Ujungsemi adalah sebuah nama Desa yang diambil dari nama
orang yang bebabak atau membangun desa. Orang yang membangun Desa Ujungsemi adalah Nyi Mas Ratu Tunjung
Semirah ( Nama yang diberikan oleh Mbah Kuwu Cirebon ) yang nama aslinya Nyi Zainatul Khafsah, beliau adalah istri dari seorang
Patih Kerajaan Islam Cirebon yang kemudian memakai nama belakang istrinya yaitu
Ki Patih Semi. Nama asli Patih kerajaan Islam Cirebon itu sendiri adalah Syarif
Thoyib / Syekh Jamalullah / Syekh Abdus Salam. Ki Patih Semi dan Nyi Patih Semi
adalah pasangan suami istri yang berasal dari Bani Israil.
Konon ceritanya
setelah Syarif Hidayatullah Putra Nyi Mas Rara Santang yang berganti
nama Syarifah Mudaim hasil perkawinanya dengan mendiang Sultan Hut dari Bani
Israil. Atas izin Ibundanya, Syarif Hidayatullah pergi ke Pulau Jawa untuk
membantu Uwaknya Ki Somadullah / Pangeran Walang Sungsang / Mbah Kuwu Cirebon
untuk menyiarkan agama Islam di Pulau Jawa.
Setelah kepergian Syarif Hidayatullah, Nyi Syarifah Mudaim
merasa tidak tega dan khawatir, kemudian sang ibu memerintahkan sanak
keluarganya untuk mencari jejak Syarif Hidayatullah, diantara sanak keluarga
tersebut ikut serta Ki Patih Semi dan istrinya.
Keberangkatan Keluarga dari Bani Israil dengan menaiki
perahu melalui lautan, akan tetapi Ki
Patih Semi melalui dirgantara dengan menaiki sorban sedangkan Nyi Patih
Semi melalui lautan dengan menaiki kerudungnya sebagai perahu.
Ketika Syekh Jamalullah ( Ki Patih Semi ) dengan istrinya
sampai di tanah jawa, Syarif Hidayatullah telah diangkat dan dinobatkan menjadi
Sultan di Kerajaan Islam Cirebon dengan gelar Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati merasa senang atas kehadiran sepasang
suami istri yang telah dikenalya di tanah Bani Israil sebagai satria yang sakti
mandraguna.
Ki Patih Semi Mendapat Tugas Membantu Kerajaan Demak.
Pada suatu hari setelah Syekh Jamalullah beserta istri
menetap di Keraton Cirebon, di Keraton Cirebon kedatangan utusan dari kerajaan
Demak yang maksudnya meminta bantuan kepada Sunan Gunung Jati sehubungan
kerajaan Demak sedang dilanda kekacauan. Pengacau di Kerajaan Demak mengaku
bernama Sunda Lelanang yang datangnya dari hamparan gunung Pajajaran. Sunda
Lelanang menginginkan Putri Sultan Demak yang bernama Nyi Ratu Mas Nyawa,tetapi
Putri Sultan Demak menolaknya sehingga Sunda Lelanang membuat keributan dan
kekacauan di daerah Kesultanan Demak. Para Ksatria Demak sendiri belum bisa
membekuknya, sehingga meminta bantuan kepada Sultan Cirebon.
Syekh Jamalullah dan beberapa Gegeden Cirebon yang mendapat
perintah dari Sultan Cirebon untuk menangkap Pengacau Sunda Lelanang segera
pergi ke Demak dan di terima baik oleh Sultan Demak.
Selanjutnya Syekh Jamalullah berperang tanding melawan Sunda
Lelanang, mereka adu kesaktian di darat, di laut dan di udara. Dalam adu
tanding tersebut keduanya sangat sakti dan tidak terkalahkan.
Tetapi akhirnya perang tanding yang memakan waktu lama dan
masing-masing mengeluarkan ilmu kedigjayaan dan kesaktian, Sunda Lelanang dapat
di lumpuhkan oleh Syekh Jamalullah dan diseret ke Keraton Demak.
Ki Patih Semi Ikut Menyerang Portugis di Sunda Kelapa.
Pada Tahun 1521 Masehi, saat itu Kerajaan Islam Demak sedang
dirongrong oleh penjajah Portugis yang berkedudukan di Malaka, Portugis telah
mengadakan persahabatan dengan Kerajaan Hindu Blambangan yang berada di sebelah
timur Kerajaan Islam Demak, Portugis juga mengadakan persahabatan dengan
kerajaan Hindu Pajajaran disebelah Barat Kerajaan Islam Demak dan Cirebon.
Portugis akan membuat benteng di wilayah timur yang berpusat
di Pasuruan atas izin Raja Hindu
Blambangan, dan akan membuat benteng di wilayah barat yang berkedudukan di
Sunda Kelapa atas izin dari Raja Hindu Pajajaran. Rencana Portugis setelah
berdirinya kedua benteng pertahanan tersebut akan mengadakan penyerangan
kewilayah Kesultanan Demak dari arah timur dan kesultanan Cirebon dari arah
barat.
Mendengar rencana Portugis yang sudah matang itu, Sultan
Trenggono dari Kesultanan Demak tidak tinggal diam, beliau menyiapkan pasukan
besar yang akan dikirim kedua arah tersebut. Pengiriman Pasukan ke arah timur
(Pasuruan) akan dipimpin oleh Sultan Trenggono sendiri, sedangkan pengiriman
pasukan ke arah barat (Sunda Kelapa) akan dipimpin oleh Panglima Muda yang
sangat alim yaitu Fadhillah Khan yang diberi nama Fatahillah. Beliau adalah menantu
adik ipar Sultan Trenggono keturunan asal Negeri Aceh yang masih ada hubungan
keluarga dengan Syarif Hidayatullah Sultan Cirebon dari jalur nenek yaitu Nyai
Subang Keranjang, Ibu dari Pangeran Walang Sungsang dan Nyi Mas Rarasantang
(Syarifah Mudaim).
Pada tahun 1523 Masehi, Pasukan Perang yang dipimpin oleh
Panglima Fatahillah berangkat meninggalkan Istana Demak menuju Sunda Kelapa,
kepergiannya dilepas oleh Sultan Trenggono dan doa seluruh rakyat Demak dengan
harapan agar Fatahillah dalam tugasnya yang sangat berat itu dapat selamat
dengan hasil kemenangan yang gilang gemilang.
Panglima Fatahillah berangkat ke arah barat melalui laut
Jawa. Setelah sampai di pantai Cirebon, Pasukan Fatahillah singgah di Keraton
Cirebon menemui Sultan Cirebon Syarif Hidayatullah untuk menyampaikan maksud
dan tujuan serta tugas yang dibebankan oleh Sultan Trenggono terhadap dirinya
Tugas pertama yaitu menyergap dan menyerang Pasukan Portugis yang akan mendarat
di Pelabuhan sunda Kelapa dan tugas kedua untuk mengislamkan kerajaan Pajajaran
yaitu kerajaan kakek Sultan Cirebon (Keluarga Prabu Siliwangi).
Mendengar tugas yang sangat berat dan mulia yang diberikan
Sultan Demak kepada Fatahillah/Fadhillah Khan yang masih ada hubungan darah
dengan Sunan Cirebon, Sunan Cirebon merasa bangga dan terharu kemudian beliau
berdoa memohon kepada Allah yang Maha kuasa agar saudaranya dapat melaksanakan
tugas dengan sebaik-baiknya selamat dan mencapai hasil yang memuaskan, Sunan
Cirebon juga memberikan nasihat dan
wejangan agar selalu waspada dan berhati-hati dan agar meminta bantuan kepada
rakyat pribumi di Sunda Kelapa dan Banten.
Setelah Fatahillah beserta pasukannya menerima nasehat dan
bekal-bekal yang penuh dari Kanjeng Sunan Cirebon, Fatahillah beserta
pasukannya melanjutkan perjalanan dan tidak ketinggalan ikut pula pasukan
sukarelawan dari Cirebon yang telah mendapat izin dan restu dari Kanjeng Sunan
Cirebon. Pasukan Sukarelawan dari Cirebon dipimpin oleh Pangeran Cirebon dan di
antaranya turut serta Syekh Jamalullah.
Kemudian mereka berangkat ke Sunda Kelapa menuju benteng
Portugis, pada saat itu Sunda Kelapa masih merupakan pelabuhan kecil yang biasa
disinggahi oleh perahu-perahu penangkap ikan dan sebagai penghubung antar
pulau.
Ki Patih Semi adalah Komandan Pasukan Penyerang Garis Depan
Kedatangan Pasukan Fatahillah di Sunda Kelapa tepat pada
saat yang menguntungkan, karena setelah beberapa hari pasukan Fatahillah berada
di Sunda Kelapa hujan turun sangat lebat dan tidak ada henti-hentinya siang dan
malam, angin taupan dan gelombang di lautan mengebu-gebu sehingga merugikan
armada Portugis yang sudah merencanakan bahwa mereka akan lebih dulu mendarat
di Sunda Kelapa daripada pasukan Fatahillah, kini armada Portugis berhenti
ditengah lautan.
Suasana yang tepat itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya
oleh Fatahillah yang telah lebih dulu mendarat untuk menyusun kekuatan
mengadakan hubungan baik dengan penduduk pribumi Sunda Kelapa dan Rakyat
Banten, dan juga siap mengadakan latihan-latihan serta mengatur siasat
penyerangan dan lain sebagainya.
Dalam pengaturan Strategi penyerangan prajurit dibagi
beberapa kelompok untuk pengaturan komando yang tepat pada sasaran, setiap
kelompok pasukan dipimpin oleh seorang komandan yang gagah berani, berwibawa
dan bertanggung jawab terhadap pasukannya, diantara sekian banyak komandan
pasukan, Ki Patih Semi (Syekh Jamalullah) ditugaskan sebagai komandan pasukan yang bertugas menyerang pada
garis depan.
Setelah beberapa minggu berselang, hujan mulai reda,
gelombang dan taupan mulai berkurang, armada-armada Portugis mulai melaju
menuju pantai selat Sunda Kelapa. Tapi karena pada siang hari air laut surut,
sehingga kapal-kapal Portugis tidak dapat masuk ke Bandar pelabuhan dan pasukan
portugis menunggu sampai air laut pasang pada malam hari.
Kesempatan yang baik bagi pasukan Fatahillah yang sudah
faham tentang situasi medan pertempuran di Pelabuhan Sunda Kelapa ini. Setelah
matahari terbenam di ufuk barat, pasukan Syekh Jamalullah yang bertugas
menyerang di garis depan mulai siap meluncur ketengah lautan dengan memakai
perahu-perahu penangkap ikan, mereka menyamar sebagai nelayan.
Kemudian Ki Patih Semi (Syekh Jamalullah) mendatangi
kapal-kapal Portugis, dengan alasan meminta pertolongan mereka berpura-pura
sebagai nelayan yang tersesat. Setelah Pasukan Ki Patih Semi naik ke kapal
Portugis, Ki Patih Semi mengatur siasat dengan sandi-sandi tertentu dan mereka
baru boleh bergerak setelah ada komando dari Panglima Fatahillah yang berada di
darat.
Setelah diperkirakan oleh Fatahillah bahwa pasukan Ki Patih
Semi telah masuk ke dalam kapal portugis dalam keadaan aman, karena tidak ada
tanda-tanda negatif, maka Panglima Perang Fatahillah memerintahkan beberapa
pasukan supaya turun ke laut dengan memakai perahu-perahu untuk mengadakan
pancingan-pancingan, disamping itu di setiap tepi pantai dijaga oleh pasukan
Fatahillah yang dibantu oleh penduduk pribumi.
Ki Patih Semi Membakar Kapal Portugis
Malam telah larut, air laut mulai pasang dan suasana terasa
sepi seolah-olah tidak akan terjadi sesuatu, semilir angin laut membuat mereka
terlena di tempat tidur masing-masing. Di laut hanyalah terdengar suara deru
mesin kapal, seorang komandan pasukan Portugis memberikan aba-aba peringatan
pada anak buahnya bahwa mereka sebentar lagi akan mendarat, setelah memberikan
aba-aba komandan Portugis itu diajak berbincang-bincang oleh Ki Patih Semi.
Komandan Portugis merasa senang dengan obrolan yang
disampaikan oleh Ki Patih Semi dengan diselingi obrolan yang berisi humor-humor
yang membuat Komandan Portugis itu tertawa terpingkal-pingkal, diantara isi
obrolannya ialah tentang keindahan tanah jawa, penghasilan rempah-rempah yang
berlimpah ruah dengan penduduknya yang ramah-ramah juga tidak ketinggalan
menceritakan tentang mojang-mojang (gadis-gadisnya) yang manis-manis dengan
budi bahasa yang sopan serta menggiurkan.
Dalam suasana yang demikian diluar kapal portugis, anak buah
Fatahillah telah mengadakan pancingan-pancingan, dan selanjutnya disusul adanya
komando dari panglima perang Fatahilah yang berada di daratan, terus disambut
oleh anak buah Ki Patih Semi yang ada di kapal portugis dengan menyerukan /
meneriakkan “Awas, awas ada bajak laut yang akan merampok kita”. Mereka sambil
meneriakan itu langsung merangkul setiap serdadu portugis dan membunuhnya. Saat
itulah di dalam kapal mulai gaduh dan dalam kesempatan yang baik bagi Ki Patih
Semi yang melihat komandan Portugis sedang tertawa terbahak-bahak, dengan keris
pusakanya digoreskan kebagian tubuh Komandan Portugis dan matilah tergeletak.
Pada saat itu suasana dilaut yang tadinya tenang mendadak
menjadi ribut, suara Takbir terdengar dari semua pasukan Fatahillah membawa
semangat yang berkobar-kobar, jeritan suara korban di sana sini tidak
dihiraukan, masing-masing ingin menyelamatkan jiwanya. Suasana tambah kacau
setelah Ki Patih Semi membakar kapal Portugis itu yang sebelumnya memberi
komando kepada anak buahnya agar segera turun dari kapal Portugis dan pindah
naik ke dalam perahu-perahu yang telah disiapkan sebelumnya.
Di tengah lautan sunda kelapa pada malam itu suasana yang
tadinya sepi mendadak menjadi terang benderang akibat sinar api yang menjulang
ke angkasa berasal dari arah kapal Portugis yang dibakar oleh Ki Patih Semi.
Pasukan Portugis yang masih hidup berusaha menyelamatkan diri dari kepungan api
itu, mereka terjun ke laut dengan menggunakan alat renangnya, akan tetapi
pasukan Fatahillah siap mengejar dan membunuhnya dengan senjata yang ada
ditangannya.
Dalam peperangan antara pasukan Fatahillah dengan pasukan
Portugis di sunda kelapa tersebut kemenangan yanga memuaskan berada dipihak
pasukan Fatahillah. Sebagian besar pasukan Fatahillah dapat merampas
senjata-senjata dari tangan serdadu portugis. Kemenangan pasukan Fatahillah di
Sunda Kelapa terjadi pada tahun 1527 M.
Dan atas kemenangan Panglima perang Fatahillah tersebut,
oleh Kanjeng Sunan Gunung Jati Sultan Cirebon Syarif Hidayatullah daerah
tersebut dinamakan “JAYA KARTA” yang artinya “KOTA KEMENANGAN”, dan tepatnya
dengan nama Panglimanya ialah “FATAHILLAH” yang artinya “KEMENANGAN ALLAH”.
Ki Patih Semi Diangkat Menjadi Patih
Setelah Sunda Kelapa dapat ditaklukan oleh Fatahillah yang
daerah tersebut telah diganti nama menjadi Jayakarta, yang kemudian mendirikan
kerajaan Islam yang berpusat di Banten, dan karena putra Syarif Hidayatullah
yaitu Pangeran Sabakiking telah pantas dan cakap untuk menjadi pimpinan
kerajaan, maka kerajaan Banten oleh Kanjeng Sultan Cirebon pimpinan kerajaan
diserahkan kepada Sabakiking yang kemudian bergelar dengan sebutan Sultan
Hasauddin.
Setelah Kerajaan Islam Banten Diserahkan kepada
Sabakiking sedangkan Syarif Hidayatullah
tetap membina Kesultanan Cirebon, yang kemudian Syekh Jamalullah karena
kecakapannya dan menurut berita Syekh Jamalullah di negri asalnya sudah
menjabat sebagai patih pada Kerajaan
Islam adik Syarief Hidayatullah di Mesir ialah Syarief Nurullah. Oleh
karena itu Syekh Jamalullah diangkat menjadi patih di kesultanan Cirebon, yang
kemudian orang menyebutnya Patih Semi, ia memakai nama istrinya Nyai Semi (Nyai
Mas Ratu Tunjung Semirah). Pengangkatan jabatannya terjadi pada tahun 1532 M.
Nyi Patih Semi Membuka Hutan
Setelah Kanjeng Sunan Gunung Jati Sultan Cirebon mempunyai
daerah yang luas berupa hutan belantara, beliau memeritahkan kepada Ki Gede
untuk dapat membuka tanah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar yang masih
dihuni oleh margasatwa, binatang-binatang buas, para dedemit, siluman serta
rawa-rawa yang luas dan menyeramkan. Rasanya pekerjaan itu sangat berat untuk
dilaksanakan, akan tetapi pekerjaan sangat mulia dan perintah agama juga.
Para Ki Gede setelah mendapat perintah dari Kanjeng Sultan
Cirebon kemudian mereka berangkat. Ada yang menuju ke timur, selatan, utara
adapula yang ke barat.
Ki Patih Semi yang saat itu menjabat sebagai Patih
menyaksikan para Ki Gede yang akan membuka hutan untuk perkampungan yang
dikemudian hari akan diwariskan kepada anak cucu serta keturunannya, Ki Patih
Semi merasa sedih karena kesibukannya, beliau tidak bisa melakukan hal yang
sama seperti Ki Gede yang lain.
Untuk menghibur suaminya Nyi Patih Semi mengusulkan kepada
suaminya dengan mengatakan : “Hai Kanda Patih, bagaimana kalau pekerjaan
membuka hutan itu saya saja yang mengerjakannya ?, bagaimana nanti keturunan
kita, anak cucu kita, mereka tidak akan mempunyai tanah pusaka karena sekarang
kita tidak berbuat apa-apa. “
Pada mulanya Ki Patih Semi tidak mengizinkan istrinya untuk
melakukan pekerjaan itu, tetapi Nyi Patih Semi selalu saja memohon dan mendesak
dengan berbagai alasan yang kuat. Akhirnya Ki Patih Semi mengizinkannya.
Nyi Patih Semi berangkat meninggalkan kesultanan Cirebon
dengan tekad yang bulat. Beliau berjalan kaki seorang diri memasuki hutan
belantara dengan berbagai cobaan dan rintangan. Beliau menuju ke barat laut
lalu berbelok ke arah utara.
Setelah Nyi Patih Semi sampai di ujung utara, Nyi Patih Semi
berhenti di suatu tempat dan merenung. Beliau berkata dalam hati : ‘apa yang
akan kulakukan dengan hutan belantara ini, sedang aku hanya seorang wanita yang
bertenaga lemah.” . Ketika sedang merenung beliau mendengar suara tanpa rupa,
“Hai Nyi Patih Semi ! janganlah kamu bermenung diri, kerjakan dengan niat yang
sungguh-sungguh apa yang kau cita-citakan sesuai dangan kemampuanmu, ambillah
batu yang ada disampingmu sampai mengeluarkan api kemudian bakarlah daun-daun yang
kering. Nanti api akan menjalar kemana-mana, dikemudian hari tanah bekas
bakaran api itu adalah tanah milikmu”.
Setelah tersadar dari lamunannya itu Nyi Patih Semi langsung
mengerjakan apa yang dikatakan hatif itu, dalam sekejap hutan itu terbakar habis.
Melihat perbuatan Nyi Patih Semi yang demikian para Ki Gede yang sedang
menebangi pohon-pohon besar itu merasa keheranan dan bertanya kepada beliau
“Mengapa Nyi Patih Semi berbuat demikian ?” kemudian Nyi Patih Semi menjawab
“Hai para Ki Gede, ketahuilah bahwa tanah yang ada bekas apinya adalah tanah
milik bagianku”.
Setelah api padam Nyi Patih Semi memberi batas-batas,
sebelah barat berbatasan dengan Wanakajir daerah Jatianom, sebelah timur
berbatasan dengan Ggesik, sebelah selatan berbatasan dengan Prajawinangun dan
Karangsambung, dan sebelah utara berbatasan dengan desa Guwa.
Ki Patih Semi menengok Nyi Patih Semi
Pada suatu malam Ki Patih Semi merasa hatinya tak tenang,
beliau memikirkan Nyi Patih Semi. Paginya Ki Patih Semi menghadap Kanjeng Sultan
untuk minta izin mencari istrinya Nyi Patih Semi. Setelah mendapat izin dari
Kanjeng Sultan beliau langsung berangkat meninggalkan Kesultanan Cirebon dan
mencari istrinya. Ketika sampai di daerah ujung kesultanan beliau keheranan
karena melihat bekas jalannya api. Beliau berpikir, “ siapa dan mengapa ia
berbuat demikian?”. Tiba-tiba Nyi Patih Semi berbisik dan langsung merangkul Ki
Patih Semi, “Wahai Kanda patih janganlah engkau marah atas perbuatanku ini,
sayalah yang membakar hutan dan menghanguskan pohon-pohon besar itu menjadi
abu. Ketahuilah suamiku apa yang telah saya perbuat adalah semata-mata atas
petunjuk Allah.” Kemudian Ki Patih Semi menjawab sambil tersenyum, “
Alhamdulillah, betapa mulia dan bijaksanaya perbuatanmu ini dinda, semoga Allah
memberikan berkah-Nya amiin.”
Ki Patih Semi Memberi Nama Ujungsemi
Setelah melepas kangen mereka teringat bahwa mereka belum
bersyukur atas rahmat Allah Yang Maha Kuasa, kemudian melakukan sujud syukur.
Setelah melakukan sujud syukur bersama-sama mereka menuju gubug yang terbuat
dari daun alang-alang sebagai tempat bernaung, sesampainya ditempat yang dituju
keduanya terlena dengan pikiran masing-masing. Lalu Ki Patih Semi berkata,
“Betapa gembira dan senangnya anak cucu kita yang menempati tanah seluas ini”.
Tibi-tiba Nyi Patih bertanya kepada
suaminya, “Kanda Patih, apakah nama tanah ini?, supaya dikemudian hari dikenal
orang”. Ki Patih menjawab : “ Hai Dinda mari kita melakukan Sholat Istikhoroh
dulu agar mendapat petunjuk dari Allah. Lalu mereka berdua melakukan sholat
istikhoroh tak lama kemudian mereka mendapat firasat yang sama bahwa
dihadapannya terlihat sebuah pohon yang ujungnya selalu bersemi menjulang ke
angkasa, setelah itu mereka berdua teringat bahwa tanah itu terletak di ujung
Kesultanan Cirebon dan yang membuka
tanah itu adalah Nyi Patih Semi.
Atas persetujuan bersama, Ki
Patih Semi memberi nama tanah itu
“ Ujungsemi “ yang
mengandung dua arti :
1) Ujung : Tanah
tersebut terletak di ujung Kesultanan
Semi : Nama orang
yang membuka tanah tersebut yaitu Nyi
Patih Semi
2) Ujung : Pucuk (Bhs. Jawa)
Semi : Tumbuh
Jadi artinya pucuk yang selalu bersemi / ujung yang selalu
tumbuh.
Siapakah yang akan menempati tanah itu, sedangkan mereka
tidak mempunyai anak ? mereka sangat sedih akan hal itu. Suatu ketika kesedihan
itu lenyap ketika Ki Patih Semi teringat akan keponakan yang juga bermukim di
Kesultanan. Mereka adalah sepasang suami istri muda yang bernama Ki Sokaya dan
Nyi Sokaya, konon katanya mereka berasal dari Bani Israil. Suatu hari atas izin
Kanjeng Sultan Ki Patih Semi memboyong Ki Sokaya dan Nyi Sokaya ke Ujungsemi.
Ki Sokaya adalah
penerus cita-cita Ki Patih Semi
Ki Sokaya dan Nyi Sokaya adalah sepasang suami istri yang
taat beribadah dan selalu menjalankan perintah agama. Ki Sokaya adalah seorang
pahlawan dan prajurit Kesultanan Cirebon yang gagah berani dalam medan perang,
ia pantang menyerah dan selalu mendapat pujian dari kawan dan komandannya.
Ki Sokaya dan Nyi Sokaya kini telah berada di perkampungan
yang jauh dari keramaian, mereka tinggal di gubug yang atap dan dindingnya
terbuat dari alang-alang, gubug itu sendiri tak ada tetangga, tak ada anak-anak
bermain ataupun tangisan bayi. Yang ada hanya suara yang menyeramkan, suara
margasatwa di angkasa dan suara binatang buas. Mereka hanya tinggal berdua
walaupun sewaktu-waktu berempat jika Ki Patih Semi sedang tidak bertugas.
Walaupun demikian Ki Sokaya dan Nyi Sokaya tidak pernah
mengeluh, mereka selalu bergembira dan tawakal kepada Allah. Mereka mempunyai
cita-cita yang luhur dan mulia seperti yang dicita-citakan Ki Patih dan Nyi
Patih Semi yaitu membangun perkampungan
dan meramaikannya dengan penduduk yang taat dan takwa kepada Allah swt. Setiap
saat mereka berdua selalu berdo’a agar dikaruniai putra dan putri yang sholeh
dan sholehah. Akhirnya mereka dikaruniai empat orang anak yang diberinama : Ki
Kam, Nyi Suwiyem, Nyi Suropati dan Ki Malem yang dikenal dengan julukan Ki
Kantok dan Ki Jaka Dolog.
Setelah beberapa tahun kemudian datanglah Ki Kares dan Nyi
Kares. Sehingga dari kedua keturunan tersebut yaitu Ki Sokaya dan Ki Kares
kemudian beranak cucu sampai saat ini yang berjumlah lebih dari 5000 jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar