(shohib)"
karena kedudukan suhbah (pertemanan ) itu sangat tinggi".
Beliau mempunya banyak perkataan yang belum diucapkan oleh
siapapun. Suatu ketika ia berbicara tentang epistem manusia. " al-Idrok
(Ilmu pengetahuan) adalah sifat akal. Pendengaran, penglihatan, perasaan dan
penciuman, kesenangan dan marah adalah sifat nafsu. Mengingat, senang, pasrah,
dan sabar adalah sifatnya ruh. Fitrah, cahaya, hidayah, keyakinan adalah sifat
rahasia (as-sir). Akal, nafsu, ruh, sir, semua itu adalah sifat manusia".
Masjid Ali al-Khowwash
Masjid Ali al-Khowwash, asalnya adalah Zawiyyah-nya Syekh
Barakat al-Khoyyat,yang didirikan oleh muridnya yaitu Syekh Ramadlan, di depan
Bab al-Futuh, tapi ketika Syekh Ali al-Khowwas di semayamkan di situ, maka
masjid tadi menjadi terkenal dengan sebutan masjid al-Khowwash.
kisah yang menarik.
BalasHapuskisah yang menarik.
BalasHapusSubkhanallahhh,,,
BalasHapusTeladan memperbaiki akhlak
BalasHapusAllahuakbar
BalasHapus