Makamnya di
Kecamatan Kotawaringin Lama, selalu diziarahi. Dialah Kyai Gede, tokoh penyebar
agama Islam di Kab Kotawaringin Barat
Makamnya
Tiga Meter
Komplek
makam yang tidak jauh dari komplek Astana Al Noorsari, nampak tak berbeda dari
kubah lainnya yang mungkin pernah kita saksikan. Namun yang satu ini terlihat
kokoh dan permanen, karena baru direnovasi. Tambahan, begitu memasuki ruangan,
kita pasti langsung terkesima.
Bagaimana
tidak, antara dua makam yang terdapat di dalam kubah, ada perbedaan yang sangat
mencolok menyangkut ukuran. Jika yang satunya berukuran normal, lainnya
memiliki panjang hampir tiga meter. Dan makam berukuran lebih panjang inilah
tempat persemayaman terakhir Kyai Gede, tokoh penyebar agama Islam di
Kotawaringin.
"Kuburannya
memang panjang sekali, tidak seperti orang pada umumnya, sekitar tiga meteran.
Sedang kubur yang satunya adalah makam salah seorang pengikut setianya,"
ujar pengurus kubah, Abdullah Sani.
Itu
pun imbuhnya, berdasar cerita posisi tubuh Kyai Gede saat dimasukkan dalam peti
dan liang lahat, harus dilipat sampai tiga kali agar muat. Bahkan seperti
penuturan Ahmad Yusuf (60 th) pemelihara Astana Al Noorsari, jarak antara kedua
puting susu Kyai Gede tidak kurang dari tujuh kilan atau setara 1,5 meter.
Itulah,
karena ukuran tubuhnya yang tinggi besar, masyarakat percaya kalau Masjid Djami
Kotawaringin yang hingga kini masih berdiri kokoh, adalah buah adi karya Kyai
Gede.
"Masjid
Djami berdasar cerita dibangun Kyai Gede di pedalaman, kemudian dibawanya
langsung sendiri ke Kotawaringin," papar Abdullah Sani.
Tokoh
penyebar agama Islam yang hidup semasa dengan raja pertama Kotawaringin,
Pangeran Adipati Anta Kasuma, memperkenalkan Islam hingga ke pedalaman dan
hulu-hulu sungai. Bahkan menurut buku "Sekilas mengenang lahirnya Kerajaan
Kotawaringin dan Kabupaten Kotawaringin Barat" yang diterbitkan Humas dan
Penerangan Setwilda Kobar 2001, Kyai Gede sudah lebih dahulu berada di daerah
ini ketika Pangeran Adipati dan rombongan masih berusaha membangun kota baru.
Berdasar
penuturan Gusti Rasyidin yang masih keturunan Raja Kotawaringin ke VII Gusti
Sultanul Baladuddin Gelar Pangeran Ratu Begawan, Kyai Gede juga dianggap
berperan dalam proses pembentukan dan pendirian kerajaan.
"Menurut
Kyai Gede, biar rakyat tidak membayar upeti lagi ke Kerajaan Banjar, baiknya
mereka mendirikan kerajaan atau kesultanan," ujar Rasyidin. Dan peran Kyai
Gede oleh Pangeran Adipati sangat dihargai sehingga kemudian menduduki jabatan
sebagai Mangkubumi kerajaan hingga wafatnya yang diperkirakan tahun 920-an H.
Dua Versi
Namun
menyangkut asal muasal Kyai Gede, ada dua versi sejarah yang sampai ke
masyarakat. Versi pertama persis seperti yang dipercaya masyarakat umum dan
disampaikan Abdullah Sani juga tertera di dalam kubah, mengatakan Kyai Gede
berasal dari Demak dan masuk ke Kotawaringin tahun 1595. Versi lainnya, tokoh
ini murni penduduk asli Kotawaringin, bukannya berasal dari Demak.
Berdasar
catatan sejarahnya, Abdullah Sani memaparkan kalau Kyai Gede adalah ulama yang
berasal dari Demak. Namun karena sikap membangkangnya, akhirnya diusir dan
dibuang dari kerajaan. Oleh Raja Demak ketika itu, Kyai Gede beserta
pengikutnya dilarang melakukan peperangan pada hari Jumat.
Namun
perintah raja ini malah tak diindahkan. Ketika melakukan peperangan, pasukannya
kalah. Akhirnya dia harus menanggung konsekuensinya, di buang jauh dari
kerajaan dan akhirnya terdampar di Kerajaan Banjar setelah sebelumnya sempat
melalui Gresik.
Pada
masa itu, kerajaan Banjar dibawah kekuasaan Pangeran Suriansyah yang sebelum
masuk Islam bergelar Pangeran Suryanata. Oleh Pangeran Suriansyah, Kyai Gede
dengan didampingi khatib Dayan diutus untuk menyebarkan Islam ke Kotawaringin
Barat, kala itu tahun 1595 M.
Dengan
pengikut tak kurang dari 40 orang disertai khatib Dayan, berangkatlah Kyai Gede
menyusuri Sungai Arut hingga ke pedalaman Sungai Lamandau dan Balantik, Nanga
Bulik, Sukamara. Dalam perjalanannya menyebarkan Islam, akhirnya Kyai Gede
bertemu dengan Pangeran Adipati Anta Kasuma putra Sultan Musta'inubillah Raja
Kerajaan Banjar. Selanjutnya berdirilah kerajaan Kotawaringin dengan Kyai Gede
sebagai Mangkubumi pertamanya mendampingi Pangeran Adipati Anta kasuma.
"Ini
dapat dibuktikan dengan adanya tulisan berbahasa Jawa yang tertera pada beduk
yang ada di Masjid Djami Kotawaringin," jelas Abdullah Sani.
Sementara
versi lain, seperti dipaparkan Gusti Djendro Suseno, Kyai Gede tidak lain
adalah Kyai Gade putra asli Kotawaringin, bukan berasal dari Demak. Dari
catatan sejarah yang dimilikinya, Kyai Gade dan Pangeran Adipati Anta Kasuma
keberadaannya tidaklah sejaman.
"Berabad-abad
jaraknya, dan ini bisa dibuktikan dengan penelusuran sejarah mulai Sultan
Suriansyah berkuasa yang kemudian katanya mengutus Kyai Gede ke
Kotawaringin," jelas Djendro Suseno. Dan dia tak menampik kalau Masjid
Djami Kotawaringin dapat dijadikan bukti keberadaan Kyai Gede atau Gade. Masjid
yang menurutnya memang dibangun Kyai Gede, benar memiliki sebuah beduk
bertuliskan huruf Jawa.
"Kebetulan
saya bisa membaca huruf Jawa, dan terbukti kalau Kyai Gade tidaklah sejaman
dengan Pangeran Adipati Anta Kasuma, Raja pertama Kerajaan Kotawaringin,"
ujar Djendro yang juga masih keturunan Kerajaan Mataram dari garis ibu.
Dan
bukti lain lanjutnya, berdasar kebiasaan, seorang ulama atau penyebar agama
Islam di daerah ini biasa disebut "Syekh". Sedang gelar Kyai biasa
diperuntukkan bagi seseorang yang memiliki keahlian atau ilmu di bidang
tertentu.
Di
belakang makam Kyai Gede pun menurut Djendro, terdapat semacam batu pemujaan
terhadap nenek moyang atau menhir. Menhir ini sebagai petunjuk bahwa dahulunya
Kyai Gede adalah orang Kotawaringin yang dulunya juga penganut agama nenek
moyang. Sejalan perubahan waktu, batu pemujaan ini pun mengalami perubahan nama
sesuai dengan orang-orang sekitarnya.
"Orang
penganut agama nenek moyang menyebut lain dan yang beragama Islam menyebut lain
juga sesuai keyakinannya. Padahal obyeknya sih sama saja," tandasnya.
Keberadaan
Kyai Gede sebagai penduduk asli Kotawaringin semakin diperkuat dengan banyaknya
peziarah bukan dari kalangan muslim semata, tapi juga dari penduduk yang bukan
beragama Islam. Yang menurut Djendro Suseno, tentu ini mereka lakukan karena
merasa memiliki hubungan darah dengan beliau.
--------------------------------------------
Nama
Beliau Abdul Qadir Assegaf
Berdasar
pengetahuan yang dimilikinya, Abdullah Sani begitu meyakini kalau sesungguhnya
tokoh penyebar agama Islam di Kotawaringin ini, memang berasal dari Demak, lain
tidak.
"Beliau
yang bernama asli Abdul Qadir Assegaf berasal dari Demak, kemudian ke Gresik
dan langsung ke Kerajaan Banjar," ujar Abdullah Sani, sembari menunjukkan
peta perjalanan Kyai Gede yang terdapat di dalam kubah. Ketika ditanya apakah
Kyai Gede memiliki keturunan, Abdullah Sani yang baru beberapa bulan lalu
menggantikan penjaga makam yang telah meninggal, Kyai Gede sendiri
sepengetahuannya, begitu meninggalkan Demak dan menjejakkan kakinya di
Kotawaringin, tidak pernah lagi melangsungkan pernikahan.
"Istri
beliau ya Nyai Gede dan tetap berada di Demak ketika Kyai Gede di buang dan kemudian
terdampar di Kerajaan Banjar," tukasnya sembari menyanggah kalau Kyai Gede
pernah melangsungkan pernikahan dengan penduduk setempat.
Sedang
keberadaan Kyai Gede selanjutnya, menurut Abdullah, bersama Khatib Dayan dan 40
orang pengikut, oleh Sultan Suriansyah diperintahkan menyebarkan agama Islam ke
arah Barat yaitu Kotawaringin. Hingga akhirnya bertemu Pangeran Adipati Anta
Kasuma yang ingin mendirikan kerajaan dan berdirilah Kerajaaan Kotawaringin
tahun 1598 M.
"Ini
dapat dibuktikan dengan adanya tulisan berbahasa Jawa yang tertera pada beduk
yang ada di Masjid Djami Kotawaringin," jelas Abdullah Sani.
Maulana Sayid Abdussalam Kyai Gede Penatas Angin Pekalongan
Pukangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar