Hari itu Abu Nawas sengaja menghabiskan waktunya berkeliling
kampung, pinggiran Kota Baghdad. Ia baru pulang saat menjelang maghrib. Ketika
lewat Kampung Badui (orang gurun) ia bertemu dengan beberapa orang yang sedang
memasak bubur. Suasananya ramai, bahkan riuh rendah. Tanpa disadari ia di
tangkap oleh orang-orang itu dan dibawa ke rumah mereka untuk disembelih.
“Mengapa aku ditangkap?” tanya Abu Nawas.
“Hai, orang muda, kata salah seorang diantaranya sambil
menunjuk ke belanga yang airnya sedang mendidih, “Setiap orang yang lewat di
sini pasti kami tangkap, kami sembelih seperti kambing, dan dimasukkan ke
belanga bersama adonan tepung itu. Inilah pekerjaan kami dan itulah makanan
kami sehari-hari.”
Meski ketakutan Abu Nawas masih berpikir jernih, katanya,
“Lihat saja, badanku kurus, jadi dagingku tidak seberapa, kalau kau mau besok
aku bawakan temanku yang badannya gemuk, bisa kau makan untuk lima hari. Aku
janji, maka tolong lepaskan aku.”
“Baiklah, bawalah orang itu kemari,” jawab si Badui.
“Besok waktu maghrib orang itu pasti kubawa kemari,” kata
Abu Nawas lagi. Setelah saling bersalaman sebagai tanda janji, Abu Nawas pun di
lepas.
Di sepanjang jalan menuju rumahnya, Abu Nawas berpikir
keras, “Sultan itu kerjanya seharian hanya duduk-duduk sehingga tidak tahu
keadaan rakyat yang sebenarnya. Banyak orang jahat berbuat keji, menyembelih
orang seperti kambing, tidak sampai ke telinga Sultan. Aneh, kalau begitu. Biar
kubawa Sultan ke kampung Badui, dan kuserahkan kepada tukang bubur itu.”
Lantas Abu Nawas masuk ke istana dan menghadap Sultan.
Setelah memberi hormat dengan membungkukkan badan, ia berkata, ya tuanku, Syah
Alam, jika tuanku ingin melihat tempat yang sangat ramai, bolehlah hamba
mengantar kesana. Di sana ada pertunjukan yang banyak dikunjungi orang.”
“Kapan pertunjukan itu dimulai?” tanya sang Sultan.
“Lepas waktu ashar, tuanku,” jawab Abu Nawas.
“Baiklah.”
Abu Nawas pamit pulang, esok sore Abu Nawas siap menemani
Sultan ke kampung Badui. Sesampainya di rumah penjual bubur, baginda mendengar
suara ramai yang aneh baginya.
“Bunyi apakah itu, kok ramai sekali?” tanya baginda sambil
menunjuk sebuah rumah.
“Ya tuanku, hamba juga tidak tahu, maka izinkanlah hamba
menengok ke rumah itu, sebaiknya tuan menunggu di sini dulu.” Kata Abu Nawas.
Sesampainya di rumah itu Abu Nawas melapor kepada si pemilik
rumah bahwa ia telah memenuhi janjinya membawa seseorang yang berbadan gemuk.
“Ia sekarang berada di luar dan akan aku serahkan kepadamu.” Ia kemudian keluar
bersama si pemilik rumah menemui Sultan.
“Bunyi apa yang riuh rendah itu?” tanya Sultan.
“Rumah itu tempat orang berjualan bubur, mungkin rasanya
sangat lezat sehingga larisnya bukan main dan pembelinya sangat banyak. Mereka
saling tidak sabar sehingga riuh rendah bunyinya,” kata Abu Nawas.
Sementara itu si pemilik rumah tadi tanpa banyak cingcong
segera menangkap Sultan dang membawanya ke dalam rumah. Abu Nawas juga segera
angkat kaki seribu. Dalam hati ia berpikir, “Jika Sultan itu pintar, niscaya ia
bisa membebaskan diri. Tapi kalau bodoh, matilah ia disembelih orang jahat
itu.”
Akan halnya baginda Sultan, ia tidak menyangka akan dipotong
lehernya. Dengan nada ketakutan Sultan berkata, “Jika membuat bubur, dagingku
tidak banyak, karena dagingku banyak lemaknya, lebih baik aku membuat peci.
Sehari aku bisa membuat dua buah peci yang harganya pasti jauh lebih besar dari
harga buburmu itu?” Seringgit” jawab orang itu.
“Seringgit?” tanya Sultan. “Hanya seringgit? Jadi kalau aku
kamu sembelih, kamu hanya dapat uang seringgit? Padahal kalau aku membuat
kopiah, engkau akan mendapat uang dua ringgit, lebih dari cukup untuk memberi
makan anak-istrimu.”
Demi mendengar kata-kata Sultan seperti itu, dilepaskannya
tangan Sultan, dan tidak jadi disembelih.
***
Sementara itu Kota Bagdad menjadi gempar karena Sultan sudah
beberapa hari tidak muncul di Balairung. Sultan hilang, seluruh warga
digerakkan untuk mencari Sultan ke segenap penjuru negeri. Setelah hampir
sebulan, orang mendapat kabar bahwa Sultan Harun Al-Rasyid ada di kampung Badui
penjual bubur. Setiap hari kerjanya membuat Peci dan si penjualnya mendapat
banyak untung.
Terkuaknya misteri hilangnya Sultan itu adalah berkat sebuah
peci mewah yang dihiasi dengan bunga , di dalam bunga itu menyusun huruf
sedemikian rupa sehingga menjadi surat singkat berisi pesan: “Hai menteriku,
belilah kopiah ini berapapun harganya, malam nanti datanglah ke kampung Badui
penjual bubur, aku dipenjara di situ, bawalah pengawal secukupnya.” Peci itu
kemudian diberikan kepada tukang bubur dan agar dijual kepada menteri
laksamana, karena kopiah ini pakaian manteri.”Harganya sepuluh ringgit, niscaya
dibeli oleh menteri itu,” pesannya.
Tukang bubur itu sangat senang hatinya, maka segeralah ia
pergi kerumah menteri tersebut. Pak menteri juga langsung terpikat hatinya
begitu melihat peci yang ditawarkan itu, memang bagus buatannya, apalagi
dihiasi dengan bunga diatasnya. Namun ia kaget begitu mendengar harganya
sepuluh ringgit, tidak boleh kurang. Dan ketika matanya menatap bunga itu
tampaklah susunan huruf. Setelah dia baca, mengertilah dia maksud kopiah itu
dan segera dibayarnya.
Malamnya menteri dengan pengawal dan seluruh rakyat
mendatangi kampung Badui dan segera membebaskan Sultan dan membawanya ke
Istana. sedangkan penghuni kampung Badui itu, atas perintah Sultan, dibunuh
semuanya karena perbuatannya terlalu jahat.
Keesokan harinya Sultan memerintahkan menangkap Abu Nawas
dan akan menghukumnya karena telah mempermalukan Baginda Sultan. Ketika itu Abu
Nawas sedang shalat duhur. Setelah salam iapun ditangkap beramai-ramai oleh
para menteri yang diutus kesana dan membawanya pergi ke hadapan sultan.
Begitu melihat Abu Nawas, wajah Sultan berubah garang,
matanya menyala seperti bara api, beliau marah besar. Dengan mulut mnyeringai
beliau berkata, “Hai, Abu Nawas, kamu benar-benar telah mempermalukan aku,
perbuatanmu sungguh tidak pantas, dan kamu harus dibunuh.
Maka, Abu Nawas pun menghormat. “Ya tuanku, Syah Alam,
sebelum tuanku menjatuhkan hukuman, perkenankan hamba menyampaikan beberapa
hal.”
“Baiklah” kata Sultan, “Tetapi kalau ucapanmu salah, niscaya
aku bunuh hari ini juga kamu.”
“Ya Tuanku Syah Alam, alasan hamba menyerahkan paduka kepada
si penjual bubur itu adalah ingin menunjukkan kenyataan di dalam masyarakat
negeri ini kepada paduka. Karena hamba tidak yakin paduka akan percaya dengan
laporan hamba. Padahal semua kejadian yang berlaku di dalam negeri ini adalah
tanggung jawab baginda kepada Allah kelak. Raja yang adil sebaiknya mengetahui
semua perbuatan rakyatnya, untuk itu setiap Raja hendaknya berjalan-jalan
menyaksikan hal ihwal mereka itu. Demikianlah tuanku, jika perkataan hamba ini
salah, hukumlah hamba, tetapi bila hukuman itu dilaksanakan juga hamba tidak
ikhlas, sehingga dosanya menjadi tanggung jawab tuanku di dalam neraka.”
Setelah mendengar ucapan Abu Nawas, hilanglah amarah
baginda. Dalam hati beliau membenarkan seluruh ucapan Abu Nawas itu.
“Baiklah, kuampuni kamu atas segala perbuatanmu, dan jangan
melakukan perbuatan seperti itu lagi kepadaku.”
Maka, Abu Nawas pun menghaturkan hormat serta mohon diri
pulang ke rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar